Tiga Hari Dalam Siasat Kompositoris

Oleh Mukhlis Anton Nugroho*

Di tengah keriuhan dinamika musik Indonesia, KataBunyi Forum yang digagas oleh Kandhang Art Hybrid Space pada tanggal 4 sampai 7 Desember 2024 di Surakarta, mempertemukan lima belas komposer musik. Mereka berasal dari berbagai penjuru Nusantara menghadapi tantangan yang tidak biasa pada forum ini: menciptakan komposisi musik secara kolektif dalam waktu yang sangat terbatas. Forum ini membagi mereka menjadi tiga kelompok, masing-masing terdiri dari lima komposer yang memiliki latar belakang musikal dan budaya yang beragam. Tantangannya sederhana tapi terlihat tidak begitu sederhana: menghasilkan karya yang tidak hanya menarik, tetapi juga dapat dipertanggungjawabkan secara teknis, estetis, maupun naratif. Sudah barang tentu mereka harus menurunkan ego kompositoris masing-masing supaya musiknya lebih bermakna. Fenomena ini menarik untuk diikuti karena biasanya dalam praktik membuat musik hanya ada satu komposer yang ditunjuk, namun di acara KataBunyi Forum ini semua peserta dalam satu kelompok adalah komposer. Muncullah pertanyaan, kira-kira estetika yang dimunculkan dari musik tersebut seperti apa. Dalam forum ini, saya mendapatkan kesempatan untuk mengamati kelompok Marvpa.

Keberagaman dalam Marvpa 

Bayangkan sebuah ruangan di mana bunyi Kendhang Banyuwangi begitu kompleks, bersahutan dengan alunan Suling Bali, petikan Sapek Kalimantan, dan denting Gitar. Di sudut lain, suara elektronik berbasis live coding mulai membangun pola ritmisnya. Semua ini terjadi dalam ruang yang sama, dalam waktu yang sama, namun tanpa arah yang jelas. Di sinilah tantangan dimulai

Mereka menyepakati nama kelompok yaitu Marvpa. Nama ini sebenarnya diambil dari huruf depan dari member kelompok ini yaitu Merak, Ata, Rangga, Vitto, dan Asfi. Tambahan huruf P mewakili huruf awal dari judul karya komposisi mereka yaitu ‘Peta Ulir’. Kelompok Marvpa adalah gambaran nyata dari sebuah keberagaman. Mereka membawa latar belakang musikal yang berbeda-beda, masing-masing dengan tradisi, teknik, dan pendekatan kreatif yang unik. Tetapi, bagaimana memadukan semua itu menjadi satu karya musik? Pada awalnya, mereka sendiri masih bingung dan mencari kemungkinan-kemungkinan yang bisa dipilih.

Setiap anggota memiliki kepribadian musikal yang kuat. Asfi, misalnya, membanggakan Sapek yang menjadi simbol identitas Kalimantan Timur, dengan jalinan nada-nada yang karakternya sangat kuat. Bagus Ata dari Buleleng, membawa semangat Gamelan Bali, dengan permainan dinamis dan ritme yang kompleks. Di sisi lain, Rangga dengan live coding-nya adalah perwakilan dari dunia musik elektronik, yang terkesan futuristik dan jauh dari akar tradisi. Vitto, dengan Gitar dan komposisi pop Jawa-nya, membawa suasana yang lebih akrab dan santai. Sedangkan Merak menambahkan kedalaman naratif lewat pengalaman menciptakan musik berbasis tradisi Banyuwangi. Mereka adalah potret keberagaman. Tetapi di awal perjalanan, keberagaman ini lebih terasa sebagai tantangan daripada kekuatan. Secara bahan materi garap mereka cukup kaya dengan keberagaman kultur dalam kelompok ini, namun justru ini menjadi tantangan yang tidak mudah. Tantangan yang cukup berat adalah bagaimana mereka membuat karya musik yang tidak hanya terkesan jamming, adu kadigdayan bermain musik, namun justru membuat musik yang meleburkan keragaman musikal menjadi romantis.

Saling Mengenali Kepribadian Musikal : Saat Bunyi Menemukan Arah

Hari kedua, setelah mendapatkan materi dari semua narasumber, mereka melakukan eksplorasi yang intens. Setiap anggota memainkan alat musik mereka, menciptakan bunyi yang acak tak beraturan. Tidak ada arah, ragu-ragu, canggung, bingung, hanya tumpukan suara yang saling bertabrakan. Di momen inilah mereka mengalami kebuntuan, perdebatan, dan sedikit ketegangan karena adanya perbedaan disiplin musik. Sean Hayward, salah satu mentor mereka, menyaksikan momen ini dengan senyuman kecil. “Kalian mau ngapain?” tanyanya. Pertanyaan sederhana ini seolah menghentikan semua kebisingan di ruang latihan itu.

