Mengenang Remy Sylado
“Agaknya sang waktulah yang paling perkasa dalam kehidupan. Ia tak tersaing, Tak pernah mengeluh. Tak pernah juga merasa takut. Sementara manusia -saya dan anda- berlanjut usia, berlanjut pula tulahnya.”
– Remy Sylado, Kembang Jepun –
Kalimat di atas merupakan kutipan dari salah satu novel karya seorang sastrawan, aktor, dan juga seniman besar Tanah Air, Remy Sylado, yang berjudul Kembang Jepun. Beberapa bulan yang lalu, lebih tepatnya pada hari Senin, tanggal 12 Desember 2022, Romy Sylado menghembuskan nafas terakhirnya di usia yang ke-77 tahun. Kepergian Remy Sylado tersebut menjadi salah satu kehilangan terbesar khususnya dalam dunia sastra Indonesia. Hal itu karena semasa hidupnya, Remy telah banyak menghasilkan karya dari mulai novel, film, hingga lukisan. Beberapa tulisan karya Remy Sylado diantaranya yaitu berjudul Gali Lobang Gila Lobang, Siau Ling, Ca-Bau-Kan (Hanya Sebuah Dosa), Kerudung Merah Kirmizi, Kembang Jepun, Parijs van Java, dan Hotel Prodeo, serta masih banyak pula karya-karya lainnya yang memberikan sumbangsih besar terhadap khazanah ilmu pengetahuan Indonesia.
Untuk mengapresiasi dan mengenang kembali karya-karya Remy Sylado tersebut, Sinergi Production bekerja sama dengan Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) dan Bentara Budaya Jakarta akan menggelar sebuah acara bertajuk “Tribute to Remy Sylado”, yang akan diselenggarakan pada hari Sabtu, 11 Maret 2023, pkl. 19.00 WIB.
Berlokasi di Bentara Budaya Jakarta, pada pelaksanaanya akan terdapat beberapa rangkaian acara, diantaranya yaitu pemutaran film, musik, teater, pembacaan puisi, pembacaan buku, testimoni sahabat, pameran memorabilia, dan lelang lukisan. Beberapa judul lukisan yang akan dilelang dalam acara tersebut diantaranya yaitu 3 Wajah, Feeling Blue, 2 Cats, Pergaulan, Smiling General, Bunga dan Kupu-kupu, Gadis Bunga, 3 Lelaki, Suci, Pose, Pertemuan, dan Bidadari.
Selain itu, di bawah arahan Marcel Hartawan sebagai ketua panitia, akan diselenggarakan pula charity atau pembukaan donasi, yang nantinya akan digunakan untuk merawat dan merenovasi ruang kerja Remy Sylado, agar dapat digunakan bagi mereka yang ingin melakukan penelitian terhadap karya-karya Remy. Beberapa nama-nama besar juga tercatat akan mengisi dan meramaikan acara ini, sebut saja Tyo Pakusadewo, Ermy Kulit, Ray Sahetapy, Jose Rizal Manua, Jennifer Jill, Dapur Teater 23761, dan lain sebagainya.
Remy Sylado, pemilik nama asli Jubal Anak Perang Imanuel Panda Abdiel Tambayong, lahir pada tanggal 12 Juli1 1942, di Makassar, Sulawesi Selatan, dari pasangan Yohannes Hendrik Tambayong dan Juliana Caterina. Japi, begitulah orang-orang memanggilnya, sejak duduk di bangku Sekolah Dasar sudah menunjukkan ketertarikannya terhadap dunia seni dan sastra. Hal tersebutlah yang kemudian mengantarkannya pada keputusan untuk menempuh pendidikan tinggi di Akademi Teater Nasional Indonesia dan Akademi Seni Rupa Indonesia di Solo. Pada tahun 1961, ia kemudian melanjutkan pendidikannya di Akademi Bahasa Asing Jakarta.
