Pasukan Rezim Cahaya Merengkuh Gelap Lewat Autolysis
Oleh: Sekar Tri Kusuma*
Kiriman pesan singkat lewat Whatsapp mengundang saya untuk hadir dalam pertunjukan seorang kawan, Enji Sekar. Karyanya yang bertajuk Autolysis, menjadi medan pertemuan saya dengan Enji yang lama tidak saling jumpa.
Karyanya menjadi salah satu pertunjukan dalam Festival Belum-Sudah/Not-Yet, sebuah festival seni pertunjukan kontemporer yang digelar oleh Garasi Performance Institute (GPI) di Yogyakarta. Festival ini telah diselenggarakan pada 25-31 Juli 2025 dengan tema “Gelagat Liar” dan berfokus pada seni pertunjukan yang menggali sejarah, simposium, dan dialog lintas disiplin.

Festival dengan tawaran yang menarik, rasanya hampir seperti dibawa pada kenangan agustusan di kampung-kampung. Perhelatan ada dimana-mana dengan waktu yang berbeda-beda, namun dalam satu peristiwa yang sama. Beberapa lokasi pertunjukan diantaranya adalah Institut Français d’Indonésie (IFI) Yogyakarta, Kebun Warisan, Benteng Vredeburg, JNM Bloc, dan Garasi Performance Institute. Sementara itu, satu karya bisa saja dipentaskan beberapa kali dalam sesi yang berbeda-beda. Bagi saya, hal ini menjadi trik jitu dalam melibatkan penonton secara aktif karena mau tidak mau musti jeli membaca jadwal dan memutar otak untuk menyesuaikan urutan pertunjukan dengan efektivitas waktu yang ada.
Jarak Solo dan Jogja seringkali saya retas dengan laju kereta. Cukup dalam waktu satu jam dan dengan mengeluarkan 8 ribu rupiah, sekejap Malioboro ada di depan mata. Di dalam kereta, imajinasi saya mulai berulah terlebih lagi setelah kembali membaca pesan singkat yang berisikan peringatan. Inti dari peringatan tersebut adalah informasi bahwa pertunjukan akan berlangsung dalam ruang yang minim cahaya dan penuh paparan sensorik. Tidak disarankan bagi penonton dengan phobia gelap di ruang tertutup, penyakit jantung, epilepsi, fotosensitivitas, gangguan kecemasan, panic attack, hysteria, schizophrenia, atau kondisi psikologis somatis lainnya.
Tidak hanya peringatan, saya juga menerima catatan penting sebagai penonton agar memakai pakaian berwarna gelap, disarankan berwarna hitam. Wajib mematikan gawai yang berpotensi menimbulkan cahaya dan suara selama pertunjukan berlangsung, seperti smartphone, smartwatch, dan kamera. Kami juga disarankan untuk mengenakan alas kaki yang mudah dilepas karena akan diminta melepas alas kaki ketika memasuki ruang pertunjukan. Berkomitmen menjaga ruang aman bagi sesama penonton dan performer, pasalnya diperkirakan terdapat kemungkinan bersentuhan dengan performer. Selama pertunjukan berlangsung, penonton tidak diperkenankan keluar ruangan namun apabila terlanjur memasuki ruang dan merasa tidak mampu mengatasi rasa tidak nyaman, penonton diperbolehkan melambaikan tangan agar segera dievakuasi oleh panitia.
Sekilas baca masih tidak ada respon yang berlebihan. Setelah membaca untuk yang kedua kalinya, saya baru merasa risau ‘kira-kira akan seberbahaya apa pertunjukan ini?’ Kiat semacam ini menjadi jalan yang cukup kuat untuk membangkitkan narasi peristiwa yang bahkan belum terjadi. Meskipun begitu, kiat ini juga bagaikan buah simalakama. Bisa jadi kuat, bisa jadi mengikat. Mengikat imajinasi alias membentuk ekspektasi. Justru ini yang berbahaya bagi saya. Bagaimanapun, saya akan mengajak Anda untuk menyelami pengalaman menonton pertunjukan Autolysis.
Sesampainya di IFI Yogyakarta, nampak beberapa wajah yang akrab saya lihat sedang berlalu lalang mempersiapkan dan mengkoordinir penonton. Diantaranya saling menyapa dan mengarahkan untuk melakukan registrasi. Uniknya, setelah saya tandatangani kertas presensi, terdapat beberapa tag nomor disiapkan di atas meja registrasi. Rupanya satu persatu dari kami mendapat tag nomor itu. Entah untuk apa, namun kami ambil begitu saja. Sembari saling menyapa dan reuni kilat, akhirnya semua mata tertuju pada Arsita Iswardhani atau yang akrab kami panggil Sita. Ia membacakan wara-wara “Sebentar lagi akan ada briefing, ya!” Saya pikir ajakan ini hanya ditujukan untuk performer, tapi ternyata penonton juga punya andil untuk mengikutinya. Kami berkumpul di depan lobby IFI Yogyakarta sambil menanti-nanti komando dari Sita. Ternyata briefing ini dimulai dengan absensi. Satu persatu nama kami dipanggil. Rupanya, Autolysis memberlakukan jumlah penonton yang terbatas, maksimal 24 orang dalam satu sesi.