Sean meminta mereka berhenti bermain dan memulai diskusi. Ia mengarahkan mereka untuk saling mengenal lebih dalam, tidak hanya sebagai komposer saja, tetapi juga sebagai individu. “Apa yang paling berarti bagi kalian dalam musik? Apa yang ingin kalian sampaikan?” tanya Sean sambil tersenyum seraya mengangkat satu alisnya. Diskusi ini membawa mereka ke tahap baru: yaitu saling mengenali kepribadian musikal. Dalam sesi ini, setiap anggota mulai berbagi cerita. Asfi berbicara tentang bagaimana musik Kalimantan sering kali menjadi medium untuk bercerita, sementara Bagus Ata menjelaskan filosofi harmoni dalam Gamelan Bali. Rangga memaparkan bagaimana ia melihat teknologi sebagai bentuk tradisi baru. Merak dan Vitto, di sisi lain, berbicara tentang bagaimana mereka berusaha menjembatani tradisi dan modernitas melalui karya mereka. Dari diskusi ini, mereka mulai menemukan pola. Mereka tidak perlu menghilangkan perbedaan, tetapi harus menciptakan ruang di mana perbedaan itu bisa saling berbicara bebas tanpa tekanan.

Peta Ulir: Sebuah Narasi Bunyi

Diskusi yang panjang akhirnya membuahkan sebuah kerangka komposisi yang mereka sebut Peta Ulir. Nama ini menggambarkan perjalanan mereka—sebuah spiral yang terus bergerak, membentuk pola yang berulang namun tetap terhubung pada pusatnya. Peta Ulir bukan hanya sebuah judul, tetapi juga metafora tentang bagaimana keberagaman mereka menemukan bentuknya dalam harmoni kolektif. Komposisi ini terdiri dari beberapa bagian yang saling menyambung dan membentuk alur naratif yang kuat.

Bagian pertama, Keos, menjadi pembuka yang merefleksikan awal perjalanan mereka. Suasana yang tercipta penuh dengan bunyi yang tidak terstruktur, seolah menggambarkan kekacauan ide-ide yang saling bertabrakan. Kendang Banyuwangi dimainkan dengan ritme bebas, Suling Bali menambahkan nada yang liar menggunakan register tinggi, dan live coding Rangga menciptakan dentuman elektronik yang intens. Semua instrumen berbicara secara bebas, menciptakan sebuah ruang bunyi yang kacau, dan seolah kebebasan itu harus dilepaskan.

Ketika Keos mencapai puncaknya, musik perlahan bergerak ke bagian Dialog. Transisi dari keos menuju dialog ditandai dengan bunyi satu nada yang melengking dari musik elektronik, disusul dengan suara mirip space laser gun sound effects. Di bagian ini, alur berubah menjadi lebih terstruktur. Sapek Kalimantan Timur milik Asfi mulai berbicara dalam melodi lembut, yang kemudian dijawab oleh instrumen Penting Bali yang dimainkan Bagus Ata. Dialog ini terasa seperti sebuah percakapan antar tradisi—dua alat musik yang berasal dari budaya yang berbeda saling menyapa, menunjukkan bahwa perbedaan bukanlah penghalang untuk saling memahami.

Selanjutnya, bagian Modulasi Timbre menjadi ruang eksplorasi bunyi. Setiap instrumen melodis memainkan nada yang sama secara bergantian, menciptakan warna suara yang terus berubah. Efek ini memberikan pengalaman mendengarkan yang dinamis, seolah-olah pendengar sedang diajak berjalan melewati lorong-lorong bunyi yang berbeda, di mana setiap langkah membawa nuansa baru.

Setelah Modulasi Timbre, musik berkembang ke Motif Pointilisme. Bagian ini terinspirasi dari seni rupa, di mana not-not dimainkan secara terpisah seperti titik-titik dalam sebuah lukisan. Setiap bunyi berdiri sendiri, tetapi bersama-sama menciptakan sebuah pola besar yang penuh dengan kedalaman. Motif ini mengundang pendengar untuk merenungkan hubungan antara yang kecil dan yang besar, antara individu dan kolektif.

