Perempuan, Alam, dan Cahaya Ilahi dalam Puisi Ulfatin Ch: Kajian Imajistik, Sosial, dan Spiritual
Oleh: Abdul Wachid B.S.*
I. Pendahuluan
Ulfatin Ch merupakan salah satu penyair perempuan Indonesia yang produktif sejak era 1990-an hingga kini. Lahir di Pati pada 31 Oktober 1966, ia menempuh studi di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan aktif dalam dunia teater serta komunitas sastra, termasuk Teater Eska dan berbagai forum apresiasi sastra. Sejak awal, Ulfatin konsisten menulis puisi dan cerpen yang tersebar di media massa nasional, seperti Berita Buana, Republika, Kompas, dan Majalah Horison, serta masuk dalam lebih dari 20 antologi bersama. Karya tunggalnya mencakup Konser Sunyi (1993), Selembar Daun Jati (1996), Nyanyian Alamanda (2001), hingga buku terbaru Gelombang Laut Ibu (2024), yang menegaskan posisi Ulfatin sebagai suara perempuan kontemporer yang reflektif dan estetik.
Ciri khas karya-karya Ulfatin adalah larik yang pendek, diksi presisi, dan kilasan perasaan halus yang mampu merangkum pengalaman indera, psikologi, sosial, serta spiritualitas. Gaya imajistik dan simboliknya memadukan kenyataan sehari-hari dengan refleksi batin, sehingga puisi tidak hanya menjadi ekspresi personal, tetapi juga wahana dialog sosial dan spiritual. Misalnya, dalam Gelombang Laut Ibu ([GLI], Yogyakarta: Interlude, 2024), sosok ibu tidak hanya hadir sebagai figur domestik, tetapi juga sebagai simbol energi, kasih, dan kekuatan yang membentuk kreativitas penyair.
Pertanyaan mendasar yang menjadi fokus kajian ini mencakup beberapa hal. Pertama, bagaimana pengalaman perempuan dibingkai sebagai aku-lirik dalam puisinya; kedua, bagaimana alam dan ruang dimanfaatkan sebagai medium refleksi spiritual dan sosial; dan ketiga, bagaimana metafora, citraan, dan ritme berfungsi membangun resonansi emosional serta kesadaran etis pembaca. Dengan demikian, tujuan esai ini adalah untuk menelaah interaksi antara citra perempuan, alam, dan cahaya Ilahi dalam puisi Ulfatin Ch, sekaligus menyoroti fungsi imaji sebagai wahana refleksi personal, sosial, dan religius yang membangun pengalaman estetis yang mendalam.
II. Aku-lirik dan Perempuan
Dalam puisi-puisi Ulfatin Ch, perempuan muncul sebagai subjek yang reflektif, mandiri, dan beragam dimensinya, mulai dari pengalaman personal hingga spiritual. Aku-lirik perempuan menjadi pusat narasi yang mengekspresikan kesadaran diri, relasi emosional, perjuangan batin, dan peran ibu sebagai sumber kreativitas.
Kesadaran Diri dan Kemandirian
Puisi “Aku Kota Sunyi” memperlihatkan perempuan sebagai subjek yang mandiri, menapaki “kota sunyi para nabi” dan menyelami pengalaman batin serta spiritualnya sendiri (Nyanyian Alamanda [NA], Yogyakarta: Bentang, 2003). Penggambaran “rumah tanpa pintu / yang berlumut malam” bukan sekadar citraan fisik, tetapi juga simbol keterasingan dan perjalanan internal perempuan yang harus menebus dirinya dari rantai purba: simbol tekanan sosial dan patriarki. Dengan demikian, aku-lirik perempuan bukan hanya figur pasif, melainkan agen refleksi spiritual yang mampu membangun kemandirian eksistensial.
