Koteka Pakaian Adat Papua Perlu Perlindungan UNESCO
Oleh Hari Suroto*
Koteka adalah pakaian untuk menutup kemaluan laki-laki dalam budaya pegunungan Papua, yaitu etnis Dani, Lani, Yali di wilayah Lapago serta etnis Amungme dan etnis Mee di wilayah Meepago yaitu Dogiyai, Deiyai, Paniai, Intan Jaya dan Puncak. Koteka ini berasal dari sejenis buah labu air (Lagenaria siceraria). Isi dan biji labu tua dikeluarkan dan kulitnya dijemur. Koteka ini dipakai dengan cara menggantungkannya dengan tali pada sebuah ikat pinggang, sehingga berdiri ke depan, pada ujungnya seringkali dibuat jambul.
Cerita rakyat etnis Dani menyebutkan awalnya benih labu air bahan koteka dibawa oleh seekor anjing. Etnis Dani juga menggunakan labu koteka sebagai obat tradisional. Labu koteka rebus ini dikonsumsi setiap hari hingga penyakit tipes sembuh. Biasanya anak kecil hingga orang tua yang sakit tipes akan mengkonsumsi labu rebus ini.
Koteka, pakaian untuk menutup kemaluan laki-laki masyarakat Papua, perlu diusulkan untuk masuk dalam daftar perlindungan mendesak UNESCO. Hal itu perlu dilakukan mengingat saat ini kalangan laki-laki terpelajar di daerah Pegunungan Tengah dan Suku Dani yang tinggal di Kota Wamena, Papua sudah sangat jarang mengenakan koteka kecuali pada saat upacara adat.

Foto koteka dijual di toko oleh-oleh Pasar Hamadi, Kota Jayapura
Pria Yali di Kabupaten Yalimo, juga terancam punah, seiring makin banyaknya anggota suku yang menggunakan pakaian modern. Koteka ternyata tak hanya pakaian, tapi juga fungsi lain. Pakaian tradisional etnis Yali mulai ditinggalkan dan hanya generasi tua yang menggunakan. Sedangkan generasi muda suku itu, lebih suka menggunakan pakaian modern berbahan kain.
Pakaian tradisional etnis Yali adalah paduan antara koteka dan lingkaran rotan yang dililitkan ke badan. Bahan koteka etnis Yali adalah buah labu panjang yang dikosongkan isinya kemudian dikeringkan dengan dijemur di atas perapian. Setelah kering, labu tersebut dipasang di atas kemaluan lelaki etnis Yali, dan diikat dengan tali rotan halus yang dililitkan di bagian pinggang hingga perut. Lingkaran rotan di perut dan badan, juga menunjukkan tingkat keberanian seorang pria dari suku itu.

Foto labu air sebagai bahan pembuatan koteka
Semakin banyak lingkaran yang dimilikinya, berarti semakin tinggi pula tingkat keberanian dan status yang dimilikinya itu. Sebab rotan hanya tumbuh di luar daerah Yali, sehingga orang Yali biasa menyebut rotan hanya tumbuh di daerah musuh, dan untuk memperolehnya harus menempuh risiko.
Lingkaran rotan dan koteka juga bukan cuma pakaian dan perhiasan. Ada kegunaan lain dari pakaian tradisional ini, yaitu untuk membuat api. Rata-rata pria Yali membuat api dengan menggunakan sebuah tali rotan sebagai korek api.
Salah satu yang menyebabkan berkurangnya penggunaan koteka, dimulai pada zaman Orde Baru, yaitu dengan adanya Keputusan Presiden RI Nomor 75 tahun 1969 dibentuklah Task Force Pembangunan Masyarakat Pedalaman di Irian Jaya, yang kemudian disempurnakan dengan Keputusan Presiden RI Nomor 27 tahun 1970.
Pada waktu itu berdasarkan penilaian tim Task Force, suku-suku di pedalaman terutama pegunungan Papua hidup dalam tradisi yang bisa dikatakan masih hidup di zaman batu, mereka tinggal di Honai dan laki-lakinya menggunakan koteka.
Salah satu program tim Task Force adalah memperkenalkan penggunaan pakaian modern kepada masyarakat, untuk menggantikan koteka. Program ini disebut dengan Operasi Koteka. Program ‘membusanakan’ masyarakat ini mempunyai dampak positif dalam hal memperkenalkan generasi muda dengan nilai-nilai yang baru. Pada awalnya program ini berjalan lancar, namun lama-kelamaan masyarakat mulai meninggalkan dan bahkan menolak pakaian yang diperolehnya itu.
Hal ini terjadi karena, pakaian yang dibagikan ke masyarakat, dikenakan setiap hari tanpa dicuci dan tanpa pernah diganti. Pakaian kotor menimbulkan gatal dan masyarakat tidak mampu membeli sabun cuci dan pakaian baru.
Akhirnya masyarakat berkesimpulan bahwa pakaian modern sebagai pembawa bencana. Waktu itu banyak generasi muda kalau di kota memakai pakaian, tetapi pada saat pulang ke kampung kembali memakai koteka.

