Malang dan Ruang Kebudayaan
Oleh Halim HD. – Networker-Organizer Kebudayaan
Jika kita ke Malang, di mana sesungguhnya ruang kesenian yang bisa kita singgahi dan ada lingkungan tempat kita kongko bersama kaum seniman? Agak sulit juga rasanya melihat Malang yang berkembang demikian pesat menjadi suatu kota yang ingin menyaingi Jakarta, minimal bersaing dengan Surabaya dengan ledakan institusi pendidikan yang kian membengkak dan didukung oleh perkembangan ruang-ruang berbelanja, kompleks perumahan yang berdesakan dan ditambah oleh ratusan atau bahkan seribuan café, coffee shop, resto dan warung makan. Jadi, jika ke Malang, jangan tanyakan soal ruang kesenian. Tapi nikmati warung makan yang dahsyaat dan resto serta warung kopi yang membuat saya betah jika ke Malang. Malang identik dengan dunia kulineri seperti kota kota lain yang juga masuk ke dalam arus industri kreatif ujung lidah.
Tentu saja beda dengan Malang tahun 1970-80-an Ketika Malang hanya memiliki 2-3-4 kampus dan kota masih lengang dan jalanan masih enak ditapaki, dan sebuah teras di jalan Muntilan, Rumah Pak Hazim Amir begitu nikmat untuk tempat kongko. Sementara kampus juga masih lengang serta nikmat untuk menyelenggarakan kesenian, seperti IKIP, Unibra, Unisma dan UMM. Kampus kampus itu sekarang kian membengkak belasan kali lipat, ditambah kampus lain yang juga bermunculan. Ruang gerak kian menyempit, dan perasaan-pikiran untuk santai dengan puisi atau pembacaan cerpen serta alunan musik, agak sulit. Jangan pesimis dulu, ada banyak café yang menyediakan ruang untuk musik, juga ada galeri yang bisa menjadi tempat rendezvous kesenian. Tentu kita tak bisa berjanji bertemu di sekretariat Dewan Kesenian Malang (DKM) yang mirip seperti ruang tamu asrama sederhana.
Di Malang ada Taman Krida Budaya (TKB) yang sudah berusia 20-an tahun lebih, dan dulu punya program kerja yang bagus, dan beberapa festival setiap tahun selalu diselenggarakan. Tapi nampaknya periode Reformasi dengan otonomi daerah yang kian bablas ini ditambah dengan birokrasi yang tak ada ujung pangkalnya itu, institusi ruang publik kebudayaan yang menjadi asset Pemda Jawa Timur itu, kian tak terurus. Tahun lalu, selama 5-6 hari menginap di wismanya nampak tak terurus dengan baik. Sementara itu pendapanya yang semestinya jadi ruang terbuka untuk menjadi ajang latihan atau pertemuan, tertutup dan terasa lengang. Posisi lokasi yang bagus nampaknya tak menjamin TKB menjadi lokasi pertemuan kaum seniman. Jika mereka tak ada acara di sana, nampaknya TKB tak pernah disapa. Jadi masalahnya adalah bagaimana suatu program kegiatan yang berkesinambungan bisa diwujudkan di TKB. Tentu saja program itu mesti menarik, dan pengelolaannya bisa diserahkan kepada komunitas beserta jejaringnya. Sebab, Ketika Dewan Kesenian Jawa Timur (DKJT) menyelenggarakan festival di TKB pada November 2023, rasanya juga tak mendapatkan kunjungan dari publik. Saya menduga nampaknya TKB sudah lama mengalami kekosongan acara, mungkin dikarenakan ketiadaan program dari Dinas Kebudayaan Pemda Jatim dan mungkin juga karena posisi sebagai UPTD (unit pelaksana teknis daerah) hanya menunggu proyek. Tak ada inisiatif.
