Don Quixote dan an-Niffari: Antara Kesatria dan Sufi

Oleh Tony Doludea*

Alonzo Quinjano (50-an tahun), Sang Bangsawan Cerdik dari Mancha, dipenuhi dengan jiwa kepahlawanan, berjiwa luhur dan sangat mengagumi dan bersemangat pada segala sesuatu yang baik dan agung. Ia digambarkan juga sebagai orang yang setia. Meskipun ia memiliki semua sifat yang baik itu, namun kebetulan saja ia berwatak agak gila.

Alonzo Quinjano senang membaca banyak buku bertema kesatria. Ia bahkan berkhayal bahwa dirinya adalah seorang kesatria yang dinanti-nantikan oleh dunia. 

Cerita ini mengambil latar waktu abad Tujuh Belas di Spanyol, tepatnya di La Mancha, Campo de Montiel. Alonso kemudian memutuskan untuk meninggalkan pekerjaannya sebagai petani dan pergi dari rumah, demi mengejar impiannya menjadi seorang pahlawan. Ia juga mengubah namanya menjadi Don Quixote de La Mancha.

Don Quixote bersama Rozinante, kudanya yang setia dan Sancho Panza pengawalnya serta seekor keledai milik Sancho itu, mereka berpetualang menjelajahi Spanyol. Panza adalah buruh tani yang berasal dari desa yang sama dengan Don Quixote. Sancho Panza mau ikut karena Don Quixote berjanji akan memberikan sebuah pulau untuknya setelah perjuangan mereka itu selesai.

Petualangan Don Quixote dimulai dari ruang baca Alonzo, kandang kuda, penginapan di dekat desanya, sampai kota-kota besar di sekitar La Mancha. 

Don Quixote selalu menganggap semua orang yang menunggang kuda ataupun bagal (campuran kuda dan keledai) itu sebagai kesatria. Siapapun mereka, apapun pekerjaan mereka. Bahkan, penginapannya pun dianggapnya sebagai kastil.

Don Quixote memulai perjalanannya sebagai seorang pahlawan sambil berkhayal tentang petualangan hebat yang selalu dimenangkannya, sesuai dengan kisah-kisah yang telah ia baca.

Pada suatu hari Don Quixote dan Sancho berada di bukit kincir. Don Quixote membayangkan bahwa kincir angin itu adalah raksasa jahat, yang akan mencelakai orang-orang yang melewati bukit itu. 

Don Quixote berpikir bahwa ia harus menaklukkan raksasa itu dan mengaggap dirinya adalah kesatria yang ditakdirkan untuk mengalahkan raksasa-raksasa jahat tersebut. 

Sedang Sancho yang sama bodohnya dengan Don Quixote berpikiran lain. Ia sadar bahwa yang akan diserang oleh tuannya itu adalah kincir angin besar, bukan raksasa. Ia lalu berteriak dari kejauhan untuk memperingatkan Don Quixote yang sudah memacu kudanya demi membunuh kincir angin tersebut. 

Namun Don Quixote tetap ngeyel dan secara brutal menyerang kincir angin itu. Akibatnya ia malah tersambar kincir tersebut dan terlempar jatuh. Don Quixote pun terluka memar di sekujur tubuhnya.

Namun kelompok Don Quixote itu tetap melanjutkan perjalanan, tentu dengan berbagai macam kisah petualangan yang konyol. Mulai dari membantu gadis-gadis yang dianiaya, hingga melawan ketidakadilan. Tapi ternyata, kisah heroik ini hanya berkutat di kepala Don Quixote sendiri saja.

Sepertinya otak Don Quixote telah mengering karena terlalu banyak membaca, sehingga ia tidak dapat memisahkan antara khayal dan kenyataan. Ia benar-benar percaya bahwa dirinya adalah tokoh utama dalam kisah kesatria heroik karangannya sendiri itu.

Sampai pada akhirnya mereka beristirahat di sebuah hutan. Sementara Don Quixote beristirahat, sedang Sancho berkeliling untuk mengumpulkan kayu bakar. 

Sancho kemudian bertemu dengan seorang pendeta dan tukang cukur. Mereka berdua berasal dari desa yang sama dengan Sancho dan sedang mencari keberadaan Don Quixote. Mereka berdua diutus Don Antonio, seorang petani kaya yang khawatir atas nasib Don Quixote. 

Mereka berbincang dengan Sancho. Lalu Sancho mulai sadar bahwa tuannya ini bukanlah kesatria sungguhan, tetapi hanya orang tua biasa, yang berkhayal dan sedang terobsesi. Sancho mulai sedih karena ia tidak akan pernah mendapat pulau yang dijanjikan tuannya itu.

Pendeta dan tukang cukur itu lalu menyusun rencana untuk dapat memulangkan Don Quixote kembali ke desanya. Tanpa sepengetahuan Don Antonio, mereka minta bantuan Samson Carrasco, seorang pelajar yang baru saja menyelesaikan sekolahnya di Salamanca. 

Samson Carrasco kemudian mengusulkan rencana agar dirinya diijinkan untuk bertarung dan mengalahkan Don Quixote. Sehingga seperti adat kesatria jaman itu, orang yang kalah akan menuruti kemauan si pemenang. Ia mengajukan diri untuk menyamar sebagai Satria Bulan.

Dalam sebuah perjalanan, Don Quixote bertemu dengan Satria Bulan itu. Kesatria itu mengajak Don Quixote duel dengan sebuah taruhan. Taruhannya apabila Don Quixote kalah ia harus kembali ke tempat asalnya. 

Pertarunganpun berlangsung seru, namun Don Quixote akhirnya kalah. Don Quixote kemudian dibawa menemui Don Antonio. Don Antonio terkejut dan senang melihat kembalinya Don Quixote.