Perempuan dan Hubungan Emosional
Puisi-puisi seperti “Mencemaskan Matahari” dan “Di Rumah Kerang” menekankan kedekatan emosional perempuan dalam relasi intim. Dalam “Mencemaskan Matahari”, rindu dan jarak yang tampak tidak ada digambarkan melalui citraan alam: “…/ Dengan jendela terbuka / kutatap Engkau, kekasih / hingga pucat rautku membelah mimpi/…” (NA). Sementara itu, “Di Rumah Kerang” menunjukkan ketekunan spiritual perempuan yang berpadu dengan kesendirian: “…/ Pergi. Cambuklah puisi / sekalipun dalam kolam yang kering/…” (NA). Kedua puisi ini memperlihatkan bagaimana perempuan mengekspresikan perasaan melalui kesadaran estetis dan spiritual, membangun resonansi emosional pembaca.
Perempuan dalam Perjuangan Spiritual
Perjalanan batin perempuan menjadi tema sentral dalam “Aku Mendaki” dan “Aku Ingin Hanya Dengan Puisi”. Dalam “Aku Mendaki”, perempuan digambarkan menaiki “…/ bukit dan lembah terbakar / asapnya mengeras di lembar / sajadah tak sampai” (NA), metafora perjuangan spiritual yang belum mencapai puncak kesadaran transendental. Sementara “Aku Ingin Hanya Dengan Puisi” menegaskan pencarian perempuan untuk menemukan ketenangan dan keabadian melalui puisi, menghadapi kefanaan malam dan hujan sebagai simbol keterpisahan duniawi (NA). Dalam konteks ini, aku-lirik perempuan adalah pencari makna dan dzikir yang hidup dalam hubungan intim dengan alam dan Ilahi.
Perempuan sebagai Ibu dan Sumber Kreativitas
Dalam karya terbarunya Gelombang Laut Ibu, Ulfatin menempatkan ibu sebagai simbol cinta yang meluas, kesabaran, kekuatan spiritual, dan sumber energi kreatif: “…// Dan gelombang laut ibu / mendayu / dan perahu itu / melaju//…” (“Gelombang Laut Ibu” [2023]). Puisi “Bunga Pagi” (2019) menggambarkan ibu sebagai matahari pertama yang membimbing anaknya: “Pagi yang kaubuka, anakku / adalah matahari pertama saat kau bangun / dan mutiara daun menggelantung membasuh wajahmu/ …”. Begitu pula dalam “Membaca Ibu” (2024), ibu hadir sebagai mentor batiniah, yang mengajarkan cahaya, angka, dan kata-kata, simbol keteraturan dan pengasuhan spiritual. Peran ibu dalam puisi Ulfatin tidak hanya personal, tetapi juga menjadi sumber inspirasi kreatif dan simbol keberlanjutan hidup.
Secara keseluruhan, puisi-puisi Ulfatin Ch menunjukkan perempuan sebagai subjek kreatif, yang mengaktualisasikan diri melalui kesadaran diri, hubungan emosional, perjuangan spiritual, dan peran ibu. Aku-lirik perempuan tidak hanya menjadi medium ekspresi personal, tetapi juga berfungsi sebagai penghubung pengalaman spiritual dan sosial, membangun resonansi etis dan estetis dalam puisi.
III. Alam dan Ruang sebagai Medium Imaji
Puisi Ulfatin Ch menegaskan bahwa alam bukan sekadar latar naratif atau hiasan artistik, melainkan medium imajistik yang menyatukan pengalaman personal, sosial, dan spiritual. Alam dalam puisinya berfungsi sebagai cermin batin, wahana refleksi, sekaligus simbol kolektif yang membangun resonansi emosional pembaca.
Taman, Pohon, dan Bunga
Dalam buku Nyanyian Alamanda, puisi “Di Taman X” (1997), “Pohon Paku” (2001), dan “Bunga Sipres” (2001), alam menjadi lambang memori dan kasih sayang, sebagaimana Ulfatin menulis:
Bunga Sipres
Bunga Sipres jatuh
keluhnya terdengar di pangkuan jauh.
