Sunan Gresik dalam Cerita-Gambar: Konstruksi sebuah Mitos

Oleh Seno Gumira Ajidarma *

Diterjemahkan dari “Sunan Gresik in Picture-Story: The Construction of a Myth”, Review of International Geographical Education. ISSN: 2146-0353 ● © Rigeo ● 11(8), Spring, 2021. www.rigeo.org. Diajukan secara daring sebagai “The Islamic Myth as a Case” dalam subtema ‘English Studies Across Societies: Issues and Chalenges’, The 3rd Iconics Adab-International Conference on Information and Cultural Sciences: Redefining Islamic Civilization: Perspectives Across Disciplines and Societies, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 28 Oktober 2021. Akan dimuat dalam Dari Spider-Man sampai Kian Santang: Komik dalam Kajian Budaya (2025).

Abstrak

Dalam media cerita-gambar, dengan fakta sejarah terbatas, mitos Malik Ibrahim sebagai Sunan Gresik digubah dalam suatu cara yang akan mengungkap situasi kebudayaan Islam di Jawa. Didukung faktor historis  seperti gejolak politik Majapahit, terbentuknya Gresik sebagai kota pelabuhan penting, dan tradisi ziarah kontemporer yang berasal dari kepercayaan kuna, cerita-gambar tersebut menghadirkan kembali pergulatan berbagai ideologi: sementara kepercayaan kuna hanya bisa hidup di dalam dominasi Islam, keberadaan Islam di Jawa hanya dapat menjadi dominan dalam cara pra-Islam. Dua kubu ini menjadi banyak, karena dalam realpolitik, gelombang “pemurnian” Islam mengambil peluang dari situasi tersebut.

Kata kunci: mitos, konotasi, negosiasi, perjuangan ideologis


Mitos dalam Cerita-Gambar: Latar Belakang

             Dalam kisah-kisah Wali Sanga, tokoh Sunan Gresik selalu disebutkan sebagai yang pertama atau tertua, sekadar berdasarkan fakta terdapatnya makam tua di Gerbang Wetan, Gresik, atas nama Malik Ibrahim, bertanggal 822 Hijriah atau tahun 1419 Masehi. Sebenarnya tidak ada satu pun bukti sejarah, bahwa Malik Ibrahim yang dimakamkan di situ benar-benar salah satu dari Sembilan Wali legendaris yang dianggap berjasa menyebarkan ajaran Islam ke seluruh pulau Jawa. 

               Penelitian ilmiah sejauh tahun 1913, walaupun tidak terfokus pada Malik Ibrahim, melainkan pada sifat penulisan sejarah Jawa, menyimpulkan bahwa kisah Malik Ibrahim dipaksakan untuk terhubung dengan perintisan Islamisasi Jawa (Djajadiningrat, 1985 : 278).

               Pernyataan lain, dari suatu penelitian tentang makam-makam tua Islam di Tralaya, Jawa Timur: penyebutan Malik Ibrahim sebagai tokoh utama dakwah Islam di Jawa patut diragukan, karena di Jawa Timur penyebaran Islam berlangsung jauh lebih awal. Mungkin saja Malik Ibrahim cukup kharismatik untuk mengajak masyarakat masuk Islam, tetapi pada nisan yang masih sangat bagus kondisinya, dengan aksara Arab hanya tertulis “Malik ‘Ibrāhim” tanpa menyebut asal usulnya.

               Dalam legenda Malik Ibrahim disebut juga Mawlāna Maghribi atau ‘guru dari Barat’. Boleh jadi dia orang asing, dan faktanya nisan tempat tertulisnya prasasti itu adalah marmer dari luar negeri (Damais, 1995: 173, 231, 298). Namun, tidak ada sumber penelitian apapun yang menempatkan Malik Ibrahim dalam sejarah representatif Walisanga.

             Tentang Walisanga itu sendiri, meski menurut legenda mereka mengadakan pertemuan rutin, disimpulkan betapa hal itu tidak mungkin benar-benar terjadi, karena antara Sunan Ngampel Denta dan Sunan Kudus yang sama-sama historis, jarak waktu masa hidupnya jauh, mencakup beberapa generasi, dari pertengahan abad ke-15 hingga dekade pertama abad ke-16 (De Graaf dan Pigeaud, 1985: 55).

           Secara ringkas, meski Walisanga dikenal orang Jawa sampai sekarang, dengan fakta bahwa makam-makam mereka terus menghasilkan uang dari arus ziarah tiada henti, tidaklah menjadi masalah jika pertanyaan tentang sejarah tidak pernah mendapat jawaban ilmiah memuaskan. 

           Sebaliknya, cerita-cerita yang lebih dapat diterima sebagai dongeng tentang Walisanga, tampak seperti menggantikan sejarah dengan baik. Cerita-cerita ini, kemungkinan dimulai sebagai susastra lisan, sejak abad ke-20 dapat ditemukan dalam bentuk buku cerita, buku cerita-gambar, maupun gambar-hidup.

           Di antara berbagai media tersebut, buku cerita-gambar dipilih oleh penyurvai, bukan hanya sebagai media yang paling sedikit disurvai, tetapi karena korpus material cerita-gambar inilah yang beredar di makam-makam Walisanga dengan label lisan sebagai “sejarah”.

Dua cerita-gambar bersambung dari Walisanga “pertama”.

                 Dalam survai singkat ini, mitos Malik Ibrahim sebagai Sunan Gresik akan diperiksa dari cerita-gambar atau komik gubahan B. Affandy (gambar) dan M. B. Rahimsyah (tulisan) berjudul Syeih Maulana Malik Ibrahim (episode pertama) dan Sunan Gresik (episode kedua). Spesifikasi kedua judul ini adalah fakta berlangsungnya distribusi reguler komik-komik tersebut di makam-makam Walisanga, yang tersosialisasi sebagai sejarah. Tidak ada tanggal dalam kredit produksi, kecuali kredit penerbitnya, CV Karunia Surabaya. Dengan suatu cara, ini masih bisa dianggap sebagai bagian dari tradisi ziarah di Jawa hari ini.

Mitos sebagai Kasus

              Dengan latar belakang semacam itu, survai penjajagan ini akan menengok (1) bagaimana konstruksi tekstual sebuah mitos terjadi, dan dengan begitu sekaligus pula, (2) bagaimana mitos tersebut secara tidak langsung menggambarkan sejarah, dan (3) wacana situasi sosio-politik yang menyusun reproduksi mitos tersebut saat ini. 

             Dalam kasus ini, data terbatas Malik Ibrahim membuka jalan bagi pembentukan naratif, untuk melakukan akomodasi politik identitas bagi kepentingan dakwah Islam. Naratif di luar data akan diperiksa dalam konteks konstruksi mitos.

Mitos dalam Kata dan Gambar: Konsep

  1. Mitos dalam Semiotik: Dari Konotasi ke Makna.

            Cultural Studies memanfaatkan jasa semiotik, konsep Barthes tepatnya, yang berbeda dengan konsep mitos klasikal sebagai naratif referensial dalam kebudayaan, konsep mitosnya merujuk kepada peng-alamiah-an (naturalisasi) makna konotatif, yang berfungsi seperti bekerjanya gagasan ideologis. 

