Seni Rupa Sepakbola: dari Endang Witarsa, Shin Tae-yong sampai Patrick Kluivert
Oleh Agus Dermawan T.*
Para seniman nyaris tidak lagi menggubah karya bertema sepakbola. Apalagi di masa sekarang ketika naturalisasi pemain malang-melintang. Mengapa? Padahal dulu acap dibangun patung monumen pemain legendaris! Satu artikel untuk menyongsong pertandingan pra Piala Dunia Indonesia versus China di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, 5 Juni 2025.
————
PERTANDINGAN sepakbola Piala Eropa dan keriuhan Copa América bergulir. Kemenangan spektakuler 5-0 Paris Saint-Germain atas Inter Milan di laga Liga Champions pada Juni 2025, membahana. Amat banyak orang Indonesia yang terlibat secara emosional. Termasuk para perupa – pelukis, pematung, pegrafis dan sebagainya. Siang, pagi, sampai malam mereka tak henti membicarakan aneka jurus, taktik dan aksi para jagoan di lapangan.
Tapi, adakah magnet sepakbola yang besar itu menggetarkan ide-ide seni rupa mereka? Kita boleh menunggu beberapa lama. Namun, seperti pengalaman yang dulu-dulu, sepakbola agaknya hanya berhenti sebagai tontonan saja. Bahkan gelaran Piala Dunia – yang lebih akbar dari Piala Eropa, Copa América dan Liga Champions – hanya berujung sebagai cerita.
Lalu mendugalah sejumlah pengamat seni. “Mungkin karena yang beratraksi hebat itu pemain luar negeri, jadi tidak menginspirasi seni rupa di sini. Coba jika yang bermain cantik adalah kesebelasan Indonesia, kreasi seni rupa Indonesia akan diwarnai keindahan sepakbola.”
Namun dugaan itu juga tidak terbukti. Padahal sepakbola Indonesia sudah lumayan berprestasi dalam dua tahun belakangan. Simak faktanya: timnas (tim nasional) sepakbola Indonesia U-23 berhasil menduduki posisi ke-4 Asia di ajang Pra Olimpiade Paris 2024. Pada ujung Juli 2024 Tim Garuda Muda U-19 mengalahkan sang tangguh Thailand dalam turnamen Piala AFF. Timnas berhasil masuk ke babak ketiga kualifikasi Piala Dunia 2026 Zona Asia. Dan untuk lolos ke babak keempat harus bertanding hidup-mati melawan kesebelasan China di Stadion Utama Gelora Bung Karno pada 5 Juni 2025.
Semua tentu bangga. Pertanyaannya, adakah kebanggaan, pemujaan dan pemujian atas prestasi itu menginspirasi lahirnya seni rupa? Ternyata tidak. Gairah perupa untuk membaladakan sepakbola Indonesia tetap saja longsor ke dasar samudera.

