Slamet Rahardjo, Peti Mati dan Suara Tokek
Oleh: Seno Joko Suyono*
Slamet menafsirkan lakon Dag Dig Dug karya Putu Wijaya secara berbeda. Dag Dig Dug yang merupakan alegori dari ketidakpastian situasi masyarakat koruptif di tangannya menjadi agak berbau mistisisme Jawa.
Dag Dig Dug drama 3 babak Putu Wijaya malam itu mendapat pemaknaan lain dari Slamet Rahardjo. Dipentaskan di Salihara tanggal 25 dan 26 Januari lalu, tontonan yang sesungguhnya bergaya realisme sederhana dan dibanding pementasan-pementasan teater masa kini cenderung “old fashioned” ini selama 2 hari full penonton. Tiket ludes. Bahkan malam GR 24 Januari yang semestinya hanya untuk wartawan, juga dipenuhi penonton umum – dengan sumbangan sukarela. Sesuatu yang jarang terjadi di Teater Salihara.
Agaknya comeback Teater Populer ditunggu banyak orang – termasuk generasi milineal yang mendengar-dengar kejayaan Teater Populer di era lampau. Sudah lama dalam dunia teater tak ada pementasan realis – dengan akting natural berbobot – tidak dibuat-buat, namun juga menghibur, lucu di sana sini. Lanskap teater kita kini lebih banyak dikuasai pertunjukan eksprimen teater-tari yang penuh kecanggihan multi media atau sebaliknya yang murni physical theatre minim kata. Penonton mungkin kangen dengan realisme yang mudah dicerna dan dimainkan aktor-aktor kawakan. Dan Teater Populer adalah jaminan. Apalagi ada nama-nama beken dari dunia perfilman masa kini yang terlibat seperti Reza Rahadian dan Donny Damara sebagai aktor pendukung dan Pacquita Wijaya serta Samuel Wattimena sebagai produser.
Slamet Rahardjo dan Ninik L Karim, memerankan sepasang suami istri sepuh bernama Salamun dan Hartati yang senantiasa cekcok- dan tak mau kalah saat merembug sesuatu bahkan saat membahas kematian. Percakapan mereka sering tidak menyambung. Yang satu berbicara ke mana dijawab ke arah lain. Ditanya selalu ganti nanya. Keduanya selalu saling curiga. Cara Slamet dan Ninik menghadirkan “keributan” dan “miskomunikasi” wajar – intonasi dan ekspresinya seperti gerak-gerik sehari-hari. Natural. Menunjukkan kelas mereka sebagai penganut metode keaktoran Stanilavski. Tidak ada gesturkulasi yang didramatisir atau gaya vokal seperti deklamasi yang dibuat-buat. Tidak ada moving berlebihan. Pada Slamet bahkan cenderung rileks seperti memerankan diri sendiri. Ia tidak memerankan sebuah karakter yang berbeda dengan orang melihat dirinya sehari-hari. Yang dipanggung itu ya Slamet.

Foto: Antara
Black Box Teater Salihara ditata seperti teater arena dengan kursi penonton berdenah U. Set polosan, minimalis. Hanya meja, kursi dan sebuah bufet. Teater Populer menurut Slamet pada tahun 70-an sering dijuluki sebagai teater meja kursi – karena sering mengangkat pementasan yang cukup setnya meja kursi. Peristiwa terjadi di seputar meja kursi. Dan malam itu memang sebuah “teater meja kursi” yang disajikan. Yang jadi soal, akting Slamet-Ninik cenderung lebih banyak menghadap arah depan penonton. Minim sekali gerak menghadap ke samping, hingga penonton dikanan kiri tidak cukup jelas melihat ekspresi mereka. Apalagi pandangan dari senelah kanan-kiri terhalang dengan tiang yang diandaikan pintu masuk.
Naskah Putu ini naskah “absurd” namun memang bisa terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Teater Mandiri pimpinan Putu sendiri anehnya belum pernah menyajikan naskah Putu ini, entah kenapa. Pertunjukan dibuka dengan pasangan sepuh pensiunan pemilik rumah kost itu menerima surat dan telegram mengenai kematian Chairul Umam karena kecelakaan. Pasangan suami istri itu tidak ingat benar siapa Chairul Umam. Apakah betul bekas anak kost di rumah mereka atau bukan. Siapa Chairul Umam? Kerja di mana? (mereka cek cok soal siapa Chairul Umam, seolah ingatan mereka masing-masing benar sendiri). Mereka berpura-pura mengenal dengan baik siapa Chaerul Umam.