Foto koteka dijual di toko souvenir Pasar Hamadi, Kota Jayapura
Walaupun demikian dengan berjalannya waktu, sekalipun dengan lambat, keinginan untuk berpakaian modern itu sudah mulai tumbuh pada generasi muda terutama anak-anak yang telah masuk sekolah dan para pemuda yang bekerja tetap pada instansi pemerintah.
Saat ini koteka hanya dipakai pada saat-saat tertentu saja, misalkan pada Festival Budaya Lembah Baliem. Dengan melihat kondisi itu, dikhawatirkan tradisi berkoteka akan musnah ditelan modernisasi, sehingga harus dijaga kelestariannya. Salah satu caranya adalah mengusulkan koteka dalam daftar yang memerlukan perlindungan mendesak UNESCO.
Koteka dapat dikategorikan sebagai warisan budaya tak benda. Konvensi UNESCO 2003 mengenai warisan budaya tak benda menyebutkan, warisan budaya tak benda mengandung arti berbagai praktik, representasi, ekspresi, pengetahuan, keterampilan yang diakui oleh berbagai komunitas, kelompok, dan dalam beberapa hal tertentu, perorangan sebagai bagian warisan budaya mereka.
Warisan budaya tak benda ini bagi masyarakat, kelompok dan perorangan memberikan rasa identitas dan keberlanjutan, membantu mereka memahami dunianya dan memberikan makna pada kehidupan dan cara mereka hidup bermasyarakat.
Sumber dari keragaman budaya dan bukti nyata dari potensi kreatif umat manusia, warisan tak benda secara terus-menerus diciptakan oleh penerusnya, karena warisan ini dipraktikkan dan disampaikan dari individu ke individu lain dan dari generasi ke generasi.
Indonesia telah meratifikasi Konvensi UNESCO 2003, hal ini tertuang dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2007 tentang Pengesahan Konvensi untuk Perlindungan Warisan Budaya Tak Benda.
Negara-negara yang telah meratifikasi Konvensi Warisan Budaya tak benda berkomitmen untuk melindungi dan melestarikan warisan dengan melakukan berbagai upaya seperti perlindungan, promosi, dan penyampaian melalui pendidikan formal dan non-formal, penelitian dan revitalisasi, dan untuk meningkatkan penghormatan dan kesadaran.
Jika dikaitkan dengan keberadaan koteka di pegunungan tengah Papua, sebagai negara yang telah meratifikasi Konvensi UNESCO 2003, maka pemerintah Indonesia wajib melindungi dan melestarikan koteka.
Konvensi UNESCO 2003 menyatakan, warisan tak benda bagi semua masyarakat baik besar atau kecil, dominan atau tidak dominan patut dihormati. Hal ini jelas menekankan pentingnya keterlibatan aktif dari masyarakat dalam melindungi dan melestarikan serta mengelola koteka sebagai warisan budaya, karena hanya merekalah yang dapat mempertahankan keberadaan dan memastikan masa depan warisan tersebut.

Foto mumi Papua mengenakan koteka
Koteka telah ditetapkan sebagai warisan budaya takbenda Indonesia pada 2015, dengan SK Penetapan No SK 186/M/2015. Untuk melestarikan koteka, yaitu perlu kampanye penggunaan koteka sehari-hari, termasuk diperbolehkan siswa sekolah di pegunungan Papua atau mahasiswa mengenakan koteka di ruang kelas. Koteka diperbolehkan dikenakan di transportasi umum termasuk pesawat terbang di pegunungan Papua, selama Orde Baru, orang yang mengenakan koteka tidak boleh naik angkutan umum, sehingga sering dijumpai, orang yang pakai koteka lebih banyak berjalan kaki.
Perlu penelitian dan pendokumentasian budaya koteka, hasilnya dipublikasikan dalam bentuk media buku ilmiah populer, buku popular, film dan produk karya kreatif lainnya. Budaya koteka perlu diajarkan di sekolah-sekolah pegunungan Papua sebagai muatan lokal. Selain itu untuk para politisi yang dilantik sebagai pejabat publik, baik itu anggota dewan terpilih atau bupati dan gubernur terpilih, dalam proses pelantikan dan pengambilan sumpah wajib mengenakan koteka sebagai anak adat.
—-
*Hari Suroto, Peneliti Pusat Riset Arkeologi Lingkungan BRIN