Lukisan Melodia, “Mimpiku di Olimpiade”, 2004. (Sumber: Agus Dermawan T.)
Atas semua itu, mengapa? “Kami masih butuh banyak pembuktian dari timnas. Sejauh ini kami masih dihimpit kekecewaan dan trauma mendalam atas runtuhnya prestasi timnas pada belasan tahun silam,” simpul mereka.
Syahdan belasan tahun lalu timnas Indonesia berniat bertarung hebat di ajang Piala Suzuki AFP, SEA Games, dan Kualifikasi Piala Dunia. Dalam berbagai ajang tersebut ternyata timnas berkali-kali terjungkal tak berdaya. Bahkan pada 2012 timnas Indonesia mengalami kekalahan yang sangat memalukan atas Bahrain, dengan skor 10 – 0 dalam penyisihan Grup C Pra Piala Dunia Zona Asia. Lalu kekalahan demi kekalahan terus diterima dengan sempurna. Pada 2014, kesebelasan Indonesia ditekuk Filipina dengan skor 4 – 1. Padahal kesebelasan Filipina ini pernah belasan kali ditaklukkan Indonesia.
Dari Phoa San Liong sampai Ajat Sudrajat
Dari situ kita diajak mengingat tahun 1950-1980 ketika PSSI ditangani pelatih, Choo Seng Quee, Endang Witarsa, Antun Pogacnik, E.A. Mangindaan, Wiel Coerver, Tony Pogacnik. Kala itu reputasi sepakbola Indonesia moncer, sehingga seniman Indonesia rame-rame mengabadikan pesepakbola andalannya.
Pada tahun 1970-an para seniman Surabaya menggubah patung (remanen) dan mural Iswadi Idris sampai Phoa Sian Liong di halaman kantor dan di sekitar Lapangan Tambaksari. Pada tahun 1990 Walikota Bandung Ateng Wahyudi mendirikan monumen sepakbola “Persib Ajat Sudrajat” bikinan Nyoman Nuarta di perempatan Lembong-Tablong. Monumen itu menemani mural Ronny Pattinasarany dan patung Andi Ramang di Makassar, striker legendaris tahun 1950-1960. Juga patung Ribut Waidi di Semarang, pencetak gol dalam SEA Games tahun 1987, yang membawa Indonesia jadi juara.

Patung “Persib – Ajat Sudrajat” bikinan Nyoman Nuarta di Bandung (Sumber: Agus Dermawan T.)
Tapi tidak berarti pada tiga dekade itu sepakbola Indonesia sama sekali sepi dari sentuhan para perupa. Lantaran ternyata ada juga seniman Indonesia yang iseng menggiring-giring bola dalam ciptaannya. Pelukis Dipo Andy, Galam Zukifli, Yuswantoro Adi, Adi Gunawan, sebagai contoh. Namun alih-alih apresiasi dan junjungan yang digambarkan, yang muncul justru kritik dan sindiran yang diangkat sebagai konten karya.
Pelukis Afriani misalnya, mencipta lukisan yang menggambarkan anak-anak kampung bermain bola di sepetak lapangan sempit, kumuh dan berdebu. Nyoman Masriadi mencipta Jago Kandang yang menceritakan dua pemain berebut bola di rumput hijau. Salah satu pemain berseragam merah-putih (seragam PSSI, Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia), dan bernomor kaus 13, angka sial.
Tisna Sanjaya yang sangat gemar sepakbola, mengeskploitasi bola sebagai medium penciptaan seni grafis. Bola dikeluarkan dari lapangan, dilumuri cat, dan dibentur-benturkan ke kanvas yang ditempelkan di tembok. Metafora dari gol Indonesia yang selalu terhalang dinding! Pada 2009 pelukis karikaturis Eko Supa mengimajinasikan naturalisasi bintang sepakbola Prancis Zinedine Zidane. Maestro ini digambarkan berbaju batik, memakai bros Garuda, sedang memeluk bola PSSI yang kempis. Dari mana darah Indonesia Zidane terhubung, itu urusan belakang.

Lukisan Eko Supa, “Imajinasi Naturalisasi”, 2009. Maestro sepakbola Prancis Zinedine Zidane berbaju batik, sedang memegang bola PSSI yang kempis. (Sumber: Agus Dermawan T.)