Ketika nama saya tak juga dipanggil, ada perasaan ragu ‘Apakah sebaiknya saya batalkan rencana nonton ini, ya? Mumpung belum kebacut dipanggil’ Element of surprise dalam karya ini seakan tak pernah berhenti meletup. Akhirnya nama saya dipanggil, reflek saya mengacungkan tangan dan berbisik “Hadir” Sambil cekikikan dengan teman-teman di sebelah saya. Saya pikir menonton karya Enji akan sesederhana mampir di warung kopi, bisa dengan pakaian seadanya, pesan apapun sepuasnya, menikmati hidangan dengan tenang, dan pulang dengan tanpa beban. Tapi ternyata, bahkan hendak menonton saja banyak sekali ubarampe yang perlu disiapkan. Seperti hendak melakukan ritual, banyak laku yang perlu dilalui.
Tibalah seorang perempuan yang ternyata adalah adik Enji, membacakan ulang sinopsis dan peraturan sesuai dengan yang disampaikan lewat pesan singkat di Whatsapp. Tanpa menunggu lama, kami mulai beriringan masuk ke ruang utama. Ternyata, tag nomor yang kami ambil sebelumnya akan digunakan untuk menyimpan barang bawaan kami, seperti tas, jam pintar, ponsel ke dalam loker yang sama supaya tidak tertukar. Sementara itu, kami juga diminta untuk melepas alas kaki. Tadinya saya pikir hanya sepatu atau sandal yang perlu kami lepas. Rupanya, kaos kaki pun perlu kami lepas. Tentu saja ada celetukan di samping saya “Wah, bau ini.”
Di sisi lain, peristiwa ini mengingatkan saya pada narasi ketakutan yang dulu pernah muncul ketika guru di sekolah saya menceritakan tentang life after death. Di mana imajinasi tentang kehidupan di akhirat muncul dengan tanpa membawa apapun, di mana seluruh benda kesayangan harus diikhlaskan, di mana kita diminta untuk melepaskan seluruh wujud kemelekatan. Setelah semua barang kami letakkan, alas kaki kami rapikan, dan hati kami mantapkan, lagi-lagi, muncul adrenaline attack. Ketika rasa penasaran berubah menjadi rasa takut, dan menarik kita untuk masuk ke mode flight or fight.
Giliran saya untuk masuk ruangan akhirnya tiba. Benar saja sesuai dugaan, mulai muncul sedikit kekhawatiran pasalnya ruangan tersebut gelap total. Hanya tersisa pendaran cahaya dari tirai ruangan yang sempat sedikit terbuka. Seperti hendak melewati kandang macan, saya berusaha membuka tirai pintu dengan sangat perlahan. Lorong itupun kembali gelap ketika tirai sepenuhnya tertutup. Telapak kaki mulai merasakan kembali pada ingatan ketika main di halaman rumah yang penuh dengan daun kering berguguran. Tanpa alas kaki juga tanpa merasa khawatir akan terpapar bakteri. Kedua tangan saya mengambil alih fungsi mata, telapak tangan mulai meraba dinding perlahan memastikan langkah kaki saya berada di jalur yang tepat. Kali ini saya benar-benar tak punya kendali atas indera saya sendiri. Setelah berhasil menemukan jalur pintu yang lain, saya menemukan setitik kebahagiaan. Sebab melihat beberapa monitor menyala yang berjajar memperlihatkan semacam bakteri atau jamur dalam spektrum warna hitam dan putih. Berasa masuk ke ruang laboratorium, indera penciuman saya menangkap aroma asing. Menurut beberapa kawan, aroma tersebut adalah aroma mengkudu. Rasanya hampir saja saya tidak bisa membedakan ‘apakah ini aroma mengkudu asli atau kaki kami sendiri?’
Begitu sampai di lokasi pertunjukan utama, beberapa penonton telah memilih posisi nyamannya masing-masing. Diantara kami menetap pada satu titik yang ditandai dengan stiker berbentuk silang dan sedikit menyala. Ada yang duduk, ada yang berdiri, ada yang berjalan sambil menyeret kaki supaya tidak menabrak penonton yang lain. Suara bisikan para penonton turut mengaburkan kapan para performer memasuki lokasi pertunjukan tertutup tersebut. Kami sebagai penonton secara tidak sengaja menatap pada satu titik cahaya kuning di dalam kotak persegi panjang, yang awalnya saya pikir cahaya tersebut adalah bagian dari instalasi. Namun siapa sangka di akhir pertunjukan, kotak tersebut menjadi puncak dari persembahan karya ini.