Foto: Teater Populer
Persoalan makin membingungkan, tatkala datang dua tamu Giarto dan Giarno (dimainkan oleh Doni Damara dan Reza Rahadian) – rekan sekantor Chaerul Umam dari Jakarta yang membawa dana santunan kepada. Mereka mengira pasangan sepuh itu adalah orang tua Chairul Umam karena menemukan surat Pak Salamun di kontrakan Chairul Umam. Sementara Salamun sudah lupa surat apa yang pernah dia kirim kepada Chaerul Umam. “Kami mengumpulkan uang ini dari rekan kerja Chairul di kantor untuk tanda duka cita,” kata sang tamu. Para tamu ini bercerita bagaimana Chairul Umam ditabrak kencang sepeda motor dari belakang dan kepalanya pecah. Nomer sepeda motor penabraknya dicatat gelandangan dan kini tengah dilacak kepolisian.

Foto: Teater Populer
Duet Slamet dan Ninik soal bagaimana sepasang suami istri sepuh itu menerima uang santunan kematian itu sangat menggelitik. Pas dimainkan. Membuat kita geli, gemas dan menyadari hal-hal begini – bisa terjadi dalam sebuah keluarga kecil jujur sehari-hari di masyarakat kita. Keluarga itu menerima uang yang bukan haknya. Sesuatu yang ironis. Bagaimana orang kecil merasakan hal tak terpuji yang biasanya dilakukan pejabat dan birokrat-birokrat. “Sungguh mati. Jadi malu. Hahhh! Siapa tak butuh uang,” kata Salamun. ”Seolah-olah, kita anu sekali …Apa mereka juga begitu ya,” tambah Bu Hartati – membayangkan bagaimana para koruptor menilep uang yang bukan jatah mereka dengan tak tahu malu sebagaimana kini mereka rasakan.

Foto: Teater Populer
Apalagi saat dihitung, uang duka itu tak sesuai jumlahnya dengan apa yang tertera di kuitansi yang telah mereka tanda tangani. Jelas uang itu telah dipotong oleh Giarto dan Giarno dan masuk ke dalam kantung mereka berdua sendiri sebagai uang komisi. “Dag Dig Dug ini naskah yang masih sangat relevan dengan situasi kini. Kita masih dag dig dug dengan situasi politik dan sosial yang penuh penyelewengan” kata Slamet dalam pembicaraan saat latihan di sanggar Teater Populer, Jalan Kebun Pala 1, Tanah Abang, Jakarta. “Naskah ini menurut saya memiliki nilai kontekstual sampai hari ini dibanding naskah realis lain yang pernah dibuat Putu, seperti Lautan Bernyanyi atau Bila Malam Bertambah Malam konteksnya hanya sesaat,” tambah Slamet.
Adegan bagaimana pasangan sepuh itu menerima uang dan mereka gundah menyikapinya termasuk bagian inti dari pertunjukan ini. Slamet dan Ninik seperti dikatakan di atas mampu menyajikan secara memikat karena kita langsung bisa dibawa membayangkan bagaimana sebuah keluarga kecil pensiunan – akhirnya dengan penuh rasa bersalah mau menerima pemberian uang santunan yang salah alamat itu.

