Situs Gua Pawon: Kontribusinya Untuk Pengetahuan dan Penelitian
Oleh Dr. Lutfi Yondri
Penemuan gua-gua di Gunung Pawon yang terletak di kawasan batugamping Gunung Masigit, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat atau dalam skala kawasan yang lebih luas berada di bagian barat Dataran Tinggi Bandung yang melingkungi kawasan Danau Bandung Purba. Gua tersebut merupakan penemuan baru dalam kegiatan penelitian prasejarah yang pernah dilakukan di daerah Jawa bagian barat. Penelitian terhadap gua-gua yang terdapat di kawasan Jawa bagian barat (kawasan selatan Garut, Ciamis dan Tasikmalaya), yang telah dilakukan selama ini, belum menemukan adanya gua-gua yang memiliki indikasi pada hunian dari periode hunian yang lebih tua (Agus, 1998, 1999, 2000, 2002, dan 2003).
Kawasan Gunung Pawon, dari sisi pengetahuan secara umum bukanlah merupakan satu penemuan baru. Tahun 1950, Benthem Jutting pernah menjadikan kawasan itu sebagai salah satu lokasi kajian moluska non-marine. Pada waktu penelitian tersebut tercatat 9 jenis moluska non-marine ditemukan di kawasan itu (Jutting, 1950: 381-385). Dalam beberapa tahun kemudian, yaitu pada tahun 1959 kawasan Bukit Pawon, termasuk Gua Pawon juga pernah tercatat sebagai bagian dari survei geologi yang dilakukan oleh Koesumadinata (Koesumadinata, 1959: 35).
Pengungkapan kembali Gua Pawon terjadi setelah Kelompok Riset Cekungan Bandung (KRCB) melakukan survei dan pemetaan geologi di kawasan Gua Pawon dan kawasan sekitar pada bulan Mei 1999. Pada saat itu Tim KRCB membuat galian memanjang membelah bagian tengah Gua Pawon. Dari jejak penggalian yang mereka lakukan walaupun telah menghasilkan beberapa indikasi penting dari budaya masa lalu berupa temuan serpihan obsidian, rijang, dan tulang, serta moluska, hampir saja menghancurkan temuan penting dari Gua Pawon karena hampir mendekati kedalaman dimana manusia pawon ditemukan. Sejak penemuan tersebut penanganan penelitian arkeologi di kawasan Gua Pawon ditangani oleh tim dari Balai Arkeologi Bandung.
Penelitian (ekskavasi) arkeologi di Gua Pawon antara lain telah dilakukan oleh Balai Arkeologi Bandung yang sekarang berubah nama menjadi Balai Arkeologi Jawa Barat, yaitu pada bulan Juli dan Oktober (2003), Mei (2004), Oktober (2005), April 2009, Agustus 2010, Juni 2013, April 2014, Mei 2017, Mei 2018, dan Mei 2019.
Selain penelitian oleh Balai Arkeologig sendiri, penelitian/ekskavasi di Gua Pawon juga dilakukan Balai Arkeologi Bandung bekerjasama dengan Balai Pengelolaan Peninggalan Purbakala, Sejarah dan Nilai Tradisional Propinsi Jawa Barat, pada April 2004, serta penelitian yang dilakukan dengan pengawasan langsung Balai Arkeologi dalam rangka pratikum arkeologi mahasiswa Jurusan Sejarah Universitas Pajajaran pada April 2012. Sampai sekarang dari kegiatan penelitian tersebut telah dilakukan pembukaan 11 kotak ekskavasi di Gua Pawon.
Sementara di gua lain yang berdekatan lokasi adalah ekskavasi di gua Gunung Tanjung, 2009, Gua Parebatu pada 2010, dan pada tahun 2011 yaitu ekskavasi di ruang-ruang gua yang termasuk dalam gugusan Gua Ketuk, yaitu di Ruang 3, Ruang 4, serta Gua Ketuk Ujung yang masih berada satu kompleks dengan Gua Pawon. Penggalian tersebut merupakan bagian dari rangkaian kegiatan pengalian terpilih (selective excavation) yang dilakukan pada lantai gua yang relatif utuh di masing-masing gua.
