Gerakan Personal Puisi Tegalan : Respon Atas “Puisi Baru” Mohamad Ayub

Oleh M. Essage*

1/

Ada dinamika yang cukup menarik untuk dibicarakan bila kita menilik kembali perkembangan puisi Jawa dialek Tegal. Gerak personal yang diawali oleh Lanang Setiawan melalui puisi terjemahan ternyata membawa pengaruh bagi pertumbuhan puisi lokal ini ke arah kolektivisme puitik. Lihat saja bagaimana buku kumpulan puisi terjemahan yang berjudul Roa telah menandai upaya membangun strategi kebudayaan dari kesadaran berbahasa menjadi kesadaran bersastra Tegalan. Kolektivisme puitik dengan mengusung puisi Jawa dialek Tegal rupanya sengaja dibangun melalui massalisasi puisi lokal yang bertumpu pada kesadaran menggunakan bahasa ibu. Pada perkembangan selanjutnya, kolektivisme puitik berkembang menjadi kesadaran bersastra dengan mengolah bentuk. Buku-buku yang diterbitkan dengan cara menghimpun berbagai personalitas melalui antologi bersama Kur-267, wangsi, dan terakhir Tegalerin 2-4-2-4 merupakan bukti kesadaran bersastra dalam mengolah bentuk secara kolektif. Meskipun sebelumnya diawali lontaran olahan bentuk itu secara personal.

Adakah puisi Jawa dialek Tegal yang lahir dari kesadaran personal tanpa diikuti semangat kolektif? Kita mungkin bisa mengambil contoh dengan menyebutkan buku puisi karya Lanang Setiawan yang berjudul Jala Sutra, 228 Haiku Tegalan (2016) dan Haiku Tegalan, Autobiografi Lanang Setiawan (2019). Kedua buku puisi lokal ini memang hanya meminjam bentuk puisi pendek dari tradisi sastra di Jepang. Mungkin, karena hanya meminjam tradisi dari sastra asing, Lanang Setiawan tidak “bersemangat” untuk melakukan gerakan sastra secara massal. Ia seorang diri mengekspresikan haiku dalam dialek Tegal. Ini jelas berbeda ketika ia membidani kemunculan Kur-267, wangsi, dan apalagi Tegalerin 2-4-2-4. Terlepas dari motif lain yang melatarbelakangi kelahiran yang katanya sebagai “puisi baru”, kita tidak bisa memungkiri kalau Lanang Setiawan adalah “virus” yang cepat menyebar secara massal untuk mencekoki siapa pun menulis puisi Jawa dialek Tegal. Secara edukasi, ia berhasil mendidik siapa pun untuk menulis puisi lokal bentuk Kur-267, wangsi, dan Tegalerin 2-4-2-4. Lanang Setiawan memang seorang guru yang berhasil menciptakan “murid” yang patuh pada kaidah-kaidah sastranya.

2/

Upaya personal untuk menciptakan bentuk baru dalam puisi Jawa dialek Tegal seperti yang telah dilakukan Lanang Setiawan, juga Dwi Ery Santoso, menjadi bukti bahwa puisi lokal ini memang terus bergerak dari satu bentuk ke bentuk puisi lainnya. Apakah hanya Lanang Setiawan yang menunjukan dinamisasi teks untuk terus mengembangkan bentuk-bentuk baru puisi Tegalan? Pada akhir tahun 2021, saya menerima kiriman beberapa puisi Tegalan karya Mohamad Ayub dalam bentuk manuskrip digital. Ada baiknya, terlebih dahulu saya kutipkan puisi “baru” karya Mohamad Ayub berikut ini.

