The Internet of Things (IoT): Teknologi sebagai Pembebas atau Perbudakan
Oleh Tony Doludea
Pada suatu pagi, tanggal 25 Maret, di Jalan Voznesensky, St. Petersburg. Ivan Yakovlevich, seorang tukang cukur, sedang menunggu Prascovia Osipovna, istrinya memanggang roti untuk sarapan pagi mereka. Ketika membelah roti yang baru saja keluar dari pemanggang, Ivan mendapatkan sepotong hidung manusia ada di dalam roti tersebut. Dengan gemetar ia dapat mengenali itu adalah hidung salah satu pelanggannya, Mayor Kovalyov. Istri Ivan memaksa supaya hidung itu segera disingkirkan dari rumahnya. Ivan membungkus hidung itu dan hendak membuangnya di sebuah jembatan. Namun polisi menangkapnya. Dia berusaha menyuap, tetapi polisi itu menolak dan membawa Ivan ke kantor polisi.
Sementara Kovalyov, seorang pejabat perlente, baru saja bangun dari tidurnya. Dia segera menjerit melihat di cermin, hidungnya sudah tidak ada lagi di tempatnya. Dia bergegas untuk melaporkan kasus kehilangan ini ke kantor polisi. Namun di tengah perjalanan ia melihat hidungnya itu telah menggunakan seragam pejabat tinggi negara dan berlagak seperti manusia saja. Kovalyov mengejar hidungnya itu sampai ke sebuah gereja. Di dalam gereja ia meminta supaya hidung miliknya itu kembali ke tepatnya semula. Namun hidung itu dengan tegas menolak. Bersamaan dengan itu, masuklah seorang perempuan cantik ke dalam gereja dan menghentikan perbincangan mereka. Pada saat itu hidungnya berhasil menyelinap lolos meninggalkan Kovalyov di gereja tersebut.
Cerita pendek satire Nilkolai Vasilievich Gogol (1909-1852) yang berjudul Hidung (1936) ini merupakan kritik sosial keadaan masyarakat yang berlomba-lomba dan berloba-loba mengejar status dan tingkat sosial di Rusia pada waktu itu. Gogol menggunakan hidung sebagai lambang identitas, status dan kedudukan seseorang dalam masyarakat. Kovalyov menemukan bahwa hidungnya itu telah pergi mengembangkan dirinya sendiri sedemikian rupa, hingga melampaui jabatannya. Kovalyov adalah seorang Mayor sementara batang hidungnya sendiri sudah Brigadir Jenderal.
The Nose (1836)
Perginya si hidung dapat diartikan sebagai suatu penyunatan, pengebirian dan pemandulan kesempatan bagi Kovalyov untuk mendapatkan kekuasaan dan keberhasilan. Di Rusia kata hidung, “nos” (HOC) dapat dikaitkan dengan kata penis, “khui” (хуй). Hidung adalah lambang sumber harga diri dan martabat yang tinggi, sehingga seseorang dapat melihat orang lain dengan sebelah mata. Hilangnya hidung, maka hilang juga identitas seseorang. Karena identitas seseorang sangat ditentukan oleh penampilan luarnya, maka kehilangan hidung sama dengan hancurnya penampilan luarnya.
Cerita pendek Hidung Gogol abad ke-19 itu, jika diadaptasikan ke dalam abad ke-21 ini. Seperti yang dilakukan oleh Joe Cadiff dalam film The Nose (2013). Maka hidung sebagai simbol identitas dan kekuasaan seseorang dapat digantikan dengan suatu alat teknologi tercanggih, yaitu telepon pintar. Telepon pintar sudah menjadi suatu bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan orang masa kini. Telepon pintar menyimpan segala bentuk informasi, menjadi alat komunikasi dan transaksi sehingga menjadi penentu martabat manusia. Kehidupan seseorang sangat bergantung padanya.
Menurut para ahli teknologi sejak tahun 2020, teknologi informasi digital Generasi Ke-5 (5G) sudah digunakan luas di berbagai tempat di muka bumi ini. Perusahaan telekomunikasi AT&T telah mencoba teknologi ini di 3 kota di Amerika Serikat. Sementara Verizon bahkan telah melakukannya di 11 kota. Generasi Pertama (1G) muncul tahun 1982, masih berbentuk analog. Generasi Ke-2 (2G) tahun 1991 mulai berpindah ke bentuk digital dengan menggunakan teknologi GPRS (General Packet Radio Service) dan EDGE (Enhanced Data Rates For GSM Evolution). Generasi Ke-4 (4G) tahun 2010 dengan teknologi LTE (Long Term Evolution). Sementara itu Generasi Ke-5 (5G) diterapkan pada tahun 2020. Namun produk 5G oleh Qualcomm sudah disediakan untuk publik pada penyelenggaraan Olimpiade Musim Dingin di Korea Selatan tahun 2018.