Dan engkau menyaksikan dari benua lain
yang tak pernah kaubayangkan:
Sebuah perjumpaan yang menjelma telaga
di dalam tidurmu
2001
Bunga dan pohon di sini bukan sekadar objek visual; mereka merupakan simbol dari ingatan emosional, kasih sayang, dan pengamatan reflektif terhadap kehidupan. Penggunaan citraan konkret membuat pengalaman membaca terasa hidup, memungkinkan pembaca memasuki ruang batin penyair dan merasakan resonansi psikologis serta emosional.
Hujan, Embun, dan Burung
Dalam Nyanyian Alamanda, puisi seperti “Hujan Siang” (2000), “Serupa Embun” (2000), dan “Dua Sajak Burung” (2000), unsur alam berperan sebagai simbol komunikasi batin, kesendirian, dan kerinduan. Sebagai contoh, puisi ini menampilkan:
Serupa Embun
Bintang-bintang tak menyatukan kami
pada sekuntum bunga pagi hari.
Serupa embun, vas bunga itu pun
hanya menyimpan perasaan kami
yang patah
2000
Hujan dan embun menghadirkan kesunyian yang memfasilitasi kontemplasi, sedangkan burung menjadi perantara simbolik antara dunia internal penyair dan realitas eksternal. Hal ini menunjukkan kemampuan Ulfatin mengubah alam menjadi medium komunikasi batin yang kaya makna.
Alamanda sebagai Simbol Kolektif
Puisi-puisi dalam Nyanyian Alamanda memperluas fungsi alam menjadi simbol kolektif, tempat pengalaman personal dan ritual sosial bertemu. “Alamanda” digambarkan sebagai medium yang menghadirkan kesadaran kolektif, sekaligus menghubungkan manusia dengan sunyi dan transendensi:
Nyanyian Alamanda
Alamanda di taman menjuntai.
Kami menyaksikan dari jendela
di balik korden terlepas.
Tak ada cahaya seperi kilat hujan saat itu.
Kami tak punya waktu bercanda
Semua berakhir dalam lelap, dalam bising
genderang jathilan yang menderu
serta tarian alamanda
Taman dan alamanda
menyatu
bagai angin dan topan
dan hidup kami
seperti tak terpisahkan
dari sunyi
2000
Di sini, alam bukan hanya ruang individual, tetapi wahana ritual dan pengalaman bersama yang menguatkan kesadaran etis dan spiritual. Ia menjadi medium refleksi kolektif, di mana pengalaman personal dan sosial berpadu dalam resonansi yang menyentuh batin.
Melalui penggambaran taman, hujan, embun, bunga, burung, dan alamanda, Ulfatin Ch menegaskan bahwa alam dan ruang adalah sarana imajistik yang menyatukan refleksi personal, resonansi emosional, dan kesadaran sosial-spiritual. Teknik ini menjadikan puisinya lebih dari sekadar kata-kata indah; ia adalah medium penghayatan hidup dan spiritual yang utuh.
IV. Dimensi Sosial dan Historis
Puisi-puisi Ulfatin Ch tidak hanya menghadirkan dunia batin perempuan, tetapi juga merekam dinamika sosial dan sejarah yang membentuk kesadaran moral. Dimensi sosial dan historis dalam puisinya muncul melalui kritik sosial yang tajam, empati terhadap korban, serta representasi trauma kolektif yang membekas pada pengalaman individual maupun komunitas.
Kritik dan Empati Sosial
Dalam “Catatan Kecil Reformasi I” & “Catatan Kecil Reformasi II” (dari buku Nyanyian Alamanda) dan “Catatan Demonstran” (dari buku Gelombang Laut Ibu), Ulfatin Ch menegaskan peran puisi sebagai medium kritik sosial. Ia menyoroti tragedi yang menimpa masyarakat, ketidakadilan, dan represi politik melalui citraan dan narasi yang terasa nyata: “Kita akan dianggap makar / jika menuliskan keburukan pemimpin / Kita akan dianggap menentang / Jika tak sepadan dengan penguasa…” (“Catatan Demonstran”).
