Membaca Pesan Garis Lucu pada Drama NU: Telaah Kritis-Filosofis Berbasis Akar Konflik, Tasawuf, dan Anekdot Satiris Gus Dur, Mahbub Junaidi, dan Gus Mus

Oleh: Gus Nas Jogja*

Tulisan ini menyajikan pembacaan transendental terhadap konflik-konflik kontemporer di dalam tubuh Nahdlatul Ulama (NU), yang kini tengah menghadapi Mujahadah Struktural paling kompleks: pergulatan antara sanad keilmuan dan nafsu ammarah institusional. Tulisan ini menegaskan tesis bahwa Garis Lucu NU yang diwariskan oleh Gus Dur, Gus Mus, dan Mahbub Junaidi adalah Epistemologi Absurditas yang memungkinkan NU bertahan, yaitu kemampuan untuk mentertawakan kontradiksi diri sendiri.

Konflik-konflik mendasar—mulai dari etika global seperti undangan pada seorang tokoh Zionis, integritas finansial terkait isyu korupsi Dana Haji, ekologi berupa konsesi tambang, genealogi berupa Polemik Ba’alawi, hingga disfungsi Syuriah-Tanfidziah—menjadi Pesan Spiritual yang menuntut NU untuk kembali pada zuhud atau asketisme dan wara’ atau prinsip kehati-hatian para Ulama Sepuh. Kegaduhan ini adalah ujian Keseimbangan Organik NU dalam menghadapi Hubb al-Dunyā atau cinta dunia dan Politik Genealogi yang merusak warisan kerakyatan. Hanya melalui kritik yang berbalut humor jujur, NU dapat merealisasikan Tauhid Struktural.

NU Garis Lucu Sebagai Penyelamat Organik

Nahdlatul Ulama adalah organisasi dengan struktur yang paling kompleks: satu kaki di Surga (Syuriah/Tasawuf), satu kaki di Bumi (Tanfidziah/Politik), dan kepalanya sering kali melayang dalam Filsafat Absurditas. Kontradiksi ini, bukan kelemahan, melainkan Dinamisme Organik yang menjaganya tetap hidup.

Gus Dur atau Abdurrahman Wahid adalah filsuf jenaka yang merumuskan mekanisme pertahanan ini sebagai Garis Lucu NU.

“Di NU itu, kalau ada masalah besar, jangan diselesaikan dengan serius, nanti malah tambah ruwet. Cukup dengan guyon, semua jadi cair. Karena kita ini umat yang nggak suka terlalu tegang, takutnya cepat mati. Kalau sudah kena serangan jantung, nanti tahlil-nya nggak ikhlas.” — Anekdot Gus Dur. [^1]

Humor ini adalah Senjata Spiritual yang memungkinkan kritik tajam tanpa kehancuran internal. Ia adalah Lensa Satiris untuk melihat lima anatomi konflik yang kini menjadi jejaring tabayun di tubuh NU, melihatnya sebagai ujian spiritual yang mendesak.

Konflik Etika Global: Ujian Wawasan Keummatan dan Wara’

Konflik pertama menyentuh integritas spiritual NU di kancah dunia, menguji sejauh mana maqasid syariah masih berpihak pada kaum tertindas (mustadh’afin).

Kasus Undangan Tokoh Zionis Pro-Israel: Antara Geopolitik dan Tasawuf Ikhlas. Polemik undangan terhadap tokoh yang terafiliasi dengan Zionis adalah Krisisi Ontologis yang menantang Tauhid Struktural NU.

Prinsip tasamuh (toleransi) yang dianut NU tidak boleh berubah menjadi Netralitas Etis di hadapan kezaliman yang terstruktur. Secara tasawuf, Al-Hubb fī Allāh wal Bughḍ fī Allāh (Cinta karena Allah dan Benci karena Allah) adalah inti dari integritas keimanan. Mendekati pihak yang terlibat dalam penindasan struktural, secara filosofis adalah Paradoks Tawhid.