Teknologi informasi 5G dibuat untuk memungkinkan pengiriman data hingga 10 Gigabit per detik, serta latency di bawah 1 mili detik. Dengan pertukaran jumlah data yang demikan besar dan cepat, maka terbuka lebar pintu bagi terbentuknya suatu realitas yang disebut sebagai The Internet of Things (IoT). Kenyataan ini meliputi setiap benda di planet ini, bahkan manusia terhubung dalam suatu jejaring yang sangat luas. Di mana semua benda dan setiap orang merupakan simpul-simpul dalam jaringan kerja, yang dihubungkan satu dengan yang lainnya oleh microchip dalam ukuran nano, yaitu sebesar debu yang dapat ditiup angin. Manusia tidak lagi mengendalikan proses dan pertukaran informasi di antara mereka. Jaringan ini menyatukan dan menyelaraskan sehingga semua simpul-simpul itu dapat saling berinteraksi dan melengkapi. Teknologi ini akan menjadi lompatan besar dalam sejarah umat manusia, karena akan menciptakan cara berpikir dan perilaku manusia yang sangat berbeda dari manusia saat ini, tahun 2017.
The Internet of Things (IoT)
(https://opentechdiary.files.wordpress.com/2015/07/freescale_internet_of_things_overview_1.jpg)
The Internet of Things (IoT) teknologi informasi 5G dapat diterapkan dalam berbagai wilayah hidup manusia dan dunia sekitarnya: Machine to Machine Connectivity, Autonomous Cars, Virtual Reality, Automated Health Monitoring, E-Governance dan E-Agriculture.
Machine to Machine Connectivity
(http://www.fluidpowernews.com/news/iiot_blooms_with_applications_and_possibilities)
Dalam buku The Question Concerning Technology (1954), Martin Heidegger (1889-1976) menjelaskan bahwa teknologi adalah suatu ekspresi mode of being manusia. Teknologi pada dasarnya adalah penyingkapan Ada (Being). Penyingkapan ini berupa proses perkembangan teknologi yang mengungkap terjadinya radikalisasi hubungan manusia sebagai subjek yang mengetahui dengan alam sebagai objek yang dipahami oleh subjek. Radikalisasi ini adalah perubahan dari pengetahuan dan pemahaman terhadap objek, menjadi suatu bentuk penguasaan. Objek (Gegenstand) bukan lagi sebagai objek untuk diketahui atau dipahami, melainkan menjadi objek (Bestand) yang dapat ditangani, dikendalikan, dimanipulasi, dikuasai dan dimiliki.
Virtual Reality
(https://techcrunch.com/2015/09/26/designing-next-gen-virtuality-reality-gaming-experiences/)
Teknologi memiliki fungsi instrumental, yaitu sebagai alat yang digunakan oleh manusia untuk mempermudah hidupnya. Namun pada saat yang sama, Heidegger menyadarkan orang, bahwa secara aneh teknologi yang dibuat oleh manusia untuk menguasai alam itu, kini justru sulit dikendalikan, bahkan tidak dapat dikuasai atau malah menguasainya. Oleh teknologi yang diciptakannya, manusia justru ditempatkan (gestelt) dalam keadaan sedemikian rupa. Teknologi adalah Gestell (enframing atau set). Gestell adalah penyingkapan Ada masa kini. Heidegger melihat bahaya Gestell bagi manusia yang terseret ke dalamnya. Suara Heidegger ini terungkap dalam percakapan antara Morpheus dan Neo dalam film The Matrix (1999):
Neo: “What truth?”
Morpheus: “That you are a slave, Neo. Like everyone else you were born into bondage. Into a prison that you cannot taste or see or touch. A prison for your mind.”
Morpheus: “The Matrix is everywhere. It is all around us. Even now, in this very room. You can see it when you look out your window or when you turn on your television. You can feel it when you go to work… when you go to church… when you pay your taxes. It is the world that has been pulled over your eyes to blind you from the truth.”