           Mitos membuat pandangan dunia tertentu seperti tidak tergugat karena disifatkan alami atau bahkan kodrati. Mitos digubah dalam rangka memberi pembenaran abadi pada kontingensi historis.

          Sebagai konotasi (kontraskan dengan makna “sebenarnya” pada denotasi), makna adalah produk hubungan dengan penanda dari wacana budaya yang lebih luas, seperti keyakinan, sikap, kerangka kerja, dan ideologi suatu formasi sosial. Makna menjadi masalah asosiasi tanda dengan kode dari makna budaya lainnya.

          Makna berkembang dari tanda terberi sampai tanda tunggal yang dibebani beragam makna. Konotasi ini membawa nilai ekspresif yang muncul dari kekuatan kumulatif suatu urutan (secara sintagmatik) atau, lebih umum, melalui perbandingan dengan alternatif yang tidak ada (secara paradigmatik). 

          Saat konotasi menjadi hegemonik, diterima sebagai ‘normal’ dan ‘alami’, maknanya akan berlaku sebagai peta konseptual untuk memahami dunia. Itulah mitos, sistem semiologis tingkat kedua atau metabahasa yang berbicara tentang bahasa tingkat pertama. 

          Tanda dari sistem pertama (penanda dan petanda) yang menghasilkan makna denotatif menjadi penanda untuk makna mitologis konotatif tingkat kedua (Barker, 2004: 129-30). Inilah yang membuat mitos perlu dibongkar, untuk memergoki keberadaan normalitas dan naturalisasinya, yang bukan saja semu, melainkan juga mengelabui. 

  1. Kata dan Gambar dalam Cerita-Gambar

            Cerita-gambar secara sistematis memadukan kata-kata dan gambar. Elemen-elemen kode representasional yang digunakan cerita-gambar—termasuk gambar dan teks, dan juga idiom khusus seperti balon kata-kata dan balon renungan, garis-garis gerak (zip ribbons), bahkan bingkai panel yang mengelilingi adegan atau segmen narasi—dapat dimanipulasi dengan sangat canggih (Varnum & Gibbons, 2001: ix-x).

            Cerita-gambar adalah situs tempat kata-kata dan gambar bersilangan. Proses semiotik yang kompleks terwujud dalam halaman cerita-gambar. Gambar dapat menjadi ilustrasi bagi teks yang dalam dirinya sendiri sebagian besar sudah lengkap. Atau, sebagai alternatif, kata-kata dapat menjadi jalur suara untuk rangkaian yang disusun secara visual. 

            Kata-kata dan gambar dapat saling melakukan replikasi. Kata-kata dapat memperjelas atau memperkuat gambar, dan sebaliknya. Kata-kata dapat berfungsi sebagai elemen dalam gambar. Kata-kata dan gambar dapat beroperasi pada alur yang terpisah dan paralel, masing-masing menyampaikan pesan yang independen. Kata-kata dan gambar dapat bekerja sama untuk menyampaikan ide yang tidak dapat disampaikan oleh keduanya secara sendiri-sendiri (McCloud, 1993: 153-5).

            Kata-kata dan gambar juga dapat berdiri dalam pertentangan ironis bagi satu sama lain. Gambar dapat memungkiri kata-kata. Gambar menyediakan konteks untuk kata-kata. Gambar juga menyediakan subteks (makna lain dalam pesan tersembunyi), sehingga memperumit pesan verbal. Gambar dapat menunjukkan apa yang tidak dikatakan narator atau sejumlah karakter. Bahkan dalam kasus-kasus tempat gambar disebut “hanya” menjadi ilustrasi suatu teks, gambar selalu memberi lapisan makna dan membentuk cara pembaca menanggapi. Sebaliknya, kata-kata dapat membentuk cara kita memandang gambar.

           Ada sinergi antara kata-kata dan gambar dalam cerita-gambar, sehingga efek paduannya lebih besar atau berbeda dari apa yang mungkin telah diprediksi (Varnum & Gibbons, op.cit., xiv).

Mitos dalam Bayangan Fakta Historis: Pendekatan 

         Sebelum melakukan penyidikan terhadap naratifnya, penyurvai akan (1) memperkenalkan beberapa fakta sejarah yang terhubungkan sebagai latar belakang tema dan alur sebagai perbandingan untuk mengkaji teks. Baru setelah itu, (2) penyidikan dilakukan dengan membaca teks untuk mencari wacana, apakah ada konstitusi mitos, dan pada saat bersamaan memberi kesempatan kepada pembaca untuk bersikap kritis terhadap naratif. Perbandingan tersebut akan (3) dievaluasi dengan perangkat konseptual mitos dan cerita-gambar yang telah disebutkan di atas, hingga tiba pada (4) kesimpulan atas maknanya, karena buku cerita-gambar dengan mitos di dalamnya itu sendiri merupakan fakta sejarah kontemporer.

Sejumlah Faktor sebagai Latar Belakang Naratif 

  1. Gresik dalam Sejarah. 

            Pada abad ke-15, saat yang tertulis pada batu nisan Malik Ibrahim, Gresik sudah disebut-sebut sebagai salah satu pusat perdagangan di Asia Tenggara, ketika pada bulan Oktober angin timur membuat kapal-kapal dari Maluku dapat berlayar ke Makassar, Gresik, Demak, Banten, Melaka, dan kota-kota lain di bagian barat Nusantara. Pelayaran ke bagian timur terjadi pada bulan Juni sampai Agustus dengan angin barat, sehingga kapal-kapal dari Nusantara dapat berlayar ke Ayutthaya, Campa, Tiongkok, dan kerajaan-kerajaan di bagian utara, sampai angin berubah arah lagi ke arah sebaliknya pada bulan September sampai Desember. Arah angin seperti ini membuat pelabuhan-pelabuhan Nusantara penting sebagai tujuan dari kapal-kapal dari seluruh dunia (Djaenuderadjat, 2013: 49-50), mungkin salah satu kapal yang membawa Malik Ibrahim akhirnya singgah di Gresik. Fakta alam ini juga mendukung temuan sejarah, bahwa terdapat poros Campa-Jawa Timur dengan Gresik sebagai kota pelabuhan pada abad ke-14-16 (Lombard dalam EFEO, 1981: 289).

             Sumber-sumber Tiongkok menyebutkan Gresik berdiri pada abad ke-14 dengan para pelaut dan pedagang dari Tiongkok sebagai pendatang pertama. Padahal pada tahun 1387 kota pelabuhan ini sudah tercatat sebagai bagian dari Kerajaan Majapahit. Pada tahun 1411 seorang penguasa keturunan Cina di Gresik mengirim utusan dengan membawa surat dan upeti ke istana kaisar di Tiongkok daratan (De Graaf & Pigeaud, op.cit., 174). Pada abad ke-15 dan ke-16, Gresik kemudian tidak hanya muncul sebagai salah satu pusat perdagangan, tetapi juga menjadi tempat industri budaya berupa ekspor gong ritual Jawa buatan Gresik, sebagaimana juga terjadi di Kamboja dan Tonkin (Reid, 1992: 136).