Pembukaan kotak ekskavasi di situs Gua Pawon sampai sekarang masih dalam proses penelitian. Sampai bulan Mei 2018 telah berhasil dilakukan pembukaan 14 kotak ekskavasi, 7 di antaranya ditempatkan di dalam ruang yang telah dilakukan survei geomagnetiknya, dan 7 kotak lagi ditempatkan di ceruk bagian luar ruang kea rah utara pembagian kuadran penelitian. Kotak-kotak yang telah dilakukan penggaliannya terdiri dari kotak T2S2, T2S3, T2S4, T3S2, T3S3, T3S4, T1S1, T1U1, T2U1, T2S1, T3U1, T3S1, T1U3, dan T2U3 (Yondri, 2003, 2004, 2005, 2009, 2010, 2011, 2012, 2017, 2018, 2019).
Hasil ekskavasi di situs Gua Pawon memperlihatkan adanya inidikasi variasi fungsi gua yang mengarah ke multifungsi di masa lalu, selain pernah digunakan sebagai tempat hunian yang ditunjukkan oleh temuan yang mengacu pada peralatan berupa alat-alat serpih yang terbuat dari bahan obsidian, jasper dan kalsedon, alat tulang dan taring berupa lancipan dan spatula, perkutor, sisa-sisa moluska. Selain bukti-bukti peninggalan berupa peralatan hidup, dari hasil ekskavasi yang dilakukan juga menemukan benda-benda lain yang dipergunakan sebagai perhiasan. Benda-benda perhiasan tersebut diantaranya ada yang terbuat dari gigi ikan (hiu), taring hewan, dan moluska.
Bukti tentang kehidupan prasejarah yang pernah berlangsung di Gua Pawon di masa lalu, menjadi lebih lengkap dengan ditemukannya manusia pendukung budayanya. Dari hasil penelitian yang dilakukan di Gua Pawon, telah ditemukan lima bagian rangka yang mewakili lima individu yang berbeda. Tiga diantaranya terdiri dari bagian atap tengkorak, rahang bawah, dan rahang atas. Serta dua rangka yang ditemukan terkubur dengan posisi terlipat.
Ekskavasi lanjutan di Gua Pawon kembali dilakukan pada bulan Maret 2017, ditujukan untuk mengetahui tinggalan budaya yang lebih tua yang terdeposisi di bawah permukaan Gua Pawon. Ekskavasi lanjutan dilakukan di kotak T2S3 dan T3S4, pada ekskavasi sebelumnya berakhir pada kedalaman 175 cm dari titik ukur. Dari hasil pembukaan spit penggalian yang dibuka 5 cm untuk batasan masing-masing kedalaman penggalian, di kotak T3S4 di kedalaman 230 cm dari titik ukur berhasil ditemukan kembali satu rangka manusia yang terkubur, posisi terlipat dengan susunan tulamgnya masih dalam satu rangkaian. Kepala berada di sisi selatan dengan posisi muka mengarah ke timur. Tulang tangan dan tungkai posisi terlipat di bagian kiri dan kanan dada.
Sementara itu di kotak T3S4 juga ditemuka satu rangka yang lain, juga dalam posisi terlipat, akan tetapi dengan arah penempatan yang berbeda dengan temuan di kotak T3S3. Posisi kepala di sisi selatan agak miring ke sisi barat (baratdaya) dan arah badan ke sisi timurlaut). Arah hadap muka ke arah timur.
Berdasarkan hasil pendalaman dan perluasan kotak ekskavasi di tahun 2018 dan 2019 selain temuan rangka juga ditemukan beberapa fragmen tulang binatang, moluska yang terkait dengan pola konsumsi, serta berbagai macam artefaktual berupa alat serpih yang terbuat dari bahan obsidian, rijang, sert peralatan yang terbuat dari bahan tulang berupa lancipan, alat serpih dan alat batu pukul (perkutor) dari bahan gamping dan batu andesit.
Sisa kehidupan prasejarah di kawasan kars rajamandala, dari hasil pengembangan penelitian ternyata tidak hanya ditemukan di Gua Pawon, tetapi juga ditemukan di sisa-sisa gua yang sudah diledakkan untuk diambil batu kapurnya di kawasan Gunung Tanjung yang terletak lebih kurang 400 m disebelah barat Gunung Pawon, ditemukan lagi sisa-sisa rangka manusia dari bagian tulang kaki yang diperkirakan semasa dengan temuan rangka manusia di Gua Pawon. Gua-Gua lain yang juga pernah dihuni oleh manusia yang hidup pada masa prasejarah di kawasan karst Pawon adalah Gua Ketuk yang terletak sekitar 200 m di sebelah timur Gua Pawon. Oleh karena gua ini berada di tebing yang cukup curam, maka untuk mencapai gua ini saat sekarang agak sulit untuk dilakukan. Selain harus membuka semak belukar yang menutupi jalan menuju gua, juga harus merayapi dinding-dinding gamping.
