Kartini, Tubuh Menari dan Bahasa Emansipasi
Oleh Purnawan Andra*
Memperingati 21 April, kita mengingat Raden Ajeng Kartini kerap diposisikan sebagai ikon emansipasi dan pendobrak tembok feodalisme dalam sejarah perempuan Indonesia. Namun narasi ini sering kali berhenti pada kisahnya tentang pendidikan, surat-surat kepada Stella, atau tekadnya melampaui kungkungan pingitan.
Di balik pengakuan itu, tersembunyi lapisan pemikiran yang lebih dalam—yang belum banyak digali: pandangannya terhadap seni, terutama seni budaya lokal, termasuk seni tari, sebagai wahana pembebasan yang tak kalah revolusioner dari wacana pendidikan itu sendiri.
Dan menjelang Hari Tari Dunia 29 April, tulisan ini mencoba menelusur peran dan pemaknaan tentang tari dalam logika pemikiran dan kehidupan perempuan penting Indonesia, sebagai usaha yang lebih jauh untuk memetakan nilai dan makna tari dalam kehidupan sosio-kultural (dan bahkan histori politik) bangsa.
Otoritas atas Tubuh dan Jiwa
Kartini mengagumi kekayaan budaya lokal dan menolak reduksi nilai perempuan menjadi sekadar pelengkap dalam masyarakat kolonial-feodal. Dalam suratnya kepada Abendanon pada 1902, Kartini menulis, “Kami ingin menjadi manusia sepenuhnya… bukan boneka atau alat kebanggaan.” Kalimat itu menyingkap gagasannya yang mendalam: perempuan harus memiliki otoritas atas tubuh dan jiwanya sendiri—dan dalam konteks budaya Jawa, tubuh dan jiwa perempuan itu salah satunya terwujud dalam seni tari.
Tari bukan sekadar hiburan visual. Dalam kebudayaan Jawa, tubuh yang menari adalah tubuh yang bermakna. Tari seperti Bedhaya atau Srimpi tidak hanya menunjukkan harmoni estetis, tetapi menyimpan filsafat tentang relasi antara manusia, alam, dan spiritualitas. Tari adalah teks budaya, dan bagi Kartini—yang sejak kecil akrab dengan kehidupan priyayi dan ritus-ritus keraton—tubuh menari adalah tubuh yang mampu berbicara, melawan, dan menafsirkan ulang dirinya di tengah tekanan adat dan kolonialisme.
Dalam kajiannya, Yuliana (2010) mencatat bahwa Kartini memandang nilai-nilai tradisional bukan sebagai beban masa lalu, melainkan sebagai sumber kekuatan spiritual dan estetika. Ia menulis, “Perempuan yang tercerahkan bukanlah yang memotong akar tradisinya, tetapi yang mampu menyirami akar itu agar tumbuh menjadi pohon baru.” Di sinilah pentingnya tari sebagai dialektika antara tradisi dan pembaruan. Gerak tari bisa menjadi jembatan antara yang lokal dan yang universal, antara tubuh yang dikungkung dan tubuh yang merdeka.
Hasan (2013) bahkan menafsirkan seni pertunjukan sebagai arena politik kebudayaan dalam pemikiran Kartini. Dalam esainya “Performing Arts and the Vision of Nation-Building in Kartini’s Writings“, ia menyebut bahwa simbolisme dalam tari dan kesenian tradisional bisa dibaca sebagai bahasa perlawanan kultural terhadap narasi dominan kolonial. Ketika tubuh perempuan diposisikan sebagai objek—baik oleh tatanan patriarkal maupun kepentingan kolonial—Kartini justru menekankan perlunya ruang ekspresi di mana perempuan bisa merumuskan makna tubuhnya sendiri. Seni tari, dalam pembacaan ini, bukan sekadar pertunjukan; ia adalah arena artikulasi politik identitas.
Kartini hidup di masa ketika modernitas masuk lewat proyek etis Hindia Belanda yang pada satu sisi membuka peluang pendidikan, tapi di sisi lain melanggengkan kuasa kolonial atas tubuh dan budaya. Ia tidak anti-modern, tetapi menolak modernisasi yang memutus akar dan mengabaikan nilai lokal. Dalam konteks ini, tari sebagai seni yang diturunkan dari generasi ke generasi—yang kerap dilakukan secara intim, dalam lingkaran perempuan, dan sebagai bagian dari ritus hidup—menjadi medium yang tak bisa diabaikan.
