Nobel Sastra untuk Epik Kematian dan Kebangkitan Seni: László Krasznahorkai, Kronikus Abad Apokaliptik
Oleh: Gus Nas Jogja*
Introitus:
Palu Godam dari Stockholm dan Teror yang Disahkan
Pada hari Kamis, tanggal 9 Oktober 2025, dunia sastra diguncang, bukan oleh kejutan yang menyenangkan, melainkan oleh sebuah pengakuan akan kengerian yang sudah lama kita rasakan. Pengumuman Hadiah Nobel Sastra yang dianugerahkan kepada penulis Hungaria, László Krasznahorkai, atas “karyanya yang menarik dan visioner, yang di tengah teror apokaliptik, menegaskan kembali kekuatan seni,” adalah palu godam yang memecah keheningan estetik. Ini bukan kemenangan untuk optimisme, melainkan validasi filosofis bagi keberanian untuk menatap jurang.
Nobel untuk Krasznahorkai adalah pengesahan terhadap sebuah genre yang menolak resolusi, sebuah epik yang ditulis dalam kalimat-kalimat yang tak bernapas, dan sebuah visi yang secara brutal jujur: bahwa akhir zaman (apokaliptik) bukanlah peristiwa yang akan datang, melainkan kondisi permanen di mana kita telah hidup. Ia diakui sebagai “penulis epik hebat dalam tradisi Eropa Tengah yang membentang dari Kafka hingga Thomas Bernhard,” sebuah genealogi yang dicirikan oleh absurdisme dan grotesque excess (kelebihan yang bersifat grotesk).
Esai ini bertujuan untuk menyingkap arsitektur naratif dan episteme Krasznahorkai: bagaimana seorang penulis dari dataran lumpur Hungaria yang terisolasi dapat menjadi kronikus paling akurat dari dislokasi global dan kegelisahan eksistensial abad ke-21. Lebih dari itu, kita akan membedah mengapa, melalui deskripsi yang paling kelam tentang kehancuran, ia justru mengukir sebuah kredo baru tentang keabadian dan keniscayaan seni sebagai satu-satunya bentuk perlawanan yang otentik.
Genealogi Melankoli: Dari Dataran Puszta menuju Absurdisme Kosmik
László Krasznahorkai lahir pada tahun 1954 di Gyula, sebuah kota kecil di Hungaria, di tengah kepungan era sosialis yang mencekik. Lingkungan awal ini, yang dicirikan oleh depresi ekonomi, kekakuan birokrasi, dan kegagalan kolektif, menjadi laboratorium filosofisnya. Ia tidak menulis tentang kengerian saat perang, melainkan kengerian setelah perang: kelelahan, stagnasi, dan keruntuhan spiritual yang tersisa ketika sebuah ideologi besar telah mati dan tidak ada narasi besar yang lahir untuk menggantikannya.
Bayang-bayang Kafka, Bernhard, dan Malaise Eksistensial. Penyebutan nama Franz Kafka dan Thomas Bernhard oleh juri Nobel adalah kunci, namun genealogi ini harus diperluas ke filsafat eksistensial itu sendiri. Karya Krasznahorkai adalah manifestasi sastrawi dari konsep-konsep inti Jean-Paul Sartre dan Albert Camus.
Kafkaesque despair dan keterasingan (Alienasi). Seperti Kafka, Krasznahorkai menciptakan dunia yang diatur oleh hukum yang tidak dapat dipahami, di mana otoritas adalah entitas yang kabur, menindas, dan tak terhindarkan. Tokoh-tokohnya adalah manifestasi dari alienasi total, terputus dari diri mereka sendiri dan dari komunitas. Namun, jika Kafka adalah tentang rasa bersalah yang tak berwujud, Krasznahorkai adalah tentang rasa lelah (malaise) yang mutlak. Tokoh-tokohnya tidak dihukum karena sebuah dosa, melainkan dihukum karena eksistensi itu sendiri, sebuah kondisi yang Sartre sebut Nausea (Mual)—ketika kesadaran menghadapi kontingensi yang absurd.
Bernhardian Grotesque Excess dan Bad Faith (Iktikad Buruk). Thomas Bernhard adalah ahli dalam monolog yang memuncak, kalimat-kalimat panjang yang dihiasi kemarahan. Krasznahorkai mengambil estetik ini ke tingkat yang lebih epik. Kalimat-kalimatnya yang panjang, seringkali berhalaman-halaman tanpa jeda paragraf, menciptakan sensasi sesak napas dan kepanikan temporal. Teknik ini, yang oleh juri disebut grotesque excess, adalah alat filosofis: ia menolak hiburan dan kenyamanan, menyalin kegilaan dunia ke dalam struktur linguistiknya. Grotesque ini berfungsi sebagai cermin untuk Bad Faith: karakter-karakternya terus-menerus bersembunyi dari kebebasan mereka untuk memilih, memilih untuk menjadi objek (lumpur, hujan, kemalasan) daripada subjek yang bertanggung jawab. Kelebihan yang grotesk ini adalah suara histeris dari kesadaran yang terperangkap dalam kepura-puraan.