             Masalah-masalah Islam diawali abad ke-10, seperti terbukti dari teks-teks berbahasa Arab yang menjadi saksi hubungan Campa dengan beberapa tempat di Nusantara (Lombard, op,cit.,: 287-8), dan tokoh Putri Cempa atau Ratu Cempa selalu disebut dalam legenda Walisanga sebagai bagian dari penyebaran Islam di Jawa. Kesamaan sistem penanggalan, legenda, dan beberapa candi di Campa dan Jawa juga menjadi bukti yang lebih kuat tentang hubungan dekat tersebut (Cabaton dalam EFEO, 1981: 249).

             Pendudukan Campa oleh Annam pada tahun 1471 mengakibatkan gelombang eksodus, sebagaimana dideteksi oleh Hikayat Hasanuddin dan Sejarah Melayu (ibid., 290). Kaum Muslim dari Campa melihat Gresik sebagai salah satu tempat pelarian yang aman, mengingat hubungan utara-selatan melalui lautan telah berlangsung lama. 

             Sementara kisah tentang bagaimana Raden Rahmat menjadi Sunan Ngampel Denta pada pertengahan abad ke-15 berkaitan erat dengan sejarah Campa (ibid., 289; De Graaf & Pigeaud, op.cit., 19-24), tanggal 1419 pada batu nisan Malik Ibrahim membuatnya masuk akal sebagai bukti bahwa komunitas Muslim sudah ada di Gresik, dan pengangkatan Malik Ibrahim sebagai Sunan Gresik, anggota Walisanga tertua dan pertama tampak logis.

             Setelah 586 tahun, seperti dicatat oleh seorang peneliti, nisan Malik Ibrahim dikunjungi oleh 1.556.651 pengunjung pada tahun 2005, naik dari 128.905 pada tahun 1988, sebagai peningkatan yang lebih dari 10 kali lipat (Armstrong dalam Quinn, 2019: 385). Wisata ziarah telah menarik perhatian pemerintah dan bagi pemerintah daerah dapat menjadi sumber pendapatan. Pemerintah daerah Gresik telah menggelontorkan uang untuk merayakan hari lahir Malik Ibrahim (sic!). Gebyar Maulid mengangkat seni Islam tradisional Gresik—terutama permainan  yang dikenal sebagai beduk tètèr—dan mendorong penjualan barang-barang lokal (Quinn, ibid., 390).

  1. Ziarah Kubur di Jawa.

           Ziarah ke makam-makam di Jawa bukan merupakan ajaran Islam, melainkan sudah ada sejak jaman pra-Islam—sebenarnya sistem kepercayaan lokal sebelum agama besar seperti Śaiva dan Buddha masuk ke Jawa—tempat orang-orang melakukan pemujaan di tempat-tempat keramat seperti pohon-pohon besar, batu-batu besar, tempat-tempat menyeramkan atau kuburan-kuburan di atas bukit dari orang-orang—baik yang historis maupun fiktif—yang diyakini memiliki kekuatan luar biasa atau supranatural.

           Tradisi ini tidak dapat dihapuskan dari muka bumi Jawa, tetapi terhadapnya berlangsung negosiasi dan asimilasi, sehingga saat ini masih menjadi praktik yang menuruti kalender Islam—ada pula yang dibaurkan dengan kalender Jawa, sebagai aksi representasi dari sebuah tradisi masyarakat yang merasa terkekang untuk memeluk Islam, tetapi tidak dapat secara terbuka menentangnya. Ini membuat penampakannya seperti praktik peribadatan Islam, seperti penggunaan doa berbahasa Arab, padahal bukan ayat suci maupun doa Islam itu sendiri.

           Latar belakang sejarah dalam konteks Walisanga, dan banyak orang suci lainnya di seluruh Jawa, adalah fakta bahwa kota-kota pelabuhan di sepanjang pantai utara Jawa yang menjadi bagian dari kerajaan Islam seperti Demak pada awal abad ke-16, menemui tantangan politik dan budaya yang kuat dari Majapahit di pedalaman, yang di istananya terdapat pendeta-pendeta Śaiva-Buddha. Sementara pada akhirnya Majapahit dikalahkan oleh ekspedisi militer dari pesisir itu, hanyalah untuk dikuasai kembali oleh masyarakat agraris beberapa dekade setelah munculnya kerajaan Mataram.

           Setelah itu, meski Islam menjadi agama resmi, sebetulnya hidup berdampingan dengan lingkungan budaya tempat kepercayaan lama masih kuat mengakar. Islamisasi daerah pedalaman agraris berlangsung sangat lamban, dan harus berkompromi dengan kepercayaan lama, bahkan pra-Śaiva-Buddha, yang kelak untuk sebagian atau keseluruhan, akan disebut-sebut sebagai kejawen (“kejawaan hakiki”). Inilah yang memberi identitas Islam Jawa.

           Dalam situasi kontemporer, gelombang terbaru “pemurnian” Islam dari kaum modernis atau reformis yang menganggap ziarah kubur tanpa kecuali sebagai tabu, masih harus berhadapan dengan ulama tradisionalis yang membolehkan ziarah kepada para wali “otentik” seperti Sunan Kudus, dan Sunan Ampel. Bagi para ulama ortodoks-tradisionalis ini pun, pemujaan terhadap terlalu banyak wali fiksional juga dianggap tabu (Chambert-Loir & Guillot, 2007: 333-60).

Sheih Maulana Malik Ibrahim dan Sunan Gresik:  Alur Mitos 

Sheih Maulana Malik Ibrahim (Episode Kesatu)

            Setelah Gajah Mada mangkat pada tahun 1364, Majapahit dilanda kekacauan setelah banyak kerajaan kecil memisahkan diri. Pada tahun 1389 Raja Hayam Wuruk mangkat juga, dan kekacauan terus berlanjut pada masa pemerintahan Diah Kusuma Wardani Tribuana Tungga Dewi, setelah adik tiri Wuruk, Bhre Wirabumi dari Blambangan, merasa bahwa ia sebagai laki-laki adalah pewaris tahta yang sah. Perang saudara berlangsung selama lima tahun dan membuat rakyat menderita sementara bencana alam terjadi di mana-mana.

            Saat cerita berlangsung, di Loron atau Leran, tinggal Malik Ibrahim, seorang pedagang baik hati yang gemar menolong, sebagai putra Syeih Jamaluddin Hussein, keturunan ke-20 dari Fatimah Azzarah, putri Nabi. Malik Ibrahim-lah yang mendirikan pesantren Islam pertama, dan mengajarkannya ketika agama Islam belum dikenal khalayak. Doktrin egaliter membuat Islam populer dibandingkan dengan sistem kasta Hindu yang diterapkan—sebagian yang masih setia pada Hindu kemudian pindah ke Pulau Bali dan Pegunungan Tengger.

            Suatu hari Malik Ibrahim dan murid-muridnya pergi ke desa terdekat, dan melihat bagaimana penduduknya menderita kelaparan karena perang saudara dan bencana alam. Selain membantu mereka dengan makanan, Malik Ibrahim menunjukkan kepada mereka bagaimana berperilaku sebagai seorang Muslim yang baik dan memperkenalkan beberapa konsep Islam, sehingga penduduk tertarik dengan ajarannya.