Foto: Teater Populer
Di sini kita melihat bagaimana potret keluarga sederhana yang jauh dari politik uang partai politik atau kolusi proyek-proyek tender perusahaan namun tersentuh juga masalah “korupsi”. Naskah ini seolah hendak menyatakan bahwa korupsi sudah menjadi bagian mental bangsa yang paling akut, akarnya sudah sampai menjalar ke masyarakat sedalam-dalamnya. Dalam naskah asli Putu uang akhirnya dikembalikan oleh pasangan uzur itu karena mereka merasa terbebani. Mereka sampai rela harus menambahi dengan uang sendiri agar sesuai dengan jumlah di kuitansi. Sementara dalam pementasan Slamet, uang itu tak dikembalikan karena uang itu digunakan untuk tambahan modal pensiunan mereka membeli peti mati dan membeli tanah kuburan.
Naskah Dag Dig Dug ini ditulis Putu tahun 1973. Bukan sekali ini Slamet mementaskannya. Slamet dan Teater Populer pernah mementaskan naskah ini di Teater Arena TIM tahun 1977. Dalam resensinya di Majalah Tempo, 3 Desember 1977 Syubah Asa, redaktur Tempo yang juga teaterawan, menyebut bahwa naskah Putu itu sesungguhnya berkaitan dengan kisah kematian wartawan Tempo Ahmad Wahib. Wahib dikenal sebagai salah satu eksponen pembaharuan pemikiran Islam. Ia bersama Nurcolish Madjid, Dawam Rahardjo, Johan Effendi, Utomo Danundjaya dll tahun 70-an dikenal sebagai pemikir-pemikir dan “pemberontak” muda Islam yang muncul dari HMI. Ahmad Wahib masuk menjadi calon wartawan Tempo di tahun 1972. Ia pernah menulis laporan utama di Tempo mengenai Gerakan pembaruan pemikiran Islam di Indonesia -menggantikan Syubah Asa, redaktur desk agama yang seharusmya menulis namun tengah sakit. Laporan utama itu terbit di Majalah Tempo 29 Juli 1972. Covernya bergambar foto Nurcholish Madjid dan di sebelah kiri atas diberi judul: Neo Islam di Indonesia. Putu sendiri mengenal secara pribadi Ahmad Wahib, karena pada saat itu Putu juga wartawan Tempo. Mereka hanya berbeda desk. Desk Putu adalah kebudayaan. Sementara desk Wahib adalah agama.
Ahmad Wahib wafat karena peristiwa tabrak lari tak jauh dari kantor Majalah Tempo di bilangan Senin pada 31 Maret tahun 1973. Usianya masih 30 tahun saat itu (ia lahir di Sampang 9 November 1942). Di penghujung Maret itu, sesudah menyelesaikan deadline laporannya di kantor Tempo sekitar jam 8 malam (wartawan Tempo bila deadline sering menginap di kantor sampai subuh mengetik di kantor) anak Madura ini keluar berjalan pulang menuju kontrakannya. Di persimpangan jalan Senin-Kalililo tiba-tiba dari arah belakang sebuah sepeda motor melaju kencang dan menabraknya. Ia segera digotong oleh para gelandangan. Ia tewas di ambulans saat dipindahkan dari RSPAD Gatot Subroto ke RSUP Cipto Mangunkusumo. Arsip-arsip foto di Tempo menunjukkan Putu Wijaya memang termasuk wartawan Tempo pertama yang menengok jasad Ahmad Wahib di rumah sakit. Ada yang menduga bahwa Ahmad Wahib memang sengaja ditabrak karena pemikiran-pemikirannya yang kontroversial dan berani tentang Islam menganggu orang-orang konservatif tertentu.
Deskripsi mengenai kecelakaan dan sosok Chairul Umam yang suka berpikir dalam naskah Dag Dig Dug mengarah ke profil Ahmad Wahib. Disebut kuburan Chairul Umam juga di Menteng Pulo (tempat Wahib disemayamkan). Dalam naskah Putu itu, kedua tamu sahabat Chaerul juga diinformasikan adalah wartawan (sesuai profesi Wahib). Itu terlihat ketika oleh sang ibu pemilik kost ditawari menginap di rumah tapi mereka menolak karena terburu-buru. “ Terima kasih, Bu. Kami repot, maklum wartawan.” kata tamu.
Dalam naskah asli Putu sendiri itu nama Wahid sesungguhnya disinggung dalam percakapan. Itu saat sang suami tiba-tiba yakin Chairul Umam tak pernah kost di rumahnya tapi ia lupa yang tak kost itu a sosok Chairul Umam atau Ahmad Wahib. “Tunggu dulu. Aku ingat. Ya,ya Chairul, Chairul, Chairul Umam. Ia tidak pernah mondok di sini. Tapi dia sering datang ke mari. Agak pendek. Kumal,dekil, berbau. Matanya melotot. Tidak memperhatikan dirinya. Jarang mandi. Tapi serius, otaknya bukan main, pikiran-pikirannya sulit seperti benang kusut, banyak orang mengagumi,” kata sang suami. Tapi langsung disergah istrinya: “Itu kan Akhmad Wahib.” Dijawab lagi oleh sang suami sambil berpikir-pikir: “Ya itu Akhmad Wahib. Kau sendiri belum ingat !”

