Kekuatan Seni dan Kritik sebagai Kultur
Oleh Purnawan Andra*
Kekuatan seni dan kritik sebagai kultur tidak sekadar menjadi wacana abstrak, melainkan realitas kehidupan yang nyata ketika aparat mencoba mengendalikan ekspresi artistik. Termutakhir, lagu “Bayar Bayar Bayar” dari band Sukatani, yang karena liriknya menyebut polisi, mengundang dugaan tindakan represif dari pihak berwenang.
Banyak pihak menganggap intimidasi terhadap Sukatani mengancam kebebasan berekspresi yang sebenarnya dilindungi oleh Konvensi UNESCO 2005. Koalisi Seni mencermati ada peningkatan peristiwa pembungkaman seni, terutama sejak pandemi Covid-19. Sedikitnya ada 17 peristiwa yang terjadi pada 2020 dan meroket naik menjadi 53 peristiwa pada 2022. Tahun lalu ada 60 pelanggaran kebebasan berekspresi yang mereka catat.
Di tahun 2025 yang baru berjalan kurang dari tiga bulan, setidaknya ada tiga peristiwa yaitu pelarangan pameran lukisan Yos Suprapto di Galeri Nasional, Jakarta, lalu pembatalan pentas teater berlakon ”Wawancara dengan Mulyono” oleh Kelompok Payung Hitam. Intimidasi kepada Sukatani adalah peristiwa ketiga (kompas.id, 23/2/2025). Hal ini memunculkan kesan bahwa pemerintah saat ini antikritik, lebih ingin mengendalikan narasi budaya serta menekan kritik sosial.
Pertempuran Ideologis
Tindakan-tindakan tersebut mengungkapkan pertempuran ideologi yang mendalam, di mana seni menjadi media perlawanan terhadap kekuasaan yang represif. Pelarangan pentas Teater Payung Hitam di ISBI Bandung misalnya, menjadi contoh di mana seni (pertunjukan) dipolitisasi. Teater telah lama menjadi laboratorium ide yang memungkinkan masyarakat menguji dan merekonstruksi makna kolektif melalui simbol-simbol visual dan naratifnya. Dengan penolakan pertunjukan tersebut, pihak yang berwenang tampaknya berusaha mengendalikan wacana yang terbentuk dari interaksi antara penonton dan karya seni.
Dalam konteks ini, intelektual Inggris Terry Eagleton (2005) mengingatkan kita bahwa seni adalah bentuk ekspresi yang terlepas dari ideologi, bukan komoditas semata, melainkan ekspresi yang memiliki peran penting dalam mengungkapkan kondisi sosial dan menantang hegemoni budaya. Menurut Eagleton, karya seni memiliki kekuatan untuk mengungkap evolusi sosial dan mengkritisi struktur kekuasaan melalui bahasa simbolik yang mengandung nilai estetika dan politik. Dengan demikian, pelarangan karya seni bukanlah sekadar masalah estetika, melainkan upaya untuk membungkam suara yang menantang narasi resmi.
Filsuf Prancis Pierre Bourdieu juga menyebut seni dipahami sebagai modal simbolik yang dapat mereproduksi atau menantang struktur kekuasaan. Bourdieu berargumen bahwa institusi seni dan praktik kultural seringkali mencerminkan dan mengukuhkan hierarki sosial yang ada. Oleh karena itu, sensor terhadap karya-karya kritis—baik itu lukisan, teater, maupun musik—adalah upaya untuk mempertahankan status quo dan menghalangi munculnya narasi alternatif yang lebih inklusif.
Hal yang sama disampaikan Antonio Gramsci yang menekankan bahwa hegemoni budaya bergantung pada pengendalian wacana. Pelarangan karya seni kritis adalah cara untuk memastikan bahwa hanya narasi resmi yang diterima, sementara suara kritis yang berpotensi menggugah perubahan sosial dibungkam.
