Kepulauan Budaya
Oleh: Pietra Widiadi*
Sudah banyak yang kenal, apa itu archipalgos, atau nusa antara, pulau-pulau di antara samudera. Jejak yang sulit dihapus sebagai bagian yang tak terpisahkan dari negeri ini. Sebuah elan vital, perjuangan dan perjalanan hidup sebuah suku bangsa yang berada di kepungan air laut.
Madura, tidak tunggal dalam sepenggal sejarah Indonesia atau Jawa Timur. Perjalanan itu ada sejak jaman masa pra Majapahit, yang lahir dari sebuah penggalan mempertahankan gempuran Mongol. Arya Wiraraja, adalah bagian tak terpisahkan dari sejarah itu, dan budaya yang berkembang adalah Jawa.
Maka desa-desa Jawa kenal dengan Bengok, Gogol dan di Madura dikenal Jato. Itu sebuah penanda jelas bahwa sejarah desa-desanya sama, gugusan rumah tanean juga gugusan rumah mangku, yang membedakan adalah bahasanya. Jadi bagaimanapun tidak bisa dipisahkan dengan sejarah Brang Wetan, dan ini benar-benar wetan, seperti Desa Lundok di Pulau Putri yang diinisiasi keluarga nelayan dari Mandar, desa Brakas di pulau Tanlango Aeng dan lainnya.
Pulau-pulau ini adalah sebuah gugusan pulau yang berada dalam daratan atol yang membujur dari timur ke barat, sebanyak 125 pulau. Tidak semua dihuni dan mereka eksis sebagai pulau bagaian dari Kabupaten Sumenep.
Ibu kepala desa
Pulau Putri Desa Lundok dengan jumlah penduduk sekitar 3.000 jiwa, sebagian anak mudanya bekerja di Bali. Pulau kecil yang dari Utara ke selatan hanya 3 km dan dari timur ke barat sekitar 6 km. Pada saat musim penghujan, mereka menyebutnya musim ikan, para laki-laki sebagian besar ada di laut.
Terdapat pergeseran yang menarik, sebelumnya warga hanya bekerja di sektor perikanan laut yang tergantung dengan kondisi cuaca. Sekarang terutama yang perempuan dan kaum muda bekerja di Bali dengan mengembangkan usaha asesoris, bahkan banyak dari mereka sudah punya toko di kawasan utama wisata di Bali. Yang indah lagi, asesori itu juga dirangkai oleh warga di kepulauab Raas, Kecamatan Raas.
Kaum muda sebelumnga belajar dan mondok di Situbondo, di wilayah selatan dengan menyebrang lain dari Sumenep ke Situbondo melalui pelabuhan Jangkar, Asembagus. Sekarang sudah bergeser meski orientasi belajar masih di Jawa. Kaum muda perempuan umumnya belajar di Pondok Pesantren Sukorejo, di Kecamatan Banyuputih, Situbondo.
Pada saat menjelang puasa dan lebaran, desa Lundok dan desa-desa di kepulauan sekitarnya ini agak ramai karena kaum muda yang merantau pada pulang. Maka pada saat² seperti itu, akan ditemukan banyak kaum perempuan dengan rambut pirang dan tatto indah ditorehkan di tubuh mereka. Tak jarang dari mereka menghisap vape, rokok baru yang dianggap keren.
Pulau kecil ini dipimpin seorang perempuan yang sudah mejabat dalam dua periode. Ibu Kades lebih dikenal dengan sebutan ini Hadji, yang bersuamikan pengusaha tripang keturunan ke 4 dari keluarga Mandar, Sulawesi Selatan yang menetap dan menguasai pulau Putri.
Ibu kepala desa ini, sudah melanglang Indonesia, karena pernah mukim di Lampung, di Palembang, di Bali dan di Jakarta ini cukup terbuka cara berpikirnya.
Keempat anaknya lahir di kota yang berbeda dan sehari-hari berbahasa Indonesia. Bukan hanya nampak dari tutur katanya tetapi juga dari pakaian yang dikenakan.
Dia menjelaskan bagaimana perencanaan desanya dilakukan. Musdus, musyawarah dusun dilakukan pada menjelang akhir tahun tuturnya dengan tanpa ragu. Dana yang ada belum cukup untuk membiayai pembanguan katany, meski pembangunan yang disebutkan adalah pembangunan fisik. Jadi bantuan pihak ketiga sangat bermanfaat melengkapi kekurangan dalam pembangunan.
Ibu Hadji, adalah satu dari 3 kepala desa perempuan di Kabupaten Sumenep. Kebutuhan sehari-hari tetap cantik bisa dipenuhi dari Sumenep sehingga dia secara regular menuju ke ibu kota, yang ditempuh selama hampir 6 jam di atas feri. Pada saat angin yang rendah, sehingga lautan dengan santai dapat dilintasi kapal nelayan penumpang atau kapal penumpang.
Suguhan soto untuk sarapan hanya bisa ditandingi oleh soto Cak Har di kawasan MERR Surabaya. Lodeh tripang yang disuguhkan luar biasa rasanya. Tak kalah cap jare 7 sayur dan ikan di resto China, Canyon di Jakarta. Makanan tripang bukan hal yang murah tetapi di desa ini menjadi sajian pokok pada saat-saat istimewa.
Pekerjaan tidak lagi pada batas desanya, atau sejauh jelajah kaum lelaki di lautan, tapi sudah seluas samudra di muka bumi ini. Perempuan pun sudah meninggalkan desanya untuk mengadu nasih untuk mendapatkan penghasilan. Cantik bukan lagi ukuran lokal, rambut blonde dan tato hal yang biasa. Sebuah pergeseran yang cukup lebar dan menyenangkan.
