Konser Rakyat Leo Kristi Tak Pernah Mati

Oleh Feri Latief “Gulagaluku suara nelayan, berayun-ayun laju!” suara penonton membahana melantukan lirik lagu ‘Suara Nelayan’nya mendiang Leo Kristi di Teater Wahyu Sihombing, Taman Ismail Marzuki, tadi malam (27/07/24). Menyaksikan ini ingatan saya kembali ke masa lalu saat kecil, saat TVRI menayangkan lagu itu di layar kaca. Lagu itu sudah lama tak pernah saya dengar, […]

Bukan Sulap, Bukan Sihir “In Progress: Magic Maids” oleh Eisa Jocson dan Venuri Perera

Oleh Razan Wirjosandjojo Sebidang empat sisi jendela membingkai ruang pertunjukan, saya berdiri di dalam Front of House (FOH) Teater Arena bersama sound operator, mas Kipli. Setelah memberi aba-aba untuk penonton masuk, saya menyaksikan Eisa dan Venuri menata rupa-bentuk koleksi sapu yang tersandar di dinding belakang panggung. Hal itu terjadi sembari Vonjiana membuka acara sebagai MC. […]

Terpukul Waktu dalam “The Sound After Solitude #2”

Oleh Razan Wirjosandjojo Siska termenung di atas simpuhnya, renungnya dibasahi cahaya. Tikar terbaring di samping, sediam dirinya. Momen diam itu perlahan merekah, Siska mulai berdiri. Langkahnya perlahan, tubuhnya merendah, seperti seekor kucing yang mengendap-endap. Sekejap kakinya menyergap lantai dan udara dengan tendangan yang cepat dan halus. Tubuhnya membentuk kuda-kuda, matanya tajam melihat kepada kosong di […]

Proses Kreatif “Aduh”

Oleh Jose Rizal Manua Kami berlatih di teras rumah mas Putu yang berukuran 3m X 5m, yang di sudut-sudutnya berisi beberapa kursi. Di ruang sempit yang panas inilah mas Putu menyusun pengadeganan. Ya, kalau siang terasnya terasa cukup panas, membuat semua pemain mandi keringat setelah menyelesaikan sesi latihannya. Tapi, hikmah dari tempaan latihan keras ini […]

Hare Rumemper : Teater Sebagai Laboratorium

Oleh A Zaenuri Lahir di Surabaya, 6 Juni 1954. ‘Hare’ nama panggilannya, dia adalah darah Belanda. Kakeknya seorang Belanda pedagang rempah-rempah kawin dengan perempuan pribumi Banda Neirah. Dari sini lahir bapaknya dan menikah dengan perempuan Tulungagung dari keluarga seniman. Keluarga ibunya banyak yang jadi seniman bahkan pamannya dalang wayang kulit. Hare lahir di Surabaya, karena […]

Amir Kiah: Kematangan Seorang Penata Artistik

Oleh A. Zainuri Lahir di Kupang, Nusa Tenggara Timur, 16 Agustus 1952. Selepas SMA dia mulai aktif berkesenian, dengan belajar melukis di LIA (Lembaga Indonesia-Amerika) – Painting Circle yang diasuh pelukis Krishna Mustajab. Lalu bergabung di Bengkel Muda Surabaya sebagai tata artistik teater. Semua sutradara yang ada di Bengkel Muda, tata artisiknya selalu ditangani Amir […]

Mastohir Teater Ontang Anting

Oleh A. Zaenuri Lahir di Surabaya, 29 September 1946. Mastohir bermula dari kelompok Penggemar Seni Teater Surabaya (Pensiter) pada tahun 60 an. Kelompok ini dipelopori oleh; Anang Hanani, Hari Matrais, Arthur John Horoni, Cholik Dimyati, Isti Dradjat, Syusiar, Imam Assegaf dan lain-lain. Garapan drama pertamanya untuk drama televisi yang diambil dari naskah Usmar Ismail ‘Pagar […]

Anang Hanani : Teater Itu Kesetiaan

Oleh A. Zaenuri Lahir di Surabaya, 30 Agustus 1943. Anang Hanani identik dengan drama dan baca puisi. Dia instuktur dan penatar teater dan baca puisi di berbagai kota. Pernah menjadi Ketua Penggemar Seni Teater Surabaya yang kemudian berubah menjadi teater Merdeka, tahun 1964 hingga sekarang. Saat SMP pernah menang penulisan puisi yang diselenggarakan majalah Liberty, […]

Putu Wijaya, Sebuah Transkip Wawancara Tentang Teror Mental dan lain lain oleh Jose Rizal Manoa

PUTU WIJAYA: Usaha untuk, mencoba untuk melawan larangan-larangan itu dan memanfaatkan segala kendala-kendala itu sebagai batu loncatan sebagai challenge, bahkan sebagai tambahan juga untuk membuat tenaga kita meloncat sama dengan seperti seorang pencuri yang sebetulnya badannya ringkih, tapi ketika dia dikejar oleh masyarakat mau dibunuh tiba-tiba disudut dia bisa meloncat dua meter. Padahal meloncat satu […]

Bawong Suatmaji Nitiberi Tentang Akting : “Nikmat itu batasnya hanya sedepa”

Oleh A Zaenuri Mencari Batas “Nikmat itu batasnya hanya sedepa…….”, kata-kata ini pernah meluncur di saat Bawong sedang senggang; tidak dalam proses berkesenian, terhindar dari pekerjaan bahkan terhindar dari masalah-masalah lainnya. Dia menjelaskan dengan gamblangnya bahwa ukuran ‘sedepa’ itu ada dikeluasan jemarinya dari pucuk ibu jari sampai pucuk kelingking yang direntangkan melebar.Lalu jemari yang direntangkan […]