Terlebih lagi, pelaku pembungkaman seni juga bergeser dari semula cenderung melibatkan ormas berafiliasi keagamaan menjadi dilakukan oleh aparat pemerintah sendiri. Pencekalan pameran lukisan dan pementasan teater terjadi di lingkungan yang dikelola pemerintah. Intimidasi terhadap Sukatani juga diduga dilakukan aparat pemerintah. Dengannya, ruang sipil menjadi makin sempit (kompas.id, 23/2/2025).
Diskontinuitas Pemaknaan
Disisi lain, penggunaan karya seni sebagai wahana penyampai kritik menegaskan adanya diskontinuitas pemaknaan tentang kritik. Hal ini penting ditindaklanjuti mengingat apa yang disampaikan melalui seni itu justru dianggap sebagai kritik yang harus ditertibkan. Dengannya, rakyat dan pemerintah seperti berhadapan sebagai pihak yang berbeda paham mengenai kritik.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan ”kritik” sebagai kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat, dan sebagainya.
Di era demokrasi, kritik menjadi suatu hal esensial. Demokrasi tidak lengkap tanpa kritik, sementara kritik tanpa kebebasan yang disediakan demokrasi juga tak akan berkembang. Demokrasi dianggap berhasil jika menghargai kritik dan memaknainya sebagai peran serta bersama untuk menciptakan iklim politik dan kebijakan publik yang tepat bagi semua.
Untuk itu di negara demokratis, kritik harus diberi tempat dan tidak boleh dibungkam. Di sejumlah negara maju yang sudah matang nalar dan logika politiknya, kritik dimaknai dan dipahami secara esensial sebagai wacana alternatif sekaligus masukan yang bisa memperbaiki kualitas kehidupan berbangsa dan bernegara (Farisi, 2021). Bukan sebagai ekspresi kebencian, bahkan sebagai lawan dalam kehidupan demokrasi.
Dalam tatanan negara yang ideal, sebagai budaya, seni berperan sebagai cermin yang mencerminkan kondisi masyarakat dan sebagai alat untuk mendorong perubahan. Pemerintah seharusnya tidak hanya melarang, tetapi mendengarkan dan mengakomodasi kritik sebagai sumber pembaruan.
Secara visioner, kekuatan seni dan kritik sebagai kultur harus menjadi fondasi bagi masyarakat yang demokratis dan berkeadilan. Seni sebagai simbolisme kritik, selain mengungkapkan fakta aspiratif yang mampu menyadarkan dan menggerakkan, ia secara kreatif juga mencipta metafora-metafora logis sehingga kekuatan dan daya kritiknya tetap tajam dan kontekstual.
Melalui pengakuan atas nilai estetika, simbolik, dan seni transformatif, kita dapat membuka ruang bagi dialog kritis yang membangun, bukan menghancurkan. Dan yang patut diingat, daya dan kekuatan kritik sebenarnya bukan semata-mata dilihat dari sampai atau tidak komunikasi kritik tersebut, namun mampu atau tidak membuka dialektika dan refleksi baru dari permasalahan yang menjadi sasaran dari kritik itu.
Pada akhirnya, solusi kenegarawanan haruslah didasarkan pada prinsip-prinsip keterbukaan, dialog, dan partisipasi publik. Negara harus mampu mengintegrasikan kritik seni sebagai bagian dari mekanisme demokrasi deliberatif, sehingga setiap ekspresi artistik yang mengandung kritik sosial dapat berkontribusi pada transformasi dan perbaikan struktur sosial. Dengan cara ini, kekuatan seni dan kritik sebagai budaya akan terus menjadi pendorong utama perubahan, menginspirasi masyarakat untuk mewujudkan visi bersama menuju keadilan, keberagaman, dan kemajuan yang lebih berkelanjutan.
***
*Alumnus Governance & Management of Culture Fellowship Program di Daegu Catholic University Korea Selatan.