Pernyataan ini menunjukkan kesadaran etis penyair dalam menghadapi kondisi sosial yang represif. Puisi menjadi wahana untuk mengaktualisasikan empati terhadap mereka yang tertindas, sekaligus menimbulkan refleksi moral bagi pembaca. Ulfatin memadukan fakta sosial dengan pengalaman batin, sehingga pembaca dihadapkan pada dilema etika dan kesadaran akan tanggung jawab kolektif.
Trauma Kolektif dan Kenangan
Puisi “Duka Legian” dari buku Nyanyian Alamanda merepresentasikan trauma kolektif akibat konflik atau bencana, di mana simbol bunga api dan air mata menjadi metafora pengalaman historis yang membekas secara personal: Mungkin kau menyaksikan bunga api/ dari percikan amunisi yang sengaja ditanam/ pada peludah. Agar mudah dicari/ kambing yang menyusup di dalam semak.//…
Simbol bunga api mengisyaratkan ledakan kekerasan, sementara air mata mencerminkan penderitaan yang tersisa dalam memori kolektif. Dengan cara ini, Ulfatin Ch menghubungkan pengalaman personal dengan sejarah sosial, sehingga puisi menjadi saksi dan catatan moral bagi masyarakat. Trauma yang digambarkan tidak sekadar narasi sensasional, tetapi berfungsi sebagai refleksi yang mengundang pembaca untuk memahami akibat sosial dan kemanusiaan dari peristiwa tersebut.
Karya-karya ini menegaskan bahwa puisi Ulfatin Ch menembus batas subjektivitas individu, menjangkau ranah sosial dan historis. Dengan memasukkan pengalaman kolektif ke dalam bentuk imaji yang kaya, ia memperlihatkan bahwa kesadaran etis dan solidaritas sosial dapat dieksplorasi melalui bahasa puisi.
V. Estetika Imajistik dan Teknik Sastra
Estetika imajistik dalam puisi Ulfatin Ch tidak sekadar sebagai hiasan linguistik, melainkan sarana untuk menghadirkan pengalaman batin, sosial, dan spiritual. Teknik sastra yang digunakan senantiasa terintegrasi dengan fungsi reflektif puisi, sehingga setiap diksi, ritme, dan citraan memunculkan resonansi emosional dan kesadaran moral.
Metafora dan Imaji Konkret
Puisi-puisi Ulfatin menonjolkan penggunaan metafora yang konkret dan imaji yang mudah divisualisasikan. Dalam “Gelombang Laut Ibu” (2023), ia menulis: “…// Dan gelombang laut ibu/ mendayu / dan perahu itu/ melaju // di atasnya tangga langit/ berderak langkah/ bagai seribu kaki ibu/ mengantar rindu.”
Metafora “gelombang laut ibu” dan “tangga langit” tidak hanya menghadirkan visual dan ritme yang kuat, tetapi juga memancarkan dimensi spiritual dan emosional: ibu sebagai pelindung dan bimbingan, gelombang sebagai aliran kasih yang terus mengalir, serta perahu sebagai perjalanan kehidupan. Larik singkat dan diksi presisi memungkinkan pembaca menangkap resonansi batin penyair, sekaligus menghubungkan pengalaman konkret dengan refleksi simbolik.