Pada akhirnya Don Quixote menyadari kebodohannya dan kembali menjadi Alonso Quinjano. Ia pulang ke rumah dalam keadaan sekarat akibat luka-luka yang dideritanya kambuh. 

Setelah menulis wasiat, ia masih dapat bertahan tiga hari. Pada hari ketiga Alonso Quinjano meninggal dalam keadaan tenang. Alonso Quinjano telah menyadari kebodohannya sebelum akhir hayatnya.

********

Sufisme adalah ajaran yang menekankan praktik cara hidup murni dan suci, dengan menjauhi hal-hal duniawi (zuhud) untuk dapat mendekatkan diri sedekat mungkin dengan Allah. Sehingga dapat melihat-Nya dengan mata hati, bahkan rohnya dapat menyatukan diri dengan Roh Allah.

Sufisme percaya bahwa Allah bersifat rohani, maka bagian yang dapat mendekatkan diri dengan Allah adalah roh, bukan badan jasadnya. Allah adalah Maha Suci, maka yang dapat diterima Allah untuk mendekati-Nya adalah roh yang suci. 

Lewat pendekatan diri manusia kepada Allah melalui penyucian rohnya, sufisme ingin menyenangkan Allah. Dengan membenahi diri untuk kembali ke fitrah, ke kemurnian dan kesucian dari mana manusia itu berasal-usul.

Orang yang pertama memakai kata sufi kelihatannya adalah Abu Hasyim al-Kufi di Irak (w.150 H). Mistisisme dalam Islam ini lebih dikenal dengan istilah sufisme atau dalam bahasa Arab disebut tasawuf. 

Kata sufi sendiri berasal dari kata suf, yang berarti wol, kain dari bulu domba yang menunjuk kepada pakaian tradisonal para nabi dan orang suci di Timur Tengah pada masa itu. Pakaian ini melambangkan kesederhanaan serta kemiskinan dan jauh dari dunia. 

Kata sufi juga dikaitkan dengan kata safa, yaitu kemurnian, kesucian, atau juga safwa, yaitu orang pilihan. Sufi adalah orang yang memakai wol kasar untuk menjauhkan diri dari dunia materi dan memusatkan perhatian pada hal rohani. 

Oleh sebab itu, sufisme menunjuk kepada keadaan etis dan rohaniah, juga sebagai pengajaran yang mampu membuka kemungkinan-kemungkinan jiwani dan rohani. 

Ajaran sufisme ini muncul sebagai tanggapan terhadap sikap duniawi dalam perkembangan Islam pada abad VIII saat itu. Ketika itu terjadi pertikaian antar umat Islam di zaman Khalifah Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Khususnya karena faktor politik dan perebutan kekuasaan, ini terus berlangsung sampai pada masa khalifah-khalifah sesudah Utsman dan Ali. Hal tersebut sangat berbeda mencolok dengan kehidupan sederhana Nabi Muhammad SAW sendiri.

Mereka menganggap bahwa politik dan kekuasaan merupakan wilayah yang kotor dan busuk. Oleh karena itu, mereka melakukan gerakan menarik diri dari urusan duniawi, yang seringkali menipu dan menjerumuskan itu. Al-Hasan ibn Abi al-Hasan Yasar Abu Sa`id al-Basri (w. 728) orang yang memelopori gerakan umat ini. Kemudian diikuti oleh figur-figur lain seperti Shafyan al-Tsauri dan Rabi’ah al-Adawiyah.

Sedangkan para pemeluk Islam baru di daerah Syria, Irak dan Iran, yang sebelumnya telah hidup bersentuhan dengan para biarawan, rahib dan pertapa Kristen di sana. Rahib-rahib itu berhati baik, pemurah dan suka menolong. 

Di siang hari, kemah mereka menjadi tempat berteduh bagi orang yang kepanasan dan di malam hari lampu mereka menjadi petunjuk jalan bagi musafir. 

Budaya mereka juga telah lama bersentuhan dengan Zoroaster, Neoplatonisme, Gnostik, Hindu, Buddha dan agama-agama misteri lokal lainnya. 

Sehingga Islam juga kemudian menampung perasaan-perasaan dari luar tersebut, dari pemeluk-pemeluk yang sebelum masuk Islam sudah menganut agama-agama itu.

Mereka ini mulai mengasingkan diri untuk beribadat dan mendekatkan diri kepada Tuhan di gurun pasir Arab. Hubungan antara sufisme dengan Islam tradisional selanjutnya tidaklah sederhana.

Al Imam Al Arif Kutbu Zamanihi Muhammad bin Abdul Jabbar bin Al Hasan An-Niffari dilahirkan di Nippur atau Naffar, di Basrah, Irak. Tak diketahui pasti kapan dilahirkan, kecuali hanya wafatnya yaitu pada 354 Hijriah (912 Masehi). 

Kehidupan an-Niffari diliputi oleh kesukaan untuk menyepi serta kesungguhan berkhalwat, menyendiri dan selalu merantau dari satu tempat ke tempat yang lain. Pengembaraan menyusuri berbagai negeri Islam menjadi salah satu cirinya. Kebanyakan waktunya dihabiskan untuk beribadat dan merenung bertafakur. 

Walau lirih, an-Niffari telah meninggalkan tapak-tapak yang tidak kalah penting dibanding al-Hallaj maupun al-Bustami. 

Dasar gagasan inti sufisme an-Niffari terletak pada pandangannya tentang Waqfah. Waqfah adalah hadirat Allah, yaitu suatu perhentian sementara di dalam ziarah hidup para salik. 

Waqfah adalah sumber ilmu, dari mana seorang waqif mendapatkan ilmunya. Sedangkan orang lain, menurut an-Niffari mendapatkan ilmu itu dari luar waqfah, yaitu hanya dari benda atau hal-hal luar saja. 