Lukisan Eris Lungguh tentang tragedi sepakbola Lapangan Kanjuruhan, Malang. (Sumber: Agus Dermawan T.)
Di Bandung pada akhir 2022 ada pameran bertema sepakbola “Free Kick”. Kita tentu mengharap yang dipresentasikan adalah prestasi dan atraksi sepak bola yang penuh gaya. Tapi yang hadir justru segala sesuatu yang bertolak belakang dengan itu. Simak lukisan Eris Lungguh yang menceritakan tragedi maut lapangan sepakbola Kanjuruhan, Malang, yang memakan korban 135 nyawa dan 500 orang luka-luka.
Legenda Maradona
Situasi ini berbeda dengan yang terjadi di berbagai negara di dunia. Atau di negeri yang sepakbolanya memetik prestasi di mana-mana. Di daratan Eropa, pada setiap waktu tergelar karya seni rupa, dari ciptaan John Myatt, Federico Zenobi sampai Fabrizio Birimbelli. Di beberapa plaza di Eropa pada setiap hari berderet seni jalanan yang bercerita tentang sepakbola. Dari aksi pantomim, akrobat, tarian sampai lukisan kapur di pelataran.
Di Stadion Maracana, Rio de Janeiro, Brazil setiap hari ada pentas sepakbola. Di dekat patung Pele yang memegang tropi World Cup, tampil para pemain akrobat bola yang mengenakan kaos kuning, seragam kesebelasan Brazil. Masih di Rio, dalam pertunjukan kabaret Plataforma muncul anak umur 12 tahun yang memainkan tarian bola dengan sangat mempesona. Bola adalah primadona panggung kesenian mereka.
La Bombonera di distrik La Boca, Buenos Aires, figur sepakbola dijadikan ikon, sehingga wajah dan sosoknya tergambar dalam banyak mural. Tidak cuma di distrik itu saja. Di seluruh kota Argentina sepakbola diselebrasi. Di resto dan toko patung para legenda sepakbola acap dibikin nongol anguk-anguk di jendela. Ia seolah menyapa publik, “Hola. Como estas?” Di tengah kota ini bahkan ada street art setinggi gedung berlantai 14, yang menggambarkan Diego Maradona.

Lukisan dinding tentang sosok Diego Maradona di Buenos Aires, Argentina. Setinggi gedung 14 lantai. (Sumber: Dokumen)
Tidak hanya di negeri berprestasi sepakbola saja sepakbola dirayakan. Dallas, Amerika Serikat, yang menganggap sepakbola sebagai olahraga nomer dua – di bawah american football – juga mengangkat sepakbola dalam junjungan. Di kota ini ada Stadion AT&T yang halamannya dihiasi patung besar karya Anish Kapoor. Patung itu berbentuk cermin bundar berdiameter 11 meter yang berdiri miring di atas granit hitam. Patung spektakuler ini diumpamakan sebagai lobang atap stadion sepakbola yang ditatap dari dalam stadion. Sehingga yang terlihat hanyalah langit. Patung itu berkata bahwa, dengan menonton bola, kita seperti melihat langit yang tiada berbatas. Langit bisa biru, tapi juga bisa berawan, bahkan kelam dengan kilatan petir mengagetkan. Sepakbola!

Patung cermin langit sepakbola karya Anish Kapoor di Stadion AT&T, Dallas, Amerika Serikat. (Sumber: www.designboom.com)