Nilai Penting Hasil Penelitian Arkeologi di Gua Pawon
1. Memperkaya Khasanah Gua Hunian Prasejarah di Nusantara
Dari sisi arkeologi, sesuai dengan rancangan penelitian, penelitian yang dilakukan di Gua Pawon telah mampu menjawab sebagian besar tentang keberlangsungan kehidupan manusia dan budaya era akhir Plestosen sampai Awal Holosen. Bila dibandingakan dengan temuan tinggalan budaya yang masuk dalam kelompok gua-gua hunian di periode Akhir Plestosen-Awal Holosen di Nusantara, dapat dikemukakan bahwa kronologi budaya di Gua Pawon lebih beragam. Data ini memberikan informasi bahwa situs Gua Pawon dihuni dalam periode waktu yang cukup panjang rentang huniannya dibandingkan dengan gua-gua prasejarah lainnya. Dari data yang ditemukan selama ini Gua Pawon memperlihatkan kronologi hunian dari periode sekitar 5600 + BP sampai 11780 + 650 BP.
Data Hunian Gua pada Awal Holosen di Asia Tenggara dan Nusatara (Simanjuntak, 1997) yang kemudian diperkaya oleh temuan manusia dan budaya di situs Gua Pawon
Berdasarkan hasil ekskavasi di Gua Parebatu yang terletak lebih kurang 30 m di sebelah barat Gua Pawon, dari hasil survey permukaan di lokasi tersebut terdapat satu artefak paleolitik yang terbuat dari bahan batu andesit. Walaupun ditemukan tidak insitu, dengan adanya artefak terbut dapat dijadikan sebagai dasar dugaan apakah gua-gua yang berada di Gunung Pawon juga pernah digunakan sebagai tempat hunian dari periode yang lebih tua, atau sekitar era Plestosen Akhir yang umumnya dicirikan oleh artefak paleolitik. Seperti temuan gua-gua berikut.
Data Hunian Gua pada Awal Holosen di Asia Tenggara dan Nusatara (Simanjuntak, 1997)
Berdasarkan data tersebut, tentunya penelitian arkeologi yang dilakukan selama ini di situs Gua Pawon memiliki prospek untuk dilanjutkan karena tidak tertutup kemungkinan ditemukannya kehidupan budaya yang lebih tua di gua tersebut.
2. Inovasi di Bidang Kajian Arkeologi
-
- Pengembangan teknik dan metode penelitian kubur masa prasejarah
Penelitian arkeologi di situs Gua Pawon yang dimulai tahun 2003 yang lalu, sejak 2012 mulai bergeser kearah penelitian yang tidak hanya berbasis pada pelestarian, juga mulai mengarah pada penelitian yang bersifat interdisipliner research dengan melibatkan berbagai disiplin ilmu baik yang berasal dari disiplin ilmu eksakta dan ilmu sosial. Kegiatan yang demikian dilakukan selain bermanfaat untuk kebaruan pengetahuan masa lalu dari sisi arkeologi, Hal itu penting dilakukan karena sangat berhubungan dengan sifat data arkeologi yang terbatas, fragmentaris, dan tak terbaharui sehingga berbagai teknik dan metode perlu dikembangkan. Dengan sifat data arkeologi yang demikian, melalui penelitian yang terarah dan terencana dengan baik, diharapkan dapat menghasilkan sebanyak mungkin informasi yang memadai dan dapat dipertanggungjawabkan, dan nantinya dapat dijadikan sebagai data banding dalam penanganan situs-situs sejenis.
Secara keseluruhantemuan hasil penelitian di Situs Gua Pawon selain terdiri dari beragam artefak yang terbuat dari bahan batuan, tulang, kulit kerang, dan gigi binatang (fauna dan ikan), temuan sisa makanan berupa tulang binatang dan moluska, juga ditemukan rangka manusia dari lima kurun waktu yang berbeda. Tinggalan-tinggalan ekskavasi tersebut secara arkeologis sementara dapat dikelompokkan dalam tiga kategori kronologi budaya yaitu dilapisan atas merupakan laipsan budaya masa kini, kemudian di bawahnya merupakan Neolitik dari kedalaman dari permukaan hingga 60 s/d130 cm, kemudian lapisan Mesolitik di bawah kedalaman 130 cm hingga kedalaman akhir ekskavasi sekitar 320 cm dari permukaan tanah. Dalam kronologi budaya prasejarah Indonesia, era Mesolitik secara berdasarkan pendekatan sosial ekonomis disebutkan juga sebagai Masa Berburu dan Mengumpulkan Makan Tingkat Lanjut.