“Adapun si Waqif (orang yang berhenti dan berdiri tegak di Hadirat-Ku), ia telah memasuki tiap rumah, namun tiada lagi rumah-rumah yang dapat menampungnya. Ia sudah merasakan segala macam minuman tetapi masih tetap terasa dahaga. Lalu ia sampai kepada-Ku, dan Aku adalah tempat tinggalnya, dan di sisi-Ku adalah tempat penghentian dan berdirinya. Al Waqfah (penghentian untuk berdiri tegak di Hadirat Allah), adalah di balik apa yang dikatakan, dan makrifat itu adalah puncak yang dikatakan, sedangkan ilmu pengetahuan itu adalah apa yang dapat dikatakan.”

Waqif melihat Allah tetapi tidak dapat melihat selain Allah. Alim mengajarkan ilmu, arif menjelaskan makrifat, waqif menceritakan Allah dalam waqfahnya. Ketika waqif ada dalam waqfah, Allah memberinya makrifat, ilmu dan hukum. Dan dia akan lebih menguasainya daripada mereka yang memilikinya. 

“Aku dihentikan dalam perjanjian dalam keadaan tegak berdiri, Ia pun berkenan bertutur kata padaku: ‘Keluarkan dosamu demi ampunan-Ku!’ ‘Lemparkanlah kebaikanmu demi karunia-Ku! ‘Tinggalkanlah ilmumu demi ilmu-Ku!’ ‘Singkirkan makrifatmu demi makrifat-Ku!’ ‘Tegaklah berdiri bersama-Ku saja!’ ‘Bila engkau tetap saja berdiri, maka segala sesuatu akan mengarahkan tipu dayanya dan menarik-narik padamu serta menghijabmu!’ ‘Berada di sisi-Ku!’ ‘Maka Aku akan bersamamu. Akulah yang akan menghadapi rintangan dan halangan.’”

Waqfah adalah api yang menghanguskan selain Allah, melenyapkan makrifat. Makrifat dibatasi oleh perkataan, waqfah melampaui perkataan. Apabila waqif muncul dari waqfah sebagai perhentian sementaranya dalam hadirat Allah, ia akan menghalau segala keberadaan lainnya.

Waqfah adalah suatu ketidakmungkinan apabila masih ada ketertarikan akan hal-hal lainnya. Namun waqfah menyatakan keterbatasan hal-hal lain itu, sehingga waqif meninggalkan hal-hal lain tersebut. 

Waqif adalah orang yang hidup di dalam waqfah bukanlah seorang teolog atau juga seorang arif dan alim. Alim menyadari ilmunya, tetapi tidak memahami makrifat. Arif memahami makrifatnya, tetapi tidak melihat Allah. 

Waqif melihat makrifat, ilmu dan hukum sebagai berhala. Tubuh waqif mati namun jiwanya tidak mati. Arif tidak dapat mencapai Allah karena pikirannya bermukim dan tidak mau meninggalkan istana makrifat. Dosa arif hanyalah makrifatnya itu. 

“Setiap Waqif adalah seorang berhikmat, tidak setiap orang berhikmat adalah seorang Waqif.” 

“Waqif adalah umat-Ku, orang berhikmat adalah umat hikmat-Ku.” 

“Waqif tidak diakui oleh para ahli agama, dan ahli agama tidak diakuinya.” 

“Tubuh Waqif mati, tetapi hatinya tidak mati.” 

“Kekuatan Waqif adalah diamnya, kekuatan orang berhikmat adalah perkataannya, kekuatan orang berilmu adalah pengetahuannya.” 

“Perhentian melampaui perkataan, dan hikmat adalah akhir dari perkataan.” 

“Dalam perhentian, segala perbedaan dinyatakan.” 

“Hati Waqif ada dalam tangan-Ku, dan hati orang berhikmat ada di dalam hikmatnya.” 

“Waqif tidak bersandar pada apa pun juga, orang berhikmat tidak bersandar pada hilangnya segala sesuatu.” 

“Waqif hanya memandang-Ku saja, hikmat memandang-Ku dan memandang dirinya sendiri.” 

“Perhentian adalah perhentian dari perhentian, hikmat dari hikmat, pengetahuan hikmat, hikmat pengetahuan: bukan hikmat, dan bukan perhentian.”  

An-Niffari mengungkapkan pengalamannya bahwa waqfah sebenarnya sebagai ”suatu” yang tak terbicarakan, yaitu hadirat ilahi yang jauh berbeda sekali dengan tempat suci, ilmu dan makrifat. 

Bahkan ketiga hal itu menjadi penghalang bagi seorang waqif untuk berhenti, yang didirikan tegak dan memandang Allah. Pengalaman waqif dalam waqfah merupakan ”hal” yang tak terkatakan.

Waqfah dekat dengan Allah di mana Allah bukanlah kedekatan itu. Waqfah adalah hal yang paling berharga dari Allah dan yang berkaitan dengan Allah. Namun demikian waqfah tidak dapat menghantar kepada Allah, tidak juga makrifat dapat menghantar kepada waqfah, sebagaimana ilmu tidak dapat menghantar kepada makrifat. 

Pengalaman dalam waqfah oleh sang waqif pun hanyalah hadirat Allah, dekat di sisi-Nya. Kesombongan akan kesucian dan kekudusan hidup manusia pun tidak dapat mendekatkan, terlebih menyatukan manusia dengan Allah. An-Niffari menyadarkan orang bahwa Allah itu Maha Besar, tiada Tuhan selain Allah. 

********

Miguel de Cervantes Saavedra (1547–1616) adalah seorang novelis, penyair dan dramatis Spanyol. Ia sangat dikenal karena novelnya Don Quixote de la Mancha, novel modern pertama, salah satu karya terbesar dalam Sastra Barat dan yang terbesar dalam bahasa Spanyol. 