Krasznahorkai bukanlah penulis yang bercerita; ia adalah seorang penyair-filsuf yang memaksakan realitas otentik pada pembacanya. Ia tidak membiarkan kita bernapas karena dunia yang ia gambarkan tidak menawarkan waktu untuk istirahat, hanya kebebasan yang menakutkan.
Arsitektur Apokaliptik: Teks sebagai Narasi Perpetual Present
Karya-karya utama Krasznahorkai bukan sekadar novel; mereka adalah studi kasus tentang kegagalan humanisme di ambang jurang modernitas, masing-masing adalah kajian mendalam tentang tragedi eksistensial.
Satantango (1985): Tarian Kebinasaan dan Kehendak untuk Ditipu
Satantango adalah alegori tentang komunitas yang bubar, diletakkan di sebuah desa terpencil Hungaria di mana hujan abadi dan lumpur menjadi protagonis utama—sebuah lanskap metafisik. Judulnya merujuk pada tarian tango—yang membutuhkan enam langkah maju dan enam langkah mundur—yang melambangkan stagnasi dan ilusi kemajuan.
Desa tersebut, Satan, menunggu kedatangan Irimiás, seorang nabi palsu dan manipulator yang diyakini membawa perubahan. Penantian ini, yang didera oleh hujan dan kehancuran moral, adalah intisari dari krisis makna pasca-ideologi. Tokoh-tokohnya, yang memilih untuk percaya pada manipulasi Irimiás daripada menghadapi kekosongan, adalah contoh sempurna dari Bad Faith. Mereka menyerahkan kebebasan mereka demi kepastian ilusi.
Dokter yang menulis. Tokoh paling reflektif, sang Dokter, menghabiskan waktunya dalam keterasingan, mabuk, dan menuliskan observasi nihilistik yang detail. Ia adalah penonton yang putus asa (spectator of his own destruction). Ia menyaksikan kehancuran, memahami absurditasnya, tetapi tidak bertindak. Dalam istilah eksistensial, ia adalah pribadi yang melihat Kekosongan (The Void) namun memilih untuk membekukan dirinya dalam deskripsi, menjadikannya inaktif—sebuah being-for-itself yang gagal mewujudkan potensi otentiknya.
The Melancholy of Resistance (1989): Leviathan dan Histeri Massa yang Inautentik
Dalam The Melancholy of Resistance, kengerian sosial mencapai klimaksnya. Sebuah kota kecil diguncang oleh kedatangan bangkai paus raksasa yang membusuk, memicu histeria massa dan keruntuhan tatanan sosial yang brutal.
Paus sebagai Apokalips dan Keterlemparan (Geworfenheit): Paus, atau Leviathan, adalah simbol dari kekuatan primitif dan irasional yang dilepaskan ketika struktur peradaban runtuh. Ia adalah deus ex machina terbalik, bukan dewa penyelamat, melainkan manifestasi dari kekacauan kosmik. Kehadiran Paus ini memaksa kota untuk menghadapi Keterlemparan (Geworfenheit) mereka—fakta bahwa mereka dilemparkan ke dalam dunia tanpa alasan fundamental. Massa bereaksi dengan inautentik—mereka mencari kepastian dalam kekerasan, mengikuti demagog, dan menghancurkan apa pun yang otentik.
Valuska, Sang Nabi Tak Berdosa. Tokoh kuncinya adalah Valuska, seorang pemuda naif dan murni. Valuska adalah Sang Pelayan Yang Melihat—tokoh suci yang memahami keteraturan kosmik melalui hal-hal sederhana (gerakan bintang-bintang). Ia melambangkan Otentisitas yang gagal (The Failed Authentic). Valuska, yang jiwanya terlalu murni untuk realitas grotesque, dihancurkan oleh keganasan massa inautentik. Valuska adalah argumen Krasznahorkai: visi sejati tidak dapat bertahan dalam dunia yang didominasi oleh kebodohan kolektif, dan otentisitas seringkali berakhir dalam martir.