Sunan Gresik (Episode Kedua): 

Malik Ibrahim dan murid-muridnya melanjutkan perjalanan mereka dan tiba di desa yang lebih baik dengan satu keluarga kaya. Mereka melihat bagaimana orang kaya itu memperlakukan orang miskin yang meminta beras, ketika dia menjawab tidak punya apa-apa kecuali pasir. Maka Malik Ibrahim pun menunjukkan kemampuannya. Beras orang kaya itu berubah menjadi pasir, dan hanya setelah orang kaya itu berjanji untuk membantu orang miskin dengan berasnya, pasir itu berubah menjadi beras lagi. Kemudian orang kaya itu masuk Islam.

              Perhentian berikutnya adalah sebuah desa tempat orang-orang melakukan sembahyang kepada dewa langit untuk meminta hujan, dengan membawa seorang perempuan untuk dikorbankan. Malik Ibrahim dan murid-muridnya tiba di tempat ritual dengan kecepatan ajaib, tepat pada saat dukun mengayunkan pedangnya ke perempuan itu. Dia mengubah pedang menjadi ular, mengubahnya kembali menjadi pedang, dan setelah itu memohon hujan sendiri kepada Allah. Namun, tentang kekeringan, Malik Ibrahim memberikan khotbah, bahwa itu disebabkan oleh diri mereka sendiri yang tidak peduli dengan ekosistem.

               Sebagai hasil dari tindakannya, seluruh penduduk desa masuk Islam, salah seorang muridnya tetap tinggal untuk mengajar mereka, dan Malik Ibrahim kembali ke Loron. Sampai tahun 1419 M, yang tertulis dalam kalender Islam sebagai tahun 822 Hijriah di batu nisannya, disebutkan bahwa ia mengabdikan seluruh hidup dan hartanya untuk Islam.

Fisikalitas Korpus.

Kedua buku cerita-gambar ini masing-masing lebar dan panjangnya 14,5 x 21,5 cm, tebal 32 halaman, sehingga kelengkapan alur dikisahkan dalam 64 halaman. Kecuali splash (halaman pertama atau halaman judul), setiap halaman berisi dua panil, yang berarti juga 114 panil. Setiap panel berisi satu unit gagasan, yang dapat diperiksa sebagai bagian dari dua panil dalam satu halaman dan empat panel dalam bentangan dua halaman. Dengan demikian, setiap panil dan semua elemen yang ada di dalamnya, menjadi bagian dari totalitas 114 panil ditambah 2 halaman splash.

Tekstualitas Korpus: Konstruksi Mitos

  1. Permainan Sampul

Di latar belakang langit merah dan gunung hitam, mungkin simbol kekacauan, ada Malik Ibrahim yang mengangkat tangan kanannya sebagai kode untuk menyampaikan kabar baik tentang agama baru, melewati kepercayaan lama yang diwakili oleh busana berbeda. Tongkat di tangan kirinya bukanlah tongkat untuk orang tua, tetapi simbol legitimasi sebagai orang suci Islam atau wali. Warna hijau dari pakaian dan serban jelas dimaksudkan sebagai warna Islam. Kumis putih kontras dengan janggut hitam, tidak hanya untuk menunjuk usia, tetapi kontras antara kepercayaan lama yang melemah dengan agama baru yang kuat.

  1. Wajah dan Serban

Pada halaman pertama, pembaca akan melihat wajah yang dimaksudkan sebagai wajah Malik Ibrahim. Mengapa wajah seperti ini? Mungkin karena dianggap sebagai orang asing, mendarat di Gresik dari salah satu kapal yang datang dari Gujarat, Calicut, Bengalen, Thailand, Tiongkok, dan Liu-Kiu (De Graaf & Pigeaud, op.cit., 174) – jadi jelas bukan dari tiga kapal terakhir, dan serban dapat diartikan sebagai busana Muslim.

Rijksmuseum Leiden / 4195/35

Kemungkinan wajah India dari terakota Majapahit

Rijksmuseum Leiden-4195/25 – Museum Nasional Jakarta-8656A – 6703

Tiga orang Muslim mengenakan serban pada terakota Majapahit 

Sosok sembilan siluet dapat diartikan sebagai Sembilan Orang Suci (Walisanga), sedangkan gunung sebagai tempat suci berkaitan dengan kepercayaan Śaiva Siddhanta, arus utama Hindu dari India Selatan yang tersebar di Jawa (Acri, 2021: ix), dan disebut meru (gunung), serta pohon besar sebagai representasi kepercayaan kuno. Perbandingan dengan terakota dari Majapahit, menunjukkan bahwa cara penggambaran wajah Malik Ibrahim dalam cerita-gambar ini bukan tanpa alasan.

  1. Kostum, Ikonografi

Masyarakat di istana Majapahit, dengan kode-kode melalui penanda pada aksesori, gaya rambut, dan busana yang mereka kenakan, sayangnya tidak mendapat padan pembanding dari kekayaan temuan keramik di Trowulan, bekas ibu kota, kecuali untuk sosok perempuan bangsawan. Pengamatan lebih lanjut terhadap pilar, gapura, rumah, tirai, dinding, dupa, porselen, tanaman, anting, dan lain-lain, dapat berfungsi untuk mengungkap jarak antara mitos dan representasi terakota historis dari objek yang sama.

                                 Soedarmadji Collection/AD 0044 – Rijksmuseum-4195/18

Perempuan istana di singgasana dan yang bermahkota 

Rijksmuseum Leiden – 4195/9

    Dua puteri istana.

  1. Konflik Mereka, Konflik yang Lain 

Orang bijak di istana dihadirkan sebagai orang yang tidak adil, dan konflik antarbangsawan Majapahit, dilihat dari tata cara berpakaian, merupakan konflik antar umat Śaiva Siddhanta.

  1. Para Bangsawan Majapahit 

Kebekuan panel-panel mengingatkan kepada relief di candi-candi. Naratif dengan sabar menuturkan latar belakang sejarah yang akan membawa relevansi peran Malik Ibrahim—jika ia meninggal pada tahun 1419, hal ini terjadi sebelum kematian Bhre Wirabumi, dan Wikramawardhana menjadi raja pada tahun 1389. 

Bandingkan bangunan-bangunan tersebut dengan temuan terakota, tampaknya tidak akan setinggi itu—tetapi orang bijak tua itu tampak cukup mirip.

Princessehof Museum Leeuwarden-27 GMP 1981/88 – Soedarmadji/AD 0063 – Museum Nasional Jakarta / 8653

 Sejumlah besar pertapa tercatat oleh Tome Pirés dari Portugis pada abad ke-16; orang yang religius; pendeta dengan topi.

  1. Rakyat Menderita di Majapahit

Kisahnya terjadi pada masa parēgrēg atau konflik antarbangsawan Majapahit, yang dimulai pada tahun 1401 setelah wafatnya Hayam Wuruk pada tahun 1389, belum berakhir setelah Bhre Wirabumi meninggal, dan baru padam pada akhir masa pemerintahan Suhita tahun 1447–sekitar 46 tahun. Lebih dari cukup untuk melemahkan Majapahit, sementara kerajaan-kerajaan kecil di pesisir utara Jawa sangat dipengaruhi oleh penyebaran Islam. Kelaparan yang berpadu dengan wabah penyakit tergambar pada panil terakhir menggambarkan hancurnya harapan. Bandingkan penggambaran orang-orang biasa, oleh para seniman keramik Majapahit sendiri.