The Matrix (1999)
(http://www.matrixeyewear.com/blog/1999-red-carpet-video-of-the-la-premier-of-the-matrix)
Manusia akan kehilangan arah dan hakikatnya. Bagi Heidegger kemudian persoalan di sini bukan menyingkirkan atau menghindari teknologi, melainkan bagaimana memandang teknologi sebagai suatu pengungkapan martabat manusia. Heidegger membawa manusia untuk melihat teknologi sebagai ketersingkapan Ada, sekaligus ketersembunyian Ada. Teknologi mengandung dampak yang berbahaya sekaligus sebuah anugerah. Teknologi membuka peluang bagi yang baik dan yang buruk terjadi. Namun bahaya akan dapat diatasi dengan memahami hakikat teknologi tersebut. Pemikiran Heidegger ini menyadarkan sekaligus membuka kemungkinan untuk keluar dari bahaya teknologi itu. Seperti sekilas sambaran kilat yang memberi sedetik cahaya terang penglihatan dalam gelap. Teknologi informasi 5G dengan The IoT-nya itu mengandung bahaya sekaligus ekspresi martabat manusia sebagai peyingkapan Ada.
Automated Health Monitoring
(https://opentechdiary.wordpress.com/tag/internet-of-things/)
Pandangan Heidegger tentang teknologi tersebut harus diletakkan dalam konteks pencarian jawaban atas pertanyaan manusia tentang Ada, di sepanjang sejarah hidupnya. Apakah Ada itu? Untuk mencari jawaban tersebut Heidegger mengajukan pertanyaan tentang Ada dengan cara baru, bukan “Apakah Ada itu?”, melainkan “Apakah makna Ada itu?” Bagi Heidegger mengajukan pertanyaan “Apa Ada itu?” sudah merupakan suatu kekeliruan. Menulis kata Ada saja sudah merupakan sebuah kesalahan. Bahasa selalu gagal untuk menjelaskan, pertama-tama bukan Ada itu sendiri, melainkan gagal menerangkan pertanyaan tentang Ada itu tadi.
Menurut Heidegger titik awal untuk dapat menjawab pertanyaan tentang Ada, hanyalah mungkin apabila dimulai dari Mengada (being) yang mempertanyakan Ada (Being) itu sendiri. Mengada yang dapat mengajukan pertanyaan tentang Ada itu adalah manusia (Dasein: Ada-di-sana). Dasein dapat mengajukan pertanyaan itu karena ia adalah pemahaman-akan-Ada (Seinsverstandnis). Sedangkan mengada-mengada (beings) lainnya bukanlah pemahaman-akan-Ada. Memahami Ada adalah dengan sendirinya adalah sifat dasar adanya Dasein.
Autonomous Cars
(https://opentechdiary.wordpress.com/tag/internet-of-things/)
Oleh sebab itu untuk menjawab pertanyaan tentang Ada itu, Heidegger mengadakan suatu analisa terhadap Dasein terlebih dahulu. Melalui analisa itu Heidegger ingin mengungkapkan struktur-struktur mendasar atau ciri-ciri hakiki Dasein. Struktur mendasar Dasein itu disebut Existenzial (eksistensial), sedang struktur menyeluruh Dasein disebut Sorge (keprihatinan). Dalam keprihatinan manusia itu kemudian terungkap kegelisahan (angst), karena menyadari dirinya telah terlempar dalam dunia, sedang berada dalam kemerosotan dan akan menuju kepada kematian.
Hakikat Ada dan hakikat manusia berkaitan erat satu sama lain. Untuk dapat tesingkap Ada membutuhkan manusia. Hakikat ada membutuhkan hakikat manusia. Manusia adalah ruang tempat Ada mengambil tempat untuk berada. Manusia adalah tempat (Statte) Ada menjelma, tempat Ada mengambil tempat. Hanya melalui perantaraan manusia, Ada yang tersirat pada berbagai mengada, dapat memberita. Dasein adalah suatu proses ketersingkapan sekaligus ketersembunyian (aletheia) Ada itu sendiri. Manusia adalah partisipan Ada, bukan penonton Ada. Maka Ada tidak dapat dibicarakan atas dasar pengamatan yang terlepas dari keberadaan manusia.