Almarhum KH. Maimoen Zubair atau Mbah Moen, sering berpesan tentang pentingnya menjaga hubb al-watan (cinta tanah air) dan wawasan keummatan.

“Nguri-uri kebaikan itu ya dengan ngopeni (merawat) wong cilik. Kalau kamu sibuk sama kepentingan luar negeri yang nggak jelas manfaatnya, nanti lupa sama santri dan rakyatmu sendiri. Kalau sudah lupa rakyat, itu tanda-tanda istiḍrājj (bencana pelan-pelan) buat organisasi.” [^2]

Mbah Moen mengingatkan bahwa prioritas NU haruslah pada Kemanusiaan Lokal dan Global yang tertindas. Obesesitas untuk mendapatkan pengakuan dari Barat adalah bentuk Kecintaan pada Hubb al-Jah atau cinta popularitas yang merusak sanad keikhlasan.

Silang Sengkarut Isu Korupsi Dana Haji: Pengkhianatan Amanah dan Satire Mahbub Junaidi. Isu korupsi atau penyalahgunaan dana haji, uang titipan umat, adalah Luka Struktural yang merusak kepercayaan publik dan mengkhianati prinsip Amanah dan wara’. Dana Haji menuntut Integritas Tasawuf yang setinggi-tingginya. Ketika dana ini dikorupsi atau dipolitisasi, terjadi Distorsi Spiritual. Ini adalah pengkhianatan terhadap niat spiritual umat. Dalam Fikih, harta muamalah harus dijaga dengan prinsip Wara’ (kehati-hatian ekstrem) yang melampaui audit positif negara.

Kolomnis Garis Lucu yang tulisannya penuh satir dan tokoh legendaris jenaka NU, Mahbub Junaidi, pasti akan menyambut isu ini dengan tawa pahit. Mahbub, yang terkenal dengan kritiknya terhadap birokrasi dan korupsi, pernah menulis:

“Koruptor itu sebenarnya orang suci. Mereka sudah melaksanakan ajaran agama yang paling esensial: Jangan meninggalkan harta untuk anak cucumu. Karena dia habiskan semua hartanya sekarang juga!” [^3]

Mahbub menggunakan humor untuk membalikkan logika korupsi. Dalam konteks Dana Haji, ia menyindir bahwa mereka yang mengelola dana suci ini telah melanggar prinsip wara’ yang diajarkan oleh Kiai Sepuh, dengan menggantinya dengan Keberanian Serakah atau syuh yang ditertawakan oleh Gus Dur.

Konflik Struktural dan Kedekatan Kekuasaan: Tarikan Zuhud vs. Hubb al-Dunyā

Konflik kedua menyentuh perubahan watak institusional dari gerakan kebudayaan menjadi entitas ekonomi dan politik, menguji zuhud para pemimpinnya.

Transparansi Persoalan Tambang dan Tanggung Jawab Ekologi dalam Wejangan KH. Sahal Mahfudh. Keputusan atau keterlibatan NU dalam konsesi tambang adalah Konflik Epistemologi Ekologi yang berbenturan antara klaim Kemandirian Ekonomi dan Fikih Lingkungan (Hifz al-Bī’ah).

Akar sosiologis NU adalah santri yang hidup dalam ekosistem pertanian, buruh dan nelayan. Keterlibatan dalam industri ekstraktif berupa tambang mencerminkan pergeseran dari Watak Organis –memelihara alam– menjadi Watak Mekanis –mengeksploitasi sumber daya–.

KH. Sahal Mahfudh [^4], yang dikenal sebagai ulama Fiqh Sosial, selalu menekankan Maslahah Ammah atau kemaslahatan umum di atas kepentingan pribadi/institusi.

