Buku Cerita Yang Menggugah Human History
Oleh Ninuk Kleden-P
Fiction is history, Human History or it is nothing
(Joseph Conrad)
——
Buku Cerita
Dalam menorehkan penanya untuk SAKSI MATA yang merupakan kumpulan 16 cerpen, Seno Gumira Ajidarma (SGA) tidak dipungkiri boleh bergelar maestro sastra. Gelar lain layak disandangnya, akademisi, politisi yang mempunyai suara politik yang disenandungkan dengan caranya sendiri. Eseis atau features kalau mau, seperti tulisannya Petruk dan Nepotisme (26 April 2024).Beberapa penghargaan yang diterima, dan karya terjemahan dalam berbagai bahasa. Karya lain seperti; (teori) film dan fotografi, komik, drama, sketsa, dan pastinya masih akan datang karya lain. Jadi, terserah anda mau sebut apa dia.
Saya pertama kali mengenal Saksi Mata dari bentuk buku suara. Kalau tidak salah ingat cerpen pertama yang saya dengar ”Salazar”, dibacakan oleh Nicolas Saputra. “Aku yang menunggu Salazar di kafé tua dekat hotel murahan di Barcelona. Tapi Salazar tidak pernah datang”. Saya nikmati suara Nicolas Saputra bercerita. Tapi naskah ke dua yang saya dengar, “Salvador” dibacakan oleh Leon Agusta, tidak saya selesaikan. Kalimat pertamanya sudah membuat saya ngeri, karena “mayat Salvador diseret sepanjang jalan berdebu dengan seekor kuda”. Dua cerpen berikut “Pelajaran Sejarah” dibacakan oleh Maudy Koesnaedi dan “Kepala di Pagar da Silva” oleh Ria Irawan, betul-betul membuat mual. Terpaksa dihentikan. Ada apa dengan Saksi Mata yang bisa membuat mual itu ?
Buku suara itu harus diulang dengar, dan dengan kesadaran penuh. Lama-lama terbisa juga.
“ …. Dari lubang bekas tempat kedua matanya mengucur darah yang begitu merah bagaikan tiada warna merah yang lebih merah dari merahnya darah yang mengucur perlahan-lahan dan terus menerus dari lubang mata itu”.
Darah, pembunuhan, perkosaan, penyiksaan, telinga-telinga yang dipotong, anak-anak yang terpaksa menjadi yatim piatu, dan mereka yang kehilangan keluarga, semua ada di sana.
Kata penulisnya, yang diceritakan adalah cerita-cerita para relawan yang datang dari medan tempur di Timor Timur. Kata Salim Haji Said (2018: 208), kumpulan cerpen ini adalah karya kemarahan, perlawanan, bahkan pemberontakan SGA. Kata Saksi Mata tentang dirinya, “Peristiwa ini (Insiden Dili) mendorong penulisan sejumlah cerita berdasarkan berita tersebut” (2021: 155).
Dari semua cerpen buku suara, kecuali Maria yang konon belum disebarluaskan karena belum diisi dengan suara, pengetahuan tentang “Maria” hanya sejauh baca buku cetak yang terbit tahun 2021 (cetakan pertama 1994), dari Penerbit Pabrik Tulisan. Buku setebal 156 halaman ini dilengkapi dengan catatan penulis tentang Cerita Gambar. Gambar yang digubah Agung Kurniawan mempunyai daya pikatnya sendiri. Kalau pada mulanya gambar menerjemahkan cerita, di terbitan ini, ke 27 gambar dari 16 cerita, membentuk suatu keutuhan (131). Sangat menarik.
Cerita yang Diceritakan
Saksi Mata adalah sebuah buku cerita. Pertama, diakui oleh penulisnya bahwa yang ditulis, atau tepatnya cerita yang difiksasikannya itu adalah cerita pengalaman hidup (= Erlebnis, Dilthey, 1976:24) para relawan yang terlibat dalam Insiden Dili 1991. Sekembalinya dari medan pertempuran itu lah mereka ceritakan keadaan yang mereka lihat. Kedua, isi narasinya pun penuh dengan cerita para tokohnya.
Semisal “Telinga”, Alina minta diceritakan juru ceritanya tentang kekejaman, dan juru cerita itupun bercerita tentang telinga, yang dikirim dari seorang pacar di medan perang untuk Dewi kekasihnya. Potongan telinga dalam amplop selalu disertai dengan cerita tentang telinga yang sampai ke tangan Dewi. Dewi pun selalu menulis kembali dengan cerita keadaan telinga- telinga itu, yang bahkan akan digoreng oleh ibunya (12-17).