Soedarmadji / AD 0051- Museum Keramik Jakarta / M 26 – BPG Trowulan 46/TR/SGR/24/BPG

Kemungkinan petani, perempuan bersanggul, orang biasa


BPG Trowulan /SEI Soemantri File – 47/TR/TRW/24/BPG NR.262 – Rijksmuseum Leiden 4195/16

Pelayan, Pria, Pria rambut keriting dengan bunga di telinga

  1. Kontradiksi di Dalam Mitos

Kata dan gambar menunjukkan kontras antara Majapahit sebagai kerajaan Hindu di tengah kekacauan politik dan   bencana iklim kering, di samping Loron, desa Islam yang damai dan subur.

  1. Dalam Ruangnya Sendiri. 

Kini dengan gestur karismatik yang tetap-menetap, Malik Ibrahim mengambil alih ruang dalam cerita-gambar.

  1. Fungsi Busana

Pohon kelapa mengingatkan kepada pantai tempat kapal-kapal asing yang membawa pedagang Muslim berlabuh pada abad ke-15, tetapi pesantren di Jawa baru kemudian menjadi fenomena abad ke-16 (Dhofier, 1983: 34). Busana berfungsi sebagai cara membedakan Muslim dan pemeluk agama sebelumnya.

  1. Peluang dari Masalah Kasta 

Masalah sistem kasta, dalam cerita ini, adalah prestise sosial yang hanya terdapat pada mereka yang berada di kelas atas, sehingga mereka yang berada di kelas-kelas terbawahkan dengan mudah berpindah menjadi Islam, karena kedudukan sosial yang dalam agama disetarakan.

  1. Eksodus ke Bali

Terjadi eksodus orang Majapahit ke Bali dan Tengger, dan akan dikisahkan dalam alur selanjutnya bahwa Bhre Kertabhumi, atau Brawijaya dalam legenda, lari ke Bali setelah Majapahit dikalahkan oleh kerajaan Demak—di sana sudah ada masyarakat Majapahit.

Dalam penelitian sejarah, yang terjadi adalah Kertabhumi dikalahkan dan dibunuh di istana saat diserang oleh Girindrawardhana pada tahun 1478, Majapahit di bawah raja inilah yang dikalahkan oleh Pati Unus dari Demak pada tahun 1519. Sementara dalam cerita-gambar itu terjadi pada masa parēgrēg, setelah Wirabhumi dipenggal pada tahun 1406, pada masa pemerintahan Wikramawardhana pada tahun 1389-1429 (Djafar, 2009: 64, 69, 149).

Terdapat kontras dalam cara penggambaran orang bijak Śaiva Siddhanta tua dibandingkan dengan guru muda Muslim.

  1. Meringankan Penderitaan.

Melanjutkan mitos yang baik. Konsep Islam tentang kematian diperkenalkan kepada pemeluk keyakinan lama, yang menderita karena penyakit endemik.

  1. Menyalahkan yang Kalah.

Perang antarbangsawan Majapahit menyebabkan bencana di desa, setelah sisa prajurit Blambangan menjadi perampok. Narator berpihak.

  1. Emas dan Sembako

Malik Ibrahim membantu mereka dengan uang emas, memperbaiki rumah mereka, meminta murid-muridnya untuk mengambil barang-barang dari persediaan mereka di Loron, dan memberikannya kepada rakyat yang menderita tanpa peduli perbedaan agama, seolah-olah bisa dikerjakan dalam waktu singkat.

  1. Politik Pengobatan

Malik Ibrahim tidak hanya cukup kaya untuk membantu mereka dengan sekarung sembako, tetapi juga secara ajaib menyembuhkan orang yang sakitnya kritis. Namun juga tertulis bahwa dengan izin Allah, penyembuhannya dalam proses selangkah demi selangkah sehingga yang semula ajaib, lebih bisa dipertanggungjawabkan.

  1. Strategi

Penyembuhan itu membawa Malik Ibrahim dan murid-muridnya lebih dekat ke saat yang tepat untuk memperkenalkan konsep Allah—tetapi konsep ekologi adalah pengetahuan modern.

  1. Strategi Lain

Penalaran dalam ekosistem tersebut bertentangan dengan kepercayaan animisme lama, yang tidak tampak seperti ajaran Śaiva Siddhanta. Ditulis pula bahwa daya tarik pribadi Malik Ibrahim sebagai seorang Muslim membuat mereka secara tidak sadar sedikit demi sedikit mempelajari Islam sebagai agama.

  1. Contoh Dahulu, Baru Ajaran 

Strategi seperti ini, juga tertulis di akhir episode kesatu, bahwa cara menyebarkan Islam adalah memberikan contoh aktual lebih dulu, baru setelah khalayak tertarik, lantas diberi pelajaran syariat Islam.

  1. Sampul Kedua: Permainan Berlanjut

Warna dominan hijau pada kain dari sampul episode pertama kini berubah menjadi putih, meski jubah putih masih dikenakan di kedua sampul. Latar belakang yang terkait dengan kisah di dalamnya memperlihatkan hujan petir, setelah Malik Ibrahim berdoa kepada Allah. Di bawah langit yang gelap, meski terjadi pada siang hari, siluet orang-orang yang memuja-syukur atas turunnya hujan dalam iklim , memperlihatkan tujuan yang lebih simbolis ketimbang ikonis. Petir itu muncul bukan karena alasan naturalistik, melainkan—dipadu dengan sikap tubuh Malik Ibrahim yang sedang berdoa—untuk kebesaran Allah yang mengabulkan doa. Meski Allah tak tampak, nuansa keagungan jatuh pada sosok yang tampak di sampul, yakni Malik Ibrahim yang kini menjadi Sunan Gresik.

  1. Permainan Wajah

Pada splash ini, halaman pertama dari naratif cerita-gambar, sosok Sunan Gresik digambarkan lebih dominan dibanding bumi dan langit, tetapi ada sosok lain yang tampak lebih besar ukurannya. Sosok ini menjadi kurang dominan karena ekspresi wajah rakyat jelatanya tidak memiliki kharisma seperti Sunan Gresik. Ukuran tubuh dan wajah yang lebih besar justru membuatnya inferior dibanding Malik Ibrahim sebagai Sunan Gresik, yang sengaja dibuat menjadi lebih superior dari apa pun yang ada di halaman splash itu.

 21. Benarkah Ada yang Datang dari Arabia?

Disebutkan bahwa Malik Ibrahim berasal dari “Saudi”, yang tidak ada buktinya, kecuali bahwa kata tersebut akan memiliki pengaruh. Penggambaran iklim kering lebih mengesankan daripada bencana yang disebabkan oleh perang saudara. Sebuah rumah besar berdiri sebagai ikon orang kaya. Apakah masih menjadi ikon ketika berbanding dengan penggambaran rumah-rumah terakota Majapahit?