Gaya alamiah Cervantes sangat dalam dan tajam untuk dibandingkan dengan sajak yang tidak beraturan. Don Quixote adalah sebuah roman satir kesatria yang menguasai dunia sastra pada zaman Cervantes itu.

Melalui novel ini Cervantes menerangi berbagai aspek sifat manusia, dengan menggunakan contoh-contoh yang konyol dari Don Quixote, yang dikuasai oleh angan-angannya sendiri. Don Quixote, berusaha membuktikan bahwa dirinya adalah seorang kesatria, pahlawan yang mendapatkan pengakuan tinggi, yang nyaris sangat tidak masuk akal.

Don Quixote, dalam keedanan dan angan-angan liarnya itu berupaya membuat hidupnya penuh dengan kehebatan dan petualangan yang heboh, sebagaimana yang ia baca dalam berbagai cerita roman kesatria, yang memang sangat populer dan menjadi kiblat budaya masa itu.

Don Quixote merupakan kritik Cervantes atas sistem masyarakat zaman itu, yang dilandaskan atas nilai-nilai heroisme yang nyaris tidak wajar dan konyol. Cervantes mengajukan suatu pilihan logika dan pemikiran yang berbeda dengan kekakuan heroisme yang tidak wajar semacam itu. 

Meskipun Don Quixote tidak didorong oleh kepentingan pribadi secara murni, namun hasilnnya justru berjalan sebaliknya. Ini karena ia tidak mampu membedakan antara kenyataan dan khayalannya sendiri, yang pada akhirnya justru mendatangkan lebih banyak kerusakan daripada kebaikan.

Cervantes berusaha menyadarkan masyarakat dan budaya waktu itu supaya mengetahui pengaruh sastra roman heroisme yang telah menciptakan delusi mental massal dan segera mengobatinya.

Sementara an-Niffari dalam karyanya Al-Mawaqif wal Mukhatabat, juga menyindir para sufi, dengan menceritakan perjalanan spiritualnya yang mengagumkan itu, yang tidak kalah jauhnya dengan pengembaraannya di dunia nyata. Tahap demi tahap dilakukannya sampai pada puncak yang paling tinggi. 

An-Niffari mengungkapkan pergumulannya dengan Allah melalui alegori bait-bait puisi dalam bukunya yang tidak banyak dikenal itu, bahkan di kalangan para sufisme sekalipun. 

Berbeda dengan para sufi penyair kebanyakan, an-Niffari dipandang sebagai sosok sufi penyair yang unik dan sulit. Hasilnya, bahasa-bahasa kiasan yang digunakan an-Niffari sering menimbulkan perdebatan. Kalau tidak hati-hati justru akan menimbulkan pemaknaan yang salah. 

Kitab karya an-Niffari ini dipersembahkan secara khusus hanya kepada orang-orang sangat khusus (khoshul khos) atau “khususnya-khusus” (khawasul khawas), yang suka merenung dan bertafakur, yang telah hidup bersama huruf dan untuk mereka yang mendampingi dan mengawani arti makna. 

Sekali-kali kitab ini bukanlah hanya untuk para penggemar baca, yang suka membaca sekedar kesenangan dan hiburan, yang bersifat sementara atau sepintas lalu.

An-Niffari dalam bukunya itu justru ingin melihat sufisme dari sudut pandang yang berbeda. Ia mau mengantar orang pada pemahaman bahwa ada tabir yang memisahkan antara Khalik dan mahluk. Namun pada saat yang sama tirai tersebut sebenarnya sama sekali tidak dapat memisahkan mereka sedikit pun juga. 

Tujuan yang hendak dicapai oleh an-Niffari melalui kitabnya tersebut adalah menyadarkan manusia supaya selalu berusaha untuk menyingkapkan tabir tersebut. Sama seperti Sancho Panza, yang telah mencegah Don Quixote untuk menyerang raksasa ganas khayalannya sendiri itu.

Di sini An-Niffari sangat menekankan pada keterbatasan huruf, kata dan bahasa, yang kemudian menciptakan ilmu pengetahuan dan makrifat, di mana, bahkan ibadah, zikir, takzim dan pengabdian diri manusia adalah tabir penutup yang menghalangi manusia dari Tuhannya. 

”Akulah yang menciptakan dan merangkaikan huruf-huruf. … Bahasa manusia adalah mahluk-Ku. Sesungguhnya Aku bukan dari golongan mereka dan sifat-Ku pun tidak seperti mereka. Aku adalah Dzat yang tidak dapat diserupai dengan segala sesuatu. Akulah Allah, Dzat yang tidak dapat disifati dengan fisik, tidak dapat digapai dengan huruf, dan Dzat yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata. … Huruf itu adalah huruf-Ku, keluarlah kamu dari huruf dan makhruf, niscaya kamu akan mengetahui tentang ilmu yang tidak saling bertentangan, yaitu ilmu Rabbani.”

“Huruf adalah hijab, dan hijab adalah huruf… Campakanlah dosamu, maka kebodohanmu akan tercampakkan…. Jika engkau mengingat dosamu, engkau tidak akan mengingat Tuhanmu…. Huruf tidak mengenal Aku, juga apa yang keluar dari huruf, juga apa yang terkandung dalam huruf… Aku menyebut huruf dengan lidah huruf, tetapi lidah tidak menyaksikan-Ku, atau huruf mengenal-Ku…. Huruf adalah tempat bagi apa yang muncul melaluinya, dan huruf adalah pengetahuan bagi apa yang muncul darinya, dan huruf adalah perhentian bagi apa yang dimunculkannya… Seperti hikmat, batasnya muncul dari huruf, dan ia berada dalam batasan, bahkan huruf menjadi penutupnya… Batas hikmat adalah tempat kediamannya, dan tempat kediamannya adalah tempat di mana dia tinggal sendiri… Huruf tidak masuk ke dalam kebodohan, atau ia masuk ke dalamnya…. Huruf adalah penuntun pengetahuan, dan pengetahuan adalah milik huruf… Pendamping huruf adalah hijab yang tertutup, dan tinggal dalam artinya di tengah tingkatan… Huruf adalah lintasan iblis… Bahaya tinggal dalam pengetahuan, dan hati, dan kepandaian, dan perhatian… Aku adalah Yang Dekat tanpa terlibat dalam kedekatan, dan Aku adalah Yang Jauh tanpa terlibat dalam kejauhan… Aku adalah Yang Mewujud, bukan sebagai perujudan yang mewujud, dan Aku adalah Yang Tersembunyi, bukan sebagai hal yang tersembunyi.”