E-Governance
(https://opentechdiary.wordpress.com/tag/internet-of-things/)
Namun pada perkembangan selanjutnya, Michel Foucault (1926-1984) dalam refleksinya tentang hakikat dan sejarah ilmu pengetahuan, meramalkan “kematian manusia”. Tidak berarti bahwa nanti tidak akan ada manusia lagi. Melainkan runtuhnya konsep “manusia” sebagai suatu kategori istimewa dalam pemikiran manusia. Manusia akan kehilangan tempatnya yang sentral dalam bidang pengetahuan dan budaya. Foucault memperlihatkan suatu pergeseran pada manusia. Suatu proses decentring the subject, manusia telah tergeser sebagai pusat. Manusia bukan lagi tuan dan penguasa, bahkan atas dirinya sendiri.
Untuk itu sudah tiba saatnya orang harus bangun dari tidur antropologis. Orang harus sudah menyadari “kematian manusia”, bahwa manusia bukan lagi sumber otonom bahkan bagi tingkah lakunya sendiri. Manusia tidak lagi menjadi titik pusat. Pada manusia terdapat suatu pemikiran dari luar. Manusia sebagai subjek yang kebebasan hanya merupakan suatu ilusi belaka. Ada suatu sistem atau struktur di luar diri manusia yang mengendalikan dan menentukan subjektivitas manusia tersebut.
Sejak Protagoras (490-420 SM), manusia dipandang sebagai ukuran untuk segala-galanya yang ada (homo mensura). Hal ini dipertegas lagi oleh para filsuf Abad Pertengahan yang berusaha menggabungkan antara wahyu, iman dan rasio, bahwa manusia adalah ciptaan tertinggi Allah, dan mempunyai kehendak bebas sebagai pencipta pendamping dan penebus pendamping. Renaisans mempertegas pandangan Abad Petengahan itu melalui humanisme sekularnya, yang berusaha melepaskan kebebasan manusia dari kekangan penjara pengorganisasian wahyu dan iman gerejani, kembali ke cita-cita luhur humanisme budaya Yunani-Romawi. Cita-cita seperti itu terus diperjuangkan sampai pada puncaknya di tangan Descartes dan para filsuf Modern lainnya, hingga masa Pencerahan juga sampai pada Eksistensialisme dan Fenomenologi. Manusia adalah kesadaran murni (noesis) yang menentukan semua realitas (noema) baik di luar maupun di dalam dirinya.
Namun, secara kontras Strukturalisme justru ingin membuktikan adanya kekuatan-kekuatan impersonal tertentu yang memimpin kesadaran manusia. Bahwa di bawah permukaan tampilan luar manusia sebagai pusat realitas itu terdapat suatu struktur universal, yaitu kode-kode budaya, yang mewujud nyata dalam bentuk pengorganisasian pikiran, pengetahuan dan tingkah laku manusia. Strukturalisme berusaha mengungkap kerangka kerja dan struktur yang tidak kelihatan, yang membentuk budaya dan realitas sosial manusia. Masyarakat dan budaya dilihat sebagai keberadaan yang ditentukan oleh suatu struktur-dalam yang bersifat sosial maupun psikologis, yang berada di luar dan terlepas dari pikiran dan tindakan manusia.
Bagi para strukturalis, masyarakat dan kehidupan budaya secara ilmiah dapat dipelajari dengan memahami sistem bahasanya. Pandangan seperti ini digambarkan dengan baik dalam film Inception (2010), yang menceritakan perjuangan Dominic “Dom” Cobb (Leonardo DiCaprio), yang bekerja pada sebuah perusahaan spionase. Dengan menggunakan teknologi militer bertugas untuk masuk dan menanam gagasan tertentu dalam pikiran bawah sadar seseorang. Sementara Cobb sendiri berusaha membebaskan dirinya dari kendali bawah sadarnya berupa ingatan istrinya yang telah meninggal. Pada akhirnya, Cobb sendiri tidak memperdulikan lagi apakah dunianya itu sungguh-sungguh nyata atau tidak. Cobb memilih untuk bergembira dan bebas bermain dengan anak-anaknya di taman belakang rumahnya.