Kilasan Perasaan dan Fragmentasi
Ulfatin juga memanfaatkan kilasan perasaan dan fragmentasi sebagai strategi estetika untuk memperkuat intensitas emosional. Dalam “Membaca Ibu” (GLI), ia menulis:
Membaca Ibu
Di halaman satu hanya ada nama ibu
yang bersayap seperti burung
Ibu mengajariku membaca cahaya
menebak nama-nama benda
yang selalu luput dari kata
Ibu mengeja angka
dan aku merangkainya tak terhingga
ibu, maafkan aku
2024
Fragmentasi larik ini menekankan pengalaman subjektif secara simultan: rindu, penghayatan, dan kehadiran figur ibu yang selalu membimbing. Struktur ini membebaskan pembaca dari narasi linier, memungkinkan pengalaman emosional dirasakan secara organik dan intens. Kilasan perasaan menjadi medium bagi pembaca untuk turut mengalami perjalanan batin penyair.
Ritme, Musikalisasi, dan Bunyi
Ritme dan musikalitas dalam puisi Ulfatin muncul melalui pengulangan bunyi, enjambement, dan alunan liris yang menguatkan resonansi emosional. Dalam “Bunga Pagi” (2019, GLI), ia menulis: “Pagi yang kaubuka, anakku / adalah matahari pertama saat kau bangun / dan mutiara daun menggelantung membasuh wajahmu / kau pun gegas menempuh batas / di ujung mana akan sampai, ibu menunggu/ …”
Pengulangan bunyi dan pengaturan larik menciptakan aliran lembut, seolah menuntun pembaca melalui pengalaman pagi yang intim dan penuh kasih. Pergeseran kata dan enjambement memperluas makna larik, mengaitkan pengalaman personal dengan refleksi sosial dan spiritual. Musikalisasi ini memperlihatkan bagaimana puisi Ulfatin bukan sekadar kata tertulis, tetapi pengalaman yang dapat didengar, dirasakan, dan direnungkan.
Secara keseluruhan, estetika imajistik dan teknik sastra Ulfatin Ch membuktikan bahwa puisi adalah medium yang memungkinkan pembaca mengalami dunia batin, merasakan resonansi emosional, dan menghayati kesadaran etis dan spiritual. Larik yang presisi, imaji yang konkret, kilasan perasaan, dan ritme yang sensitif menghadirkan puisi sebagai wahana pengalaman multidimensional: estetika, psikologis, sosial, dan spiritual.
VI. Dimensi Spiritual dan Filosofis
Dalam puisi-puisi Ulfatin Ch, dimensi spiritual dan filosofis tidak hadir sebagai pernyataan normatif, tetapi diwujudkan melalui pengalaman batin, alam, dan hubungan sosial yang mendalam. Imaji dan metafora yang digunakan membimbing pembaca pada kesadaran transendental, di mana cahaya Ilahi, alam, dan sosok ibu saling terkait dalam struktur pengalaman manusia.
Cahaya Ilahi dan Kesadaran Transendental
Puisi Ulfatin menempatkan ibu dan perempuan sebagai kanal bagi pengalaman spiritual dan kesadaran transendental. Dalam “Gelombang Laut Ibu”, larik berikut menunjukkan bagaimana kasih ibu seakan menjadi medium cahaya yang menuntun perjalanan batin: “Dan gelombang laut ibu / mendayu / dan perahu itu/ melaju // di atasnya tangga langit/ berderak langkah/ bagai seribu kaki ibu/ mengantar rindu.”
Metafora “tangga langit” dan “seribu kaki ibu” bukan sekadar citraan fisik, tetapi juga simbol bimbingan Ilahi yang hadir melalui cinta dan doa seorang ibu. Cahaya yang diimplikasikan dalam larik ini beresonansi dengan konsep kesadaran transendental, di mana pengalaman manusia diarahkan pada ketenangan, pengharapan, dan penghayatan spiritual.
Alam sebagai Medium Kesadaran
Alam menjadi sarana refleksi spiritual yang kuat. Ulfatin memanfaatkan citraan bunga, embun, dan matahari sebagai medium penghayatan batin. Dalam “Bunga Pagi” (2019, GLI), ia menulis: “Pagi yang kaubuka, anakku / adalah matahari pertama saat kau bangun / dan mutiara daun menggelantung membasuh wajahmu / kau pun gegas menempuh batas / di ujung mana akan sampai, ibu menunggu.”