DALANE WONG URIP

Bar ngaji mangan menir
Nomer siji alam lair

Pengin ngadone’ sate kodian
Pingdone’ saate’ bocahan

Laka sing pecah elom
Ping telune’ bocah enom

Lubar ngupat ngasah bende’
Nomer papat bocah gede

Maling nyolonge’ tong dawa
Kaping lima wong Tuwa

Kang Mahmud naksire’ Wati
Paling bud akhire’ pati

KEKANCAN

Ngemil kamir maca tulisan
Kamil-Amir kanca taunan

Saben ngaji dina sabtu
Bener- bener diuji waktu

Mlayune’ pan kaya Lawet
Melune’ sangsaya awet

Loyang dudu gada
Sayang kena goda

Mampir umah milih klasa
Kadiran nduwe kuwasa

Brayahe’ kakang kembar
Kekancan kosih bubar

NASEHAT

Akeh mangan jeruk
Aja sokan kemaruk

Seneng wijil salak
Aja seneng clutak

Doyan semangka
Aja sokan prasangka

Mangan duren pingdo
Aja demen maido

Mangan dukuh ora krasa
Aja dumeh kuwasa

Mangan pedoyo kabongan
Aja onggrongan

Adakah upaya-upaya kebaruan yang tampak dari beberapa puisi Mohamad Ayub tersebut? Bila saya memperhatikan bentuk puisi Ayub, terlihat jelas ia membagi puisinya dalam enam bagian atau bait yang masing-masing terdiri atas dua larik atau baris. Dengan mempertahankan masing-masing tetap dalam dua larik, jelas sekali Ayub memang menghendaki “puisi baru”-nya itu dalam konsep enam bagian dengan dua larik setiap bagiannya. Selanjutnya, apabila saya memperhatikan larik pertama untuk setiap baitnya, Ayub meletakkan larik pertama itu sebagai “sampiran” dan larik kedua menjadi “isi”. Ini jelas sekali merujuk pada konsep puisi klasik, yakni karmina. Dalam pandangan publik puisi lokal di Tegal, bentuk semacam itu pada umumnya dinamakan wangsalan.

Mohamad Ayub. (Sumber: Penulis)

Konsep jumlah larik inilah yang pertama ingin ditawarkan Ayub kepada publik puisi Tegalan. Ia menawarkan bentuk lain dari wangsalan (pantun Tegalan) yang tersaji dalam enam bagian untuk dua belas larik. Menilik bentuk-bentuk puisi klasik yang pernah ada di Indonesia, kita sebenarnya menemukan juga padanannya, seperti pernah ditawarkan oleh Raja Ali Haji dengan gurindam dua belas-nya. Ali Haji mengembangkan bentuk gurindam yang pada mulanya terdiri atas dua larik itu menjadi dua belas larik dan menjadi ciri yang mekekat pada dirinya. Sehingga kita terkadang menyebutnya dengan istilah “Gurindam Raja Ali Haji”. Barangkali, ini langkah yang ingin diambil Mohamad Ayub melalui penciptaan kebaruan bentuk dari puisi klasik berupa wangsalan dua larik menjadi enam wangsalan dengan dua belas larik. Muncullah istilah yang terlontar dari konsep “puisi baru” yang ditawarkan Mohamad Ayub dengan nama “Wangsalan Embe”. Sebuah nama yang diberikan dengan merujuk pada buku puisinya yang berjudul Luwak Wulune Embe dan personalisasi yang melekat pada dirinya sebagai “Profesor Embe”.

Apakah Mohamad Ayub berhenti hanya pada permainan jumlah larik saja? Bila saya menelisik aspek kohesi dan koherensi antar larik secara keseluruhan, ditemukan dua hal yang dapat saya kemukakan. Pertama, keenam bait puisi Ayub memperlihatkan satu-kesatuan isi untuk memberikan pesan kepada pembaca. Kedua, pada larik-larik yang tergolong sampiran, Ayub menghadirkannya dalam sampiran berdiri sendiri untuk setiap baitnya. Dua ciri dari puisi Ayub ini memperlihatkan upayanya untuk membuat wangsalan dalam dua belas larik. Kesatuan isi hanya diikat dengan kohesi dan koherensi antar larik yang merupakan pesan penyair.

Bagaimana pun upaya Mohamad Ayub patut kita hargai sebagai cara personal untuk melakukan pengembaraan kreatif. Eksplorasi estetik yang hendak dilakukan Ayub sesungguhnya belum dapat kita sebut sebagai upaya maksimal untuk membuat kebaruan dalam puisi Tegalan. Hal ini karena, saya merasa yakin Ayub masih dapat merenungkan kembali konsep baru wangsalan Tegalan ini secara lebih kuat dan berbobot sehingga mampu menjadi konsep baru yang tidak sekadar menempelkan unsur-unsur puisi klasik. Andai saja Ayub masih mau untuk memikirkan posisi “sampiran” sebagai representasi kultural lokal masyarakat Tegal, saya yakin wangsalan barunya itu akan terasa lebih etnografis. Selain itu, andai saja Ayub mau lebih mendalam “bermain-main” dengan estetika wangsalan, sesungguhnya ia dapat saja membuat “sampiran berkait” sehingga hubungan antar sampiran dalam “puisi baru”-nya itu lebih menarik. Barangkali mungkin menyerupai puisi klasik yang dinamakan seloka sebagai pantun berkait.

Apa yang saya kemukakan pada bagian akhir catatan ini hanyalah sebuah saran sederhana dari seorang pembaca. Kreativitas seorang penyair tentu akan lebih kental dan lebih serius berjungkir-balik, amat menggebu-gebu yang secara hiperbola, kita sering mengatakannya dengan sebutan “berdarah-darah”. Tugas utama seorang penyair, di antaranya adalah mencatatkan kehidupan ini secara estetis yang secara personal menjadi kekhasan bagi dirinya sendiri.

***

Pagiyanten, 5 Maret 2022

*M. Essage, Pengulas sastra dan ketua Laboratorium Sastra Tegalan