Bagian Minimalisme membawa suasana menjadi lebih kontemplatif. Satu nada dimainkan berulang-ulang oleh setiap instrumen, menciptakan pola repetitif yang sederhana tetapi memikat. Bagian ini adalah momen di mana musik mengajak pendengar untuk larut dalam keheningan yang bergerak perlahan, seperti meditasi yang tenang tetapi intens. Ketegangan mulai meningkat di bagian Statis dan Aksen Tutti, di mana semua instrumen memainkan nada secara bersamaan dengan intensitas yang meningkat. Suasana ini terasa seperti sebuah letupan energi yang memuncak, penuh dengan kekuatan dan semangat kolektif. Ketika ketegangan mencapai klimaks, bagian Blok mengambil alih dengan ritme yang solid dan terorganisasi. Pola ini memberikan rasa ketertiban setelah ledakan sebelumnya. Mereka memainkan pola unisono dengan hitungan 1, 2, 3, 1, 5, 2, 3, 1.

Sebagai penutup, bagian Monofoni menghadirkan momen refleksi. Suling Bali memainkan nada-nada tunggal dengan keheningan yang menyelimuti, menciptakan suasana yang intim dan mendalam. Musik perlahan menghilang, tetapi meninggalkan jejak yang kuat di hati pendengarnya. Dan seperti sebuah siklus, komposisi kembali ke Keos, mengingatkan kita bahwa setiap akhir adalah awal dari sesuatu yang baru.

Belajar dari Para Maestro

Perjalanan kreatif Marvpa tidak akan lengkap tanpa bimbingan dari para mentor. Melati Suryodarmo dari Studio Plesungan mengajarkan mereka tentang dramaturgi tubuh, ruang, dan musik. Ia mengingatkan bahwa musik tidak hanya tentang bunyi, tetapi juga bagaimana ia berinteraksi dengan ruang dan penonton. “Setiap elemen adalah bagian dari cerita,” katanya. Aji Wartono dari WartaJazz menjelaskan bahwa produksi musik dimulai dari ide, baik yang terinspirasi dari pengalaman pribadi maupun referensi luar. Setelah itu, komposer menyusun aransemen dengan memilih instrumen, menentukan metode produksi, dan menyusun struktur lagu sebagai kerangka karya.

Sean Hayward, seorang Etnomusikolog dan komposer musik dari Amerika membawa perspektif minimalisme, menunjukkan bagaimana kesederhanaan bisa menjadi cara untuk mencapai kedalaman. Ia mengajarkan bahwa pola repetitif tidak hanya menciptakan bunyi, tetapi juga ruang bagi pendengar untuk tenggelam. Sri Hanuraga, seorang komposer, pianis Jazz, Dosen musik di UPH menambahkan dimensi kritis melalui estetika kecurigaan. Ia menantang Marvpa untuk melihat musik sebagai alat untuk memahami dan mengkritisi realitas sosial. Baginya, seni bukan hanya soal keindahan, tetapi juga refleksi dan perubahan. 

Komposisi Musik dari Perbedaan

Dari alur sajian musik Marvpa dapat disimpulkan bahwa Peta Ulir adalah sebuah upaya manifestasi aural dari hasil susunan alur grafis kolektif yang dinterpretasi secara eksperimental. Secara komposisi, Marvpa juga berhasil menyerap ilmu komposisi yang mereka dapatkan dari Sean Hayward dan Sri Hanuraga. Model struktur sajian, Marvpa dapatkan dari materi yang disampaikan Sri Hanuraga, sedangkan Minimalisme didapat dari materi Sean Hayward. Semua materi yang mereka dapat digarap dengan “gaya Marvpa”.

Pada akhirnya, Peta Ulir adalah lebih dari sekadar komposisi musik. Ia adalah cerita tentang bagaimana lima individu, dengan segala perbedaannya, belajar untuk mendengarkan satu sama lain. Dalam dunia yang semakin terpolarisasi, karya ini mengingatkan kita bahwa perbedaan bukanlah ancaman, melainkan peluang untuk menciptakan sesuatu yang lebih besar. Sebagai pengamat, saya merasa bahwa Marvpa telah melampaui batas-batas tradisi, menciptakan ruang di mana tradisi dan inovasi dapat berdialog. Peta Ulir bukan hanya sebuah karya, tetapi juga sebuah perjalanan, sebuah cerita tentang keberanian, kolaborasi, dan keindahan yang lahir dari keragaman.

———

*Mukhlis Anton Nugroho, mahasiswa Program Doktoral Pengkajian Seni Musik, Institut Seni Indonesia Surakarta.