Berkaitan dengan temuan rangka manusia yang terkubur di beberapa lapisan budaya di Gua Pawon, pertama kali dicoba analisis berdasarkan klasifikasi klasifikasi yang dikemukakan oleh R.P Soejono pada tahun 1969 yang mengklasifikasi kubur masa prasejarah ke dalam 4 tipologi. Ternyata klasifikasi yang demikian sangat sulit untuk diterapkan. Kalsifikasi yang demikian penulis pandang hanya bisa digunakan untuk temuan dengan jumlah yang banyak yang berada di satu masa budaya, seperti yang Soejono lakukan di situs Gilimanuk, Bali. Akan tetapi untuk temuan kubur masa mesolitik hal itu sangat sulit untuk diterapkan karena pada satu lapisan tanah (stratigrafi) atau satu kurun waktunya seringkali hanya ditemukan satu rangka manusia. Menanggapi uraian Soejono, penulis memandang bahwa ciri yang dijadikan sebagai dasar klasifikasi tidak bisa diberlakukan pada semua pola, kemudian istilah primer dan sekunder hanya dipergunakan untuk cara penguburan tetapi tidak dikaitkan pada bentuk perlakuan pada mayat, padahal istilah tersebut berkaitan langsung dengan perlakuan mayat atau rangka pada saat dikuburkan. Kubur campuran walaupun sudah dimasukkan dalam kelompok tersendiri, ternyata dalam uraiannya dikemukakan sangat sulit untuk diidentifikasi, sedangkan pola kubur yang keempat tampak tidak mendapatkan perlakuan yang sama dengan pola-pola yang dikemukakan sebelumnya, seperti yang terlihat pada tabel berikut.
Tabel Tipe kubur dan kriterianya menurut Soejono (1969)
Melihat dari ciri yang digunakan, pada penguburan langsung istilah primer menurut pandangan penulis hanya dipakai pada cara penguburan, dalam hal ini istilah tersebut hanya terbatas pada cara penguburan, di mana mayat langsung ditempatkan pada lokasi penguburannya. Oleh karena dalam penjelasan tentang kubur langsung tersebut juga disinggung tentang bentuk perlakuan yang diberikan kepada mayat yaitu membujur dan terlipat, maka pada tipe penguburan langsung tersebut perlu dilakukan pembagian yang didasarkan pada bentuk perlakuan pada mayat/rangka pada saat dikuburkan yaitu membujur dan terlipat. Istilah ganda yang ditempatkan setelah tunggal juga agak sulit dipahami karena ganda memiliki arti sama dengan dua, sedangkan rangka yang ditemukan pada satu tipe kubur yang dikemukakan bisa saja lebih dari dua individu. Berkaitan dengan pola kubur yang ke empat yaitu kubur terbuka, penulis berpendapat bahwa pola tersebut dapat dipandang sebagai cara penempatan mayat/rangka, karena terbuka merupakan salah satu cara dari penempatan mayat/rangka yaitu diletakan di permukaan tanah.
Berdasarkan bentuk perlakuan terhadap mayat/rangka yang selama ini menjadi acuan dalam memahami tipe kubur yang ditemukan dalam penelitian arkeologi dan membandingkannya dengan sikap tubuh manusia pada saat kematian umumnya dalam posisi membujur, maka pada tipe kubur langsung dapat dibagi dua bentuk pelakuan, yaitu perlakuan pertama dan perlakuan kedua. Bentuk perlakuan pertama dapat disimpulkan apabila sikap rangka yang ditemukan dalam keadaan membujur. Pada bentuk perlakuan pertama tersebut terdapat beberapa variasi posisi badan yaitu telentang, miring ke kiri atau ke kanan, dan telungkup. Akan tetapi, bila sudah berubah menjadi sikap-sikap tertentu seperti dilipat, ditekuk, dijongkokkan, maka rangka tersebut sudah dalam bentuk perlakuan kedua.