Foto: Teater Populer
Yang jadi pertanyaan adalah mengapa Putu memberi nama sosok yang mati tertabrak itu Chairul Umam ? Di sini terlihat Putu usil bukan main. Tingkat kejahilan Putu sinting benar. Saat naskah itu ditahun 1973 ditulisnya, tentu Chairul Umam masih segar bugar. Umurnya baru 20 tahun saat itu. Chairul Umam adalah sahabat Putu. Ia aktor handal Teater Kecil pimpinan Arifin C Noer. Dan kemudian menjadi sutradara terkemuka. Film karya Chairul adalah film-film Indonesia yang tingkat estetikanya tinggi antara lain misalnya Al Kautsar (1977), Titian Serambut Dibelah Tujuh (1982) yang menyabet penghargaan film dan sutradara terbaik FFI 1983, Kejarlah Daku Kau Kutangkap (1986). Chairul Umam baru wafat Oktober 2013.
Di seluruh nama-nama yang disebut di Dag Dig Dug memang Putu banyak menggunakan nama-nama sahabatnya. Tatkala pasangan tua menyebut nama-nama anak-anak kost mereka: Moorti Purnomo, Umbu Landu Paranggi, Zulkifi Lubis dan lain. Penonton yang paham tahu mereka semua adalah sahabat-sahabat seniman Putu. Moorti adalah aktor Bengkel Teater dan pengajar di Asdrafi (Akademi Seni dan Drama Film Yogyakarta), Umbu adalah presiden penyair Malioboro dan Zulkifi Lubis adalah mahasiswa komunikasi UGM, pekerja teater yang kelak menjadi direktur Tempo sebelum breidel.
Juga saat pasangan sepuh itu cekcok mencari nama-nama tukang yang bisa membuat kuburan mereka dengan harga yang wajar. Mereka berdebat mana tukang yang jujur. Semua nama-nama yang disebut pasangan sepuh itu adalah nama sahabat Putu sendiri yang dikenal di kalangan teaterawan, para penari dan insan pers. “Amak Baldjun? Syubah? Zubaidi ? Sang suami – yang bekas pemain tonil itu menawarkan sejumlah nama tapi ditolak sang istri.” “Sardono ?” Sardono kan makelar,” tukas istrinya.
Semua nama itu diganti Slamet dengan nama-nama kru Teater Populer yang dikenal publik sekarang. Dari nama Reza Rahadian sampai Dharmawan HW, mantan wartawan dan pemilik Café Cikini disebut. “Kalau tetap saya pakai nama Amak Baldjun, siapa yang tahu sekarang?” kata Slamet. Pementasan Dag Dig Dug tahun 1977 oleh Teater Populer sendiri tapi sudah berbeda dengan naskah asli Putu. Inovasi Slamet saat itu sebagai sutradara bahkan mengagetkan Putu. Slamet membuat pasangan suami istri tua menjadi dua pasang atau dimainkan empat orang. Suami diperankan oleh Slamet dan Sutopo H.S, sementara istri dimainkan oleh Tuti Indra Malaon dan Ninik L Karim. Peran dobel suami-istri itu tidak dimaksudkan Slamet sebagai pasangan asli dan pasangan bayang-bayang. Slamet saat itu sebagai sutradara memikirkan sebuah percakapan yang dilakukan di tempat sama namun menghadirkan imaji dimensi waktu yang berbeda – sesuatu yang mendahului zaman.
”Saya menginginkan sebuah adegan yang bisa mengimajikan kepada penonton suami istri itu di tempat yang sama namun melakukan dialog pada waktu yang berbeda. Makanya perannya saya bikin dobel. Saat itu kan belum era digital atau virtual yang bisa menampilkan lintas waktu begitu,”ungkap Slamet. Percobaan waktu demikian memang dicoba dieksprimenkan dalam satu dua naskah teater Indonesia tahun 70 an. Danarto misalnya dalam naskah Obrog Owok-Owok, Ebreg Ewek Ewek, ia menyajikan adegan pada momen sama di panggung menampilkan dua pembicaraan yang berbeda tempat dan waktunya. Slamet tidak pernah menulis naskah sendiri, namun tatkala itu ia berani menafsirkan naskah Dag Dig Dug dengan eksprimen waktu demikian. “Saya sendiri sesungguhnya bingung saat itu, Namun Tuti Indra Malaon menganggap Slamet cerdas,” kenang Ninik L Karim, serius.
Pementasan di Salihara kali ini berbeda lagi. Itu menunjukkan Slamet selalu menginginkan pembaharuan penafsiran. Ia tak ingin involutif, mengulang hal sama yang pernah dilakukan. ”Saat saya silahtuhrami ke rumah Putu meminta izin memainkan kembali Dag Dig Dug bersama Ninik L Karim, kami diwanti-wanti oleh Putu agar kami tidak menjadikan pasangan suami istri menjadi 4 orang lagi sebagaimana pementasan 1977,” kata Slamet, sembari tertawa. Di tangan Slamet, kali ini maka drama ini mendapat perspektif lain.