Lukisan Fabrizio Birimbelli, tentang Kaisar Sepakbola Cristiano Ronaldo. (Sumber: Agus Dermawan T.)
Hal yang sama juga dirayakan di Tiongkok, negeri yang ilmu sepakbolanya dan penggemar sepakbolanya sedang dipupuk. Di pentas pertunjukan kungfu Shaolin, di kota Dengfeng, seorang bocah mendemonstrasikan keahliannya mengolah bola dengan berbagai jurus silatnya. Pertunjukan yang mengingatkan kita kepada keterampilan ajaib film Shaolin Soccer yang dibintangi Stephen Chow. Juga film The Cup yang menceritakan biksu cilik di Bhutan yang sangat menggemari bola.
Sepakbola kini sedang kurang bergema dalam seni rupa Indonesia. Tapi kita harus tetap meyakini bahwa kecintaan anak bangsa terhadap bola tak bergeming sedikit jua. Dan sikap topophilia masyarakat terhadap kesebelasan kesayangannya – dari tim kampung sampai tim milik negara – tetap lekat dalam jiwa.
Setengah mati naturalisasi
Padahal pengelola sepakbola Indonesia, PSSI dan Erick Thohir, sang ketua, telah mati-matian membangkitkan dunia sepakbola nasional ini. Menduga dan menghitung betapa pemain bola bumiputera bakal tak mampu merambat ke prestasi pucuk, maka Erick pun merekrut pemain bola internasional dari mana saja. Perekrutan atau perburuan itu didasari konsep naturalisasi, dengan kriteria dasar bahwa mereka berdarah Indonesia, meski mungkin hanya 25%. Seperti ayah atau ibu mereka orang Indonesia. Nenek atau kakek mereka orang Indonesia. Bahkan boleh juga apabila pemain itu putera dari keponakan dari nenek atau kakek yang berdarah Indonesia.
Pada era pelatih Shin Tae-yong, kurun 2020 sampai awal 2025, tak kurang dari 15 pemain naturalisasi yang diboyong oleh Erick dari jauh. Mari iseng-iseng kita baca nama dan asal-usulnya.
Maarten Paes, kiper, berasal dari FC Dallas, Amerika Serikat. Mees Hilgers, bek, dari FC Twente/Eredvisie, Belanda. Shayne Pattynama, bek, dari KASS Eupen, Belgia. Jordi Amat, bek, dari Johor Darul Ta’zim, Malaysia. Justin Hubner, bek, dari Cerezo Osaka, Jepang. Sandy Walsh, bek, KV Mechelen, Belgia. Calvin Verdonk, bek, dari NEC Nijmegen, Belanda.
Lalu Jay Idzes, bek dan gelandang, dari Venezia Seri A, Italia. Nathan Tjoe-A-On, bek dan gelandang, dari Swansea City, Inggris. Eliano Reijnders, gelandang, dari PEC Zwolle, Belanda. Tom Haye, gelandang, dari Almere City, Belanda. Ivar Jenner, gelandang, dari Jong FC Utrecht, Belanda. Rafael Struick, penyerang, dari Brisbane Roar FC, Australia. Ratna Oratmangoen, penyerang, dari FCV Dender EH, Belgia. Jens Raven, penyerang, dari FC Dordrecht, Belanda.
Sementara itu di klub-klub daerah bergabung pula pemain naturalisasi dari banyak penjuru. Seperti Kevin Diks, bek, berasal dari FC Copenhagen, Denmark. Elkan Baggor, bek, dari Blackpool, Inggris. Marc Klok, gelandang, dari FC Utrecht, Belanda.
Tapi PSSI tidak puas dengan hasil binaan Shin Tae-yong. Sehingga peran pelatih Hyeong Shin pun diganti Patrick Kluivert, pada Januari 2025. Untuk pelatih asal Belanda ini Erick menambah pemain naturalisasi Emilio Aufero Mulyadi, kiper, asal dari klub Palermo-Como, Itali. Joel Mathjis Pelupessy, gelandang, dari klub Lommel, Belgia. Dan Dean Ruben James, bek, dari Go Ahead Eagles, Belanda.
Laga pertama anak-asuh Kluivert ini berlangsung di Sidney dalam ajang pertandingan lanjutan putaran ketiga Kualifikasi Piala Dunia 2026 Grup C. Hasilnya sungguhlah mengenaskan, Indonesia dibantai 5-1. Laga kedua berlangsung melawan Bahrain di Gelora Bung Karno, Jakarta. Hasilnya lumayan, Indonesia menang 1-0. Maka skor total yang dihasilkan timnas dan Kluivert adalah 2 lawan 5.