Bentuk perlakuan kedua ini didasarkan pada pandangan Binford (1972:218) yang menyebutkan bahwa sikap terlipat (flexed) biasanya diperoleh dari hasil pengikatan dan pembalutan terhadap mayat dan merupakan salah satu sikap yang meniru posisi janin (foetus) dalam rahim yang digunakan oleh masyarakat prasejarah sebagai simbol kelahiran kembali. Hal ini senada dengan penjelasan lisan dari Dr. Boedihartono (ahli paleonthropologi UI) saat penulis menunjukkan foto kubur terlipat di Gua Pawon pada bulan Januari 2005 yang langsung menyebutkan sikap terlipat rangka di Gua Pawon sebagai kubur sekunder. Sementara pada penguburan tertunda bentuk perlakuan pertama dan kedua juga dapat terjadi. Bentuk perlakuan pertama pada tipe kubur tertunda dapat terjadi bila rangka yang ditemukan masih berada dalam strukturnya. Hal ini kemungkinan besar hanya dapat muncul bila penguburan kedua tersebut dilakukan menggunakan wadah yang kemudian penguburan kembali dilakukan secara utuh. Sementara bentuk perlakuan kedua terjadi bila struktur rangka sudah mengalami perubahan.
Melihat keberadaan temuan rangka-rangka manusia yang terkubur dengan kronologi yang berbeda yang ditemukan di Gua Pawon, dengan sulitnya menerapkan variabel yang dibuat oleh Soejono (1969) maka penulis mencoba menerapkan variabel-variabel amatan baru, antara lain; variabel lokasi kubur, cara penempatan, orientasi, umur (kronologi) kubur, umur mati manusia, pewarnaan, sikap rangka, bekal kubur, lokasi dan ras.
-
- Identifikasi Umur Manusia Menggunakan CBCT 3D
Sisi inovasi yang lain dari penelitian di Gua Pawon adalah pengetahuan tentang identifikasi umur manusia dan jenis makanan yang dikonsumsi yang dilakukan melalui serangkaian penelitian interdisiplin yang melibatkan dunia forensic odontology, khusunya keterlibatan para ahli forensic odontology Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Padjadjaran, Bandung.
Selama ini identifikasi umur manusia dalam penelitian arkeologi lebih cenderung secara kualitatif (tua, muda, dewasa, anak-anak), analisis dengan perkiraan rentang waktu yang didasarkan pada pola keausan keausan bagian puncak gigi (conus) geraham (molar) yang pernah dikembangkan oleh Brothwell dalam tulisannya “Digging up bones (1965), dan kemudian lebih lanjut dikembangkan lagi oleh para ahli. Oleh Bass era perkembangan itu disebut sebagai era sesudah Brothwell (after Brothwell). Keausan bagian puncak gigi geraham sebagai akibat dari penggunaan biasanya akan terjadi mulai rentang usia 17 sampai 45 tahun ke atas, dan keausan tersebut akan berhenti pada saat individu tersebut mati. Berdasarkan pola-pola keausan puncak gigi geraham yang teramati, kemudian rentang waktu yang panjang tersebut dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu 17 – 25 tahun, 25 – 35 tahun, 35 – 45 tahun dan 45 tahun lebih (Bass, 1989:287). Melalui penggunakaan perekaman radiografi Cone Beam Computed Tomograph 3D (CBCT 3D) terhadap gigi-gigi Manusia Pawon. Dengan menggunakan data rekaman radiografi tersebut dicoba terapkan beberapa pendekatan seperti Johanson, Kvaal, dan G untuk penghitungan umur mati Manusia Pawon, sehingga diperoleh angka yang lebih detil seperti yang terlihat pada tabel berikut.
-
- Identifikasi Jenis Makanan
Begitu juga dengan interpretasi tentang makanan, seringkali hanya didasarkan pada ragam temuan fragmen tulang binatang dan moluska yang diperoleh dari hasil ekskavasi. Seolah pada masa itu manusianya hanya mengkonsumsi protein. Pertanyaannya adalah apakah tidak ada sumber makanan lain yang mereka konsumsi saat itu. Dari sisi arkeologi pengetahuan itu sangat terbatas untuk dicari jawabannya kerena bahan makanan baik yang berasal dari karbohidrat dan serat tentunya tidak akan ditemukan dari asosiasi temuan ekskavasi.