Tiba-tiba muncul sosok berbusana putih dari berbagai sudut. Busana yang didesain oleh Babam tersebut bertekstur kasar dengan aksen gemerlap. Sayangnya, karena minim cahaya maka kelap-kelip busana tersebut tidak begitu dapat mata kami tangkap. Hampir saja saya tidak menyadari kehadiran mereka karena pergerakan yang sangat pelan. Perlahan saya menyadari keberadaan mereka berkat suara dari gesekan busana. Gesekan yang sengaja mereka ciptakan dengan menggerakkan kedua tangan ke tubuh mereka. Mereka bergerak dari satu titik ke titik yang lain sembari memperhatikan penonton, beberapa sengaja menatap mata, yang lain hanya mengandalkan pendengaran. Kedelapan performer beriringan bergerak menuju salah satu sudut ruang. Perpindahan performer menjadi alasan para penonton bergerak menyingkir sedikit demi sedikit, beberapa sempat bersentuhan, dan yang lain sengaja menjauh untuk memberi jalan dan tetap berjarak dengan performer. Secara tidak langsung, antara performer dengan penonton menciptakan ruang percakapan yang lembut dan membentuk satu konfigurasi yang alami.
Meski sekujur tubuh terbalut busana ketat, mereka tetap berusaha menyamakan gerakan dengan berpangku pada satu tarikan nafas. Cahaya yang sangat minim menunjukan samar-samar sosok putih itu melakukan waacking dalam satu rangkaian gerak. Lonjakan dramaturgi yang terjadi setelah adanya koreografi waacking ini seketika menjadi beralasan ketika saya mengingat latar belakang Enji sebagai performer ballroom. Barangkali ini adalah cara Ia menggugat norma-norma sosial. Perbedaan gerak dalam momen yang sama membentuk satu ilusi atas unison, bagaikan ombak di samudra lepas yang saling bersahutan. Dilanjutkan dengan suara kecapan yang biasa kita dengar saat seseorang tengah mengunyah makanan. Awalnya saya sempat merasa risih dengan suara-suara tersebut, namun setelah beberapa saat suara tersebut menjadi semacam musik internal yang lama-lama membentuk suatu imajinasi.
Sekumpulan sosok putih tersebut bergeliat satu sama lain, membawa imajinasi saya ketika melihat perubahan wujud awan yang bergerak detik demi detik. Entah kapan tepatnya, muncul sosok hitam yang berjalan menuju ke kotak bercahaya kuning. “Ting!” suara dari kotak bercahaya kuning yang ternyata selama ini adalah oven! Sosok hitam tersebut mengambil roti yang selama pertunjukan telah disiapkan.
Sosok hitam perlahan memberikan loyang berisikan roti tanpa perasa dan selai kepada sosok putih. Secara bergantian, sosok putih mulai membagikan roti kepada penonton. Meski sempat ragu untuk mengambil, namun pada akhirnya hampir semua penonton mendapatkan jatah roti tersebut. Kami menikmati persembahan tersebut sambil tetap berusaha menjaga agar tidak menciptakan kegaduhan. Tak lama setelahnya, sosok hitam tersebut membuka pintu ruangan dan kami mulai bertepuk tangan sebagai tanda bahwa Autolysis telah berada di ujung perjalanan. Sebagian masih mengunyah sambil berjalan menuju pintu keluar.
Perenungan atas karya ini hadir setelah mengikuti simposium yang diadakan di Garasi Performance Institute pada keesokan harinya. Meski Enji selaku koreografer hadir di ruang tersebut, namun kami berupaya menciptakan ruang percakapan yang bebas dari tafsir koreografer. Perbincangan kami murni terjadi antara penonton dan moderator. Kami menyepakati bahwa Autolysis menjadi auto-analysis yang mutakhir dalam mengkritisi kerja sensorik kami selama ini.
Setelah mengendapkan paparan sensorik dalam kurun waktu semalam, saya kembali mengingat pengalaman ketika menyaksikan pagelaran wayang kulit. Ketika waktu terus bergulir dalam pagelaran wayang kulit semalam suntuk, terkadang kerja mata yang mengendur tergantikan oleh kerja telinga yang aktif. Ketika merasa bosan melihat dari belakang dalang, niyaga dan dihadapan sinden, kami punya otoritas untuk berpindah posisi dan melihat dari balik kain putih. Ketika memejamkan mata justru menguatkan indera yang lain, saya merasa barangkali selama ini jarak antara tubuh dan kepekaannya justru muncul setelah adanya ekspektasi atas estetika visual yang berlebihan. Autolysis menyadarkan bahwa barangkali saya adalah bagian dari pasukan rezim cahaya yang merasa bahagia jika berada di sekitar cahaya, akan tetapi merasa gelisah jika harus menghadapi kegelapan.
Autolysis mengajak kita mempertanyakan seberapa jauh kita dapat mengenali tubuh, seberapa mampu kita melepas kendali diri atas pemanjaan kecanggihan, dan seberapa betah kita mengikuti proses penguraian emosi yang bergerak perlahan. Mengistirahatkan fungsi kamera yang sangat mengandalkan visual, menguatkan solidaritas sensorik, dan membangun kekuatan memori kolektif afektif.
—-
*Sekar Tri Kusuma. Peminat seni.