Foto: Antara
Perabotan yang bergaya klasik dan lampu gantung antik di panggung mencerminkan tokoh yang diperankan Slamet adalah seorang priyayi yang memiliki rumah tua asri di Yogja. Penyutradaraan Slamet yang menampilkan selalu ada suara tokek memotong pembicaraan dirinya dan Ninik yang berperan sebagai suami istri agak-agak berbau Kejawen. Suara tokek selalu terdengar setiap pasangan suami istri mulai membicarakan kematian dan buntu. Suara tokek nyaring terdengar kembali saat mereka merasa arwah Chairul Umam ada di dalam ruangan atau saat mereka mengingat mimpi mereka didatangi Chairul. Arwah Chairul Umam gentayangan dari mimpi sampai rumah. Suara tokek itu oleh sepasang suami istri itu dibaca sebagai sasmita, tanda-tanda atau firasat buruk. Penata cahaya Iwan Hutapea cukup berhasil saat di setiap adegan bunyi tokek itu dibarengkan dengan lampu antik yang meredup sendiri. Ruang tamu yang terang mendadak muram. Suara tokek yang berkali-kali terdengar menjadi pemandu dramaturgi yang dibalut nuansa mistik.
Dialog-dialog yang diucapkan Slamet-Ninik tidak persis plek sama dengan dialog yang ada dalam naskah asli Putu. Tampak mereka hanya mengambil arah dan dialog-dialog kunci Putu. Selebihnya mereka ubah dengan kalimat sendiri. Walhasil mungkin lima pulu persen dialog-dialog adalah vesi Slamet. Sebuah dialog yang terasa mengalir muncul spontan apa adanya – bukan kalimat yang dihafal dari sebuah teks..
Pertunjukan Slamet menjadi “sangat Putu” sekali tatkala pementasan masuk dalam adegan beberapa orang muncul membawa karung-karung yang berisi bahan-bahan pembuatan kuburan ke ruang tamu. Tokoh Kadir – pembuat kuburan (diperankan secara menarik oleh Kiki Narendra) membawa tukang-tukangnya ke rumah pasangan pensiunan itu. Putu dalam naskah-naskahnya sering menampilkan sosok orang sakit yang tak jelas asal usulnya serta adegan peti mati dan penguburan. Dalam drama Aduh, misalnya sosok utama adalah seorang yang tak diketahui riwayatnya, sakit dan mengerang-ngerang, sementara warga tak lekas membantu malah menyeretnya ke sana kemari (hendak dimainkan ulang oleh Putu dan Teater Mandiri, Februari nanti di TIM). Sementara Gerr, bercerita mengenai jenasah seorang bernama Bima yang susah dimasukkan peti mati dan kemudian hidup kembali saat hendak dikubur.
Adegan karung-karung semen, kerikil, pasir, marmer yang digantung-gantungkan di ruang tamu tersebut tidak ada dalam naskah asli Putu (dalam naskah Putu hanya disebut karung tegel marmer ditumpuk-tumpuk. Ini inovasi Slamet yang lebih Putu daripada Putu. Suasana kian absurd saat dua peti mati tiba di rumah kedua orang tua itu. Adegan dimasukannya dua peti mati di ruang tamu menjadikan naskah ini meski diperankan secara realis – namun kontennya mengarah ke situasi surealis.