“Manuel” yang katanya tidak mabuk itu juga bercerita tentang dirinya yang saat berusia 5 tahun, ada di tengah suasana perang. Ibunya tewas tertembak. Adiknya yang masih bayi merangkak di antara kaki-kaki yang berlari. Tidak ada yang mendengar teriakan “Mama”, “Mama” seorang bocah yang mencari ibunya. Manuel berlari di atas tubuh-tubuh yang sudah mati. Banyak sekali mayat, dan sesekali ia terpeleset genangan darah (19 -25).
Dalam “Pelajaran Sejarah” yang dilakukan di luar kelas, di kuburan, guru Alfonso merasa kesulitan untuk menceritakan peristiwa penembakan di kuburan tempat pelajaran sejarah akan diajarkan. Pada akhirnya ia pun berkisah,
“Pada suatu hari delapan belas tahun yang lalu”….. (65)
Mungkin bisa satu lagi contoh cerita dalam buku cerita ini.
“Seruling Kesunyian”, keindahan puisinya paling saya sukai. Meskipun cukup sulit untuk dicerna. Dua Alinea pertama cukup panjang.
“Ketika kutiup seruling disenja yang sendu itu mega-mega berarak menyibak waktu dan langit yang masih keemasan terkoyak sehingga pada semesta itu kulihat bibirmuyag tipis ……” (90).
Alinea yang panjang ini tidak bertitik tidak berkoma. Untung saja Ayu Laksmi yang membacakannya cukup piawai mengatur nafas. “Seruling Kesunyian” menjadi mirip gelombang yang menghampiri daratan berpasir, merayap naik ke darat, untuk sebentar kembali bergabung dengan ombak.
“Aku meniup seruling … dan “ibu bercerita tentang penembakan dan saudara-saudaraku yang menghilang… tapi aku tidak bisa mendengarkan karena aku sedang meniup seruling“
“Seruling kutiup dengan keinginan agar semua ini segera berlalu tapi Sejarah merayap dari setiap lubang seruling …. (91)
Beberapa cuplikan di atas, yang juga tanpa tiitik koma alineanya, cukup menjelaskan bahwa Saksi Mata adalah sebuah buku cerita. Akan tetapi sebenarnya yang diceritakan bukan peristiwa (event) nya, melainkan wacana dari peristiwa itu. Bagaimana tokoh menceritakan suatu peristiwa, bisa ditambah atau dikurangi sesuai dengan kebutuhan, atensi, juga kemampuan berceritanya, yang dibalut oleh bahasa sastra.
C erita Pengalaman hidup yang bermakna
Cerita tentang “Saksi Mata” yang tak bermata, adalah cerita tentang pengalaman hidup, juga “Telinga”, demikian pula “Maria”, “Rosario”, “Listrik”, “Yunior”, dan semuanya. Dilthey (1076: 24) menyebutnya Erlebnis; yaitu makna yang ada dalam pengalaman tentang rasa sakit, kehilangan, pembunuhan, perkosaan, yang berhubungan dengan aspek mental dan emosi.
Pengalaman hidup Januario dalam “Listrik”; Ibu sering menulis surat dari Lisabon, meminta Januario untuk datang. Suatu ketika hubungan terputus. Itu lah yang membuatnya galau, dan ingin segera pergi, tapi ia tertangkap karena tuduhan mencari suaka. Selain itu teman-temannya telah tiada; Alfredo diberondong dari belakang oleh serdadu asing saat 17 tahun. Cornelio binasa terkena pecahan bom, Alfonso mati tertembak dalam usia 30 tahun, saat berdemonstrasi di muka kuburan. Dan yang paling menyakitkan, Esterlina, pacarnya, tidak bisa ditemukan. Ia ditangkap dan diminta menunjukkan tempat persembunyian Januario. Esterlina diperkosa delapan kali secara bergiliran, ditelanjangi, disundut rokok, disuruh tengkurap di lantai dan punggungnya diinjak-injak dengan sepatu tentara, ibu jari kakinya ditindis kaki meja, kemudian disetrum, diperkosa lagi dan disetrum kembali. Esterlina tidak kuat. Jenazahnya ditenggelamkan di Pelabuhan bersama mayat-mayat lain. Esterlina sendiri yang menceritakannya melalui mimpi Januario. Setelah itu Januario kembali disetrum.
Pengalaman hidup Januario yang penuh makna itu, berbeda dari pengalaman hidup Yunior. Ia dan teman-temannya yang pada waktu itu berusia 3 – 4 tahun di panti asuhan, juga bercerita pada suster Tania tentang perbedaan helikopter dan pesawat tempur, yang terbang melintas, dan pesawat pembom yang akan menyerang habis-habisan (105). Pengalaman Yunior adalah Erfahrung. Pengalaman yang memberi pengetahuan.
Seluruh cerpen dalam buku ini berisi pengalaman hidup penuh makna para tokohnya, sementara pengalaman memberi pengetahuan hanya sekedar bunga dalam cerita.
