Haji Wisata atau Wisata Haji: Sebuah Parodi Spiritual di Persimpangan Iman
Oleh HM. Nasruddin Anshoriy Ch*
Panggung dunia modern adalah sebuah lakon dagelan, dan kita semua adalah aktor di dalamnya. Di Indonesia, tak ada dagelan yang lebih tragis dan satir dari pusaran bisnis haji. Kita, sebagai penonton, terbelah oleh dua narasi yang saling bertentangan: Haji sebagai rukun Islam yang sakral, dan haji sebagai bisnis yang menggiurkan. Di satu sisi, ada jutaan hati yang merindu Baitullah, merelakan tabungan seumur hidup demi sebuah janji spiritual. Di sisi lain, ada biro perjalanan yang menganggap haji sebagai komoditas, sebuah produk yang bisa dijual dengan label “furoda”, “eksklusif”, atau “premium”. Di tengah semua ini, kita menyaksikan sebuah parodi yang mengocok perut, sekaligus mengoyak hati: Haji Wisata atau Wisata Haji? Ini adalah pertanyaan filosofis, sebuah dilema Eko-Spiritual Tourisme yang tak hanya menguji iman, tetapi juga integritas.
Tumpeng Maut dan Kotak Pandora: Sebuah Alegori Pencerahan
Cerita Sapari Nyolong Sewek atau Tumpeng Maut adalah alegori yang sempurna untuk menggambarkan kekacauan moral ini. Sapari mencuri sehelai kain, menjualnya, dan menggunakan uangnya untuk membeli bahan-bahan tumpeng. Ia kemudian mengundang semua pihak berwenang, termasuk korban pencurian, untuk makan bersama. Ketika korban bertanya tentang kainnya, Sapari menjawab bahwa kain itu telah menjadi tumpeng yang mereka santap bersama. Semua orang tertawa, meskipun tawa itu getir.
Ini adalah gambaran nyata dari apa yang terjadi dalam bisnis haji furoda. Dana yang dikumpulkan, terkadang dengan cara yang tidak etis, digunakan untuk membiayai perjalanan yang mewah. Dan ketika ada yang bertanya tentang keabsahan dana itu, kita semua hanya bisa tertawa getir. Semua pihak terlibat, semua pihak mendapat bagian, dan kebenahan moral pun dilupakan. Ini adalah Kotak Pandora yang telah dibuka, sebuah kutukan yang dilepaskan oleh keserakahan manusia. Sama seperti dalam mitologi Yunani, Kotak Pandora membawa semua kejahatan—kerakusan, kecemburuan, fitnah, dan pengkhianatan—yang merusak esensi ibadah haji.
Ketika Uang Menjadi Tuan: Sebuah Pertempuran Iman di dalam Hati
Di hadapan uang, semua orang sama. Ini adalah kebenaran pahit yang tak bisa kita bantah. Kita seringkali melihat ulama dan ustaz—sosok yang kita anggap suci—terperosok dalam godaan uang dan kekuasaan. Mengapa? Karena mereka adalah manusia. Mereka bukan malaikat, bukan makhluk yang kebal dari godaan. Kisah mutawatir tentang pemuda yang mengurungkan niatnya untuk berzina adalah bukti betapa dahsyatnya pertempuran batin itu. Ini adalah pertempuran superberat, sebuah peperangan di dalam hati yang hanya bisa dimenangkan oleh jiwa yang kuat. Kita yang belum diuji, tidak berhak menghakimi.
Filsafat Eko-Spiritual Tourisme mengajarkan kita untuk tidak hanya memandang haji dari sudut pandang ekonomi (eko), tetapi juga dari sudut pandang spiritual. Haji bukanlah perjalanan liburan mewah di mana kita bisa menikmati fasilitas bintang lima. Haji adalah sebuah panggilan untuk melepaskan segala atribut duniawi, untuk kembali kepada Tuhan dengan hati yang bersih. Ketika haji menjadi sebuah “wisata”, esensinya pun hilang. Kita tidak lagi menjadi “tamu-tamu Allah,” melainkan turis spiritual yang sibuk mengambil foto dan merekam video.
Tamu-Tamu Allah dan Anekdot Pencerahan
Di tengah pusaran bisnis ini, ada sebuah anekdot pencerahan yang tak pernah usang. Alkisah, seorang syekh di Makkah ditanya mengapa tamu-tamu Allah begitu beragam: ada yang kaya raya, ada yang miskin. Syekh itu tersenyum dan berkata, “Allah mengundang mereka semua, tetapi Ia menguji mereka dengan cara yang berbeda. Yang kaya diuji dengan kekayaan mereka, apakah mereka tetap rendah hati. Yang miskin diuji dengan kesabaran mereka, apakah mereka tetap bersyukur.”
Haji, pada akhirnya, adalah tentang kembali ke fitrah. Ia adalah sebuah perjalanan untuk meleburkan ego, untuk menyadari bahwa kita adalah hamba yang lemah dan fana. Ketika kita sibuk dengan fasilitas, kelas penerbangan, dan hotel, kita lupa esensi dari ibadah ini. Kita menjadi turis, bukan tamu Allah.
Mengembalikan Kesucian di Tengah Kekacauan. Lakon dagelan bisnis haji ini akan terus berlanjut selama kita masih melihat haji sebagai komoditas. Kita bisa terus menyalahkan oknum, ulama, atau bahkan Kementerian Agama dan ormas Islam terbesar seperti PBNU. Tetapi pada akhirnya, kita harus kembali ke diri kita sendiri. Haji adalah urusan pribadi antara hamba dan Rabb-nya. Itu adalah sebuah perjalanan yang hanya bisa dimengerti oleh hati yang rindu, bukan oleh dompet yang tebal.
Untuk mengakhiri dagelan ini, kita harus mengubah narasi. Haji bukanlah wisata. Wisata haji bukanlah haji. Haji adalah ziarah batin. Ia adalah sebuah pertempuran superberat melawan ego, sebuah perjalanan yang tak bisa dibayar dengan uang semata. Pada akhirnya, kita semua akan kembali kepada-Nya, dan di sana, hanya niat suci yang akan menjadi penentu.
—–
*HM. Nasruddin Anshoriy Ch, budayawan.