Foto: Teater Populer
Percakapan mengenai peti mati dan saling menyindir kedua orang tua itu mengenai siapa yang lebih dahulu mati di antara mereka menjadi inti pertunjukan. Memang drama terasa meloncat dari soal Khaerul lalu ke peti mati. Terasa itu dua hal yang berbeda yang sengaja disambung-sambungkan. Namun memang ini ciri khas naskah-naskah Putu. Putu kesengsem dengan pendekatan teater-teater rakyat Jawa dan Bali yang penuh plot tidak terduga. Putu ingin “melawan” dramaturgi barat yang struktur sebab akibatnya rapi dan logis dari awal sampai akhir. Putu selalu menginginkan sebagaimana dramaturgi teater tradisional, struktur naskahnya sarat dengan kelokan-kelokan tajam tak terduga yang membuat penonton kaget. Dan dalam Dag Dig Dug kelokan itu mulai tatkala adegan peti mati masuk ke ruang rumah.
Dalam naskah asli Putu kedua suami istri itu akhirnya sama-sama berbaring ke dalam peti mati masing-masing. Namun di pertunjukan Teater Populer malam itu hanya sang suami yang masuk beristirahat di dalam peti mati (maaf, bentuk peti matinya tidak menyeramkan, didesain di dalamnya ada sebuah bantal untuk bersandar kepala sehingga formatnya mengingatkan tempat cuci rambut/cream bath di salon). Sang istri mengomel saat sang suami mengeluh jantungnya kumat dan sangat ingin berbaring beristirahat di peti mati. Memang terasa secara struktur lebih logis versi Slamet namun itu akibatnya tak terjadi hal yang mengejutkan di klimaks sebagaimana naskah Putu yaitu: pembunuhan Cokro atas kedua ndoronya.

Foto: Irwan Firdaus

Foto: Irwan Firdaus
Kemunculan Cokro di bagian akhir drama menjadi vital. Ia penentu akhir pertunjukan. Dalam naskah asli Putu, Cokro adalah seorang pembantu tua yang selama puluhan tahun mengabdi namun selalu disisihkan dalam keluarga. Cokro terutama kerap dihina-hina oleh ibu Hartati hingga membuat dirinya jengkel dan itu dimasukkan hati bertahun-tahun. Dalam adaptasi Slamet, Cokro yang diperankan sangat kuat sekali oleh Jose Rizal Manoa adalah seorang abdi sepuh yang misterius. Sosok Cokro mengenakan gelung, kebaya dan jarik seperti seorang tranvesti. “Di dalam naskah Putu sendiri ada pernyataan bahwa Cokro adalah seoramg Perempuan tua. Saya tafsirkan bahwa Cokro adalah sosok tua yang memiliki naluri feminin atau keibuan kuat,” kata Slamet. Di naskah asli Putu memang bila kita baca ada pernyataan: Cokro seorang perempuan tua juga.Menderita tapi keras kepala. Tubuhnya masih gesit karena setiap hari bekerja berat. Saya lihat saat dirias, Jose Rizal Manoa untuk menginternalisasi tafsir Slamet sampai mengenakan BH dibalik baju surjannya.

Foto: Jose Rizal Manoa

Foto: Teater Populer
Yang tidak terasa memang adalah tekanan-tekanan dari majikan Perempuan yang membuat Cokro seolah tak dianggap – meski telah mengabdi puluhan tahun dalam keluarga. Dalam naskah Putu sang istri itu secara kasar menyuruh-nyuruh tanpa henti Cokro. Ia seolah merendahkan martabat Cokro. Cokro dianggap tidak normal. Dianggap bodo. Dianggap edan. Cokro adalah orang rendahan yang bisa dihina-hina. Hartati selalu berteriak minta diladeni Cokro meski Cokro sakit. “Cokroooo bikinkan teh, cepat…Cokroooo isi bak mandi sekarang…Cokro beri makan ayam sekarang. Cokro…… Kamu suka membangkang sekarang!. ..” Cokro di mata ndoro putrinya adalah kelas babu yang layak dibentak-bentak.