Ke Timur menuju ke Ujung
Berjarak sekitar 1.5 jam dari desa Lundok ke Timur dengan kapal kecepatan 25 knot/jam. Jarak yang sepertinya dekat tetapi dengan melintasi laut yang dalam dengan transportasi pribadi lebih mudah di capai dari pada transportasi publik. Pada saat musim angin tidak tinggi, laut bisa dilintasi dengan nikmat, tetapi pada saat musim angin, hampir tidak ada kapal yang sengaja ke pulau Guwa-guwa. Perkecualian terjadi, pada saat kondisi emergensi, di mana bila seorang ibu mengalami kesulitan melahirkan dan dalam kondisi kritis dalam proses melahirkan untuk mendapatkan pertolongan. Kalau tidak dengan keberanian, ibu yang ditolong ini sudah berpulang.
Desa Guwa-Guwa dengan jumlah penduduk 3.900 jiwa yang terletak di Pulau Guwa-guwa dan pulau Komirean. Salah satu dusun desa ini berada di pulau Komiren yang dekat dg Kangean yang ditempuh selama 4 jam dangan mesin kapal 12 pk. Dusun yang tidak mudah untuk dijangkau, tidak murah harganya perjalanannya. Pulau yang hanya sepelemparan martir sudah sampai ke Bali dari pada ke Surabaya yang ditempuh selama 8-12 jam, melalui jalan darat dan laut dengan transit di Kalianget, Sumenep atau Asembagus, Situbondo.
Pulau-pulau ini berada tengah laut tapi ikan tidak tersedia. Ikan selalu tersedia di Sumenep dari pada desa ini, kata pak kades Guwa-guwa. Kami lebih sering makan ayam dari pada makan ikan, apa lagi pada saat musim angin dan musik kemarau.
Kepulauan budaya
Samudera masih luas, masih jauh dan jangkauan kemajuan juga terus berputar. Apa yang digaungkan para aktivis lingkungan tak pernah didengarkan di kepulauan ini. Sehingga sampah terutama plastik tak berjarak satu dengan lainnya, sendimentasi dan reklamasi juga terus terjadi dengan timbunan sampah.
Sebelum perubahan terjadi, perjalanan menuju pada penghasilan keluarga yang cukup belum jauh, kehidupan hanya terbatas pada sekitar kehidupan sehari-hari. Ketertinggalan dirisaukan, seolah dunia tidak bergerak meski matahari dan bulan silih berganti hadir. Rumah sudah berubah, dari kayu yang adem dg sinar matahari dan hangat ditengah angin malam dan lolongan gelombang. Diganti dengan tembok bata berdinding keramik yang dimakan air garam meski nampak kokoh dan moderen.
Perubahan ini menghadirkan semut dan serangga kecil yang nampak mengganggu, meski sebenarnya kita lah pengganggunya. Air dari kamar mandi dan dapur, dibuang saja ke halam berpasir yang airnya lari ke laut. Halaman tak ubahnya tempat sampah karena segala hal dibuang saja di belakang atau samping rumah yang berada di tepi laut.
Setiap pulau punya ciri masing-masing. Bahasa bisa sama, ritual bisa sama tetapi harapan hidup dan kehidupan dari masing-masing bisa berbeda jauh. Cara berpakaian bisa sama tapi makna berpakaian berbeda lagi. Ini jauh dengan realita kehidupan yang diimpikan pemerintah, meski mimpi yang tinggi rumah sehat dan rumah kesehatan tidak ada. Nakes tidak mudah dijumpai.
Anak muda lebih suka tinggal di daratan dari pada di kepulauan. Bukan masalah tidak suka tetapi akses pada kesehatan dan pendidikan kurang. Pemerintah seperti membiarkan yang sekplah-sekolah swasta berjuang sendirian, sementara Kabupaten dan Peovinsi hanya sibuk dengan urusan sendiri, dengan menghabiskan anggaran Daerah.
Kepala Desa seperti Raja kecil, rakyat menghamba mendapatkan recehan. Tamu hadir selerti pesta kecil dan datang-datang warga dihadirkan untuk menyiapkan jamuan. Caranya tidak birokrat yang membangun kerjaan sendiri denganurang rayat. Di desa yang ada adalah cara berkomikasi, cara membangun perlakukan pada warga berbeda.
Kemajuan sudah jauh di depan, tapi relasi sosial, budaya yang berkembang, cara hidup berdasarkan norma sehari-hari masih seperti dulu. Motor sudah listrik dan memasak sudah memakai kompor gas. Tapi relasi sosial masih yang lama yang dipegang.
Kepada Desa hanya sebuah persinggahan biasa, karakter terbentuk masing-masing atas latar belakang masing-masing. Bisa jadi dari pengepul tripang lalu menjadi kepala desa dan kemudian kembali menjadi pengepul dengan jumlah kapal lebih dr 10 buah yang dimiliki. Sumber daya alam masih saja jadi komoditi pangan utama. Hasil laut makin habis dan pekerjaan mengeksplorasi mekin menipis. Saat ada sekolah didirikan ternyata lebih melayani industri di perkotaan dari pada di pedesaan dengan pendekatan yang kreatif.
Pertanyaannya siapa yang tidak berbudaya dari akarnya. Desa-desa dalam gugusan pulau ini, masing-masing punya tradisi, sehingga bisa disebutkan kepulauan budaya dan bukan kebudayaan kepulauan.
—
*Pietra Widiadi, Petani kopi tinggal di desa Sumbersuko lereng Gunung Kawi, sedang menyelesaikan studi S3 dengan fokus metri, local knowledge practices.




