Puisi-puisi Abdul Wachid B.S.
HUTAN JATI ANTARA BLULUK DAN MODO
Hutan itu menjangkau langit,
ranting-rantingnya menjurai senyap,
menadah cahaya dalam sunyi,
akar-akarnya menulis doa yang lenyap.
Di bawahnya sejarah melintas,
angin membawa bisik Andongsari,
menimang takdir dalam dekap,
Gajah Mada lahir dari janji.
Kini bayangannya sirna,
bukit-bukit kapur mengering luka,
tak ada rimbun merawat ingatan,
tak ada akar menahan kenangan.
Namun, doa tak pernah mati,
tumbuh di hati yang tak hampa,
dan kelak jati berdiri lagi,
waktu menghidupkan yang sirna.
Yogyakarta, 2025
BAJU BARU, DOSA LAMA
Di etalase kaca, manekin berdiri tegak,
menyapa dengan senyum palsu,
baju-baju menggantung, seolah suci,
menunggu tangan-tangan penuh rencana.
Di jalanan, kaki-kaki telanjang
menghitung keping harapan,
sementara langkah bersepatu mengukur diskon,
menawar harga seakan menawar surga.
Sajadah terbentang lebar,
doa-doa meluncur deras,
tapi suara perut tak diam,
menyanyikan puisi kelaparan.
Lebaran tiba, jabat tangan meriah,
tapi genggaman tak selalu jujur,
dan maaf melayang ringan,
seringan janji yang terlupakan.
Baju baru, doa baru,
tapi dosa lama tetap tinggal,
seperti bayangan yang tak pergi,
seperti debu yang menetap di ujung sajadah.
Takbir berkumandang megah,
langit bersih dari ingkar,
tapi di bumi, suara gaduh
masih menyusun tipu dan siasat.
Lebaran tetap datang,
mengulang kisah yang tak selalu berubah.
Yogyakarta, 2025
ZIKIR ZAMAN
(Indonesia Raya)
Indonesia Raya
ialah tanah rahmah,
bukanlah tanah fitnah.
Dibangun dari sabar para rakyat,
dan sujud-sujud sunyi di tengah malam
yang tak pernah menuntut panggung
atau piala pujian.
Indonesia Raya
ialah zikir zaman.
Bukan hanya nyanyian bendera,
tapi napas doa yang naik dari musholla
dan langit-langit kamar kecil,
tempat ibu menyuapkan nasi dengan Bismillah
dan ayah menyeka peluh dengan istighfar.
Bukan semata negeri kata-kata,
tapi negeri yang dijaga
oleh bisikan Al-Fatihah
di sela detak jantung rakyatnya.
Di ladang, di laut,
di terminal dan stasiun,
di papan reklame dan pasar basah—
semuanya bisa jadi mihrab,
jika niatnya adalah rahmah.
Wahai Indonesia,
jangan biarkan sujudmu dilupa
hanya karena pesta kuasa.
Jangan biarkan kiblatmu tergeser
oleh bayang-bayang layar
dan godaan gaduh di linimasa.
Ingatlah,
takbir bukan untuk menindas,
melainkan menggetarkan dada
dengan cinta pada semesta.
Maka, kami berjanji—
akan kami jadikan malam-malam kami
seperti Ramadhan yang tak habis oleh Syawal.
Tarawih kami kekalkan dalam tahajud,
bangun tidur kami awali dengan doa,
agar siang tak liar tanpa kendali,
dan tidur kami tutup dengan salam
dan Al-Fatihah untuk Sang Kekasih Sejati,
Rasulullah Muhammad ﷺ.
Indonesia Raya,
engkau bukan tanah kekerasan,
engkau tanah dzikir,
engkau bumi rahmah,
engkau harapan yang terus berdegup
dalam dada orang-orang saleh
yang menyimpan cinta
tanpa bendera,
dan berjuang
tanpa sorak-sorai.
Yogyakarta, 2025
TALBIYAH YANG TAK PERNAH REDA
Hajiku telah berlalu
di tahun-tahun sunyi,
namun talbiyah itu
masih bersenandung
di serambi jiwa
yang tak lelah merindu.
Labbaikallaahumma labbaik…
bukan sekadar gema
dari Arafah yang bermandikan doa
atau Mina yang sarat takdir,
tetapi suara yang mengalir
di sungai rahasia kalbu,
membangunkan dzikir
yang mekar dalam diam.
Setiap detik
adalah panggilan
yang tak bisa ditampik oleh ruh.
Setiap desir angin
adalah utusan
yang mengusung satu nama
yang tak terganti:
Labbaika laa syarika laka labbaik…
Hanya Engkau—
yang kusebut dalam tangis,
yang kupeluk dalam syahdu,
yang kucium dengan remuk.
Innal-hamda wan-ni‘mata laka wal-mulk…
Telah kutanggalkan dunia
di miqat-miqat pertaubatan,
namun dunia datang kembali
dalam wajah-Mu,
dalam karunia-Mu,
dalam titah-Mu
yang tak bertepi
dalam kasih dan kuasa.
La syarika Lak.
Tiada sekutu,
bahkan dalam rindu
yang kusembunyikan.
Sebab cinta ini
telah Engkau tanamkan
di kebun jiwa
dan Engkau sirami
dengan rahmat yang tak pernah kering.
Kini,
meski kakiku tak lagi
di Tanah Haram,
aku tetap thawaf
di sekeliling nurani—
melingkari cahaya
yang tak pernah padam
dengan talbiyah
yang tak pernah reda.
