Max Weber: Kapitalisme sebagai Etika Asketis
Oleh Tony Doludea
Siddharta Gautama lahir sekitar 623 SM, sebagai pangeran Kerajaan Sakya yang berada di perbatasan antara India dan Nepal. Dua belas tahun sebelum kelahirannya, seorang brahmana telah meramalkan jika calon putra Raja Suddhodana itu akan menjalani takdir hebat. Disebutkan bahwa putra Sang Raja itu akan menjadi seorang resi besar.
Sejak kecil Gautama tidak pernah kekurangan dan selalu dikelilingi kemewahan. Setelah beranjak dewasa, ia dijodohkan dengan Yasodhara, seorang putri cantik jelita, yang kemudian dinikahinya.
Suatu hari di usia 19 tahun, ia keluar istana dan terkejut melihat kenyataan yang ada di luar tembok istana. Hatinya tersentuh melihat orang-orang tua yang lemah, orang sakit, jenazah yang akan dikremasi dan petapa.
Selama sepuluh tahun Gautama hidup dalam kesenangan duniawi namun mengalami pergolakan batin. Ia sadar bahwa kehidupan dan kesenangan dunia ini hanya sementara.
Pada saat putra tunggalnya Rahula lahir, di malam itu, Gautama memutuskan untuk meninggalkan istananya ditemani oleh Channa, kusirnya. Ia bertekad bulat untuk menjalani hidup suci sebagai petapa.
Pangeran Siddhartha meninggalkan istana, keluarga dan kemewahan duniawi untuk berguru mencari ilmu sejati yang dapat membebaskan manusia dari usia tua, sakit dan mati. Petapa Siddharta berguru kepada Alāra Kālāma dan Uddaka Ramāputta selama lebih dari enam tahun. Namun ia masih belum menemukan jawaban.
Kemudian Gautama bertapa dengan cara menyiksa diri (askese) panjang bersama lima orang petapa lain selama enam tahun di Hutan Uruvela, di tepi Sungai Nairanjana yang mengalir dekat Hutan Gaya.
Walaupun telah melakukan askese, Gautama belum juga dapat memahami hakikat dan tujuan dari pertapaan yang dilakukannya tersebut. Ia meninggalkan kesenangan fisik, menghindari minum dan makan, sampai tubuhnya tinggal tulang terbungkus kulit.
Kemudian petapa Gautama melanjutkan samadhinya di bawah pohon bodhi (Asattha) di Hutan Gaya. Ia telah bertekad meskipun darahnya mengering, dagingnya membusuk, tulang belulangnya jatuh berserakan, ia tidak akan meninggalkan tempat itu sampai mencapai Pencerahan Sempurna.
********
Menurut Max Weber Kapitalisme adalah semua kegiatan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, melalui usaha pribadi (swasta) untuk mendapatkan keuntungan. Bukan dengan cara tradisional seperti pemberian atau pertukaran secara paksa.
Maximilian Karl Emil Weber lahir di Erfurt pada 1864, ia belajar hukum dan sejarah di Universitas Berlin, Göttingen dan Heidelberg dan meraih gelar doktor dalam ilmu hukum pada 1889 dan ijin mengajar pada 1891.
Weber berhenti mengajar sampai awal tahun 19-an karena sangat sedih, menyusul kematian ayahnya akibat suatu pertengkaran. Setelah pulih, Weber lalu menulis The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (1904).
Buku ini dikembangkan dari pengamatan dan penelitian Weber tentang bagaimana agama mempengaruhi perkembangan sebuah sistem ekonomi. Weber menyatakan bahwa perkembangan Kapitalisme itu didorong dan dipengaruhi oleh etika Protestan yang berasal dari gagasan teologi Reformasi.
Weber mencatat bahwa telah terjadi pergeseran pusat ekonomi Eropa pada masa pasca Reformasi. Dari negara-negara Katolik seperti Perancis, Sepanyol dan Itali, ke negara-negara Protestan seperti Belanda, Inggris, Skotlandia dan Jerman.
Masyarakat Protestan juga memiliki ekonomi kapitalis yang berkembang lebih maju. Demikian juga dengan masyarakat yang berbeda agama, kebanyakan pengusaha yang berhasil di sana adalah orang Protestan. Menurut Weber agama Katolik, Konghucu dan Buddha menghambat perkembangan sistem ekonomi kapitalis.