Cerita Pengalaman Hidup dan Sejarah
Penulis tampaknya mempunyai kesadaran sejarah yang cukup tinggi, dan disuratnya dalam “Pelajaran Sejarah”. Guru Alfonso membawa murid-murid kelas enamnya kepekuburan yang merupakan petilasan sejarah. Ia tidak tahu bagaimana harus menjelaskan sejarah.
“Sejarah bukan hanya catatan tanggal dan nama-nama, Florencio, Sejarah itu sering juga masih tersisa di rerumputan, terpendam dalam angin, menghempas dari balik ombak “ (62). . . . . .
“Itulah sejarah yang tidak tertulis dalam buku-buku pelajaran sejarah “ (65)
“Sejarah seperti itu”, diperoleh dengan cara bercerita. Itu lah Sejarah Lisan. Pencerita itulah saksi mata, yang menceritakan apa yang dilihatnya, atau cerita hasil obrolannya dengan sekumpulan orang yang sedang beristirahat di bawah pohon besar.
“ Sebenarnya seluruh cerita Guru Alfonso itu sudah pernah mereka dengar, bahkan sebenarnya mereka sudah hafal di luar kepala. . . . “ Tapi kini mereka mengerti, itu lah Sejarah yang tidak tertulis dalam buku-buku Pelajaran Sejarah” (65)
Nah, cerita itu diceritakan dan diceritakan kembali, entah berapa puluh kali dan entah oleh berapa generasi. Nenek yang menceritakan pada cucunya bagaimana kakek meninggal dengan tubuh terkoyak. Ibu yang menceritakan pada anaknya bagaimana ia dibesarkan di panti asuhan, atau seorang pemuda yang menceritakan tentang bapaknya yang dulu gemar memotong telinga, dan bisa dibuktikan di rumah Tante Dewi.
Generasi muda, murid Guru Alfonso, sudah pernah mendengar cerita-cerita itu, dan bahkan sudah hafal di luar kepala (65). Tentu cerita itu didasarkan pada memori, dan terbentuk menjadi memori kolektif karena diingat bersama. Menjadi cerita milik bersama.
Sejarah semacam itu atau tepatnya Sejarah Lisan, bukanlah sejarah yang ditulis dalam kurun waktu tertentu, mempunyai rujukan, dan bisa dipertanggung jawabkan secara metodologis, disebut Historical Record.
Buku cerita yang kita bicarakan ini ditulis berdasarkan memori orang-orang tentang peristiwa Dili. Tentu bukan memori peristiwa itu sendiri, karena cerita sudah diseleksi pencerita berdasarkan kebutuhan, intensi dan ada bagian-bagian yang perlu digaris bawahinya, atau justru dihilangkan. Sengaja dilupakan.
Dalam “Darah itu merah, Jendral” di bagian bawah ada catatan yang merujuk pada majalah Jakarta Jakarta (1993, no.386). Sayang nomor itu tidak bisa saya peroleh, tapi ada gantinya, wawancara dengan tokoh Fretelin, Fransisco Xavier du Amaral, yang mengatakan bahwa “Saya lihat tentara Indonesia tidak sekejam seperti yang kita duga “ (1993, no.367). Nuansa cerita Fransisco Xavier tidak muncul dalam kumpulan cerpen ini. Itu hak penulis yang karyanya merupakan goresan kemarahan, perlawanan, bahkan pemberontakan, seperti yang dikatakan Salim Haji Said. Dalam cerita Sejarah lisan, rujukan tidak penting, paling-paling pencerita akan mengatakan “tanya ibu kalau tidak percaya”. Apa yang dianggap pencerita penting, harus dipertahankan, dan ia tidak akan menceritakan bagian yang dianggap tidak penting, atau bahkan sengaja dilupakannyan karena terlalu pahit.
Filsafat Kehidupan (The Philosophy of Life)
Cerita-cerita yang diceritakan dan difiksasikan dengan balutan bahasa sastra yang bisa menggerakkan emosi, adalah cerita pengalaman hidup yang bermakna. Yang kemudian diekspresikan dengan cukup kuat dalam Saksi Mata. Pengalaman hidup bermakna yang diekspresikan ini pada gilirannya dapat bermuara dalam (filsafat) kehidupan Dilthey (1976).
Saksi Mata menjadi sebuah fiksi human history, seperti yang diharapkan oleh Joseph Conrad (1857 – 1924) novelis Polandia-Inggris ternama. Rupanya SGA berhasil membuat cerita sebagai Sejarah Kemanusiaan.
Buku sejarah seperti ini bisa tetap relevan karena dapat menyadarkan pembaca tentang situasi Dili, selain juga dapat menjadi wacana tandingan yang pada waktu itu berdampak langsung dalam realitas.
—
*Ninuk Kleden-P. Antropolog Pembaca Fiksi.