Kisah Sungai Baliem dan Udang Selingkuh di Pegunungan Papua

Sungai Baliem merupakan sungai besar yang terletak di Provinsi Papua Pegunungan, berada pada ketinggian 1650 meter di atas permukaan laut. Sungai ini mengalir sejauh 80 km melalui Lembah Baliem ke arah selatan, bermuara di Pantai Asmat, Provinsi Papua Selatan. Dulu sungai ini dalam peta Dutch New Guinea yang dibuat Belanda, diberi nama Sungai Vriendschaps. Air Sungai Baliem terkenal sangat dingin, bersuhu 14 hingga 18°C. Lembah Baliem dahulu disebut Grote Vallei, terbentang dari bagian barat laut sampai tenggara Provinsi Papua Pegunungan. Lembah Baliem dikelilingi puncak-puncak pegunungan dengan ketinggian antara 2500 sampai 4500 m dpl.

Foto penulis di Lembah Baliem. (Sumber: Penulis)

Sekitar daerah aliran Sungai Baliem merupakan lahan yang sangat subur, oleh suku Dani dijadikan lahan kebun. Suku Dani pada masa lalu terkenal sebagai suku yang suka berperang. Saat ini atraksi perang-perangan suku Dani dapat disaksikan dalam atraksi Festival Budaya Lembah Baliem yang diselenggarakan setiap Agustus. Jika dilihat dari ketinggian, aliran Sungai Baliem berliku-liku seolah-olah tampak seperti ular besar. Suku Dani memiliki mitos terjadinya sungai ini, berkaitan dengan seekor ular besar, yang suka memangsa anak laki-laki.

Foto Sungai Baliem. (Sumber: Penulis)

Pada suatu hari dalam satu keluarga, lahirlah seorang anak laki-laki yang sangat dicintai oleh orang tua dan kakak perempuannya. Apabila orang tua pergi berkebun, anak perempuan mereka ditugaskan untuk menjaga adik laki-lakinya, dengan pesan agar segera memanggil bapaknya kalau ular, si pemakan anak-anak itu tiba-tiba muncul.

Pada suatu hari ular itu tiba-tiba datang. Anak perempuan segera berteriak memanggil bapaknya. Bapak itu datang dengan membawa kapak batu dan menyerang ular, maka terjadi perkelahian sampai akhirnya ular itu mati dipotong menjadi dua.

Sejak saat itu ular berubah menjadi Sungai Baliem dan kepalanya mengalir ke utara sedangkan ekornya mengalir ke selatan. Namun saat ini Sungai Baliem tidak mengalir ke utara. Mungkin saja pada masa lalu terjadi gempa bumi atau tanah longsor, sehingga menutup aliran Sungai Baliem yang mengarah ke utara.

Sungai Baliem merupakan habitat alami lobster air tawar (freshwater crayfish) endemik yang khas, bahkan sangat populer dan banyak dicari wisatawan yang berkunjung ke Lembah Baliem. Para wisatawan lebih suka memberi nama lobster ini udang selingkuh. Bentuk lobster ini sangat unik, terlihat sepintas badannya seperti udang bercapit besar seukuran capit kepiting. Dalam bahasa setempat udang ini disebut huna Baliem, menurut mop suku Dani, bentuk unik udang selingkuh adalah hasil perselingkuhan indukan udang dengan kepiting. Hal ini membuat anakan yang dihasilkan memiliki bentuk seperti hasil persilangan antara keduanya. Bentuk badan yang mirip udang dengan capit besar yang mirip dengan capit kepiting menjadi alasan hewan ini kemudian disebut udang selingkuh oleh wisatawan.

Foto Lobster Sungai Baliem. (Sumber: Penulis)

Secara ilmiah, lobster ini termasuk dalam genus Cherax. Terdapat 13 spesies Cherax di pegunungan Papua. Spesies Cherax monticola hidup di Sungai Baliem. Spesies Cherax Lorenzi juga bisa dijumpai di bagian barat pegunungan Papua hingga Sungai Lorentz. Udang selingkuh memiliki cangkang lebih keras dari udang biasa, dengan capit lebih kecil dari ukuran capit kepiting biasa serta memiliki warna tubuh hitam agak kebiruan.