Theodor Adorno dalam Aesthetic Theory (1970) menyatakan bahwa seni sejati adalah yang mampu mengungkapkan kontradiksi masyarakat dan menawarkan bentuk-bentuk ketegangan sebagai pengalaman kritis. Seni yang tunduk pada estetika komersial atau tunduk pada kekuasaan bukan seni yang membebaskan.
Kartini seolah memahami hal ini jauh sebelum Adorno menulis teorinya. Ia menggugat simbolisme perempuan sebagai “hiasan” yang hanya boleh tampak indah dan diam. Tubuh perempuan, menurut Kartini, bukan untuk dipajang atau dikendalikan, tetapi untuk dirayakan dan diberdayakan. Tari, dengan seluruh elemen tubuh dan jiwa yang terlibat di dalamnya, menjadi manifestasi konkrit dari pernyataan ini.
Domestifikasi Estetika
Menyongsong Hari Tari Dunia setiap 29 April, kita seharusnya tidak hanya merayakan keindahan gerak atau mempromosikan “kearifan lokal” dalam kemasan festival pariwisata. Justru ini momen yang tepat untuk menggugat: sejauh mana seni tari benar-benar menjadi ruang pembebasan? Apakah ia hanya dikomodifikasi sebagai atraksi eksotis, atau masih menyisakan kekuatan transformatifnya?
Kartini pernah menulis, “Ajarilah perempuan untuk berpikir, merasakan, dan memilih. Karena tanpa itu, kita bukanlah bangsa yang merdeka.” Dalam konteks seni, ajakan ini masih relevan. Tari bukan sekadar warisan, melainkan medan praksis budaya yang menuntut kesadaran kritis.
Sayangnya, dalam praktik kontemporer, seni tari justru sering menjadi korban domestikasi estetika. Ia dirapikan, dimeriahkan, diatur ritmenya agar pas dengan keinginan pasar atau panggung selebrasi budaya. Tubuh-tubuh yang menari tidak lagi melawan atau menafsirkan ulang sejarahnya; ia dijadikan produk hiburan yang steril dari konteks sosial. Ini adalah bentuk baru kolonisasi—yang lebih halus, tapi tak kalah problematis.
Kartini tentu akan gusar menyaksikan bagaimana ruang-ruang budaya kini dikuasai oleh logika branding dan estetika neoliberal. Ia menolak ketika kebudayaan hanya dipakai untuk “memoles wajah bangsa”, sementara akar perlawanan dan kedalaman spiritualnya ditanggalkan. Satjipto Rahardjo dalam “Kartini dan Kebudayaan Nasional” (1998), menyebut bahwa Kartini mengidamkan suatu bangsa yang tak kehilangan jiwanya sendiri dalam proses menjadi modern. “Kita harus kuat dalam batin,” tulisnya, “agar tidak terombang-ambing oleh angin dari luar.”
Oleh sebab itu, Hari Tari Dunia seharusnya menjadi medan kritik: bagaimana tubuh perempuan yang menari dapat kembali menjadi tubuh yang menggugat? Bagaimana tari bisa dihidupkan kembali sebagai bahasa emansipasi, bukan sekadar rutinitas koreografi panggung?
Menghidupkan kembali semangat Kartini berarti membuka ruang-ruang di mana tari bisa menjadi praktik sosial yang membebaskan. Di ruang-ruang itu, perempuan bisa menemukan kembali kekuatan tubuhnya, sejarah budayanya, dan kebebasan memilih jalannya sendiri.
Masa depan seni tari, dalam semangat Kartini, bukanlah masa depan yang gemerlap dalam gemerlap lampu panggung, melainkan masa depan yang mengakar: pada pengalaman hidup, pada spiritualitas lokal, dan pada keberanian untuk melawan estetika yang membungkam. Kartini telah menunjukkan jalannya: bahwa emansipasi adalah hak untuk menafsirkan, bukan hanya untuk tampil; bahwa keindahan sejati adalah yang lahir dari otonomi tubuh dan jiwa, bukan dari upaya menyenangkan mata penguasa.
Sebagaimana ia menulis, “Saya ingin hidup, bekerja, berguna. Saya ingin merdeka—bukan untuk menjadi laki-laki, tetapi untuk menjadi manusia.” Dalam tubuh yang menari, dalam setiap gerak yang mengandung sejarah, doa, dan perlawanan, kata-kata Kartini itu menemukan bentuknya yang paling utuh.
—-
*Purnawan Andra, bekerja di Direktorat Bina SDM, Lembaga & Pranata Kebudayaan, Ditjen Pengembangan, Pemanfaatan & Pembinaan Kebudayaan Kementerian Kebudayaan.