Menuju Marege! The Last Trepanger dan Ingatan Pelayaran Indonesia-Australia
Oleh Rangga Ardia Rasyid*
Marege! Itulah tanah yang tidak dijanjikan, tapi tanah yang diimpikan. Ide akan sebuah tempat tinggal dipenghujung lautan itu mengisi setiap pikiran orang Makassar yang berlayar ke Kimberley dan Arnhem Land di Australia Utara. Hanya dengan perubahan popularitas makanan nun jauh di Tiongkok sana bisa membuat para pelayar Makassar untuk menavigasi lautan dan mencari teripang. Layaknya lautan yang terus berdesir, orang-orang Makassar yang ‘menemukan’ Marege juga datang dan kembali setiap waktu hingga berjalan berabad-abad lamanya. Perjalanan yang diisi oleh ketakutan, ketangguhan, dan harapan telah melekat ke dalam memori kolektif dan identitas utama dari kepandaian maritim orang Makassar. Namun, dengan ide tentang batas negara dan kewarganegaraan ‘menutup’ jalur perjalanan tersebut dan menjauhkan kesejarahan yang telah tumbuh di antara kedua wilayah. Melalui film animasi berjudul The Last Trepanger A Brother from Across the Sea. masa lalu yang sulit untuk direkonstruksi dapat diimajinasikan dengan lebih visual.
Imajinasi; kata yang akan menjadi kunci utama dalam kefektifan dari film animasi ini. Film The Last Trepanger adalah hasil kerja dari mahasiswa Fakultas Desain dan Komunikasi Visual (DKV) Universitas Negeri Makassar yang bekerjasama dengan Studio Makkomikki Makassar dan Rumata’ Artspace – MIWF dan dengan dukungan Australia Indonesian Institue. Selama penggarapannya, founder dan direktur dari Rumata Artspace, Yulianti Farid juga diberi credit sebagai pengagas ide ceirta, produser, dan salah satu peneliti. Beberapa tulisannya tentang “lokus kontak” Makassar-Australia bisa diakses melalui website https://www.portsidereview.com/lily-yulianti-farid. Pemutaran perdana film ini dimasukkan ke dalam rangkaian acara bertajuk “Tradition and Ritual in Contemporary Society” di Charles Darwin University (CDU), Australia pada 28 November 2022. Kemudian film ini diunggah beberapa bulan setelahnya, melalui kanal Youtube Rumata Artspace.
Marege dan Jati Diri Pelaut Makassar
Film berdurasi 20 menit ini mengisahkan dua saudara kembar Hasan dan Hasni yang tinggal di Makassar pada tahun 1907. Sebuah tahun yang akan menjadi sangat penting ketika membahas para penangkap teripang asal Makassar. Keduanya menanti kepulangan dari kakak mereka, Daeng Nurdin, yang berlayar ke Australia untuk mencari teripang. Pada hari terakhir sebelum berlayar ke Marege, Daeng Nurdin berjanji sekembalinya ke Makassar, ia akan mengajak si kembar untuk mengarungi lautan menuju tanah tersebut. Namun, ketika hari kembalinya Daeng Nurdin telah jatuh, Hasan dan Hasni hanya dapat memandang ke cakrawala yang kosong. Mempertanyakan apa yang terjadi kepada sang kakak. Seluruh orang di desa percaya bahwa pelayaran Daeng Nurdin telah ditelan oleh badai atau menjadi korban bajak laut.Walaupun tak kunjung ada berita mengenai keberadaan sang kakak, Hasan dan Hasni tetap memegang pada harapan bahwa suatu hari nanti. Jika memang sang kakak tidak kembali juga, maka mereka lah yang akan berlayar ke laut dan mencarinya.