Lobster air tawar endemik pegunungan Papua ini mahal sekali. Lobster ini dihargai Rp 200 ribu sampai Rp 300 ribu per porsi di restoran seputaran Wamena. Dalam penyajiannya, seporsi udang selingkuh biasanya disajikan bersama tumis kangkung. Mahalnya harga udang ini disebabkan susahnya mendapatkan udang karena belum ada masyarakat Wamena yang berhasil membudidayakan udang ini. Udang ini hanya ditemui di sungai sepanjang Lembah Baliem.

Harga satu plastik udang selingkuh mentah segar di Pasar Nayak, Wamena lebih mahal lagi, tentu saja dalam satu plastik beratnya kurang dari satu kilogram, harganya mencapai Rp. 500.000 bila sedang musim dan bila tidak musim maka harganya bisa mencapai jutaan rupiah.

Foto Udang Selingkuh. (Sumber: Penulis)

Cherax sp merupakan organisme dasar dan pemakan di dasar perairan (bottom feeder). Udang selingkuh sendiri berhabitat di Sungai Baliem dan juga bisa ditemukan di Danau Habema, Danau Paniai, Danau Tage, dan Danau Tigi.

Udang selingkuh memiliki kulit cangkang yang agak keras dibandingkan dengan kulit cangkang udang biasa. Kulitnya sekilas mirip kulit lobster namun dilengkapi dengan sepasang capit kepiting. Udang selingkuh memiliki ukuran yang cukup besar tapi masih dibawah ukuran lobster. Rasa dagingnya manis, gurih dan kenyal.

Warna aslinya biru, hewan air tawar ini bakal berubah warna jadi jingga usai dicuci dan direbus. Tampilannya akan sangat mirip dengan kepiting atau lobster yang hidup di laut lepas. Kenikmatan udang selingkuh ini memang sudah tidak lagi diragukan ditambah tekstur dari udang ini mirip dengan lobster yang padat berserat. Namun, tetap lembut dan manis. Seperti udang pada umumnya seluruh bagian tubuh udang selingkuh juga dapat dimakan kecuali bagian kepala.

Udang selingkuh biasanya disajikan dengan cara dibakar ditambah garam, atau tidak sama sekali. Pasalnya, rasa alami sedikit manis dari udang ini membuatnya sudah lezat disantap.

Tidak perlu khawatir apabila memakan udang ini terlalu banyak, karena udang selingkuh memiliki kandungan yang baik untuk tubuh dan juga rendah kalori yaitu sekitar 106 kalori dalam 100 gram. Udang Selingkuh juga memiliki kandungan kalsium dan protein yang tinggi, dan juga mineral. Sehingga cukup menyehatkan.

Suku Dani dalam menangkap udang selingkuh di Sungai Baliem, biasanya dilakukan oleh perorangan atau kelompok. Cara menangkap udang selingkuh yaitu dengan tangan, menggunakan alat atau diracun dengan tuba. Secara tradisional alat yang digunakan untuk menangkap udang yaitu sejenis serok terbuat dari rajutan kulit kayu melinjo.

Foto penulis dan anak-anak Lembah Baliem. (Sumber: Penulis)

Pencarian udang selingkuh dilakukan pada siang hari atau ketika matahari sudah tinggi. Bukan apa-apa, soalnya cuaca Lembah Baliem itu sangat dingin menusuk tulang.

Saat ini Suku Dani sudah mengenal peralatan modern untuk menangkap udang selingkuh, yaitu dengan menggunakan jaring atau jala yang dibeli di toko.

Hasil tangkapan dengan peralatan modern itu bisa lebih banyak. Namun populasi udang di Sungai Baliem semakin lama semakin berkurang, untuk itu perlu dijaga kelestarian udang ini dengan penangkapan selektif.

Udang selingkuh merupakan potensi tersembunyi Lembah Baliem, yang belum dikembangkan. Jika hanya mengandalkan hasil tangkapan dari Sungai Baliem, dikhawatirkan udang ini lama kelamaan akan habis.

Untuk itu perlu penelitian agar udang ini dapat dikembangkan dan dibudidayakan di kolam. Kolam-kolam alami dengan sumber air tidak pernah kering banyak terdapat di Distrik Wesaput, Kabupaten Jayawijaya namun belum banyak dimanfaatkan untuk budidaya perikanan.

Walaupun mahal, udang selingkuh sangat unik, enak, dan tetap akan dicari oleh wisatawan. Dengan membudidayakan di kolam, diharapkan kesejahteraan masyarakat Baliem akan meningkat, serta populasi udang selingkuh akan terjaga.

—–

*Hari Suroto. Peneliti Pusat Riset Arkeologi Lingkungan BRIN