Foto: Teater Populer
Relasi kuasa antara Hartati dan Cokro itu yang kurang terlihat dalam pertunjukan. Kita melihat, Ninik L Karim seorang ibu yang meski cerewet tetap berkepribadian halus. Semarah-marahnya dan secerewet cerewetnya lontaran kalimat sosok yang diperankan Ninik, kita tetap melihat dia seorang protagonis yang halus. Maka dari itu, saat Jose Rizal melakukan solilokui Cokro tentang hidupnya yang getir – itu terasa adegan tanpa penyebab, sebab adegan-adegan sebelumnya kurang menjelaskam adanya tekanan-tekanan dan hinaan-hinanan dari ndoro putrinya. Untung permainan Jose meyakinkan, sehingga kita tak banyak bertanya saat menonton.
Slamet agaknya tidak ingin menyeret pentasnya ke dalam “ konflik kelas” antara Ndoro putri dan Cokro. Ia menempatkan posisi Cokro sebagai seorang pembantu sepuh- seorang eyang yang memiliki pengetahuan Kejawen yang dalam. Seseorang eyang yang bahkan bisa bercakap dengan tokek dan menjadi penyembuhnya. Di bagian akhir, kita sebagai penonton namun melihat adanya “hubungan tak beres” antara Cokro dan ndoro kakungnya. Persoalan ini tidak diungkapkan secara clear dalam adegan. Tapi kita bisa melayangkan imajinasi ini karena itu diungkapkan Ninik L Karim dalam dialognya. “Saya selama ini pura-pura tak tahu bahwa Bapak memiliki hubungan khusus dengan Cokro, Bapak laki Cokro…. ” Posisi relasi Cokro dan Salamun, antara pembantu dan ndoro laki-lakinya ini menjadi hal baru yang ditekankan dalam tafsir naskah Dag Dig Dug. Apakah ada hubungan asmara atau apa antara Cokro dan ndoro laki-lakinya? Kita tak tahu. Itu dibiarkan Slamet mengambang – dan menjadi pe er bagi penonton setelah pulang untuk ikut menafsir-nafsirkan sendiri.
Di ending naskah asli Putu, Cokro melakukan perlawanan. ia membunuh kedua ndoronya itu karena sudah muak dengan perlakuan dan penghinaan terutama ndoro putrinya kepada dirinya. Cokro sakit hati dituduh mencuri buku wasiat ndoro laki-lakinya. Tatkala kedua ndronya berbaring di dalam peti mati, Cokto menutup rapat-rapat kedua peti mati itu sehingga mereka tidak bisa keluar. Dan kemudian seolah puas-Cokro duduk di kursi. Adegan ini bila dipentaskan tentu bisa berlangsung dramatik dan mengejutkan. Bisa dibuat saat peti mati itu ditutup, kedua pasangan itu megap-megap, tersenggal-senggal nafasnya, berteriak-teriak, berusaha memberontak dari dalam, menggedor-gedor peti mati dan menggapai-gapai tanganmya keluar meski kejepit.

Foto: Teater Populer

Seluruh pemain. Foto: Teater Populer.
Tapi dalam pertunjukan Teater Populer malam itu di Salihara, Slamet agaknya tak ingin mengakhiri pentasnya dengan sebuah tragedi. Ia ingin relasi psikologis antara Salamun-Hartati- Cokro berakhir resilien – dengan simbol-simbol kehalusan kejawen. Cokro menangis di peti mati. Dalam kesendirian Cokro meratapi diri sendiri. Ketiganya lalu duduk bersama. Salamun sampai membungkukkan diri menyujudkan kepalanya di samping Cokro. Pertunjukan yang diawali dengan bising penjual di jalanan yang menawarkan tahu bulat sampai suaranya masuk rumah dan ditirukan Salamun itu diakhiri dengan adegan -ketiganya setelah capek bersitegang satu sama lain -penuh prasangka – menunduk pasrah bersama…
*Seno Joko Suyono, penulis tinggal di Bekasi.