Raja Tanpa Mahkota 

Oleh Purnawan Andra*

Di tengah dunia yang hiruk pikuk oleh citra, kecepatan, dan ketegasan semu, sosok Yudhistira dalam pewayangan Jawa hadir seperti anomali: raja tanpa mahkota, ksatria tanpa pusaka, dan pahlawan yang menolak perang. Ia lebih senang berbincang kebijaksanaan dengan Bisma kakeknya daripada berlatih senjata, lebih memilih diam dalam rasa bersalah daripada mengumbar kegembiraan kemenangan. Namun justru karena itulah, Yudhistira menjadi simbol perenungan paling dalam tentang kepemimpinan, moralitas, dan estetika budaya yang sering kita abaikan hari ini.

Dalam cerita Mahabharata versi Jawa, Yudhistira dikenal sebagai ludira seta—ksatria berdarah putih—yang nyaris tak pernah menumpahkan darah kecuali sekali, saat membunuh Prabu Salya di medan Kurusetra. Itu pun bukan karena hasrat membunuh, melainkan karena muslihat Kresna, demi strategi kemenangan. 

Tubuhnya ringkih, wajahnya teduh, matanya lembut, dan jiwanya penuh keraguan. Ia bukan pemimpin yang percaya pada dominasi, tapi pada keluhuran niat, kebijaksanaan rasa, dan ketulusan mengalah.

Namun, benarkah Yudhistira adalah citra ideal seorang pemimpin?

Antropologi Nusantara

Dalam perspektif antropologis, Yudhistira mencerminkan arketipe pemimpin Nusantara pra-modern yang menjunjung tinggi tata aturan, harmoni, dan rasa malu (lingsem) sebagai dasar etika sosial. Kepemimpinan dalam tradisi ini bukan soal kuasa atas orang lain, tapi kesanggupan menanggung rasa dan luka bersama.

Dalam masyarakat agraris yang menjunjung gotong royong dan kesetaraan simbolik, pemimpin ideal bukanlah orator flamboyan, tetapi tokoh yang bisa menerima, ngalah demi rahayu. Itulah sebabnya, Yudhistira dalam wayang digambarkan sebagai sosok samiaji—yang setara dengan siapa pun, bahkan dengan pengemis atau anjing sekalipun.

Dalam episode Swargarohanaparwa atau Pandawa Seda, Yudhistira menolak masuk surga jika tidak diizinkan membawa serta seekor anjing yang menemaninya. Bagi dunia modern yang menilai manusia dari efisiensi dan kapital, keputusan itu tampak ganjil, bahkan bodoh. 

Tapi bagi tradisi Nusantara, tindakan Yudhistira adalah puncak dari laku utama—kesetiaan terhadap relasi, bukan terhadap posisi. Surga kehilangan maknanya jika mesti ditebus dengan mengkhianati yang lemah dan tak bersuara.

Ironisnya, dalam dunia kita hari ini, justru sebaliknya yang sering terjadi. Pejabat publik dengan mudah meninggalkan rakyatnya demi kursi kekuasaan. Janji ditepikan, relasi dikorbankan, dan loyalitas hanya berlaku selama transaksinya menguntungkan. 

Maka pilihan Yudhistira yang memilih berjalan bersama seekor anjing justru terasa jauh lebih masuk akal daripada para pemimpin kita yang tak segan menukar konstituen dengan kedudukan, atau meninggalkan prinsip demi popularitas algoritmik.

Filsafat Moral

Dari perspektif filsafat moral, Yudhistira menantang narasi dominan tentang etika keutamaan (virtue ethics) dalam politik kekuasaan. Ia bukan teladan Machiavelli yang mengajarkan pentingnya manipulasi demi stabilitas. Ia pun bukan tokoh yang mengandalkan kehendak bebas Sartrean yang radikal. Sebaliknya, ia adalah perwujudan ethics of care: pendekatan moral yang berakar pada relasi, bukan rasionalitas; pada perhatian, bukan dominasi.

Dalam etika semacam ini, “kekuatan” bukan tentang siapa yang paling banyak menaklukkan, tetapi siapa yang paling dalam menampung beban dunia. Ketika saudaranya, istri, bahkan rakyatnya melakukan kekeliruan, Yudhistira tidak langsung menghakimi. Ia memikul rasa bersalah kolektif sebagai luka bersama. Inilah keutamaan moral yang hari ini justru langka: kesediaan untuk merasa bersalah bersama, bukan saling tunjuk jari.

Namun, Yudhistira bukan tanpa cela. Dalam banyak versi wayang Jawa, ia kadang digambarkan penuh keraguan dan konflik batin sehingga terlalu lemah, terlalu sungkan, dan tidak tegas. Ia membiarkan Drupadi dijadikan barang taruhan dalam permainan dadu. Di titik ini, Yudhistira menyimpan sisi kelam yang disebut triwikrama—manifestasi raksasa putih bernama Dewa Amral ketika amarahnya meledak.

Sisi ini penting untuk dibaca ulang, karena ia menunjukkan bahwa moralitas bukanlah atribut suci yang lepas dari dilema, melainkan medan tarik-ulur kemanusiaan yang kompleks. Bahwa sosok yang tampak bijak dan lembut bisa menyimpan bara api laten jika tekanan sosial dan moral tak lagi mampu ia bendung. Maka dalam konteks ini, Yudhistira adalah cermin dari manusia biasa—yang tak sempurna, tapi selalu berusaha setia pada kompas batin.

Narasi Kepemimpinan

Pun demikian, ia satu-satunya raja yang tidak memakai mahkota. Ia tak punya senjata, tak punya praba, dan tak punya pusaka dalam bentuk fisik. Yang ia miliki hanyalah Serat Kalimasada—kitab kebijaksanaan yang tak kasatmata.

Di era sekarang, saat kualitas pemimpin diukur dari pidato, slogan, hingga framing media, kehadiran Yudhistira menjadi kritik tajam. Estetika politik telah digantikan kosmetika politik. Kepemimpinan bukan lagi soal substansi, tetapi soal siapa yang lebih memesona kamera. Wayang Jawa seakan ingin berkata: tidak semua cahaya berarti kemuliaan, tidak semua raja bermahkota adalah pemimpin sejati.

Maka, dalam krisis moral publik yang menyelimuti birokrasi, politik, dan media sosial, kita perlu mengingat kembali etika tanggung jawab dan solidaritas yang diperankan Yudhistira. Pemimpin harus berani ngemong (mengasuh), bukan sekadar ngatur. Keputusan besar tidak boleh lepas dari konsep rasa—rasa malu, rasa bersalah, rasa empati.

Dalam dunia pasca-kebenaran, kita perlu narasi kepemimpinan yang tak hanya retoris, tapi simbolis dan spiritual. Dalam hal ini, Kalimasada lebih relevan daripada pidato-pidato niresensi.

Yudhistira bukan mitos mati, melainkan simbol hidup. Di tengah dunia yang gaduh oleh kebenaran-kebenaran palsu dan pemimpin yang gila pujian, Yudhistira memberi pelajaran penting: bahwa kadang yang paling kuat adalah yang mampu bertahan dalam ketulusan, dan yang paling benar adalah yang berani berjalan bersama makhluk paling lemah.

Dan mungkin, di zaman ini, justru itulah yang paling dibutuhkan.

*Purnawan Andra, alumnus Governance & Management of Culture Fellowship Program di Daegu Catholic University Korea Selatan.