Strukturalisme mengungkap ada struktur yang lebih tinggi mengatasi tindakan sadar seorang individu, dan menentukan hubungan dan kehidupan sosial. Manusia bukanlah pelaku sadar dan tindakan sadarnya adalah produk dari struktur, wacana dan hubungan sosial di luar dirinya. Orang tidak berpikir dan berbicara menggunakan bahasa, melainkan bahasalah yang berpikir dan berbicara menggunakan manusia. Strukturalisme mengritik Heidegger sekaligus berjalan jauh lebih radikal dalam melihat persoalan Ada. Morpheus bertanya kepada Neo, “What is real? How do you define ‘real’? If you’re talking about what you can feel, what you can smell, what you can taste and see, then ‘real’ is simply electrical signals interpreted by your brain.” Mungkinkah Ada itu sesungguhnya hanya arus listrik yang ditangkap oleh panca indera dan kemudian dimaknai oleh otak manusia?
Dalam sebuah wawancara dengan TV Russia Today (RT), Slavoj Zizek menanggapi keras proyek Neuralink yang bernilai ratusan juta Dolar Amerika, yang dikerjakan oleh Elon Musk. Melalui Neuralink, Musk membangun teknologi yang menghubungkan otak manusia dengan peralatan dan mesin dunia digital. Neuralink berusaha mengatasi masalah kesehatan dan menambah kekuatan pikiran manusia dan mencegah Cyborg (Cybernetics Organism) menguasai umat manusia. Melihat perkembangan teknologi baru sedemikian rupa tersebut, Zizek kemudian menyatakan bahwa ke depan dalam waktu yang tidak lama lagi, pertentangan kelas yang terjadi adalah antara para pemakai teknologi yang tenggelam dalam dunia digital dengan mereka yang menggunakan teknologi itu dengan sadar dan cerdas. (https://www.youtube.com/watch?v=kZJSmUExU6M) Dalam pertentangan ini diharapkan terjadi proses emansipasi, yaitu proses pemulihan hubungan manusia dengan dengan dirinya sendiri dan dunianya. Emansipasi merupakan suatu proses perjuangan untuk dapat hidup bebas di luar perbudakan dunia teknologi digital.
Pandangan ini tak kurang bersifat Marxis. Karl Marx (1818-1883) menemukan bahwa pada masyarakat asali awal tidak terjadi pertentangan kelas, karena mereka masih hidup dalam suasana komunisme sejati. Semua alat-alat produksi berada di tangan masyarakat. Dalam perkembangan masyarakat selanjutnya, mereka menuntut pembagian dan pengkhususan kerja serta harta milik pribadi. Lebih jauh lagi, kemudian terjadilah pertentangan antara mereka yang menguasai alat-alat produksi sebagai harta milik pribadi dengan mereka yang tidak memiliki harta milik pribadi. Antara pemilik modal dengan para pekerja.
Pertentangan semakin keras karena para kapitalis memeras tenaga kaum buruh untuk dapat memenangkan persaingan usaha dan mendapatkan keuntungan yang lebih banyak lagi dari produksi mereka. Upah kerja yang murah dan keuntungan usaha yang semakin bertumbuk membuat jurang antara yang kaya dan yang miskin semakin lebar. Produksi semakin bertambah dan penawaran barang semakin tinggi, sementara daya beli tidak ada. Maka terjadilah krisis, masyarakat segera akan runtuh kapan saja. Oleh sebab itu, tiba saatnya bagi kaum proletar untuk segera bersatu, melakukan gerakan revolusi untuk merebut kekuasaan dari para kapitalis. Demikian proses dialektik historis pertentangan kelas menurut Marx dalam konteks negara industrialis abad ke-19 kala itu.
Pada dunia digital saat ini, seperti yang ditengarai oleh Zizek, pertentangan kelas telah bergeser menjadi pertentangan antara para budak yang dikuasai oleh teknologi digital (yang memegang kekuasaan pada tingkat tertentu) dengan mereka yang tidak dapat diperbudak oleh dunia digital (yang tersingkir oleh pemegang kekuasaan). Pertentangan ini tidak serta merta menghilangkan pertarungan antara para pemodal dengan mereka yang ditindas. Namun, pertarungan ini justru mengungkapkan kerumitan jejaring kenyataan yang ada di dalam kehidupan masyarakat saat ini. Bahwa bukan saja pemodal yang mengidap keserakahan dan kekerasan, tetapi keserakahan dan kekerasan itu merupakan jejaring, tempat persis di mana semua orang sedang hidup. Morpheus menjelaskan kepada Neo, “The Matrix is a system, Neo. That system is our enemy. But when you’re inside, you look around, what do you see? Businessmen, teachers, lawyers, carpenters. The very minds of the people we are trying to save. But until we do, these people are still a part of that system and that makes them our enemy. You have to understand, most of these people are not ready to be unplugged. And many of them are so inured, so hopelessly dependent on the system, that they will fight to protect it.”
