Yang Datang Membunuh dan Memeluk Ingatan
Oleh Tonny Trimarsanto*
Ada satu hal yang menggoda, ketika mengingat film klasik Italia, Cinema Paradiso karya sutradara Giussepe Tornatore. Ya atau tidak, film itu mengajarkan soal betapa strategisnya ingatan dan bagaimana memainkan ingatan dalam sebuah petualangannya, akhirnya ingatan itu menjadi sebuah karya. Ingatan adalah bahan mentah aktif yang tersimpan, namun tetap hidup. Ingatan tidak saja membeku, akan mencair bergerak terus menerus. Syahdan, ingatan itu hidup dan mempunyai makna. Ingatan akan terus tumbuh dan mengalami ragam penafsiran, pengucapan kembali, atau malah sebaliknya ingatan itu harus dibunuh.
Alkisah dalam filem Cinema Pardiso, Salvatore di Vita, seorang sutradara, harus pulang ke kampung halamannya setelah mendengar kabar, bahwa Alfredo seorang operator bioskop di kampung halamannya di Sisilia meninggal. Keduanya cukup dekat. Salvatore, pulang untuk menjumpai ingatannya pada Alfredo, dan tanpa terasa kepulangannya telah menghidupan kembali ingatan masa kecilnya, saat bersama Alfredo.
Kemudian, sutradara membangun kisahnya kembali ke lorong waktu ke Salvatore kecil, yang sering dipanggil Toto. Bersama Alfredo sang pemutar filem, yang menjadi sahabat pun layaknya sebagai ayah. Dunia sinema masa kecil Salvatore telah berubah, karena tak ada lagi bioskop dan ruang putar yang layak. Namun, ingatan terasa puitis ketika ia membuka sebuah potongan film yang pernah diberikan Alfredo kepadanya, tentang adegan adegan filem yang pernah hilang karena sensor.
Pusaran peristiwa kecintaan pada sinema, masa kecil, persahabatan adalah ingatan ingatan yang ada dalam diri Salvatore manakala kembali ke Sisilia. Nampaknya sinema menjadi irisan bagi cinta, kenangan, dan kehilangan. Antara ingatan masa kecil dan hubungan antar generasi yang problematis, dengan ego dan kepentingannya. Terciptanya kepentingan politik, perubahan sosial, terkadang menggeser ingatan dalam definisinya yang baru. Kita semakin disadarkan, sesungguhnya filem, adalah ruang dialog, ketika ingatan dipercakapkan.
Ingatan, ketika berelasi dengan media, akan menghadirkan resiko relasi di dalamnya yang nampaknya unik nan problematis. Ketika faktanya seperti itu, apakah menjadi penting untuk terus menerus mempertanyakan, menggunakan ingatan sebagai materi dalam produksi kreatif filem? Banyak sutradara berlomba untuk menggunakan ingatan sebagai sebuah amunisi bercerita, sekaligus mengajak penontonnya masuk ke ruang yang intim, personal, emosional seputar ingatan pada satu waktu peristiwa. Lantas, bagaimana dengan perkara pembunuhan pada ingatan ingatan obyektif yang pernah ada? Apa benar demikian, bahwa setiap mashab politik-kapital mempunyai kuasa untuk memberikan definisi baru dalam perkara ingatan?
Manusia adalah serigala bagi sesamanya, homo homini lupus. Frasa singkat nan klasik soal kuasa. Saya jadi ingat pula, soal pertarungan yang selalu memberikan kemenangan untuk yang kuat, yang baru, yang modernis, dan yang punya kuasa. Sekali lagi ini soal hukum rimba. Siapa kuat, dia yang menang, menaklukan mereka mereka yang lemah. Definisi klasik, yang bisa jadi akan menjadi abadi untuk dapat memetakan, sesungguhnya peradaban peradaban dengan kepentingan politisnya dan upaya upaya kapitalisasi yang hari hari ini tak akan pernah usai.
Selama ini, apa yang saya lakukan hari hari ini melalui medium filem dokumenter, adalah upaya untuk bisa membuat ingatan itu tetap hidup dan organik dari ruang, waktu dan generasi yang berbeda. Itulah fitrah dari media, bahwa didalamnya akan ada kepentingan dan ingatan yang terus menerus diberi ruang untuk dihidupi dan menghidupi sekaligus memercikan pengalaman, pengetahuan atau tragedi.