Nama Remy Sylado mulai dikenal sejak munculnya Grup Teater yang bernama Dapur Teater 23761. Angka 23761 adalah notasi musik dari nada pembuka lagu The Beatles berjudul “And I Love Her”, yang jika diterjemahkan menjadi “Re Mi Si La Do”. Sejak saat itulah nama Remy Sylado dikenal masyarakat dan Dapur Teater 23761 berhasil melambungkan namanya dalam dunia seni Tanah Air. Pada bidang jurnalisme, karir Remy Sylado dimulai sejak tahun 1963 hingga 1965 dengan menjadi wartawan harian Sinar Harapan. Memasuki tahun 1970, bersamaan dengan terbitnya majalah Aktuil, yang kelak kemudian menjadi majalah musik trendsetter anak muda pada periode tersebut, Remy mendapatkan kesempatan untuk menjadi Redaktur Musik. Selain itu, ia juga mengasuh rubrik “Puisi Mbeling”, sebuah gerakan yang mendobrak pandangan estetika bahasa puisi.
Sementara itu, di bidang sastra, karya Remy Sylado pertama adalah novel berjudul Gali Lobang Gila Lobang, yang ia tulis pada tahun 1969. Beberapa tahun kemudian, novel tersebut diadaptasi menjadi film dengan judul Ombaknya Laut Mabuknya Cinta, dengan skenario yang ditulis oleh Remy dan Sjuman Djaya. Karirnya dalam dunia perfilman sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 1973, yakni dengan menangani musik untuk film Pelarian. Di sisi lain, Remy juga terjun sebagai aktor. Penampilannya dalam film Tinggal Sesaat Lagi, Akibat Kanker Payudara, dan 2 dari 3 Laki-Laki membawa Remy masuk sebagai nomine Piala Citra Festival Film Indonesia kategori Aktor Pendukung Terbaik. Film terakhir yang dibintangi Remy adalah Senjakala di Manado tahun 2016.
Selama berkarier sebagai novelis, sepanjang hidupnnya, Remy telah berhasil menulis lebih dari 50 novel, yang terdiri dari berbagai macam genre. Selain itu, ketika sekolah di Akademi Kesenian Surakarta, Remy juga belajar melukis dan menghasilkan banyak lukisan. Atas berbagai kontribusi dan karya yang telah dihasilkannya dalam bidang seni dan sastra, Remy Sylado semasa hidupnya banyak memperoleh penghargaan. Beberapa penghargaan tersebut di antaranya yaitu Man of Achievement dalam Who’s Who in Asia and Pasific (1991), Satya Lencana Kebudayaan dari Presiden (2005), Penghargaan Sastra Terbaik Pusat Bahasa untuk Kerudung Merah Kirmizi (2006), Piagam PAPPRI untuk Bidang Kritik Musik (2008), Tirto Adhi Soerjo Award (2008), serta The SEA Write Award, penghargaan sastra di tingkat Asia Tenggara (2015). Terakhir, Remy Sylado juga memperoleh penghargaan sebelum kepergiannya, yakni Penghargaan atas Dedikasinya di Bidang Kebudayaan Indonesia, khususnya Bahasa dan Sastra, yang diberikan oleh Akademi Jakarta pada tahun 2021.
Dengan diselenggarakannya berbagai rangkaian acara “Tribute to Remy Sylado” ini, diharapkan dapat terus menghidupkan berbagai kenangan dan karya yang telah dihasilkan oleh Remy Sylado. Kontribusinya dalam berbagai bidang dari mulai sastra, jurnalisme, film, musik, hingga seni lukis, menjadikannya sebagai salah satu putra terbaik bangsa. Seperti apa yang dikatakan oleh KH Mustofa Bisri, bahwa “….Remy ini makjhuk langka yang mungkin stoknya di Indonesia sudah habis.” Selamat jalan Remy Sylado, abadi namamu, abadi karyamu.
*Lesi L.