“Fiqh itu bukan hanya menghukumi sah atau batal. Fiqh yang paling penting adalah fiqh sosial: bagaimana kita membuat hidup orang banyak menjadi lebih baik. Kalau kemandirian didapat dengan merusak lingkungan dan menyengsarakan petani, itu bukan maslaha, itu mafsadah (kerusakan).”

Kiai Sahal mengingatkan bahwa Ekonomi Pancasila berbasis asas kekeluargaan menuntut NU untuk menjadi Guardian Ekologis, bukan Pelaku Ekstraktif. Merusak lingkungan demi pendapatan jangka pendek adalah disfungsi etis yang melanggar maqasid yang dianut NU.

Kedekatan dengan Kekuasaan dan Macetnya Komunikasi: Satire Gus Mus. Kedekatan yang terlalu intim dengan kekuasaan eksekutif telah menciptakan Krisis Otoritas Ganda dan Macetnya Komunikasi antara Syuriah (badan legislatif) dan Tanfidziah (badan eksekutif).

Syuriah adalah Rem Etis NU. Fungsinya adalah menjaga Istiqlal Spiritual organisasi dari intervensi politik dan material. Ketika Tanfidziah terkooptasi oleh Hubb al-Jah atau cinta jabatan, Syuriah yang berfungsi sebagai pengawas keilmuan kehilangan dayanya. Macetnya komunikasi adalah gejala Otoritas Ganda—Syuriah bicara Fikih atau prinsip, sedangkan Tanfidziah bicara Politik atau transaksi kekuasaan.

Satire Puitis Gus Mus atau KH. Mustofa Bisri:
Gus Mus [^5], yang dikenal dengan puisi balsem dan kritiknya yang lembut namun menusuk, menyindir bahaya kekuasaan:

“Penguasa itu seperti hantu.
Tak semua orang lihat, tapi semua orang takut.
Bahkan, banyak Kyai yang tiba-tiba ingin jadi hantu.
Lalu mereka lupa, bahwa di NU, kita seharusnya hanya takut pada Tuhan,
Bukan pada kekuasaan.”

Puisi ini adalah Nasihat Politik Sufistik yang mendalam. Jarak spiritual harus dijaga agar Kemandirian Etis NU tetap utuh. Kegagalan tabayun internal adalah bukti bahwa Birokrasi Kekuasaan telah menelan Kearifan Spiritual.

Konflik Genealogi dan Identitas: Ujian Sanad vs. Nasab

Polemik mengenai nasab Ba’alawi adalah konflik yang menyentuh inti dari otoritas keilmuan NU: apakah otoritas keagamaan ditentukan oleh Nasab (Garis Keturunan) atau oleh Sanad (Garis Keilmuan).

Polemik Ba’alawi: Politik Genealogi Melawan Tradisi Santri dan Wejangan Kiai Sepuh. Tradisi Santri di NU menghormati nasab, tetapi menjadikan Sanad Keilmuan atau penguasaan kitab kuning, ijtihad, dan transmisi ilmu dari guru ke guru sebagai Otoritas Primer. Polemik ini muncul ketika ada upaya untuk Mempolitisasi Nasab—menggunakan garis keturunan sebagai lisensi tunggal otoritas, yang cenderung Eksklusif dan Anti-Intelektual.

Wejangan Ulama Sepuh NU, KH. Sahal Mahfudh:
Kiai Sahal, dalam konteks pentingnya belajar, pernah berpesan:

“Di pesantren, yang penting itu ngaji, bukan siapa bapakmu. Kalau kamu pintar ngaji dan punya sanad jelas, kamu akan diakui. Kalau cuma bawa-bawa nama besar tapi nggak tahu kitab kuning, ya mending belajar lagi. Sebab ilmu itu cahaya, dan cahaya itu didapat dari usaha, bukan dari warisan.” [^6]

Wejangan ini adalah Kritik Egaliter terhadap feodalisme intelektual. NU harus menegaskan bahwa Demokrasi Keilmuan (sanad) yang diwarisi para pendirinya seperti Kyai Hasyim Asy’ari dan Wahab Hasbullah, harus mengalahkan Monarki Spiritual atau nasab yang dipolitisasi demi menjaga Tradisi Ijtihad yang inklusif.

