Prasejarah Papua
Oleh Hari Suroto*
Keletakan geografis yang strategis sebagai jembatan yang menghubungkan Kepulauan Indonesia dengan Australia serta Pasifik menjadikan Papua sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kawasan sekitarnya. Penemuan fosil kanguru Zygomaturus Nimboraensis di Desa Nimboran, Kabupaten Jayapura membuktikan pada kala Pleistosen, Papua dan Australia merupakan satu daratan.
Imigran pertama yang datang di Papua diketahui sejak 50.000 tahun yang lalu, mereka adalah ras Austromelanesia, dengan membawa pengetahuan pembuatan api. Sesuai dengan tingkat kemampuan teknologi yang dimiliki dan sebagai sebuah proses adaptasi terhadap lingkungan, penghuni pertama Papua, hidup dari berburu dan meramu tumbuh-tumbuhan termasuk sagu. Berburu berlebihan menyebabkan punahnya mamalia berbadan besar, hewan buruan yang ada hanya terbatas pada hewan-hewan kecil seperti marsupial (kuskus, kanguru tanah, tikus, dan kanguru pohon) dan unggas.

Foto buku Prasejarah Papua karya Hari Suroto terbit tahun 2010.
Orang Papua adalah bagian dari ras Melanesia. Lain halnya jika kita melihat dengan kacamata linguistik, bahasa Papua memang berbeda dengan bahasa Melanesia, bahasa-bahasa Papua sebagai Non-Austronesia, sedangkan bahasa-bahasa Melanesia termasuk dalam filum Austronesia.
Bukti menunjukkan dengan baik sekali bahwa sejak lebih dari 7.000 tahun yang lalu, berdasarkan analisis polen terhadap tanaman pandan, dari Kalela, Lembah Baliem menunjukkan penduduk dataran Tinggi New Guinea telah mengembangkan suatu bentuk hortikultura di tempat-tempat tertentu. Bukti perekonomian pertanian cukup memadai untuk mendukung pertumbuhan penduduk yang cukup besar dibanding dengan yang dapat didukung oleh perekonomian pemburu dan pengumpul makanan.
Keberadaan kolam asin di dataran Tinggi New Guinea juga menjadi daya tarik penghuni awal Papua untuk menempati wilayah ini. Di beberapa lokasi terpisah di wilayah dataran tinggi bisa dijumpai kolam-kolam air asin. Di lembah Baliem bagian timur terdapat dua sumber garam, yaitu di wilayah Logo Mabel dan di bagian selatan lembah. Data etnografis menunjukkan garam dan air garam ditambang orang yang datang dari tempat-tempat yang jauh, dengan cara mencelupkan serat-serat batang pisang ke dalam air yang berkadar garam itu, yang kemudian diperas sehingga yang tertinggal diantara serat-serat itu adalah garam. Setiba mereka di rumah serat-serat itu dikeringkan dan dibakar menjadi abu. Abu itu kemudian digosok-gosok dengan daun pisang hingga lembut, lalu dibungkus dengan daun menjadi semacam paket berbentuk oval dengan berat sekitar dua kilo per paket. Abu inilah yang mereka pakai sebagai garam.
Imigran berikutnya yang datang di Papua adalah penutur Austronesia, pada 1500 hingga 1000 SM. Penutur Austronesia lebih banyak menghuni dan menanamkan pengaruhnya secara kuat di pesisir utara daratan Papua, pesisir Kepala Burung, Teluk Cenderawasih dan Teluk Bintuni. Mereka memperkenalkan pada penduduk Papua yaitu budaya rumah panggung, pembuatan dan penggunaan gerabah, pembuatan tato, penggunaan bahasa austronesia, penggunaan layar dan cadik pada perahu, serta pemeliharaan babi, anjing dan ayam.

Ekskavasi di Situs Khulutiyauw Sentani.


Hari Suroto menunjukan gerabah temuan Situs Khulutiyauw Sentani
Ekspansi Austronesia di New Guinea mungkin memadukan ekonomi pertanian dan kelautan. Penutur Austronesia yang bergerak menuju Pasifik meninggalkan kegiatan bercocok tanam padi, dan setelah itu tidak pernah kembali melakukannya. Amat beralasan jika adaptasi di laut inilah menjadikan kecil kemungkinan mereka untuk menanam tanaman biji-bijian. Meskipun secara etnografis jewawut saat ini dibudidayakan di Biak serta di Merauke terdapat budidaya padi, mungkin tanaman ini diperkenalkan belum terlalu lama, karena hingga saat ini belum ditemukan bukti jewawut dan padi di situs-situs Neolitik di Papua.
Diperkirakan penutur Austronesia yang datang di Papua juga memperkenalkan pembuatan minuman beralkohol hasil sadapan pohon aren (Sacerifera) atau kelapa (Cocos Nucifera). Data etnografis menunjukkan suku Mey Brat di Kepala Burung memiliki kebiasaan minum arak atau dalam bahasa setempat disebut dengan ara dju. Arak diminum orang Mey Brat pada pesta atau pertemuan atau dengan tamu. Cairan ini disadap dari pohon aren. Di daerah utara Danau Ayamaru arak disebut djy atau tuwoq (berasal dari kata Melayu tuwak). Lain halnya di daerah Kampung Waena Jayapura, tuak atau sagero disadap dari pohon kelapa. Orang Tehit yang bermukim di Teminabun Sorong, menyebut sagero sebagai ”minuman persaudaraan”. Oleh orang Tehit, sagero ini disadap dari pohon aren.

Tradisi pembuatan gerabah di Kampung Abar Sentani
Penutur Austronesia hidup dengan menangkap ikan, ditambah dengan perdagangan dan mengumpulkan hasil-hasil tertentu untuk dipertukarkan dengan penduduk yang berdiam di daratan. Adaptasi ekonomi penutur Austronesia yang khas dalam jaringan barter dan perdagangan di kepulauan ini.
Benda-benda perunggu asal Dong Son yang terdapat di Papua, diperkirakan merupakan komoditas dagang yang dibawa oleh penutur Austronesia untuk dipertukarkan dengan komoditi unggulan Papua. Komoditi ini berupa burung cenderawasih, kulit buaya, hasil laut, dan kayu masohi. Selain berfungsi sebagai komoditi dagang, benda perunggu ini diperkirakan juga berfungsi sebagai ”benda bermartabat” yang dipersembahkan untuk pemimpin lokal setempat.
—
*Pusat Riset Arkeologi Lingkungan BRIN