Meskipun demikian Weber menekankan bahwa pendapatnya tersebut tidak menyeluruh dan tidak lengkap. Ia tidak bersikukuh bahwa protestanisme merupakan penyebab semangat kapitalis, namun hanya merupakan salah satu faktor penyumbang terbentuknya sistem Kapitalisme.
Protestanisme atau Kristen Protestan adalah suatu gerakan Kekristenan yang muncul pada abad ke-16 dengan tujuan mereformasi Gereja Katolik dari hal-hal yang dianggap sebagai kekeliruan, penyelewengan dan ketidaksesuaian.
Protestanisme menitikberatkan ajaran pada pembenaran orang percaya oleh Allah di dalam iman saja (sola fide), bukannya oleh iman beserta amal dan perbuatan baik. Bahwa keselamatan datang berkat kasih karunia Allah, suatu anugerah cuma-cuma belaka (sola gratia). Bahwa hanya Kristus satu-satunya perantara, Juruselamat yang telah memulihkan hubungan manusia dengan Allah (solus Christus), bukan para malaikat, nabi-nabi, orang suci, rabi, imam, paus, pendeta dan mahluk lainnya. Bahwa Alkitab adalah wahyu Allah, satu-satunya sumber iman Kristen (sola scriptura), bukan ditambah dengan tradisi buatan gereja. Maka segala kemuliaan hanya pantas diberikan kepada Allah saja (soli Deo gloria), bukan kepada para malaikat, nabi-nabi, orang suci, rabi, imam, paus, pendeta dan mahluk lainnya.
Reformasi Protestan bermula di Kekaisaran Roma Suci Vatican pada 1517, saat Martin Luther (1483-1546) menerbitkan Sembilan Puluh Lima Dalilnya sebagai reaksi terhadap penyelewengan-penyelewengan Gereja Katolik, khususnya tentang penjualan surat penghapusan dosa (indulgensi).
Pandangan Lutheran tersebut menyebar dari Jerman ke Denmark, Norwegia, Swedia, Finlandia dan Islandia. Kemudian proses reformasi ini dilanjutkan oleh John Calvin (1509-1564), Huldrych Zwingli (1484-1531) dan John Knox (1514–1572). Pandangan Calvinis disebarluaskan di Jerman, Hongaria, Belanda, Skotlandia, Swiss dan Prancis.
Pada dasarnya Kekristenan itu menolak urusan duniawi, termasuk kegiatan ekonomi. Karena ada tertulis, “Janganlah kamu mengasihi dunia dan apa yang ada di dalamnya. Jikalau orang mengasihi dunia, maka kasih kepada Allah tidak ada di dalam orang itu.” (1 Yohanes 2: 15) “Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada.” (Matius 6: 21)
Namun Weber berpendapat bahwa Kapitalisme modern itu justru berasal dari gagasan religius Reformasi Kristen. Khususnya Calvinisme, yang mendukung dan memberikan alasan rasional bagi pencarian keuntungan ekonomi dan bahwa kegiatan duniawi untuk pencarian itu pada dasarnya memiliki makna moral dan spiritual.
Temuan Weber menyatakan bahwa pandangan Lutheran tentang “panggilan” (Jerman: Beruf), bahwa orang beriman dipanggil untuk melakukan “tugas dari Allah” di dunia ini. Ini merupakan gagasan utama dan mendasar dalam protestanisme yang tidak ada di dalam kekatolikan.
Katolik lebih menekankan kehidupan membiara (asketisme) sebagai acuan kerohaniannya. Sementara orang protestan lebih melihat bahwa kehidupan beriman orang percaya itu digenapi dengan melakukan tugas duniawinya sehari-hari, sebagai tanggungjawabnya untuk membagun Kerajaan Allah di dunia ini.
Demikian juga pandangan Calvinis tentang predestinasi, bahwa Allah dengan anugerahnya telah memilih sebagian orang untuk diselamatkan dan sebagian lagi tidak diselamatkan. Namun demikian manusia tidak dapat memahami putusan ilahi tersebut. Sehingga pandangan ini telah mendatangkan kesedihan dan menyiksa kejiwaan orang protestan.
Karena tidak ada seorang pun yang tahu pasti siapa yang telah dipilih oleh Allah untuk diselamatkan. Maka orang Calvinis mencari tanda-tanda anugerah pilihan Allah tersebut. Bagi mereka bekerja keras, tidak bermalas-malasan dan tidak jatuh dalam godaan dosa merupakan tanda keselamatan ilahi. Sebab pekerjaan mereka itu merupakan pelayanan dan pemulyaan Allah, dalam bentuk pengendalian diri dan rasionalisasi kehidupan sehari-hari.