Yogyakarta, 2025
PELINTAS SEPI
Aku bukan siapa-siapa—
hanya pelintas sepi
yang berjalan di dalam diri,
melintasi sunyi
tanpa suara,
tanpa sandera.
Langkahku tak dituntun ambisi,
hanya ditarik gema
dari arah yang tak bisa ditunjuk,
tapi terasa
di palung dada
yang menyebut satu nama
dengan kasih
yang tak bisa dijelaskan.
Bukan nama yang ingin kuingat,
bukan pula jejak yang ingin kutinggalkan—
aku hanya ingin
menghilang
dalam samudera rahasia,
tempat air mata
menjadi perahu
dan rindu
adalah layar
yang tak pernah lelah bergetar
karena angin-Nya.
Aku berjalan
bukan untuk sampai,
tetapi untuk kembali
menyatu
dengan Dia
yang menyambut
dalam peluk
kasih-Nya yang tak terhingga.
Yogyakarta, 2025
CUKUPLAH DI JALAN WACHID SAJA
Aku tak butuh jalan bercabang,
atau peta yang diperdebatkan,
atau suara gaduh
yang mengaburkan cahaya.
Cukuplah satu—
jalan para pecinta
yang tak dikenal dunia,
namun ditulis langit
dalam tinta rahasia.
Cukuplah di jalan Wachid saja:
jalan sunyi yang lurus,
tanpa gemerlap,
namun penuh makna
bagi hati yang mencari
al-Wāḥid—
Yang Esa,
Yang menetap
di setiap nafas
yang bersujud dengan jujur.
Aku tak bertanya arah,
tak minta tanda,
hanya percaya
pada tangan tak terlihat
yang menuntunku
dari ayat ke ayat,
dari dzikir ke dzikir,
dari luka ke cinta.
Di jalan ini,
aku bukan siapa-siapa,
hanya hamba
yang mengikatkan diri
pada satu kompas:
Dia.
Yogyakarta, 2025
SAJADAH YANG MENYAMBUNG RAUDLAH
Bumi tempat aku bersujud ini
menyambung jejak para kekasih,
dari telapak yang lemah
hingga langit yang gemetar menyambut:
Subhaana Rabbiyal A‘laa.
Sajadah kecil di kamarku
menyentuh Hajar Aswad
dengan air mata
yang turun
bukan karena duka,
tapi cinta
yang tak tahu
bagaimana lagi harus pulang
selain dengan sujud.
Betapa dekat rinduku
kepada Rasulullah,
melewati ruang-ruang rahasia
yang hanya dibuka oleh
shalawat yang bersih
dan air mata
yang tak disaksikan siapa pun.
Aku tak perlu melangkah jauh—
setiap takbir yang kupeluk
adalah tangga menuju Raudlah.
Setiap istighfar yang kugumamkan
adalah jembatan
yang mengantar rinduku
ke pelataran cinta.
Malam ini aku tahu:
tanah tempat sujudku
telah menjadi Tanah Suci,
dan cintaku
telah dibalut oleh rahmat
yang tak terlihat
tapi nyata
di peluk cahaya-Nya.
Yogyakarta, 2025
SUMUR YANG TAK PERNAH KERING
(Heru Kurniawan)
Ia tak datang sebagai hujan,
bukan gemuruh sungai
yang menggetarkan tebing,
melainkan air bening
yang tinggal di sumur dalam
yang tak dijamah banyak tangan.
Tak ada yang tahu
seberapa dalam ia menyimpan cahaya,
seberapa lama ia diam
menunggu siapa pun
yang haus
datang dengan luka
atau rindu yang sunyi.
Ia tidak berlari,
tidak mengejar,
tidak pula berharap
disambut meriah.
Ia hanya menanti
di dalam—
seperti doa
yang tak pernah diucap,
tapi selalu dikabulkan.
Sumur itu,
dialah teman bagi yang mencari makna
di tengah tandusnya dunia.
Dialah saksi
bagi langkah-langkah yang letih
dan hati yang retak,
namun tetap ingin pulang.
Dan meski tak selalu diingat,
ia tetap menjaga kejernihan,
setia menyimpan bening
bagi siapa pun
yang datang dalam dahaga—
akan tahu:
ini bukan air biasa,
melainkan cinta
yang memilih tinggal
tanpa pernah menagih balasan.
Yogyakarta, 2025
—
Abdul Wachid B.S., lahir 7 Oktober 1966 di Bluluk, Lamongan, Jawa Timur. Wachid lulus Sarjana Sastra dan Magister Humaniora di UGM, dan menjadi Guru Besar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Islam Negeri Prof. K.H. Saifuddin Zuhri, Purwokerto. Abdul Wachid B.S. lulus Doktor Pendidikan Bahasa Indonesia di Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta (15/1/2019). Buku terbarunya : Kumpulan Sajak Nun (2018), Bunga Rampai Esai Sastra Pencerahan (2019), Dimensi Profetik dalam Puisi Gus Mus: Keindahan Islam dan Keindonesiaan (2020), Kumpulan Sajak Biyanglala (2020), Kumpulan Sajak Jalan Malam (2021), Kumpulan Sajak Penyair Cinta (2022), Kumpulan Sajak Wasilah Sejoli (2022). Melalui buku Sastra Pencerahan, Abdul Wachid B.S. menerima penghargaan Majelis Sastrawan Asia Tenggara (Mastera) sebagai karya tulis terbaik kategori pemikiran sastra, pada 7 Oktober 2021 (tepat di ulang tahunnya yang ke-55).