Gagasan yang paling penting dalam pandangan Marxis adalah emansipasi. Gagasan emansipasi ini sangat akrab bagi Marx, yang lahir dan dibesarkan dalam tradisi Kitab Taurat, Zabur dan Injil. Taurat mencatat bahwa TUHAN mendengarkan rintih dan jerit bangsa Israel, ketika mereka menderita di bawah penindasan perbudakan Firaun di tanah Mesir. TUHAN kemudian memanggil dan mengutus nabi-Nya, Musa untuk membebaskan Bani Israel dari perbudakan Firaun. Nabi Musa AS memimpin bangsa Israel keluar dari negeri perbudakan Mesir dan membawa mereka masuk ke tanah perjanjian yang berlimpah susu dan madu, gemah ripah loh jinawi tata tentrem kerta raharja. Negeri yang penuh kedamaian dan keselamatan (syalom, salam). Di mana TUHAN menjadi Allah Israel dan Israel menjadi umat TUHAN.
Jika TUHAN menjadi Allah bagi suatu umat, maka keadilan dan kesetaraan akan selalu ditegakkan negeri itu. Sementara itu, menjadi abdi TUHAN adalah hak istimewa suatu bangsa, karena mereka mengalami langsung keadilan dan kesetaraan. Kebebasan manusia terletak pada pengabdiannya kepada Sang Ilahi. Abdi Allah adalah orang yang memperbudakkan dirinya di bawah kekuasaan Allah, dengan itu ia terbebas dari belenggu perbudakan keserakahan dan kekerasan. Orang yang bebas adalah dia yang mendatangkan kedamaian dan keselamatan dengan menegakkan keadilan dan kebenaran.
Abdi Allah melayani Allah dengan cara sangat sederhana sekali, sebagaimana dicatat dalam Shahih Muslim yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu. Pada hari Kiamat Allah menegur seseorang, “Wahai anak Adam. Ketika Aku sakit, mengapa engkau tidak menjenguk-Ku?” Orang itu menjawab, “Ya Robb, bagaimana aku menjenguk-Mu, sedangkan Engkau adalah Tuhan Semesta Alam?” Allah menjawab: “Tidakkah engkau tahu, sesungguhnya hamba-Ku si Fulan sakit, tetapi engkau tidak menjenguknya? Tidakkah engkau tahu, sesungguhnya ketika engkau menjenguknya engkau akan mendapati Aku di sisinya?”
“Wahai anak Adam. Ketika Aku lapar, mengapa engkau tidak memberi-Ku makan?” Orang itu menjawab: “Ya Robb, bagaimana aku memberi-Mu makan, sedangkan Engkau adalah Tuhan Semesta Alam?” Allah menjawab: “Tidakkah engkau tahu, sesungguhnya ketika hamba-Ku si Fulan lapar, tetapi engkau tidak memberinya makan? Tidakkah engkau tahu, sesungguhnya ketika engkau memberinya makan di sana juga ada Aku?”
“Wahai anak Adam. Ketika Aku haus, mengapa engkau tidak memberi-Ku minum”. Orang itu menjawab: “Ya Robb, bagaimana aku memberi-Mu minum, sedangkan Engkau adalah Tuhan Semesta Alam?” Allah menjawab: “Tidakkah engkau tahu, sesungguhnya ketika hamba-Ku meminta minum, tetapi engkau tidak memberinya minum? Tidakkah engkau tahu, ketika engkau memberinya minum di sana pun Aku ada?”
Sesungguhnya segala sesuatu yang orang lakukan kepada salah seorang dari sesamanya yang paling hina, menderita dan tertindas, dia telah melakukannya bagi Allahnya (Matius 25: 31-46). Emansipasi manusia berada tepat ketika orang menderita di bawah penindasan keserakahan dan kekerasan yang sedang merajalela. Emansipasi terjadi ketika orang memberi makan, minum, pakaian, penginapan dan melawat serta merawat mereka yang terhinakan.