Sedangkan melalui Richard Baxter (1615-1691), Weber menemukan hubungan antara gagasan dasar asketis protestanisme dengan tindakan ekonomi sehari-hari mereka.
Baxter menilai kekayaan dan hasil perolehan usaha seseorang dari segala kerja dan usahanya itu diperbolehkan bahkan patut dipuji. Namun mengumpulkan kekayaan untuk kenikmatan duniawi itu secara moral harus dicurigai.
Bagi Baxter menghabiskan waktu secara sia-sia, seperti ngobrol, banyak tidur, hidup bermewah-mewah dan kenikmatan lainnya itu merupakan dosa yang mematikan. Demikian juga halnya dengan kontemplasi rohani, itu tidak bermakna kecuali di hari Tuhan (Minggu). Karena sikap dan kegiatan tersebut menghalangi orang melaksanakan “panggilan”-nya untuk memuliakan Allah.
Baxter mengingatkan bahwa orang beriman harus melakukan kerja keras secara fisik dan mental. Bekerja secara jujur dan tidak serakah. Memang mengejar keuntungan sebanyak-banyaknya itu tidak baik, namun memmperoleh keuntungan dari kerja keras secara jujur adalah tanda berkah dari Allah.
Sementara dari Benjamin Franklin (1705–1790), Weber menemukan bahwa Franklin mengajak orang untuk melihat waktu adalah uang, uang menghasilkan uang, utang adalah uang, maka orang harus membayar utang pada waktunya. Maka dengan itu ia dapat menyakinkan orang bahwa dirinya adalah seorang industriawan yang dapat dipercaya.
Pandangan tersebut bagi Weber sangat mendukung pertumbuhan kehidupan ekonomi rasional burjuis. Praktik keberagamaan Calvinis tersebut oleh Weber disebut sebagai inner-worldy asceticism. Sebuah jalan menuju keselamatan dengan cara terlibat dalam kegiatan duniawi, sesuai kecenderungan dan kemampuan religius seseorang sebagai alat yang dipilih Allah sendiri.
Sedangkan sebaliknya, outer-worldly asceticism adalah jalan meraih keselamatan melalui menjauhkan dan mengasingkan orang dari kenyataan dan kegiatan hidup sehari-hari. Mengurung diri dalam kamar sel biara bertembok tebal di tengah gurun atau di atas gunung. Bertarak dan selibat serta mendaraskan doa seperti yang tercatat di buku-buku doa mereka. Atau duduk bertahun-tahun dengan menahan haus, lapar dan nafsu di bawah pohon rindang sambil mengatur nafas dan mengosongkan pikiran serta menunggu datangnya bulan purnama tertentu. Padahal terkait dengan kegiatan di bawah pohon bodhi itu, Buddha sendiri sudah mengingatkan orang-orang bahwa mengendalikan hawa nafsu adalah nafsu juga, mengosongkan pikiran adalah pikiran juga. Kebuddhaan adalah pikiran, demikian dukkha dan nirwana itu tidak ada bedanya.
Protestantisme menolak total outer-worldly asceticism tersebut, sambil memberi makna duniawi pada konsep askese itu menjadi inner-worldly asceticism. Suatu perjuangan hidup secara puritan dan metodis di tengah kesibukan duniawi sehari-hari.
Hidup yang puritan (bersih) bebas dari segala bentuk kemalasan dan kemaksiatan. Hidup yang metodis, hidup teratur secara etis dan rasional, efisien untuk mencapai tujuan hidup yang berkenan kepada Allah.
********
“Panggilan” dan “pilihan” Allah membuat tiap orang beriman melakukan tindakan kerjanya sebagai bukti keselamatan mereka. Pengendalian diri, kerja keras dan percaya bahwa kekayaan dapat merupakan bukti keselamatan adalah bentuk askese Protestan.
Namun kemudian Weber melihat bahwa keberhasilan kerja berdasarkan semangat religiusitas seperti itu ternyata telah menciptakan proses sekularisasi. Sekularisasi ini lalu mewariskan sistem sosial ekonomi yang terperangkap di dalam iron cage, sangkar baja.
Sangkar baja tersebut kemudian mengekang manusia dalam sistem utilitarian dan instrumental, mengobjek dan memperalat sesamanya, efisiensi bertujuan, kalkulasi rasional dan pengendalian. Weber menyebut juga hal ini sebagai birokratisasi tatanan sosial, yang digambarkan sebagai “the polar night of icy darkness”.