Tuhan itu tidak dapat diterka oleh segala prasangka, tidak dapat digapai oleh huruf dan tak dapat dihujam oleh kata. Berita yang dikabarkan oleh an-Niffari ini ditujukan supaya manusia mau menghapuskan nama-nama huruf, dan untuk keluar dari huruf, niscaya Allah akan menyingkapkan tirai penghalang darinya. Dan, apabila seseorang tidak menolak huruf, maka ia bukan bagian dari Allah dan Allah bukan bagian darinya. 

”Huruf itu hanya sekadar debu-debu yang berterbangan di mana Allah memunculkannya dari gurun-gurun di padang pasir… Huruf adalah tirai penghalang atas artinya, dan artinya tersebut adalah tirai penghalang atas dzat-Nya. Huruf adalah tirai penghalang-Ku yang tidak dapat dihancurkan oleh berbagai kejadian selain dengan izin-Ku…  Huruf yang paling tinggi adalah nama-Ku…”

“Huruf itu sifatnya lemah, tidak berkesanggupan untuk memberitakan tentang dirinya apalagi memberitakan tentang-Ku. Akulah pencipta huruf dan mahruf apa yang diberitakan oleh huruf. Aku jadikan dari rangkaian huruf itu menjadi nama, dan susunan, menjadi bahasa dan beberapa ibarat agar dengannya manusia yang menjadi penghuni alam ini dapat berbicara. Jangan dilupakan bahwa kesemuanya ini Aku yang menjadikan dan Aku berada di atas segala. Apa yang Aku ciptakan sebagaimana halnya huruf, tidaklah mempunyai kemampuan hukum apa pun atas-Ku dan tiada menyentuh sedikit pun atas dzat-Ku. Telah Kukatakan kepada huruf dengan gaya huruf itu sendiri maka tiadalah lisan itu dapat menyaksikan-Ku dan tiadalah Aku dikenal oleh huruf itu. Barangsiapa yang telah Kucintai daripada penyanding-penyanding-Ku dan pecinta-pecinta-Ku, maka Aku pun berkenan berkata-kata kepadanya, kata-kata-Ku tanpa ibarat, tanpa bahasa dan tanpa rangkaian huruf. Dan orang itu pun akan diajak bicara oleh batu-batu dan bata-bata, dan bagi orang itu cukup mengatakan terhadap sesuatu ‘jadilah’ maka ‘jadi’. Andaikan Kukatakan dengan ibarat, tentu saja ucapan-Ku itu akan dikembalikan oleh ibarat kepada diri ibarat itu tentang apa-apa yang diibaratkan. Dan pastilah hal yang demikian menjadikan tirai pendiding karena kembalinya itu dan sekalipun yang mana berarti tidak dapat berbuat apa-apa.” 

An-Niffari juga sampai pada tahap kasunyatan, yaitu ketika manusia keluar dari tabir hawa nafsu, tirai huruf, kata, nama, ilmu pengetahuan dan makrifat, bahkan keluar dari nama Allah itu sendiri. Kasunyatan hanya dapat dicapai ketika seseorang mau keluar dari tabir konsep Allah, yang merupakan penghalang terbesar bagi manusia. Kasunyatan adalah berhentinya akal budi dan tidak tergelincir oleh godaan dan rayuan untuk memahami Allah sebagai salah satu objek pengetahuannya. 

“Huruf adalah tirai, seluruh huruf adalah tirai, sebagian huruf adalah tirai.”

“Aku tidak dikenali oleh huruf, atau oleh yang ada di dalam huruf, atau oleh apa itu huruf, atau oleh apa yang ditunjukkan oleh huruf.” 

“Huruf itu adalah satu penjuru dari beberapa penjuru iblis.” 

”… Huruf-huruf merupakan suatu materi tuhan selain Allah dan materi berbagai gagasan.”

“Hai hamba! Telah syirik siapa yang dihentikan oleh tutur kata dan ikhlaslah barangsiapa yang dihentikan oleh yang bertutur kata.”

“Ilmu pengetahuan yang bertentangan adalah kebodohan yang merupakan ilmu pengetahuan huruf, dan kebodohan yang bertentangan adalah imu pengetahuan yang merupakan kebodohan huruf. Pergi meninggalkan huruf, dan engkau akan memiliki ilmu pengetahuan yang tidak bertentangan, yaitu ilmu Rabbani, dan engkau akan memiliki kebodohan yang tidak bertentangan, yaitu yang sungguhsungguh dan yang nyata.” 

An-Niffari jelas mencatat bahwa huruf itu tidak dapat menjelaskan tentang dirinya sendiri. Lalu bagaimana manusia dapat bergantung kepadanya untuk menjelaskan dan menggambarkan Allah? 

“Tidak ada yang lebih dekat kepada-Ku selain sesuatu yang bersifat pasti, tidak ada yang lebih jauh dari-Ku selain sesuatu yang bersifat pasti.” 