Kesebelasan sepakbola kampung bola plastik Meijing United, asuhan pelukis Melodia. (Sumber: Agus Dermawan T)
Maka berkatalah Melodia, pelukis ternama yang memiliki perkumpulan sepakbola kampung bola plastik, Mejing United, di Yogyakarta.
“Rekrut pemain naturalisasi memang tidak dilarang. Tapi mereka ‘kan bukan jagoan yang diambil dari tim kelas satu di Eropa. Jadi tidak ideal. Pergantian mendadak atas Shin Tae-yong sudah diduga akan berakibat buruk. Dan terbukti! Tapi apa pun yang terjadi, rakyat tetap sangat mencintai sepakbola Indonesia. Termasuk kami para seniman, meski tidak mempresentasikan dalam seni rupa,” katanya.
Dari perspektif budaya, jika kemenangan pemain asli Indonesia saja belum menyentuh hati seni rupa, apalagi kekalahan telak pemain naturalisasi.
Sementara itu, penyisihan dan “penganaktirian” pemain-pemain bumiputera ke tepian lapangan – seperti Asnawi Mangkualam Bahar, Rizky Ridho, Witan Sulaeman, Pratama Arhan – juga sangat melemahkan semangat seniman seni rupa untuk menggubah sepakbola Indonesia dalam ciptaannya.
Tapi dunia sepakbola Indonesia agaknya tak perlu berkecil hati. Karena di balik realitas tidak adanya peluhuran figur-figur pemain, masih ada sekelompok orang yang tiada henti mendorong timnas Indonesia untuk berjaya di lapangan. Jika bukan badannya, minimal jiwanya. Dan dorongan jiwa itu diperlihatkan secara spektakuler pada gelar pertandingan Indonesia versus Bahrain di Gelora Bung Karno, 25 Maret 2025 silam.

Baliho koreo Garuda Raksasa ciptaan La Grande dibentangkan sebelum laga Indonesia-Bahrain, 25 Maret 2024. Menggetarkan. (Sumber: Dokumen Pribadi)

Febru Danar Surya, pencipta koreo baliho Garuda Raksasa. (Sumber: Tempo).
Sebelum laga dimulai, ketika lagu Indonesia Raya digemakan di stadion, dikereklah baliho raksasa di pinggir lapangan. Baliho artistik setinggi 30 meter dan selebar 50 meter itu bergambar burung garuda yang berwajah garang, dengan dada berperisai angka 45, lambang dari semangat Revolusi 1945. Baliho yang disebut koreo Garuda Raksasa tersebut menuliskan seruan “Show Your Dignity”, atau “Tunjukkan Harga Dirimu”. Hasilnya: timnas Indonesia menang. Hasil lain, koreo Garuda Raksasa yang sangat epik itu dipuji oleh penonton sepaksola di sekitar 100 negara di dunia.
“Saya tak menyangka koreo baliho itu mendapat respon begitu besar,” kata Febru Danar Surya, pencipta gambar itu. Febru, kelahiran 1997, adalah pelukis autodidak yang bermukim di Bantul, Yogyakarta. Disebut otodidak, lantaran pengelola Sultan Design ini tak pernah menempuh pendidikan seni secara formal. “Pendidikan saya adalah Sekolah Menengah Kejuruan Koperasi,” katanya.
Koreo lukisan Garuda Raksasa itu digagas oleh kelompok suporter La Grande Indonesia yang dipresideni Unggul Indra, sejak tiga bulan sebelum pertandingan. Ilham Parulian, pentolan La Grande menceritakan, ada lebih dari 100 orang yang menghidupkan koreo baliho dahsyat itu. Banyak orang yang bekerja menstranformasi desain Febru ke dalam lukisan. Puluhan orang menginstal, puluhan orang membeber gambar, puluhan orang yang mengerek sang garuda di balik tembok dan di ketinggian tembok stadion.
La Grande Indonesia, yang terbentuk sejak 2011, memang berhasrat penumbuhkan percaya diri tim sepakbola nasional. Bukan (dan belum) orang per orangnya. “Yang penting, berusaha untuk lebih baik dan terus berjuang. Kalah menang, itu urusan belakang,” kata Ilham Parulian. Itu sebabnya pada 15 November 2024, ketika timnas Indonesia melawan Jepang, La Grande juga membeber baliho bergambar di pinggir lapangan. Bunyinya: “Untungnya Ku Tak Pilih Menyerah” yang diambil dari lagu Bernadya. Gambarnya adalah Gundala Putra Petir bertarung melawan Godzilla! ***
*Agus Dermawan T. Kritikus seni, pengamat budaya, penyaksi gol-gol masuk ke gawang di lapangan sepakbola.