Di sini, matahari dan embun menjadi simbol kesadaran yang hadir setiap pagi, menghubungkan pengalaman sehari-hari dengan refleksi spiritual. Aktivitas ibu menunggu di akhir larik juga menegaskan dimensi doa, pengawasan, dan bimbingan yang bersifat transendental.
Referensi Spiritualitas Lokal dan Al-Qur’an
Dimensi spiritual Ulfatin tidak terlepas dari referensi lokal dan ajaran Al-Qur’an. QS. An-Nuur 35 (“Allah adalah cahaya langit dan bumi…”) dapat dipahami sebagai inspirasi metaforis bagi citraan puisi yang menekankan cahaya, petunjuk, dan bimbingan. Misalnya, dalam “Membaca Ibu” (2024, GLI), larik: “… / Ibu mengajariku membaca cahaya / menebak nama-nama benda yang selalu luput dari kata / Ibu mengeja angka dan aku merangkainya tak terhingga/ …”
Menunjukkan bagaimana figur ibu memediasi pengalaman spiritual dan intelektual anak, selaras dengan penghayatan Al-Qur’an tentang cahaya sebagai petunjuk dan bimbingan. Doa, dzikir, dan pengajaran sehari-hari diselaraskan dengan praktik spiritual lokal, sehingga puisi menjadi wahana refleksi batin yang holistik.
Dengan pendekatan ini, dimensi spiritual dan filosofis dalam puisi Ulfatin Ch tidak abstrak, tetapi dihidupkan melalui simbol, alam, dan pengalaman manusiawi, terutama melalui figur ibu dan perempuan sebagai kanal cahaya Ilahi. Puisi menjadi medium untuk menghayati spiritualitas, kontemplasi, dan kesadaran moral yang organik, yang menghubungkan pembaca dengan dunia batin dan transendensi.
VII. Refleksi dan Sintesis
Perempuan sebagai Subjek Kreatif
Puisi Ulfatin Ch menegaskan posisi perempuan bukan sekadar objek, tetapi subjek kreatif yang aktif membingkai pengalaman batin, sosial, dan spiritual. Aku-lirik perempuan dalam “Aku Kota Sunyi” (1999, NA) menampilkan kesadaran diri yang mandiri dan reflektif: “Karena dilahirkan sebagai perempuan/ aku memilih sendiri/ dan mencangkul kota sunyi para nabi./…”
Larik ini menunjukkan perempuan sebagai agen kesadaran yang menafsirkan ruang dan pengalaman personalnya. Selain itu, sosok ibu dalam Gelombang Laut Ibu menjadi pusat energi kreatif: sumber kasih, kesabaran, dan pengaruh spiritual yang mendorong penyair menulis. Imaji ibu yang mengalir, membimbing, dan melindungi menegaskan perempuan sebagai figur yang membangun kesadaran moral dan emosional pembaca.
Alam, Sosial, dan Transendensi
Alam dan ruang dalam puisi Ulfatin berperan sebagai medium refleksi transendental sekaligus etis. Dalam “Nyanyian Alamanda”, alam diposisikan sebagai saksi dan partisipan pengalaman manusia: “Alamanda di taman menjuntai./ Kami menyaksikan dari jendela/ di balik korden terlepas./ Tak ada cahaya seperi kilat hujan saat itu./…”
Penggunaan citraan konkret (taman, cahaya, hujan) menghubungkan pengalaman personal dengan kesadaran sosial dan spiritual. Alam menjadi wahana di mana pengalaman emosional, historis, dan spiritual berinteraksi, sehingga pembaca terlibat dalam refleksi etis secara alami. Dengan cara ini, pengalaman personal perempuan maupun pengalaman kolektif masyarakat tersalur melalui medium imaji yang transendental.