Soedarmadji / AD 0022 – BPG Trowulan-HH1 Soemantri’s File – F14 Soemantris File

Museum Keramik Jakarta/M 12 – Princessehof Museum Leeuwarden/12 A GMP 1981 / 68

Rumah-rumah terakota Majapahit

  1. Busana Abad ke-20 untuk Abad ke-15?

Rumah-rumah dan orang-orang menggambarkan kemiskinan. Malik Ibrahim menyadari jurang pemisah antara si kaya dan si miskin. Di rumah besar itu, orang kaya itu melihat Malik Ibrahim dan murid-muridnya sebagai orang asing. Tidak ada penutup tiang atau penutup dasar tiang di rumah orang kaya itu, seperti temuan di Trowulan, bekas ibu kota Majapahit; dan pakaian orang kaya itu tampak seperti pakaian dari abad ke-20 di Jawa Tengah. Orang kaya itu menawarkan mereka makanan enak sebagai tindak kebaikan.

Rijksmuseum Amsterdam / MAK 1904 – Soedarmadji / AD 0060 – AD 0027

Soedarmadji / AD 0023 – AD 0021

Tutup tiang dari Trowulan

23. Stereotip Orang Kaya Tidak Baik

Meskipun orang kaya itu menghormati Malik Ibrahim, hal itu tidak berlaku bagi para pengemis, seperti ketika mengatakan ia hanya punya pasir dan bukan beras. Tindakan amoral yang stereotip, sebagai pelajaran etika tentang menjadi kaya.

  24. Keajaiban Tipikal untuk Pengajaran

BPG Trowulan / KMS 2339 75 A

Terakota Orang Kaya Majapahit dari masa yang sama

Dalam adegan ini, Malik Ibrahim menunjukkan keajaiban tipikal orang-orang suci, yakni daya mengubah beras menjadi pasir, dan hanya setelah orang kaya itu berjanji untuk hidup sebagai orang yang lebih baik, pasir itu berubah kembali menjadi beras. Lantas, orang kaya itu masuk Islam. Masih menjadi pertanyaan, apakah ia masuk Islam karena tercerahkan etikanya atau hanya karena berasnya kembali, seperti yang mungkin terjadi dengan politik nyata saat itu, ketika orang-orang masuk Islam hanya untuk bertahan hidup.

  25. Keajaiban yang Sama untuk Politik yang Sama?

Saat perjalanan dilanjutkan, Malik Ibrahim dan para pengikutnya menjumpai ritual pengorbanan nyawa manusia kepada dewa langit untuk memohon hujan. Nyawa korban itu nyaris melayang, jika Malik Ibrahim tidak memiliki daya menambah kecepatan perjalanan dalam seketika, untuk menyelamatkannya, setelah melihat kejadian tersebut dari jauh. Ini adalah salah satu cara klasik untuk menunjukkan keunggulan para wali.

Korban manusia tertulis pada sumber-sumber tradisional (Subagya, 1981: 170), tetapi pertanyaan apakah ritual semacam ini benar-benar terjadi, oleh umat Śaiva Kāpālika yang di India dihubungkan dengan praktik korban manusia, atau oleh kepercayaan kuno sebelumnya, satu-satunya temuan arkeologis yang berhubungan dengan pengorbanan manusia masih berstatus kemungkinan (Jordaan, 2009: 19, 100; Ijzerman dalam Jordaan: 176).

Kedua panil ini dengan jelas memperlihatkan superioritas Malik Ibrahim sebagai wali dibanding dukun. Perhatikan perbandingan ekspresi wajah dan penempatan dukun yang lebih rendah, yang dapat dianggap sebagai cara membangun tokoh Malik Ibrahim sebagai konstruksi mitos.

Kiat yang sama diulangi oleh Malik Ibrahim, bahkan dengan mukjizat lebih hebat, yang tidak hanya mengubah pedang menjadi ular dan kembali menjadi pedang lagi, tetapi juga memberikan hujan yang mereka minta, dengan berdoa kepada Allah—yang membuat mereka masuk Islam. Disebutkan dalam teks tertulis bahwa ini bukanlah perempuan pertama yang dikorbankan, melainkan sudah puluhan tanpa hasil apa pun.    

Malik Ibrahim kemudian menggugat upacara korban manusia mereka, dan membuat mereka menyadari penalaran, betapa tiada hubungan antara persembahan korban berdarah dengan hujan. Setelah ditantang untuk membuktikan, Malik Ibrahim dan murid-muridnya melakukan doa resmi mereka. Setelah doa mereka dijawab, maka disebutkan lagi, bahwa doa semacam ini hanya dapat dilakukan jika mereka masuk Islam. 

Situasi ini menunjuk masalah yang sama, apakah orang masuk Islam dengan pertimbangan logika atas (kebenaran) agama, atau hanya karena mereka berpikir telah bertemu dengan dewa yang lebih kuat.

 26. Penutupnya adalah Awal Legitimasi

Seperti episode pertama, langkah lanjutan adalah menempatkan seorang muridnya tinggal di desa, untuk membimbing para mualaf baru, yang tampak sudah menjadi metode. 

Dikisahkan Malik Ibrahim kembali ke Loron dan mengabdikan hidupnya untuk kepentingan Islam. Pada panil terakhir disebutkan dirinya adalah orang pertama dari Walisanga yang mendirikan pesantren, yang tidak didukung secara tepat oleh bukti sejarah. 

Adapun yang tampak dimaksudkan penting di sini, gambar Malik Ibrahim dapat dipercaya tampak karismatik sebagaimana mestinya. Itulah sebabnya gambarnya memenuhi halaman terakhir, dengan harapan mitos itu akan terus berlanjut.

Bagaimana Membangun Mitos: Evaluasi 

Antara fakta dan mitos terdapat ruang konstruksi, tetapi konstruksi itu tidak muncul begitu saja. Bahkan mitos pun terbentuk oleh faktor-faktor determinan. Di awal survai ini, faktor-faktor yang telah disampaikan adalah faktor sejarah Gresik dan keberadaan ziarah kubur sebagai bagian dari kepercayaan kuno sebelum masa Śaiva-Buddha. 

          Evaluasi akan dilakukan terhadap (1) naratif cerita-gambar yang berkaitan dengan Gresik, dan (2) buku cerita-gambar sebagai komoditas yang terhubungkan dengan tradisi ziarah ke makam-makam Walisanga. 

         Terhadap kedua pembagian ini dilakukan deteksi spesifikasi wacana, yang dapat diungkap maknanya melalui konsep-konsep yang menjadi instrumen penelitian.