War and War (1999): Metafisika
Pengembaraan dan Kebebasan Terakhir
Krasznahorkai mencapai puncak eksperimentasi dan kedalaman filosofis dengan War and War. Novel ini mengikuti György Korin, seorang arsiparis kecil yang secara obsesif mencoba menyelamatkan empat manuskrip tentang “War and War” dari kehancuran dan mencoba mengunggahnya ke internet sebelum ia mati.
Perang abadi dan pilihan eksistensial. Perjalanan Korin adalah pengembaraan metafisik. Ia adalah flaneur apokaliptik yang melakukan upaya heroik terakhir untuk menciptakan makna di ambang kehampaan. Tindakannya mengunggah manuskrip adalah Pilihan Otentik (Authentic Choice) terakhirnya. Korin memilih untuk melawan kehancuran dengan arsip, dengan memori, dengan seni—mengakui bahwa War and War adalah kondisi manusia, dan satu-satunya tindakan yang bermakna adalah mencatat dan meneruskan poiesis (penciptaan) itu.
Filsafat Nihilisme Kreatif: Mengukir Kredo Seni
Mengapa juri Nobel berani menyatakan bahwa di tengah “teror apokaliptik,” Krasznahorkai “menegaskan kembali kekuatan seni”? Ini adalah inti dari filosofi Krasznahorkai, yang melampaui nihilisme pasif (penolakan makna) menuju nihilisme kreatif (penciptaan makna dari penolakan).
Absurdisme dan Grotesque Excess sebagai Panggilan untuk Bertindak
Jika Absurdisme Camus menyarankan bahwa kita harus memberontak atau menerima ketiadaan makna, Krasznahorkai melangkah lebih jauh. Ia menggunakan grotesque excess—deskripsi yang terlalu detail tentang kebobrokan, panjang kalimat yang menyakitkan, dan karakter yang menyedihkan—bukan untuk menghukum, tetapi untuk memurnikan. Dengan membuat kehancuran begitu tak tertahankan dan absurd, ia secara implisit menuntut adanya sebuah alternatif.
Seni, dalam pandangan ini, bukanlah jawaban yang manis, melainkan satu-satunya aksi perlawanan otentik yang tersisa. Kekuatan seni terletak pada kemampuannya untuk menamai kengerian itu, memberikannya bentuk, dan dengan demikian, menariknya keluar dari alam ketakutan yang tidak berbentuk. Poiesis (tindakan penciptaan) menjadi validasi terakhir eksistensi manusia.
Waktu dan Ketiadaan: Metafisika Perpetual Present
Teknik Krasznahorkai dalam menciptakan narasi Hadiah Abadi (Perpetual Present) adalah serangan langsung terhadap konsep waktu linier modern. Dalam novel-novelnya, tidak ada kemajuan sejati; hanya pengulangan dan stagnasi.
Dalam kerangka Heidegger, manusia (Dasein) selalu bergerak menuju masa depan (being-towards-death). Namun, tokoh-tokoh Krasznahorkai tampaknya terjebak dalam keterlemparan tanpa proyek otentik ke masa depan. Kalimat-kalimat panjang yang tak berujung adalah upaya untuk menahan waktu, sebuah penolakan untuk mencapai jeda—karena jeda (titik penuh) berarti kematian sintaksis dan Ketiadaan (Nothingness). Dengan menahan titik, ia menciptakan ruang batin di mana karakter dan pembaca dipaksa untuk terus-menerus menjadi tanpa resolusi.
Sakramen yang Menyakitkan: Kebajikan Estetika
Karya Krasznahorkai adalah demonstrasi dari Kebajikan Estetika. Meskipun subjeknya adalah kehancuran, keindahan formal dari prosa yang ia bangun—dengan struktur kalimatnya yang kompleks, ritme yang hypnotis, dan kosakata yang presisi—adalah sebuah aksi iman terhadap bahasa dan bentuk.
Jika dunia sedang runtuh, maka satu-satunya kebenaran yang dapat dipegang adalah kejujuran dan kesempurnaan penceritaan. Ia menggunakan detail yang berlebihan bukan untuk membingungkan, tetapi untuk membangun sebuah realitas paralel yang begitu padat dan lengkap sehingga ia terasa lebih nyata daripada realitas kita sendiri. Ini adalah penegasan kembali kekuatan seni: bahwa bahkan ketika semua institusi runtuh, struktur keindahan yang dibuat oleh manusia dapat bertahan sebagai bukti paling gigih dari kesadaran yang menolak takluk.
Krasznahorkai dan Seni sebagai Penjaga Pintu Kosmos
Sebagai seorang penulis epik, Krasznahorkai tidak hanya meniru tradisi; ia mengakhiri dan membukanya kembali. Ia mengambil kemarahan Bernhard dan absurditas Kafka, lalu membalutnya dengan dimensi kosmik yang nyaris teologis.