Saya kongko via WA dengan Pak Bambang Irianto, sosok fenomenal pengembangan kampung ekologis Glintung di Malang, dan saya mengajukan pertanyaan, mungkinkah Pemkot Malang meminta kepada Pemda Jatim untuk menyerahkan pengelolaan TKB? Saya hanya bisa membayangkan jika saja TKB dikelola oleh Pemkot Malang, bisa dijadikan Taman Budaya Malang (TBM) dan bisa dikembangkan sebagai ruang publik kebudayaan. Dengan fasilitas yang ada yang rasanya lumayan, bisa menjadi ruang bagi titik simpul jejaring komunitas kesenian di Malang. Lalu pembayangan saya berkembang, mungkinkah kaum cendekiawan, seniman, aktivis seni kampus dan akademisi di Malang menyatukan gagasan dan mendesak Pemda Jatim untuk menyerahkan TKB kepada Pemkot Malang. Alasannya sederhana agar malang memiliki taman budaya, ketimbang TKB terbengkalai. Tentu saja bisa dirumuskan dasar pemikiran yang lebih substansial: suatu kota dengan jumlah lembaga Pendidikan tinggi sekitar 40-50 kampus, dan ratusan sekolah menengah dan ribuan sekolah dasar, dan dengan populasi hamper 3 juta, kenapa tak memiliki sejenis Art Center? Pemkot Malang sulit mencari lokasi dengan keluasan 2 hektar, kecuali Kabupaten Malang. Jika Pemkot Malang ingin memiliki Art Center, satu-satunya jalan mendesak pemda Jatim untuk menyerahkan TKB kepada Pemkot Malang. Saya kok merasa yakin jika TKB diserahkan kepada Pemkot Malang, TKB akan bisa menjadi icon kebudayaan di Jatim, karena dukungan kampus umum dan kampus yang kini banyak memiliki program studi kesenian terlibat dan mengisi.
Dasar pikiran lainnya, di antara perkembangan kota yang demikian pesat pada sektor ekonomi yang kian melimpah dan menjadi berkah bagi kota Malang membutuhkan ruang publik kebudayaan, yang pada sisi lainnya juga kita menyaksikan ada suatu proses sosial yang terasa terputus dalam relasi sosial antar kampus, khususnya aktivis kesenian di berbagai perguruan tinggi. Kita berharap dengan pengelolaan TKB mungkin jejaring antar kampus bisa menciptakan relasi sosial yang intensif melalui titik simpul ruang publik kebudayaan TKB itu. Tentu saja hal itu harus didukung oleh tata kelola yang non-birokratis. Secara sinis sesungguhnya keberadaan TKB itu menjadi ironis bagi Pemda Jatim yang tak mampu menyelenggarakan kegiatan, dan tak mampu mengelola sarana yang sesungguhnya sangat ideal bagi kota Malang. Pemda Jatim juga tak cukup memberikan perhatian, bukan cuma TKB di Malang, tapi juga Taman Wilwatikta di Pasuruan, suatu sarana ruang publik kebudayaan yang lokasinya demikian ideal, cenderung lengang, dan mengarah kepada kondisi kumuh.
Jika saya menuliskan hal ini, karena sesungguhnya diantara masalah komodifikasi ruang menjadi komoditas, terdapat sarana ruang publik yang ironisnya bisa dikatakan terbengkalai. Saya mau ambil contoh beberapa kota yang lebih kecil dari Malang yang mengubah sarana, misalnya Pemda Karanganyar yang mengubah Gedung Wanita menjadi Gedung Kesenian, seperti juga di Sragen, sementara di Sukoharjo membangun Taman Budaya Sukoharjo, hal yang sama terjadi di Purwokerto. Sementara Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT) di Solo milik Pemda Jateng, dan Pemkot Solo membangun Taman Budaya Solo Joyosuman (TBSJ), bekas Pendapa Gajahan, Taman Budaya Kudus. Semuanya di Provinsi Jawa Tengah. Di luar Jawa ada Taman Budaya Muna, Taman Budaya Lampung Barat, Taman Budaya Kota Tidore, Taman Budaya & Museum Polewali, Sulbar.
Di sini saya tak bicara soal pengelolaan. Sebab, pembangunan sarana ruang publik kebudayaan yang demikian gencarnya, memang masih membutuhkan cara pembenahan tata kelola. Dengan gambaran perbandingan itu, saya ingin memberikan contoh jika kota-kota yang lebih kecil dari Malang bisa memiliki sarana ruang publik dalam wujud taman budaya, mengapa tidak dengan kota Malang?
Ayooo kaum cendekiawan, akademisi, seniman, aktivis seni kampus dan kaum apresian seni, mari bergerak.
—-
Studio Plesungan, Plesungan, Karanganyar, 18 Maret 2024