Askese Protestanisme dalam Kapitalisme kemudian malah merampas hidup manusia yang berada di dalamnya. Askese yang mengobarkan perlawanan terhadap godaan duniawi ditambah dengan perintah untuk membangun Kerajaan Allah dengan membatasi konsumsi dan dengan menyimpan keuntungan. Kini mati perlahan-lahan dan justru mengajak pengikutnya untuk menumpuk kekayaan dan memuja dunia.
Pepatah Ibrani kuno sudah mengingatkan bahwa siapa mencintai uang tidak akan puas dengan uang dan siapa mencintai kekayaan tidak akan puas dengan penghasilannya. Dan apakah keuntungan pemiliknya selain dari pada melihatnya? Sang Pengkhotbah melanjutkan bahwa ada kemalangan yang menyedihkan ia lihat di bawah matahari, kekayaan yang disimpan oleh pemiliknya menjadi kecelakaannya sendiri. Dan kekayaan itu binasa oleh kemalangan, sehingga tak ada suatupun padanya untuk anaknya. (Pengkhotbah 5: 10-20)
Radix malorum est cupiditas, akar segala kejahatan adalah cinta uang. Setiap jenis kejahatan dapat dipastikan dimotivasi oleh serakah akan uang. Keserakahan dapat menyebabkan berbagai jenis kejahatan, meskipun tidak semua kejahatan berakar pada cinta uang. Bahwa tindakan yang dilakukan oleh keserakahan dan keinginan ini mengarah pada perampokan. Bahkan oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka.
Kapitalisme sebagai etika asketis ternyata telah kehilangan roh belas kasihannya. Sehingga Weber menyatakan bahwa oleh sistem ini dunia telah kehilangan pesona magisnya (Jerman: Entzauberung). Hilangnya pesona dunia karena rasionalisasi dan devaluasi religius dalam masyarakat modern ini. Manusia memperalat sesamanya untuk mendapatkan keuntungan materi sebanyak-banyaknya. Proses dehumanisasi menjadi inti kapitalisme.
Kitab Perjanjian Baru menceritakan tentang “inner-worldly asceticism” itu seperti seorang yang turun dari Yerusalem ke Yerikho. Ia jatuh ke tangan para penyamun, yang bukan saja merampoknya habis-habisan, tetapi juga memukulnya dan meninggalkannya setengah mati. Kebetulan seorang imam turun melalui jalan itu dan melihat orang itu, tetapi melewatinya dari seberang jalan. Demikian juga seorang Lewi ketika melihat orang itu, ia melewatinya dari seberang jalan. Lalu datang seorang Samaria, yang sedang dalam perjalanan ke tempat itu. Ketika ia melihat orang itu, tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. Ia mendatanginya, menyiram luka-lukanya dengan minyak dan anggur, lalu membalutnya. Kemudian ia menaikkan orang itu ke atas keledai tunggangannya dan membawanya ke tempat penginapan dan merawatnya. Keesokan harinya ia menyerahkan dua dinar kepada pemilik penginapan itu dan berkata, “Rawatlah dia dan jika kaubelanjakan lebih dari ini, aku akan menggantinya, waktu aku kembali.” (Lukas 10: 30-35)
Kapitalisme telah kehilangan roh etika asketisnya, tidak lagi tergerak hati pada sesamanya manusia. Lupa pada ajaran bahwa jangan menjadi hamba uang dan cukupkan diri dengan apa yang ada. Sebab orang yang ingin kaya, menumpuk kekayaan telah jatuh ke dalam pencobaan, ke dalam jerat dan ke dalam berbagai-bagai nafsu yang hampa dan yang mencelakakan, yang menenggelamkan manusia ke dalam keruntuhan dan kebinasaan.
*Penulis adalah Peneliti di Abdurrahman Wahid Center for Peace and Humanities Universitas Indonesia.
—-
Kepustakaan
Adair-Toteff, Christopher. Max Weber’s Sociology of Religion.
Mohr Siebeck, Tübingen, 2016.
Allen, Kieran. Max Weber: A Critical Introduction. Pluto Press,
London, 2004.
Barbalet, Jack. Weber, Passion and Profits: ‘The Protestant
Ethic and the Spirit of Capitalism’ in Context. Cambridge University Press, Cambridge, 2008.
Marshall, Gordon. In Search of the Spirit of Capitalism. an
Essay on Max Weber’s Protestant Ethic Thesis. Columbia University Press, New York, 2019.
Weber, Max. The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism.
Routledge, London, 1992.