Epilog Sufistik: Luka sebagai Kurikulum Abadi dan Humor sebagai Tajarrud

Kelima konflik yang membelah tubuh NU—Zionisme, Dana Haji, Tambang, Kekuasaan, dan Nasab Baalawi—adalah Kurikulum Penderitaan yang tengah dijalani. Ini adalah Mujahadah Struktural: perjuangan internal untuk membersihkan institusi dari syuh, riya’, dan ujub.

Mahbub Junaidi dan Gus Dur: Humor sebagai Tajarrud atau outlet. Humor, bagi para filsuf NU ini, adalah Mekanisme Tajarrud atau pelepasan diri. Dengan menertawakan masalah-masalah besar ini, mereka secara spiritual melepaskan keterikatan pada hasil politik atau material.

Gus Dur pernah ditanya, kenapa NU seolah-olah gampang konflik tapi susah bubar?

“NU itu sudah dijamin sama Mbah Hasyim (K.H. Hasyim Asy’ari) nggak akan bubar, karena bubarnya NU itu nanti di hari Kiamat, barengan sama bubarnya dunia. Jadi, selama dunia belum kiamat, kalian silakan berantem terus, silakan bikin partai, silakan rebutan proyek. Tapi habis itu, jangan lupa ngopi bareng, karena yang bikin kita kuat itu bukan duit, tapi ngopi dan guyon sambil tahlilan.” [^7]

Kutipan ini adalah Janji Filosofis dan Kunci Keseimbangan Organik NU. Humor adalah pengakuan bahwa Manusia NU Penuh Kekurangan, dan oleh karena itu, selalu butuh Tabayun Abadi yang berbalut tawa. Selama NU masih bisa menertawakan kontradiksinya, ia masih menjalankan sanad spiritual para Ulama Sepuh dan Gus Dur: Kerendahan Hati Budaya yang menjadikan setiap luka sebagai Kurikulum Abadi Kesadaran.

Wallahu A’lam. ***

Catatan Kaki

[^1]: Wahid, Abdurrahman. (1999). Gus Dur: The Absurdity of Power. Refleksi tentang humor sebagai alat politik.

[^2]: Zubair, KH. Maimoen. (Terekam). Wejangan tentang pentingnya ngopeni wong cilik (merawat rakyat kecil).

[^3]: Junaidi, Mahbub. (Tidak Tercatat, dari berbagai sumber). Satir tentang korupsi birokrasi

[^4]: Mahfudh, KH. Sahal. (2004). Refleksi Fiqh Sosial. Pernyataan tentang pentingnya Fiqh Sosial dan Maslaha Ammah.

[^5]: Bisri, KH. Mustofa (Gus Mus). (Dari berbagai sumber). Puisi Satiris tentang kekuasaan.

[^6]: Mahfudh, KH. Sahal. (Terekam). Wejangan tentang sanad keilmuan di pesantren.

[^7]: Wahid, Abdurrahman. (2003). Diskusi Kebudayaan. Pandangan Gus Dur tentang ketahanan NU.

Daftar Pustaka

Barton, Greg. (2002). Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid. Jakarta: Equinox Publishing.

Fealy, Greg. (2004). Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967. Yogyakarta: LKiS.

Hasan, Nur. (2018). Fikih Lingkungan: Maqasid Syariah dan Isu Ekologi. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

Ricklefs, M. C. (2001). A History of Modern Indonesia Since c.1200. Stanford: Stanford University Press.

Zubair, KH. Maimoen. (2016). Buku Saku Ajaran Mbah Moen. Rembang: Penerbit Yayasan.

 

—–

*Gus Nas Jogja, Budayawan-Santri.