Berita akan Daeng Nurdin dan harapan untuk menemukannya kembali menjadi sebuah tema utama di dalam film ini. The Last Trepanger menggambarkan ikatan saudara antara Hasan dan Hasni kepada sang kakak mengingatkan kembali para penonton, tentang eratnya identitas kekeluargaan di dalam masyarakat Makassar. Karakter seperti Aji Maro sang pemilik kapal di dermaga dan sang nenek atu Dato yang mengasuh si kembar menjadi supporting character yang cukup penting. Keduanya merupakan orang yang sudah tua dan digambarkan jauh lebih mengerti akan arti dari kehidupan yang mungkin masih tidak diketahui oleh Hasan dan Hasni. Aji Maro memberikan kembali semangat kepada Hasan untuk membantu kapal-kapalnya, yang pada akhirnya menguatkan hati Hasan akan suatu hari berlayar menuju Marege. Ini akan mendorongnya untuk menjadi lebih berproduktif dan membantu menangkut barang, alih-alih hanya menunggu kadatangan Daeng Nurdin.
Dalam hal yang sama, Dato dari Hasan dan Hasni memberiikan sebuah pesan menarik yang menggarisbawahi arti penting dari Marege. Tanah Marege bukanlah sekadar destinasi dari sebuah pelayaran dan bukan hanya untuk mendapatkan uang dan teripang. Bagi orang Makassar, tanah Marege adalah tanah yang merepresentasikan jati diri dari orang Makassar, yaitu pengelana dan pelaut. Hasan dan Hasni menggambarkan semangat yang layaknya hadir di dalam darah dari orang Makassar. Mereka tidak berdiam dan menunggu, tetapi mencari dan bersemangat untuk berpetualang. Itulah Marege di dalam memori kolektif orang Makassar. Sebuah tempat yang ditemukan karena kepiawaian mereka dalam berlayar dan berpetualang. Menyadari pentingnya posisi Marege juga menunjukkan Hasan dan Hasni mengapa Daeng Nurdin pergi untuk berlayat. Hal ini penting bagi kedua karakter untuk menyadari, bahwa jikalau pun Daeng Nurdin gugur di dalam perjalanan balik, ia meninggal sebagai seorang Makassar yang telah memenuhi jati dirinya.
Mencari Australia di Tanah Makassar
Selain mengeksplorasi ‘ide’ budaya dibalik pelayaran teripang, The Last Trepanger juga menangkat kisah yang hampir tidak diketahui oleh masyarakat Indonesia; kehadiran orang Australia aborigin di Makassar. Dalam film ini, dikisahkan bahwa pada tahun 1865, Gunano dari Marege ikut kembali bersama kapal padewakang dan tinggal bersama seorang pelaut dari Makassar di rumahnya. Gunano kemudian berkelana di Makassar dan diperkenalkan dengan budaya penduduk di sana. Ia belajar untuk menghormati peribadatan orang Makassar yang berbeda dengan suku Aborigin, dan pada akhirnya bisa hidup berdampingan dan bahkan beradaptasi dengan tradisi orang Makassar. Munculnya Gunano dalam film ini menggambarkan bahwa jati diri dari orang Makassar dan Aborigin tidak jauh berbeda. Gunano yang berani meninggalkan kampung halamannya dan berlayar bersama orang asing menuju tanah sebrang menunjukkan sifatnya yang sama dengan orang Makassar.
Ia tidak takut untuk berpetualangan dan mencoba hal baru. Gunano tidak pergi ke Makassar untuk mencari uang atau hanya karena ingin mengetahui penduduk Makassar. Tidak, ia pergi ke Makassar untuk memperluas pengetahuannya dan menyadari bahwa di luar Marege, di luar tanah kelahirannya, tersembunyi sebuah dunia baru yang patut dijelajahi. Gunano menjadi kisah untuk Hasan bahwa ia tidak bisa terus melihat ke belakang. Sebagai orang Makassar, ia harus berjalan ke depan dan percaya bahwa apapun yang terjadi kepada Daeng Nurdin, mereka harus menatap masa depan. Tak lama setelah Dato menyemangati kedua saudara kembar, suara teriak datang dari dermaga memberitahu kedatangan kapal dari Marege. Hasan dan Hasni pun bergegas melompat dan berlari ke dermaga, berharap Daeng Nurdin telah mendarat dan menunggu mereka.
*Penulis saat ini merupakan tim peneliti sejarah di Bank Indonesia Institute.