Empati, Etika, dan Estetika
Puisi Ulfatin tidak hanya menekankan estetika atau keindahan, tetapi juga menumbuhkan empati dan kesadaran etis. Dalam “Catatan Demonstran” (2020, GLI), ia menulis: “…/ Kita akan dianggap menentang / jika tak sepadan dengan penguasa / lalu disiapkan 100 UU dan 100 pengacara untuk / menguatkannya//…”
Di sini, pembaca dihadapkan pada konflik sosial, sekaligus didorong untuk merasakan empati terhadap korban ketidakadilan. Teknik imajistik, ritme, dan kilasan perasaan memungkinkan pesan moral dan spiritual tersampaikan secara organik, tanpa mengurangi nilai estetik. Puisi Ulfatin, dengan demikian, menyatukan estetika, etika, dan spiritualitas: pengalaman personal dan sosial menjadi sarana untuk memahami diri, masyarakat, dan Tuhan.
Dengan sintesis ini, puisi Ulfatin Ch menegaskan perempuan sebagai subjek kreatif, alam sebagai medium reflektif, dan bahasa puisi sebagai wahana empati, moralitas, dan kesadaran spiritual. Pengalaman membaca puisi-puisinya bukan sekadar menikmati kata, melainkan memasuki ruang batin yang menyatukan estetika, etika, dan transendensi.
VIII. Penutup
Puisi Ulfatin Ch menegaskan bahwa perempuan, alam, dan cahaya Ilahi bukan sekadar tema estetis, melainkan wahana pengalaman batin yang menyatukan dimensi imaji, moral, dan spiritual. Aku-lirik perempuan menampilkan kesadaran diri, kemandirian, dan relasi emosional yang menjadi pusat energi kreatif, sebagaimana terlihat dalam “Aku Kota Sunyi” (1999, NA) dan “Gelombang Laut Ibu” (2023, GLI). Peran ibu, baik sebagai figur nyata maupun simbolik, mengalir sebagai sumber kekuatan, cinta, dan inspirasi kreatif, terbukti dalam puisi “Bunga Pagi” (2019, GLI) dan “Membaca Ibu” (2024, GLI).
Alam dan ruang hadir sebagai medium kontemplatif dan reflektif, membingkai pengalaman personal sekaligus resonansi sosial dan spiritual. Citra embun, hujan, bunga, dan nyanyian burung dalam “Nyanyian Alamanda” (2020, NA) menegaskan hubungan manusia dengan lingkungan dan pengalaman transendental, sekaligus membangun resonansi emosional yang mendalam. Teknik sastra Ulfatin (metafora konkret, larik singkat, ritme liris) memperkuat resonansi tersebut, menjadikan puisi sarana penghayatan moral dan spiritual yang hidup.
Keberadaan dimensi estetika, sosial, dan spiritual dalam puisi Ulfatin menunjukkan bahwa membaca puisi bukan sekadar menikmati bahasa, tetapi juga praktik refleksi dan pembelajaran nilai. Pembaca distimulasi untuk menumbuhkan kepekaan estetika, empati sosial, serta kesadaran transendental, sehingga puisi berfungsi sebagai pendidikan holistik yang menyentuh dimensi personal dan kolektif.
Keindahan puisi Ulfatin Ch menegaskan bahwa sastra adalah jalan untuk menghayati Yang Maha Indah (al-Jamāl). Setiap imaji, metafora, dan ritme yang tersusun dalam puisinya mengundang pembaca memasuki ruang batin reflektif, merasakan resonansi moral, dan menyelami dimensi spiritual. Dengan demikian, puisi Ulfatin bukan hanya karya seni, tetapi medium yang menyatukan estetika, etika, dan transendensi, menjadikan pengalaman membaca sebagai wahana kebermaknaan hidup yang menyeluruh dan mendalam.
***
—
*Abdul Wachid B.S., Penyair, Guru Besar Universitas Islam Negeri Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto.