Analisis tentang jenis makanan yang dikonsumsi oleh Manusia Pawon dikembangkan melalui analisis kalkulus yang terdapat di gigi Manusia Pawon. Setelah dilakukan analisis terhadap kalkulus yang terdapat di gigi manusia pawon menggunakan mikroskop dengan perbesaran 100 x dapat diamati bentuk pati dan serat yang terdapat di dalam kalkulus gigi Manusia Pawon. Dan dari analisis menggunakan alat Scanning Electron Microscopy (SEM) dengan perbesaran 8000x-12000x dapat didentifikasi berbagai bentuk matriks unsur-unsur kimia yang terdapat dalam kalukulus. Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa manusia pawon pada masa hidupnya tidak hanya mengkonsumsi protein yang dibuktikan dengan ragam fragmen tulang binatang dan moluska yang ditemukan satu konteks dengan artefak dan manusianya, tetapi informasi tentang hal itu bisa dipertajam melalui analis kalkulus yang terdapat di gigi Manusia Pawon itu sendiri.
3. Pengungkapan Bukti Faktual Budaya Prasejarah di Tepian Danau Bandung Purba
Temuan manusia dan budaya prasejarah hasil penelitian di Gua Pawon merupakan data fakatual yang dapat menggambarkan tentang kehidupan prasejarah yang pernah berlangsung di kawasan Danau Bandung Purba pada masa prasejarah. Selama ini di tepian Danau Bandung Purba hanya ditemukan sisa budaya berupa alat serpih yang terbuat dari batu obsidian dengan perseberan yang sangat luas hampir di seluruh area perbukitan yang mengitari danau tersebut tanpa diketahu siapa manusia pendukungnya dan kapan budaya itu berlangsung. Temuan arkeologi hasil penelitian di situs Gua Pawon di antaranya dapat menjawab permasalahan tersebut. Bahwa manusia prasejarah yang ditemukan di Gua Pawon berasosiasi dengan artefak litik yang terbuat dari batu obsidian dalam lintasan waktu yang cukup panjang dari 5600 + BP sampai 11780 + 650 BP.
4. Sumbangan Nilai terkait Kebhinekaan dan Kemaritiman
Mengacu pada konsep yang dikembangkan oleh pemerintah, dapat disimpulkan bahwa temuan manusia dan budaya yang ditemukan di situs Gua Pawon telah memberikan sumbangan data tentang keberagaman budaya yang pernah berlangsung pada era prasejarah di Indonesia. Bahkan tidak tertutup kemungkinannya merupakan situs hunian gua yang paling tua kronologinya yang berada di kawasan bagian barat Pulau Jawa. Disamping meperkaya terkait keberadaan tinggalan budaya dan hunian gua di Indonesia. Dari temuan ekskavasi di Gua Pawon juga telah menunjukkan adanya pemanfaatan sumber daya laut yang ditandai oleh adanya gigi-gigi ikan Hiu dan kulit kerang laut yang dijadikan sebagai perhiasan oleh manusia yang hidup di era prasejarah di Gua Pawon pada era prasejarah. Tidak tertutup kemungkinan dari hewan-hewan laut itu juga dijadikan sebagai bagian yang dikonsumsi saat itu.
5. Penulisan Karya Ilmiah
Hasil penelitian arkeologi di situs Gua Pawon sampai sekarang telah memberikan manfaat bagi berbagai lingkungan, baik yang terkait dengan dunia pendidikan, maupun di bidang lainnya. Dari sisi kajian arkeologi, data hasil penelitian di Gua Pawon telah sebagai bahan kajian untuk penulisan 4 Skripsi dan 1 Tesis di Program Studi Arkeologi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya. 2 Skripsi di Program Studi Arkeologi Universitas Gajah Mada, 1 Skripsi di Program Studi Arkeologi Universitas Udayana. Sementara itu, dari hasil analisis interdisiplin yang melibatkan berbagai metode pendekatan yang ada di lingkungan disiplin Odontologi Forensik, hasil penelitian arkeologi di Gua Pawon telah dijadikan untuk penelitian tugas akhir mahasiswa di Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Padjadjaran. Sampai sekarang paling tidak sudah dihasilkan lebih kurang 34 skripsi, karya ilmiah yang dipresentasikan di seminar dalam dan luar negeri, jurnal ilmiah, dan prosiding ilmiah di lingkungan kedokteran gigi.