Kenyataan hidup di dalam dunia digital, di mana komputer lebih mengetahui seluk beluk diri seseorang, daripada orang tersebut tahu tentang dirinya sendiri. Informasi ini tersedia secara online dan dapat diambil oleh siapapun (manusia) dan apapun (komputer/mesin). Pada satu sisi membuat manusia menjadi terasing dan sekaligus, di sisi yang lain sangat transparan, tembus pandang. Semua orang akan saling mengetahui sisi terang dan gelap berdebu dirinya masing-masing. Mimpi-mimpi dan angan-angan yang paling liar. Kesepian dan penderitaan. Monster buas dan malaikat lembut. Ilah dan iblis dalam diri masing-masing. Seluruh kerumitan kehidupan manusia.
Akibatnya, secara moral, jika manusia jauh lebih dapat memahami pikiran dan perasaan orang lain dan diri sendiri. Maka, dia akan mampu menangkap dengan jelas makna sesungguhnya menjadi seorang manusia. Orang menjadi semakin tidak berprasangka buruk. Menjadi lebih lambat marah dan cepat memaafkan. Orang lebih mencintai dan kurang membenci. Orang lebih peka dan mampu memahami rumitnya kehidupan orang lain. Semua manusia berada di dalam lingkaran empati dan berhak atas kasih sayang, kelemputan dan diterima dengan tangan terbuka.
Manusia tidak lagi secara moral berlagak dan mengupayakan diri sempurna. Sebagaimana telah dilakukan oleh Adam di taman Eden. Menyadari kesalahan dan dosanya, Adam menjadi merasa takut di hadapan TUHAN. Adam melihat ketelanjangannya, ketembuspandangan dirinya sebagai kebersalahan dan keberdosaan. Kemaksiatan dan keberdosaan itu dilimpahkan kepada kesempurnaan TUHAN, yang telah memberi Hawa sebagai pembawa malapetaka itu. Adam menyalahkan dan membenci dirinya sendiri, marah kepada sesamannya dan mengambinghitamkan TUHAN. Adam, manusia sampai saat ini tidak dapat menerima kekurangan dirinya dan sesamanya, bahkan TUHAN-nya.
Melalui transparansi dalam dunia digital ini, manusia diajak untuk meninggalkan kelaparan dan kehausannya kepada kesempurnaan. Manusia diundang untuk mulai mencintai keindahan ketidaksempurnaan dan kelemahan. Manusia selalu jauh lebih indah dalam kerapuhan, kekurangan, keganjilan dan keplin-planannya. Melaluinya orang mendapat peluang besar untuk tidak lagi mengulang-ulang terus kejadian yang sama di taman itu dulu. Orang dapat menerima dirinya sendiri apa adanya, menerima orang lain apa adanya, menerima dunia ini apa adanya dan menerima TUHAN Allahnya apa adanya. Inilah emansipasi Marxis dalam dunia digital, suatu rahmat dalam bahaya yang dikandung oleh teknologi digital.
___________
Kepustakaan
- Elster, Jon (Ed.). Karl Marx: A Reader. Cambridge University Press, Cambridge, 1999.
- Glendinning, Simon (Ed). The Edinburgh Encyclopedia of Continetal Philosophy. Edinburgh University Press, Edinburgh, 1999.
- Gogol, Nikolai Vasilevich. The Nose. Crow Press, New York City, 2015.
- Guignon, Charles B (Ed.). The Cambridge Companion to Heidegger. Cambridge University Press, Cambridge, 1999.
- Gutting, Gary (Ed.). The Cambridge Companion to Foucault. Cambridge University Press, Cambridge, 2005.
- Heidegger, Martin. The Question Concerning Technology, and Other Essays. HarperCollins, New York, 1982.
- Irwin, William (Ed.). The Matrix and Philosophy: Welcome to the Desert of the Real. Open Court Publishing Company, Chicago, Illinois, 2002.
- Irwin, William (Ed.). More Matrix and Philosophy: Revolutions and Reloaded Decoded. Open Court Publishing Company, Chicago, lllinois, 2005.
- Osseiran, Afif., Monserrat, Jose F., Marsch, Patrick (Edts). 5G Mobile and Wireless Communications Technology. Cambridge University Press, Cambridge, 2016.
- Seidman, Steven. Contested Knowledge: Social Theory in the Postmodern Era. Blackwell, Oxford, 1998.
- Shihab, M. Quraish (Ptj.). 40 Hadits Qudsi Pilihan. Penerbit Lentera Hati, Tangerang, 2010
- Taylor, Diana (Ed.). Michel Foucault: Key Concepts. Routledge, London, 2014.
*Penulis adalah Peneliti di Abdurrahman Wahid Center for Peace and Humanities Universitas Indonesia.