“Kesangsian tinggal di dalam huruf, jika ia hadir di hadapanmu, katakan, ‘Siapakah yang membawamu?’” 

“Kebagaimanaan tinggal di dalam huruf.”

“Apabila Aku berbicara dengan engkau menggunakan ungkapan, kekuatan tidak ada padamu, karena ungkapan akan membawamu ke sini dan ke sana, dari dirimu ke dirimu, melalui apa yang engkau ungkapkan dan apa yang dimaksudkan oleh ungkapanmu itu.” 

“Awal kekuatan adalah, engkau memiliki makrifat tanpa ungkapan.” 

“Ketika Aku mengenalkan diri-Ku tanpa ungkapan, engkau tidak kembali kepada dirimu sendiri, dan ketika engkau tidak kembali kepada dirimu sendiri, kekuatan datang padamu.” 

“Ungkapan adalah huruf, tidak ada keadaan di dalam huruf.” 

“Mengenalkan diri-Ku kepadamu dengan menggunakan suatu ungkapan, adalah persiapan mengenalkan diri-Ku kepadamu tanpa ungkapan.” 

“Ketika Aku mengenalkan diri-Ku kepadamu dengan menggunakan suatu ungkapan, itu menunjuk batu dan lumpur kepadamu.” 

“Sifat-sifat-Ku yang disandarkan pada ungkapan adalah berdasarkan pada sifat-sifatmu. Sifat-sifat-Ku yang tidak disandarkan pada ungkapan bukan sifat-sifatmu, dan bukanlah sifat-sifatmu.” 

“Pikiran termuat di dalam huruf, dan angan-angan dalam pikiran. Ingatan tulus terhadap-Ku melampaui huruf dan pikiran, dan nama-Ku di luar jangkauan ingatan.” 

Rupa-rupanya manusia baru sampai pada kesadaran bahwa dirinya sangat terbatas. Ia tidak dapat melanjutkan lagi kepada kesadaran tentang Allah, apa lagi kepada Allah sendiri. Meskipun demikian, kesadarannya itu telah membangunkannya dari mimpi dan khayalannya tentang Allah. Manusia hanya sampai pada batas cakrawalanya.

“Pengungkapan oleh kata-kata adalah suatu penyelewengan… Jangan mendengarkan huruf tentang Aku, dan jangan menerima keterangan apa pun juga dari huruf tentang Aku… Huruf tidak dapat menjelaskan dirinya sendiri, lalu bagaimana ia menerangkan tentang Aku?… Aku adalah Dia yang menciptakan huruf, dan menyatakannya… Aku adalah Dia yang menyatakan Diri-Nya sendiri kepada mereka yang Dia kehendaki… Setiap ahli kitab membaca kitabnya, dan setiap pembaca menghargai bacaannya.”

”… Huruf itu adalah huruf-Ku, ilmu itu adalah ilmu-Ku, dan kamu adalah hamba-Ku, bukan hamba huruf-Ku dan bukan pula hamba ilmu-Ku… Jika kamu telah keluar dari karakter, sifat, amal perbuatan, dan ilmumu, berarti kamu telah keluar dari namamu. Jika kamu telah keluar dari namamu, kamu akan berada di dalam nama-Ku.”

”… Bahut adalah orang yang keluar dari nama-nama dan tirai kemudian ia melihat Aku. Lalu, setelah itu, dia menjadi tenang dengan melihat Aku. Aku tidak mengucapkan apa pun kepadanya dalam penglihatan ini dan dia pun tidak mengucapkan apa-apa kepada-Ku.”

“Jika huruf berdiri di pihakmu, engkau bukan milik-Ku, atau Aku milikmu, jika huruf berlawanan denganmu, engkau bukan milik-Ku, atau Aku milikmu… Letakkanlah dosamu di bawah kakimu, dan kebaikanmu di bawah dosamu… Orang yang memandang Aku, mengenal Aku, yang sebaliknya, tidak, orang yang mengenal Aku, bersabar terhadap-Ku, yang sebaliknya tidak… Orang yang sabar kehilangan yang lain, memahami karunia-Ku, dan yang sebaliknya tidak.”

Di dalam pergumulan hidup memaknai itu, kemudian tidak sedikit dijumpai pertentangan dan kesadaran akan keterbatasan bahkan keterkutukan keberadaan manusia. Bahkan kesadaran bahwa mencari pengetahuan dan pemaknaan akan Allah adalah suatu usaha sia-sia, yang membuat manusia justru tersesat di dalam pikiran dan perasaannya sendiri. Karena ketika Allah sendiri yang menyingkapkan Diri-Nya kepadanya, maka manusia hanya terdiam, kelu, membisu dan mati.

Pengalaman an-Niffari bergulat dengan mahluk Allah yang Dia ciptakan, yaitu huruf-huruf dan segala yang ada di dalam huruf dan segala yang keluar dari huruf, disyairkannya seperti:

“Allah berseru kepada seorang yang arif: ‘Andaikan perjalanamu berhenti hanya sampai kepada huruf, lalu engkau dikuasainya bagaikan tawanan, dan terpengaruhlah oleh rahasia-rahasianya, dan tergoda oleh teka-tekinya, agar supaya engkau dapat merajalela atas manusia-manusia, niscaya kan Kucatat engkau dari golongan ahli sihir yang tidak berjaya, dan dari penyembah-penyembah huruf yang mereka itu adalah berlaku syirik kepada-Ku mereka adalah penyembah-penyembah huruf selain Aku, dan menuntut nama itu dari selain Aku. Aku memberitahukan kepadamu tentang rahasia huruf, maka itu adalah suatu malapetaka yang gawat segawat-gawatnya. Engkau dapat mengenal rahasia huruf, sedangkan engkau berada di dalam kemanusiaanmu, niscaya tergilalah akal-budimu. Engkau dapat mengenal rahasia asma, sedangkan engkau berada di dalam kemanusiaanmu, niscaya tergilalah akal-budimu.’”