Data hasil penelitian arkeologi di Gua Pawon juga telah menarik minat peneliti disiplin lingkungan. Hal ini dibuktikan dengan dijadikan data Gua Pawon tersebut untuk penulisan dari aspek lingkungan yaitu 1 Tesis di Kajian Lingkungan di Universitas Indonesia, 1 Tesis di Kajian Lingkungan Institut Teknologi Bandung. Dan dari aspek pengembangan kepariwisataan dan pembangunan fasilitas kepariwisataan, hasil data Gua Pawon kemudian menjadi bahan untuk penulisan 1 skripsi dan 1 Tesis di Program Manajemen Pariwisata Sarjana Sekolah Tinggi Pariwisata Bandung, dan 1 Skripsi di Fakultas Seni Rupa dan Disain Sekolah Tinggi Teknologi Telkom University.
6. Kebanggaan Daerah dan Pengembangan Destinasi Wisata Jawa Barat
Sejak ditemukannya situs Gua Pawon pada tahun 2000 dan mulai ditanganinya situs tersebut secara arkeologis mulai tahun 2003 yang lalu, telah mengundang perhatian para peneliti dan calon-calon peneliti dari berbagai disiplin ilmu, serta kalangan pemerintah setempat yang kemudian menjadikannya sebagai salah satu lokasi yang sangat penting di Jawa Barat.
Informasitentang budaya prasejarah yang dihasilkan dari penelitian yang dilakukan oleh Balai Arkeologi Jawa Barat, kemudian dijadikan sebagai bahan untuk pengembangan salah satu objek wisata unggulan Provinsi Jawa Barat. Saat sekarang, angka kunjungan wisatawan ke Gunung Pawon, lokasi ditemukannya Gua Pawon dengan berbagai kandungan budaya prasejarahnya telah mampu menyumbangkan pendapatan bagi daerahnya. Kegiatan pengembangan tersebut dilakukan dengan cara merevitalisasi hail penelitian dan kemudian nantinya dikembangan dalam pembangunan Museum Gua Pawon sebagai bagian dari rencana pengembangan Geopark di Kabupaten Bandung Barat.
Secara keseluruhan nilai penting dari hasil penelitian di situs Gua Pawon ini dapat digambarkan secara pentahelix sebagai berikut.
***
Sebelum penemuan Gua-Gua di Gunung Pawon, dapat disimpulkan bahwa budaya masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut di kawasan Jawa Barat, masih menjadi perdebatan di kalangan para ahli. Pada saat itu kecenderungan untuk menarik temuan alat obsidian ke masa bercocok tanam lebih kuat. Hal ini kemungkinan terjadi karena beberapa alat produk budaya masa itu ditemukan bercampur dengan alat-alat produk masa bercocok tanam, seperti beling persegi, dan belincung. Akan tetapi setelah penemuan hasil ekskavasi berupa alat obsidian pada lapisan tanah yang bebas dari kontaminasi sisa budaya bercocok tanam, dapat disimpulkan bahwa alat obsidian tersebut telah digunakan sejaka masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut atau era mesolitik hingga masa bercocok tanam atau era neolitik.
Dapat disimpulkan bahwa, manusia dan budaya yang pernah berlangsung di Gua Pawon pada masa prasejarah tidak hanya penting untuk penelitian arkeologi dalam rangka merekonstruksi sejarah budaya masa lalu, menggambarakan cara-cara hidup masyarakat masa lalu, untuk menggambarkan perkembangan proses budaya. Dari hasil pengembangan penelitian bersama dalam ranah forensik odontologi dengan Fakultas KEdokteran Gigi Univ. Padjadjaran, Bandung juga telah memperluas metodelogi penelitian untuk mengetahui latar belakang Manusia pawon, tidak hanya memperdalam pengetahuan tantang penentuan umur manusia saat mereka mati, tetapi juga terkait dengan pengidentifikasian jenis konsumsi pada masa prasejarah, yang selama ini dari sisi arkeologi hanya menginterpretasikannya dari ekofak berupa berbagai fragmen tulang binatang dan moluska saja.
Di samping memiliki kandungan budaya masa lalu yang sarat dengan pengetahuan, sejarah dan kebudayaanya, lingkungan situs Gua Pawon yang lebih dikenal dengan kawasan kasrt ini merupakan sumber alam yang tidak terbarui. Masyarakat sekitar kawasan tersebut sampai sekarang maih mengandalkan kawasan itu sebagai wilayah tangkapan air. Dengan adanya kegiatan penambangan batu gamping di kawasan itu lama kelamaan kawasan ini akan punah dan tentunya akan menghilangkan semua potensi tersebut. Ke depan perlu dilakukan upaya pasti untuk mempertahankan kawasan ini melalui pengembangan kawasan ini sebagai objek tujuan wisata yang disertai dengan berbagai peraturan yang mengikat sehingga kelestarian tinggalan dan kawasan dapat dilakukan.