  1. Naratif

Dapat dikatakan alurnya terbagi menjadi dua, bagian pertama tentang akibat konflik antarbangsawan Majapahit terhadap rakyat; bagian kedua memperlihatkan keajaiban atau sebutlah mukjizat, yang dilakukan Malik Ibrahim untuk menolong rakyat dari penderitaan mereka. Mukjizat tersebut membuat rakyat beralih memeluk Islam. Setidaknya terdapat tiga topik yang bisa dibahas secara singkat, yakni (a) kekacauan, (b) penderitaan, dan (c) mukjizat.

a. Kekacauan

Kekacauan itu terjadi dalam dua pembermaknaan, yakni konflik antarbangsawan Majapahit yang tidak berakhir dengan kekalahan Wirabhumi, dan bahwa pergolakan politik itu bercampur-aduk dengan musim kemarau yang membuat rakyat menderita. Dua makna ini mengarah kepada tatanan lama sebagai penyebabnya, yang dikonotasikan—tata penandaan kedua dalam semiotika Barthes—sebagai Śaiva, dengan kode-kode seperti mengorbankan gadis-gadis muda untuk dewa langit, yang sama sekali tidak sesuai, dan tidak sesuai pula dengan kepercayaan lokal pra-Śaiva-Buddha.

Kekacauan masa ini dibutuhkan alurnya, sebagai instrumen pengontras untuk memperlihatkan yang sebaliknya, bahwa seorang wali datang dengan tatanan baru, dengan kepercayaan egaliter,  yang sudah terbukti mampu melakukan mukjizat.

b. Penderitaan

Penyebab penderitaan adalah kemiskinan, endemi dan bencana alam seperti musim kemarau, saat para bangsawan yang berkuasa sibuk dengan konflik, dan pihak yang kalah menjadi perampok. Keadaan ini menjadi kompleks dengan alur-bawahan tentang orang kaya kikir. Terkonotasi bahwa posisi orang kaya untuk menolong tidak berfungsi, karena tatanan lama tidak menyediakan sistem etika yang dibutuhkan.

              Penderitaan itu sebenarnya tidak perlu terjadi, atau bisa diatasi, jika tatanan kekuasaan pada masanya memiliki kapabilitas ideologis untuk bertahan. Kekacauan dan kode-kode penderitaan itu berkombinasi dan bergandeng-tangan, untuk mendiskreditkan tatanan lama sebagai paradigma Majapahit. 

c. Keajaiban 

Keajaiban sebagai mukjizat dalam kisah ini hadir sebagai penyelesaian Allah, jika berkeyakinan Islam. Setua kisah Nabi Musa, sebenarnya ini bukanlah solusi Islam untuk semua masalah. Jauh lebih proporsional disebut sebagai strategi dan solusi dalam episode pertama, yang selain menawarkan pengetahuan wajar tentang ekosistem, contoh aktual kepribadian yang baik dalam kehidupan sehari-hari akan berguna setiap saat.

       Betapapun, secara keseluruhan, poin yang lebih logis ini dikaburkan oleh daya tarik mukjizat, yang berkepentingan memberi kontribusi besar pada konstruksi mitos Sunan Gresik. Mungkin menghibur dalam alur cerita, tetapi berpotensi menyesatkan pemahaman ajaran Islam sesungguhnya.

  1. Ziarah Kubur sebagai Pasar

Meskipun kedua episode cerita-gambar ini ditujukan untuk pasar, jenis pasar menjadi salah satu faktor penentu yang membangun naratif. Segala sesuatu yang digambarkan dalam naratif menunjuk pada budaya pembaca sebagai pasar, yang dalam hal ini adalah para peziarah makam-makam, khususnya makam-makam Walisanga.

a. Ekonomi Budaya

         Dalam konsep ekonomi budaya, yang menjadi wacana bukanlah nilai tukar, tetapi pertukaran tiga faktor budaya: kesenangan, makna, dan identitas sosial (Fiske, 1987: 311-3). Pembeli buku cerita-gambar Walisanga ini dianggap senang saat membacanya, bukan hanya karena terhibur oleh sensasi naratif, tetapi karena mitosnya memenuhi ideologi mereka—dengan cara ini kesenangan itu sekaligus bermakna, maupun sebaliknya. 

          Artinya, sebagai konsumen, pilihan adalah soal representasi identitas sosial, seperti “Saya adalah apa yang saya beli”. Buku cerita-gambar Walisanga mewakili subkultur kelompok-kelompok terbawahkan (sub-ordinated groups), dengan politik bertentangan terhadap Islam modern dan “murni”, yang memungkinkan mereka untuk memuja orang-orang suci lokal atau yang dilokalkan melalui makamnya.

b. Politik

Praktik pemujaan terhadap makam orang-orang suci, yang diyakini memiliki kekuatan supranatural meskipun sudah dimakamkan, muncul sebagai kepercayaan kuno dari masa pra-Śaiva-Buddha—tetapi sering disebut secara populer sebagai “Hindu”. 

           Terbukti tidak pernah punah, terutama karena strategi negosiasi demi kepentingan mereka terhadap siapa pun yang berkuasa, dengan proses unsur alokhton di-okhton-kan, yakni agama baru dipribumikan secara selaras dan diyakini sebagai jawaban atas kebutuhan terdalam; atau justru akibat heterokhton, bahwa agama baru tidak dapat menyerap kepercayaan asli setempat, sehingga penerimaan terhadap agama baru itu akan dangkal (Subagya, op.cit., 6).

           Menurut kajian ilmu sejarah, sumber-sumber tertulis tradisional mencatat penyerangan yang mengakhiri kekuasaan Majapahit pada tahun 1519 itu tersebabkan alasan politik, yakni penguasa Demak, Raden Patah, membalas dendam sebagai keturunan Bhre Kertabhumi yang digulingkan oleh Girîndrawarddhana Dyah Ranawijaya; tetapi juga diyakini dari sumber-sumber tradisional, penyerangan itu didasari oleh latar belakang agama, seperti “perang suci” negara Islam terhadap kerajaan Majapahit yang “kafir” Śaiva-Buddha. Perbedaan agama menjadi alasan kuat untuk membebaskan Demak dari segala bentuk komitmen kepada Majapahit (Djafar, op.cit., 123-4).

            Apa yang berlangsung dalam politik, tidak berlangsung sama seperti dalam kebudayaan—meski politik adalah bagian dari kebudayaan. Tindak negosiasi berasal dari dua pihak, atau banyak pihak, karena banyak tempat suci yang sudah ada, setidaknya di masa pra-Islam, masih berfungsi sampai sekarang sebagai tempat ziarah abangan atawa “Muslim Jawa”. Itu menunjuk bagaimana kebijakan untuk toleran datang dari kedua pihak, bahkan sepengetahuan pemerintah.              

            Secara teoritis, kaum radikal Islam yang sudah “murni” tidak bisa toleran terhadap perilaku pemujaan ini, tetapi dalam realpolitik, faktanya sebagai kelompok yang sama-sama tersubordinasi dalam masyarakat, tidak tampak aneh ketika keduanya berdiri sebagai sekutu, seperti yang terjadi pada kasus makam Mbah Priok (Quinn, op.cit., 183-4).

            Namun gerakan “pemurnian” ini dapat ditelusuri sebagai fenomena baru, dengan munculnya pengumuman di berbagai makam akhir-akhir ini, yang mengingatkan para peziarah agar menghindarkan diri untuk menjadi orang sesat, dan semestinyalah beribadah sesuai syariat Islam yang sah sahaja (ibid., 397).