Kalimat yang Tak Bernapas: Struktur Eksistensial
Teknik sastrawi khas Krasznahorkai—kalimat yang sangat panjang, berkelok-kelok, dan seringkali memenuhi beberapa halaman—adalah metafora eksistensial itu sendiri.
Penolakan kematian sintaksis. Titik penuh (periode) dalam tata bahasa melambangkan akhir (kematian) ide atau jeda. Dengan meminimalkan penggunaan titik, Krasznahorkai secara harfiah menolak kematian sintaksis. Ia memaksa kesadaran pembaca dan narator untuk terus mengalir, menciptakan aliran kesadaran eksistensial yang tanpa henti—seperti kehidupan itu sendiri yang hanya berakhir dengan kematian mutlak.
Prosa panjangnya menciptakan ritme seperti tarian atau ritual kuno. Ini adalah hipnosis sastrawi yang menarik pembaca ke dalam dunia yang terisolasi. Melalui ritme ini, ia mencapai kedalaman reflektif, memungkinkan pikiran untuk melayang dan menghadapi kekosongan yang ia gambarkan tanpa gangguan.
Kutipan Kunci tentang Keindahan dan Waktu:
“The only time I can believe in beauty is when it’s painful.”
(Satu−satunya saat saya bisa mempercayai keindahan adalah ketika itu menyakitkan)
Keindahan yang menyakitkan ini adalah estetika etis Krasznahorkai. Ia menolak keindahan yang mudah dicerna dan dikomodifikasi (kosmetik). Sebaliknya, keindahan harus lahir dari perjuangan, dari penolakan untuk berpaling dari kepedihan dunia. Keindahan otentik hanya mungkin terwujud melalui pengakuan tulus atas penderitaan.
Kutipan Kunci tentang Bahasa dan Keterbatasan:
“I think that language is an obstacle. But it’s an obstacle that you have to use to express something that is beyond it.”
(Saya pikir bahasa adalah penghalang. Tetapi itu adalah penghalang yang harus Anda gunakan untuk mengekspresikan sesuatu yang melampauinya)
Inilah ironi sang master bahasa, ia percaya bahwa bahasa adalah terbatas, namun ia menggunakan keterbatasan itu dengan intensitas yang tak tertandingi untuk mencapai apa yang melampaui kata-kata—yaitu, pengalaman kolektif dari keruntuhan. Kalimatnya yang berlarut-larut adalah upaya untuk mengatasi keterbatasan spasial kata-kata, menciptakan sebuah ruang imersif di mana pembaca dapat merasakan keabadian yang mencekik.
Krasznahorkai, melalui prosa grotesque excess-nya, menjadi Penjaga Pintu Kosmos. Ia tidak hanya menceritakan kiamat; ia menjadikannya sebagai medium. Ia tidak menghibur; ia menguji ketahanan jiwa.
Hadiah Nobel sebagai Cermin Tergelap
Hadiah Nobel Sastra 2025 yang diberikan kepada László Krasznahorkai adalah sebuah deklarasi penting: bahwa dunia sastra akhirnya mengakui bahwa epik modern tidak lagi tentang kemenangan, tetapi tentang ketahanan dalam kekalahan yang sudah pasti. Ia adalah epik kematian dan kebangkitan seni.
Krasznahorkai mewariskan kepada kita bukan sekumpulan cerita yang menyenangkan, melainkan sebuah kredo filosofis eksistensial yang brutal: Di dunia yang menuntut kepastian dan optimisme palsu, fungsi seni adalah untuk menjadi cermin tergelap yang dengan setia memantulkan kegelapan itu sendiri. Ia memaksa kita untuk menghadapi kebebasan kita di tengah malaise dan keterlemparan kita di tengah lumpur.
Dalam kelelahan kronis karakter-karakternya, dalam hujan abadi di dataran Hungaria, dan dalam melodi kalimatnya yang tak berkesudahan, terletak penegasan kembali: bahwa selama ada satu orang yang masih mampu menuliskan kengerian itu dengan keindahan formal yang tak tertandingi, maka kekuatan seni untuk mencipta dan menolak kehampaan tetap hidup. Krasznahorkai tidak memberi kita harapan yang murah, tetapi ia memberi kita sesuatu yang lebih berharga: validitas yang tak tergoyahkan terhadap pengalaman otentik kita atas dunia yang rusak. Ia adalah nabi yang berbicara dari dalam reruntuhan, dan sekarang, dunia harus mendengarkan.
——-
*Gus Nas Jogja. Budayawan.