Usaha pemanfaatan hasil penelitian arkeologi secara berkesinambungan saat sekarang belum berjalanan secar maksimal. Dalam hal ini dari berberapa pendapat dapat ditarik satu gambaran bahwa SDGs hasil penelitian arkeologi di situs Gua Pawon dan sekitarnya belum maksimal dilakukan. Dua pihak yang lebih banyak berperan baru terbatas pihak pemerintah yaitu Balai Arkeologi Jawa Barat dan belum banyak mendapat sentuhan dari Pemerintah Propinsi dan Kabupaten walaupun situs Gua Pawon telah dijadikan sebagai salah satu destinasi wisata unggulan di Jawa Barat. Pihak perguruan tinggi juga sudah berpern banyak, hal ini teah dibuktikan dengan dimanfaatkannya hasil penelitian arkeologi untuk kepentingan penelitian untuk penyusunan tesis dan skripsi di lingkungan perguruan tinggi yang memiliki jurusan arkeologi untuk kajian stara 1 dan pasca seperti UI, UGM, UDAYANA, maupun jurusan lain yang tekait dengan kajian forensik odontologi Fakultas Kedokteran Gigi Unpad sejak tahun 2012, Kajian lingkungan di tingkat pasca sajana di studi lingkungan (ITB) , artropologi (UI), pariwisata (STP), dan lain sebagainya. Selama ini penelitian arkeologi di Gua pawon juga ikut diublkasikan oleh media masa baik cetak maupun visual pemerintah dan swasta. Saat ini masih sedikit komunitas yang ikut memainkan perannya, terlebih peluang yang belumditangkap oleh dunis bisnis.
——————————–
¹ Soejono (1969) membagi 4 tipe kubur yang disebut “pola”, atas dasar cara penempatan, jumlah rangka, dan keberadaan wadah. yaitu : 1) Penguburan langsung (direct inhumation), merupakan penguburan yang dilakukan dengan cara menguburkan mayat di dalam tanah atau menempatkannya di lokasi tertentu. Penguburan ini dilakukan dengan cara menempatkan mayat di dalam wadah atau tanpa wadah. Berdasarkan jumlah rangka yang dikuburkan, dalam kubur langsung dapat terdiri dari 1 rangka (tunggal) atau lebih (ganda). 2) Penguburan tertunda (deferred inhumation), merupakan penguburan seluruh rangka baik yang berasal dari satu individu atau bagian rangka yang dikubur di dalam tanah atau dalam satu wadah tertentu yang dilakukan beberapa waktu kemudian setelah penguburan pertama dilakukan. Berdasarkan jumlah rangka yang ditemukan dalam tipe kubur tertunda tersebut, terdapat kemungkinan jumlah individu yang dikuburkan kembali lebih dari satu. 3) Penguburan campuran (combined inhumation), merupakan penguburan mayat yang dilakukan dengan cara mengkombinasikan kubur langsung dengan kubur tertunda. Rangka yang ditemukan dalam kubur campuran adakalanya terletak berdampingan atau bertumpuk, umumnya tidak dapat ditentukan polanya karena tulang-tulang yang ditemukan terletak secara tidak beraturan (Soejono, 1977:191). 4) Kubur terbuka (exposed deposition). Kubur terbuka adalah penguburan mayat yang dilakukan dengan cara meletakkan mayat di permukaan tanah atau di tempat-tempat tertentu. Penguburan ini biasanya diikuti dengan kubur selektif, yaitu penguburan sebagian tulang-tulang seperti tengkorak, atau bagian badan lainnya dalam tanah atau salah satu jenis wadah kubur.
² Nield-Gerig (2003:1-6) Kalkulus gigi adalah plak gigi yang mengalami kalsifikasi dan berkembang ketika biofilm yang mengandung bakteri mulut termineralisasi dengan garam mineral kalsium fosfat. Proses pembentukan kalkulus diawali dengan adanya pelikel. Pelikel adalah selapis tipis protein saliva yang menempel di permukaan gigi. Pelikel ini bersifat bebas dari bakteri hingga beberapa jam kemudian bakteri yang ada di dalam mulut akan terperangkap pada pelikel dan terbentuklah plak.
*Penulis adalah Arkeolog di Balai Arkeologi Jawa Barat