Pergulatan Tanpa Akhir: Simpulan 

Buku cerita-gambar yang diedarkan secara rutin  di situs nisan Walisanga sebagai “sejarah”.
Jumlahnya masih 8, tanpa Sunan Drajat

Dua episode buku cerita-gambar, Syeih Maulana Malik Ibrahim dan Sunan Gresik adalah bagian dari “sejarah” Walisanga yang beredar di makam-makam mereka yang menjadi tempat ziarah sepanjang waktu di Pulau Jawa. Padahal sejarah ilmiah hanya mensahihkan tanggal pada nisan Malik Ibrahim, dan secara geologis batu tersebut dianggap sebagai material dari luar negeri, sehingga tidak mendukung konstruksi mitos Sunan Gresik sebagai “yang pertama” dari Walisanga.

              Pretensi genealogis ini betapapun didukung catatan sejarah tentang Gresik dari abad ke-15, sebagai pusat perdagangan internasional yang menampung para pedagang Islam dari India dan Champa, di samping beberapa pedagang dari Tiongkok yang membangun komunitas kuat, menjadikan Gresik sebagai salah satu kota pelabuhan penting di Jawa.

               Seperti dicatat Ma Huan, pengembara dari Tiongkok, saat itu penduduk kota-kota pelabuhan di pesisir utara Jawa terbagi  tiga kelompok: Muslim dari berbagai negara asing, orang Cina dari Tiongkok yang sebagian besar juga Muslim, dan orang Jawa yang pagan dan primitif (sic!) (Reid, 1999: 232; 2004: 89). Istilah Ma Huan tentang agama Jawa tentu saja terbentuk oleh wacana masanya, tetapi faktanya tetap dapat diterima bahwa ada kepercayaan lokal selain Śaiva atau Buddha.

               Berlatar sejarah Majapahit, mitos lokal membangun sosok wali—dengan gelar Syeih Maulana—Malik Ibrahim sebagai jawaban Islam atas kekacauan dan malapetaka yang tidak dapat diatasi oleh tatanan lama, yang dalam suatu cara berkonotasi paradigma “Hindu”. Dalam mitos tersebut, Malik Ibrahim dilengkapi dengan perangkat instrumental seperti konsep-konsep Islam dan kekuatan magis, sehingga dalam alurnya dapat menghadirkan mukjizat yang membuat orang-orang masuk Islam.

               Tradisi lisan terbukti efektif membangun arus peziarah ke makam Malik Ibrahim, untuk kemudian tertulis dalam lebih dari satu versi yang terhubungkan dengan makam-makam lain di Gresik seperti “Putri Leran”, sampai cerita-gambar yang tergubah pada abad ke-20. Survai terhadap kata-kata dan gambar dalam panil-panil ini, menghasilkan konfirmasi bagaimana pasar yang terbentuk oleh sub-kultur, menjadikan ziarah ke makam sebagai salah satu ritualnya.

               Ini juga menjadi konfirmasi, ritual tersebut sama sekali bukan ritual Islam. Pembaca kritis cerita-gambar ini bisa menemukan pergulatan ideologi dari dua sisi: bahwa superioritas Islam di Jawa hanya bisa ditegakkan melalui kepercayaan pra-Islam.

*****

Sekadar Bacaan

Acri, Andrea. Dari Siwaisme Jawa ke Agama Hindu Bali.
Diterjemahkan oleh Arif Bagus Prasetyo. Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia, École française
d’Extrême-Orient (EFEO), 2021.

Affandy, B., M. B. Rahimsyah. Syeih Maulana Malik Ibrahim.
Surabaya: CV Karunia, (n.d.).
———————–. Sunan Gresik. Surabaya: CV
Karunia, (n.d.).

Chambert-Loir, Henry., Claude Guillot (ed.). Ziarah dan Wali di
Dunia Islam. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, Forum
Jakarta-Paris, Ecole Française d’ Extrême-Orient; 2007.

Damais, Louis-Charles. Epigrafi dan Sejarah Nusantara. Jakarta:
Ecole Française d’ Extrême-Orient, 1995.

Damais, Soedarmadji Jean Henry. Majapahit Terracotta.
Jakarta: BAB Publishing Indonesia, 2012.

Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren: Studi tentang
Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: Lembaga Penelitian,
Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial, 1983.

Ecole Française d’ Extrême-Orient, Kerajaan Campa. Jakarta:
PN Balai Pustaka, 1981.

De Graaf, H. J., Th. G. Th. Pigeaud. Kerajaan-Kerajaan Islam di
Jawa: Peralihan dari Majapahit ke Mataram. Introduction
by Soemarsaid Moertono. Jakarta: PT Grafiti Pers, 1985.

Djaenuderadjat, Endjat (ed.). Atlas Pelabuhan-Pelabuhan
Bersejarah di Indonesia. Jakarta: Direktorat Sejarah dan
Nilai Budaya, Direktorat Jenderal Kebudayaan,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia, 2013.

Djafar, Hassan. Masa Akhir Majapahit: Girindhrawarddhana dan
Masalahnya. Depok: Komunitas Bambu, 2009.

Djajadiningrat, Hoesein. Tinjauan Kritis tentang Sajarah Banten.
Jakarta: Penerbit Djambatan, 1983.

Fiske, John. Television Culture. London and New York: Routledge,
1987.

Jordaan, Roy (ed.) Memuji Prambanan. Introduction by Roy
Jordaan. Translated by Yosef Maris Florisan. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia & KITLV-Jakarta, 2009.

McCloud, Scott. Understanding Comics. New York: Harper
Perennial, 1993.

O’Sullivan et al, Tim. Key Concepts in Communication and
Cultural Studies. London and New York: Routledge, 1994.

Quinn, George. Bandit Saints of Java: How Java’s Eccentric
Saints are Challenging Fundamentalist Islam in Modern
Indonesia. Leicestershire: Monsoon, 2019.
———————–. Wali Berandal Tanah Jawa. Diterjemahkan oleh
Arif Bagus Prasetyo, Dwi Elyono, George Quinn. Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia, 2021.

Reid, Anthony. Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680.
Jilid 1: Tanah di Bawah Angin. Pengantar oleh
Onghokham. Diterjemahkan oleh Mochtar Pabottinggi.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992.
———————-. Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680.
Jilid 2: Dari Ekspansi Hingga Krisis. Pengantar oleh R. Z.
Leirissa. Diterjemahkan oleh R. Z. Leirissa, P. Soemitro.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999.
———————. Sejarah Modern Awal Asia Tenggara: Sebuah
Pemetaan. Pengantar oleh R. Z. Leirissa. Diterjemahkan
Oleh Sori Siregar, Hasif Amini, Daris Setiawan. Jakarta:
Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan
Ekonomi dan Sosial, 2004.

Soemantri, Hilda. Majapahit Terracotta Art. Jakarta: Ceramic
Society of Indonesia, 1997.

Subagya, Rachmat. Agama Asli Indonesia. Jakarta: Penerbit
Sinar Harapan, 1981.
Varnum, Robin., Christina T. Gibbons. The Language of Comics:
Word and Image. Jackson: University Press of Mississipi:
2001.

*) Seno Gumira Ajidarma, partikelir di Jakarta.

Copyright Syeih Maulana Malik Ibrahim & Sunan Gresik
© Affandy, Rahimsyah / CV Karunia Surabaya.