Di pesisir Kepulauan Riau (Kepri) saya pernah bertemu dengan Mak Nurmah, seorang pelantum seni Melayu makyong, yang sejak masa usia mudanya telah menaklukkan panggung hiburan di Singapura era 1960 hingga 1970-an. Bersama suaminya, mereka berdua telah menaklukkan panggung hiburan malam, dengan berdendang syair syair Melayu. Dendang syair merdu, bagi para perantau kelas bawah yang rindu akan kampung halamannya.
Ada sebuah peristiwa menarik, ketika dalam sebuah acara pesta, tiba tiba seorang saudagar Singapura memberikan biola warisan yang tak terpakai, dengan umur lebih dari seabad usia alat musik itu. Berkah sekaligus jalan hidup kesenimanan, yang terus didukung. Mak Nurmah berkisah tentang ingatan ingatan ruang, suasana, cinta dan kebahagian dalam filem dokumenter. Saya mencoba untuk menghidupkan kembali dunia Mak Nurmah dengan ingatannya pada masa lalu dan panggung malam.
Sampai di sini, pertama, nampaknya ingatan menjadi amunisi untuk bercerita, tentang masa lalu yang bisa jadi telah beradaptasi dengan masa kekinian. Ingatan bisa jadi telah menegasikan ruang dan waktu. Ingatan personal itu penting untuk dikenang, dan dimasukan dalam sebuah medium, filem dokumenter. Pengalaman selama ini, filem dokumenter telah hadir sebagai tempat untuk menyimpan jejak waktu, soal ruang, peristiwa, suara ataupun ragam bentuk visual yang dapat dituturkan.
Seperti hal nya ingatan manusia, maka filem memungkinkan kepada pentontonnya (setiap individu) untuk mengingat, mengulang, memasukannya dan merasakannya kembali. Sebuah medium yang bisa membawa kita ke satu titik lorong waktu panjang, yang memang menyimpan rasa, emosi dan kedekatan, sekalipun itu telah berlalu. Atau dengan meminjam istilah Andre Bazim, bahwa sesungguhnya filem telah membekukan waktu dan mempertahankan realitas. Kritikus Perancis yang meroket dengan jurnal yang didirikannya Cahiers du Cinema ini, mencoba bersikukuh pada argumen bahwa filem adalah sebuah realitas. Filem telah menyimpan, mengabadikan yang fana, menjadi sebuah realitas.
Tanpa sadar, filem telah menjadi medium ingatan, pada akhirnya akan mengumpulkan ragam ingatan personal kolektif yang pernah tumbuh dan berdampingan dengan kebudayaan. Namun jangan salah, ketika sebuah mashab sadar akan kekuatan filem, maka yang terjadi adalah kedua politisasi ingatan. Yakni, praktik praktik kuasa untuk mengkooptasi ingatan, menghilangkan bahkan membunuhnya, dan menggantikannya dengan ingatan yang sejalan dengan kepentingan politiknya.
Apakah demikian adanya? Kita tak perlu susah payah untuk mengumpulkan ragam bukti. Produksi ragam filem dokumenter di tanah air misalnya, menjadi sebuah jawaban bahwa narasi yang menyembul adalah substansi dan kepentingan politik. Simak saja sejak jaman Hindia Belanda hingga saat ini ragam filem dokumenter atas nama politik kuasa begitu dominan. Apalagi jika mengingatnya pada jaman Orde Baru. Ingatan seakan bukan lagi perkara peristiwa nan otentik, tetapi bagaimana menciptakan ingatan ingatan baru sesuai dengan tujuan politik. Hujan ingatan yang terkonstruksi demi kepentingan politik tak bisa ditahan.
Ketika muncul peristiwa besar era krisis politik 1965, maka ada banyak filem yang diproduksi entah itu filem fiksi dan filem dokumenter dengan setting besarnya pada peristiwa tersebut. Ada filem fiksi Pengkhianatan G30S (sutradara Arifin C Noor), Gie (sutradara Riri Riza), Ronggeng Dukuh Paruk (sutradara Ifa Isfansyah) atau karya fiksi lainnya. Namun di dokumenter ada pula karya semacam Mass Grave (sutradara Lexy Rambadeta), Tumbuh dalam Badai (sutradara IGP Wira), Lagu untuk Anakku (sutradara Shalahuddin Siregar), The Act of Killing (sutradara Joshua Oppenheimer), Exile(sutradara Lola Amaria).