Keprihatinan an-Niffari terhadap keterikatan manusia kepada huruf yang memperbudaknya itu terasa sangat kuat dalam baris-baris puisinya tadi. Manusia harus merelakan mahluk Allah yang satu ini untuk segera dilewati dalam perjalanan kerohaniannya itu.

“Jika engkau tinggal di dalam ungkapan, engkau tertidur, dan jika engkau tertidur engkau mati, dan engkau tidak memiliki hidup, dan melalui ungkapan engkau tidak dapat meraihnya.”

An-Niffari dengan sufismenya menawarkan pengalaman perhentian sementara dalam waqfah, di mana semua hikmat makrifat dan ilmu pengetahuan harus dibuang dan dicampakkan jauh-jauh. Karena makrifat dan ilmu yang dikejar oleh para sufi itu hanyalah merupakan kejahatan dan tabir pemisah manusia dengan Allah. 

“Allah berseru kepada seorang bijak: …‘Keluarlah engkau dari ilmu pengetahuanmu, amal-amalmu, pengenalan makrifatmu, bahkan dari dirimu dan namamu sekalipun. Keluarlah engkau dari huruf dan mahruf. Lemparkanlah segala ibarat ke belakang punggungmu dan campakkan arti-makna ke belakang ibarat, dan lemparkan pendapat ke belakang arti-makna dan masuklah engkau seorang diri, niscaya engkau akan melihat Aku sendiri.’” 

Selanjutnya untuk mencapai tingkat yang demikian, si salik perlu melepas-bebaskan dirinya dari segala sesuatu, baik pengetahuannya, amal perbuatannya, sifatnya bahkan diri dan Namanya, dalam arti keluar dari kebanggaan diri. Jangan hendaknya sampai terucapkan dari lisannya ‘aku si anu yang telah mencapai derajat demikian, aku adalah seorang arif yang bijak yang berilmu dan yang telah membuat karangan-karangan.’ Bukan hanya itu saja, tetapi ia harus keluar dari sihirnya kalimat dan fitnahnya ibarat. Keluar dari tabiat dan keinginan-keinginan, dan dari kesemuanya itu dikembalikan apa pun yang ada pada dirinya kepada Allah SWT. Ia harus menyuci tangannya baik dari pangkat dan kekayaannya serta kekuasaannya. 

“Lanjut-Nya: ‘Hendaklah engkau turun dari kendaraan, keluar dari huruf dan keluar pulalah dari makrifat, dengan demikian Kuhapus tanda hijab dan akan Kuteguhkan engkau dengan tanda-Ku, maka engkau tidak dikuasai lagi oleh huruf yang menghijab.’ Kata-Nya pula: ‘Menyingkrilah dari nama-nama huruf dan engkau akan menyingkir pula dari arti maknanya. Jika kesemuanya itu telah engkau singkirkan barulah Aku akan lebih dekat dari urat leher. Belum! Belum tiba di tujuan! Menyingkirlah dari leher itu, dan urat leher itu, menyingkirlah dari dekat ke yang lebih dekat, niscaya engkau melihat lafaz Aku. Bila engkau telah pergi dari lafaz itu, maka Akulah Yang Dahir (Yang Nyata) dan Akulah Yang Batin dan Akulah terhadap segala sesuatu Mahamengetahui.’”

Marifat adalah kejahatan bagi semua mahluk. Arif dengan makrifatnya itu mencari bukti melalui Allah. Alim dengan ilmunya itu mencari bukti tentang Allah, namun ilmunya itu hanya menunjuk kepada dirinya sendiri, bukan menunjuk Allah. Alim adalah berbicara tentang ilmunya sendiri. Ilmu adalah tabir Allah, tabir penglihatan. Ilmu adalah pintu Allah yang memisahkannya dari Allah. Makrifat adalah penjaga pintu itu. 

Sufisme merupakan penyembahan berhala, maksiat, karena ia menggunakan makrifat dan ilmunya untuk menyatu diri dengan selain Allah. Allah tidak dapat digapai oleh ilmu dan tidak dapat diraih oleh hikmat. 

”Tuhanku telah berkata kepadaku: ‘Hai hamba-Ku, jika kamu memuji-Ku dengan segala pujian huruf, kamu telah bermain dengan permainan huruf. Hai hamba-Ku, jika kamu bertobat dengan suatu huruf, berarti kamu telah membatalkannya dengan suatu huruf. Jika kamu mematuhi-Ku dengan menggunakan lisan huruf, berarti kamu telah berbuat maksiat dengan lisan huruf. Hai hamba-Ku, sucikanlah pujian-Ku dari huruf dan jumlah huruf. Bersihkanlah penyucian-Ku dari berbagai jumlah, niscaya Aku akan tulis dan hitung pujianmu dengan tangan-Ku di atas bayangan-Ku serta Aku akan menjadikanmu, apabila kita bertemu kelak, termasuk dari golongan-Ku.’” 

Ilmu tidak dapat mencapai Allah. Ilmu dan makrifat harus dibuang jauh-jauh dalam perjalanan menuju Allah. Karena ilmu dapat memelesetkan manusia dan makrifat dapat mendatangkan kebodohan. Arif berbicara tentang dirinya sendiri. Makrifat berbicara tentang Allah. Waqfah adalah diam.