Ragam karya tersebut, seakan tengah menjadikan ingatan sebagai sebuah amunisi, dengan daya cakapnya dalam pengucapannya sesuai dengan ingatan yang dipunyai. Entah itu ingatan personal dan kolektif yang berjumpa. Atau ingatan tengah berada dalam sebuah medan dialog, dikemas secara kreatif, dengan otoritas pencipta dan tujuan pembuatannya. Kepentingan pada setiap medium akan selalu eksis, dan menjadi motivasi kekaryaan. Sehingga dialog akan ingatan terjadi di sini. Alhasil terbukalah ragam perspektif, bagaimana ingatan itu direproduksi untuk tujuan kekuasaan, atau ingatan menjadi bagian dari kehidupan personal ataupun komunitas yang pernah bersinggungan dengan peristiwa tersebut. Ada upaya untuk membunuh kenangan atas nama kuasa, ada upaya untuk menghidupan menyodorkan fakta kenangan dari perspektif yang lain.
Sepertinya telah menjadi hal yang lasim ketika kuasa akan ingatan, mempunyai otoritas untuk mengelola, menghilangkan atau bahkan membunuh ingatan ingatan itu. Filem The Cove karya sutradara Louie Psihoyos, berkisah tentang perburuan lumba lumba yang dilakukan oleh nelayan Jepang, dan konon adalah bagian dari budaya dan hidup mereka. Bagi masyarakat Jepang, filem ini jelas kontroversi. Popularitas filem dokumenter ini cukup prestisius, lantaran mendapatkan banyak penghargaan dan menyita perhatian dunia internasional, namun menebarkan rasa risau yang mendalam. Akan tetapi, produser sutradara Jepang Keiko Yagi, mencoba menghadirkan fakta dan ingatan yang berbeda dalam Behind The Cove The Quite Japanesse Speak Out yang berangkat dari isu yang sama tentang perburuan paus dan lumba lumba. Ingatan ingatan yang sengaja ditabrakkan, masing masing menyodorkan kepentingan kuasa atas ingatan. Ingatan itu telah berdialog, dalam kotak medium.
Politisisasi ingatan, seringkali menjadi sebuah ironi besar atas fakta fakta yang sesungguhnya terjadi. Pragmatisme pengakalan atas “otensitas”, menjadi praktik praktik yang memang sulit untuk dihindari. Sekali lagi, ingatan adalah kemewahan sekaligus metode bagaimana kita bisa melihat, menghargai dan belajar dari sejarah. Dari apa yang pernah terjadi, dan ingatan itu bukanlah sesuatu yang beku, namun terus mencair mengalir mencari celah celah untuk dirasakan, diingat kembali. Itu akan selalu repetitif.
Realitas yang tersimpan dalam karya sinematik, pada akhirnya akan mengaktifkan kembali keterlibatan, pengalaman sekaligus emosi dari penonton. Bisa jadi pula akan mendorong pemikiran dan interpretasi tafsir yang baru dalam diri penonton. Pada saat saya memilih ide, untuk kepentingan menjadi filem dokumenter, ditahap awal saya merasa bahwa saya akan mengaktifkan kembali ingatan, bisa jadi sebuah ingatan terdalam dan terkelam yang publik tak pernah bersentuhan dengan ruang yang lebih luas.
Pertarungan untuk mempertahankan kebenaran historis, adalah perang yang abadi. Ingatan, era posttruth, sekali lagi menjadi subyek subyek yang terus dipertanyakan dan mencari makna dan posisinya. Saya tak akan pernah bisa menghindar bahwa sesunggunya hasrat untuk mempertanyakan filem sebagai bagian dari ruang ingatan, tak bisa ditahan. Filem adalah ingatan, atau setiap filem berisikan amunisi ingatan yang terus berjalan untuk bertemu dengan kebenaran historisnya. *****
*Tonny Trimarsanto, sutradara-produser, bergiat di Rumah Dokumenter Klaten.