“Aku lebih dekat daripada huruf, meski ia dapat berbicara, Aku melampaui huruf, meskipun ia diam… Tinggallah melalui Aku, ketika engkau tinggal dan mencari, Aku berbicara, atau ketika engkau menilai, Aku adalah hakim… Nama adalah milik pengetahuan, dan pengetahuan adalah milik segala sesuatu. Segala sesuatu kembali kepada pengetahuan, dan pengetahuan kembali kepada nama. Nama kembali kepada hal yang dinamai. Nama menghancurkan pengetahuan, dan betapa banyak nama tanpa pengetahuan di dalamnya! Pengetahuan menghancurkan hal yang diketahui, dan betapa banyak pengetahuan tanpa hal yang diketahui di dalamnya. Hal yang dinamai menghancurkan nama, dan betapa banyak hal yang dinamai tanpa nama atasnya!… Nama adalah hijab-Ku, pengetahuan adalah hijab-Ku, dan penjelasan adalah hijab-Ku. Perhentianmu adalah hanya di hadirat-Ku. Apabila Aku mengundangmu pada nama, yaitu kepada hijab Aku mengundangmu, bawalah terang-Ku bersamamu, supaya engkau berjalan dengannya dalam kegelapan hijab itu. Karena semua hijab adalah kegelapan, dan terang adalah milik-Ku, dan Akulah terang, Akulah terang sorga dan dunia. Berlindunglah kepada-Ku dari terang-Ku, dan berlindunglah dengan terang-Ku dari hijab-Ku. Berdirilah bagi-Ku, O hamba-Ku, dalam tingkatan hamba, sehingga Aku memberikan kelegaan kepadamu.”

“Pengetahuan tidak menuntun kepada hikmat, dan hikmat tidak menuntun kepada perhentian, dan perhentian tidak menuntun kepada-Ku.” 

“Orang berilmu berada di bawah perbudakan, orang berhikmat terikat dengan kebebasan, Waqif bebas.” 

“Hikmat mengetahui dan diketahui, Waqif mengetahui dan tidak diketahui.” 

“Perhentian melampaui yang jauh dan yang dekat, hikmat ada di dalam yang dekat, dan yang dekat melampaui yang  jauh; pengetahuan ada di dalam yang jauh, dan itulah batasnya.” 

“Orang berhikmat melihat batas pengetahuannya, Waqif melampaui segala batas.” 

“Waqif menyingkirkan hikmat sebagaimana ia membuang pikiran.” 

“Orang berilmu menceritakan ilmunya, orang berhikmat menceritakan hikmatnya, Waqif menceritakan-Ku.” 

“Orang berhikmat menceritakan perintah dan larangan, dan dalam pasangan itulah pengetahuannya; orang berhikmat menceritakan sifat-sifat niscaya-Ku, dan itulah hikmatnya; Waqif menceritakan-Ku, dan dalam-Ku dia berhenti.” 

“Aku lebih dekat kepada segala sesuatu daripada jiwa mereka sendiri, dan Waqif lebih dekat kepada-Ku daripada segala sesuatu pun juga.” 

“Waqif melihat apa yang dilihat oleh orang berhikmat dan memiliki hikmat itu, orang berhikmat melihat apa yang dilihat oleh orang berilmu dan memiliki pengetahuan itu.” 

“Pengetahuan adalah tirai-Ku, hikmat adalah ucapan-Ku, perhentian adalah hadirat-Ku.” 

An-Niffari sebenarnya tidak hanya menyadarkan orang tentang waqfah dan huruf. Tetapi lebih lagi, ia menyadarkan bahwa Allah itu diyakini oleh sufisme dengan menggunakan istilah-istilah kulminasi, batas atau juga negasi melalui predikasi-predikasi yang sudah diketahui sebelumnya.

Allah dipredikasi sebagai “Yang Maha Tinggi”, “Yang Maha Besar”, “Yang Tak Dapat Dipikirkan”, “Yang Tak Dapat Dikatakan”, dst. Predikasi tersebut sebenarnya juga mengungkapkan ketidakpuasan manusia pada kenyataan dunia ini.

Predikasi-predikasi tersebut adalah tabir atau hijab yang menghalangi dan memisahkan antara manusia dan Allah. Namun celakanya, di saat yang sama manusia menjadikan predikat-predikat tersebut sebagai perspektif pemikiran dan dasar hidup, pertolongan, perlindungan dan keselamatannya. Padahal itu adalah makhluk, tuhan selain Allah.

Sementara Don Quixote melalui angan-angan liarnya itu berhasil menggubah kincir angin besar itu menjadi raksasa ganas, yang siap menerkam dan memangsa kembang-kembang desa cantik dan wangi yang melintas di bukit itu. Merujuk pada “cersil” tentang heroisme para pendekar sakti abad pertengahan yang telah ia baca sebanyak itu. Don Quixote, akhirnya dengan gagah berani menyerbu angan-angan liarnya sendiri, lalu ia terluka parah.

—–

Kepustakaan

Arberry, A. J. The Mawaqif and Mukhatabat of Muhammad Ibn ‟Abdi” Al-Jabbar Al-Niffari. Cambridge University Press, London, 1935. 

Arberry, A. J.  Sufism: An Account of the Mystics of Islam.  Unwin, London, 1979.

de Caravantes, Miguel. Petualangan Don Quixote. Narasi, Yogyakarta, 2006.

Gurgen, Emre. Don Quixote Explained. AuthorHouse, Bloomington, 2013.

Mahmoud, Musthafa. Melihat Allah. Bina Ilmu, Surabaya, 2003. 

Mahmoud, Musthafa. Nikmatnya Melihat Allah. Rumput Abadi Jakarta, 2006.

Nasution, Harun. Falsafat Dan Mistisisme Dalam Islam. Bulan Bintang, Jakarta, 1973. 

Nicholson, Reynold A. The Idea of Personality in Sufism. S H. Muhammad Ashraf, Lahore, 1964.  

Nicholson, Reynold A. The Mystics of Islam. Arkana, London, 1989.


*Tony Doludea, Peneliti di Abdurrahman Wahid Center for Peace and Humanities Universitas Indonesia.