Terpukul Waktu dalam “The Sound After Solitude #2”

Oleh Razan Wirjosandjojo

Siska termenung di atas simpuhnya, renungnya dibasahi cahaya. Tikar terbaring di samping, sediam dirinya. Momen diam itu perlahan merekah, Siska mulai berdiri. Langkahnya perlahan, tubuhnya merendah, seperti seekor kucing yang mengendap-endap. Sekejap kakinya menyergap lantai dan udara dengan tendangan yang cepat dan halus. Tubuhnya membentuk kuda-kuda, matanya tajam melihat kepada kosong di depannya. Detik demi detik mencermati gerak, sesekali melancarkan serangan pada angin. Tubuhnya merendah pada tanah, jarinya disentuhkan pada lantai. Langkah-langkah Siska berhilir ke sisi seberang, lambat laun ia masuk pada sasana segi-empat dengan menyeret lututnya. Siska kembali pada posisi simpuh di pojok tenggara tikar.

Pertunjukan “the Sound After Solitude #2” pada helat On Stage #18 (Dok. Studio Plesungan)

Siska melantunkan tembang-tembang bernuansa Minang. Saya tidak bisa memahami artinya, namun suaranya seakan menceramahi hening. Setelahnya ia dekatkan punggung-punggung tangannya ke permukaan tikar, menawarkan udara. Terdengar bunyi dari balik tikar yang terinjak telapak kaki, di antara raih tangannya menyusur segala penjuru. Siska berpindah ke pojok, menjatuhkan diri, kletak-kletak. Hantaman bahunya ke lantai membuat bunyi-bunyi itu. Seperti tak puas, ia bentur-benturkan kembali dirinya ke titik berbunyi itu. 

Setelah gerak yang membentur, tubuhnya menggelombang. Darinya, ia keluar-masuk dari dirinya sendiri. Gelombang mengalir ulak-alik pada tiap-tiap persendian, lalu gelombang itu dicengkeram dengan kuda-kuda silat. Pose itu sempat keras, lalu luntur kembali dengan gestur keseharian. Jinjit-jinjit kecil yang sunyi, mengelilingi sisi barat daya tikar. Kelilingnya dihentikan dengan memandang kegelapan di utara tikar.  

Pertunjukan “the Sound After Solitude #2” pada helat On Stage #18 (Dok. Studio Plesungan)

Siska jongkok, putarannya membunyikan seng yang memecah tenang. Pecahan itu menjalar jadi gerak yang menggelisahkan. Gelisah itu memecah lebih banyak bunyi, Siska asyik saja menikmati kegelisahan itu. Keasyikan itu ia potong dengan melempar diri ke pojok-pojok ruang, dan kembali pada pose-pose silatnya. Tangannya menjulur, lalu sekali lagi ia jatuhkan diri. 

Berlari-lari, lalu berhenti. Tubuhnya singgah pada titik-titik tikar yang menyimpan seng di bawahnya. Singgahnya di tiap-tiap titik itu tak lama, terus ia tinggalkan dan kunjungi kembali. Otot tarinya terkadang diberi istirahat dengan pola-pola pedestrian. Lari-larian mengelilingi tikar, kegagahan Siska dalam bersilat tak putus bergandeng dengan logat gerak keperempuanannya.

Pertunjukan “the Sound After Solitude #2” pada helat On Stage #18 (Dok. Studio Plesungan)

Cahaya berubah, suasana menjadi remang. Lalu satu demi satu, ucapan-ucapan bernuansa Minang terdengar dari sudut-sudut penonton. Beberapa lurus mendatar, beberapa gejolak bergelombang, gabungannya terdengar seperti kumpulan bapak-bapak sedang lomba baca puisi. Berdiri lurus di tengah, Siska menangkis, mendorong, memutar, kakinya dihantamkan, kepalnya menarik, ia bergulat dengan kata. 

Pertunjukan “the Sound After Solitude #2” pada helat On Stage #18 (Dok. Studio Plesungan)

Pada momen tertentu tangannya menyempit, mendekat pada kepala dan dada, melindungi diri dengan dansa-dansa kecil. Mungilnya lalu mekar kembali, Siska dipenuhi lingkaran. Badannya berputar melawan arah jarum jam sembari tangannya menggulung-gulung. Sayup-sayup suara perempuan terdengar, mengusir ribut suara laki-laki ke tepian. Siska mengakhiri gelutnya dengan kembali simpuh di tengah sambil menggumam nada-nada lirih yang disambut gulita.

Gonyek 

Karya Siska Aprisia bertajuk “The Sound After Solitude #2” dipentaskan pada helat On Stage ke-18 yang diselenggarakan pada Jumat, 31 Mei 2024 oleh Studio Plesungan. Durasi pertunjukan yang berjalan kurang-lebih setengah jam itu cukup untuk mengatar saya kembali pada ingatan ketika mengikuti lokakarya Gumarang Sakti di tahun 2019. Workshop itu diadakan oleh Lingkaran Koreografi, dipandu oleh Benny Krisnawardi sebagai eks-penari Gumarang Sakti Dance Company, dan Helly Minarti sebagai periset sekaligus penyelenggara lokakarya. Gumarang Sakti merupakan perusahaan tari yang diinisiasi oleh Gusmiati Suid (1942-2001), seorang seniman tari yang lahir dan besar dari Minangkabau. Basis kepenarian dalam kelompok ini bersumber dari silek Minangkabau. Karya-karya Gusmiati Suid memaknai Silek menyeluruh, sebagai fondasi kerja tubuh sekaligus pemikiran. Pembaharuannya tampak bertumbuh di tiap-tiap karyanya, memuncak pada karya “Api dalam Sekam” pada tahun 2001.

Satu pengalaman yang kembali terpanggil ketika menyaksikan karya “The Sound After Solitude #2” adalah ketika saya dikenalkan dengan istilah gonyek. Gonyek pada dasarnya adalah satu aksen gerak dalam silek. Pada workshop tersebut gonyek saya alami sebagai pengisi gerak-gerak awal sebelum melakukan serangan atau berkontak fisik. Geraknya kecil, cepat, dan tidak mutlak pada bentuk tertentu, hampir seperti satu hentakan yang terjadi di dalam tubuh. Ia terus ada dan mengisi momen sebelum tubuh bergerak.

Selama dua hari, saya mengalami gonyek sebagai satu gerak yang membangunkan tubuh untuk berada dalam kondisi awas dan siap. Sebelum bergerak, gonyek menjadi saat-saat untuk menyadari apa dan siapa yang mengelilingi tubuh saya, sekaligus memeriksa kesiapan mental saya. Gonyek memberi ruang dan waktu untuk membaca kemungkinan yang akan terjadi di luar diri, sekaligus apa yang dapat dilakukan dari dalam diri. Saya dapat maju, mundur, berbelok, melompat, atau melantai. Saya bisa bergerak dengan lembut atau keras, melambat atau melesat, atau justru memutuskan untuk diam. Semua pertimbangan tersebut terjadi dalam momen singkat, yaitu ketika gonyek.

Gonyek mendekatkan tubuh saya ke bumi. Ia merundukkan tubuh, membuka kepekaan untuk merasakan gravitasi. “Keangkuhan” tubuh yang berdiri tegak kembali membungkuk ke tanah, mencengkeram pusat. Seluruh indera mencerap tiap-tiap yang hidup dan bergerak, diolah tidak semata dengan kecerdasan pikiran melainkan dengan kecerdasan tubuh, menjadi refleks. 

Bergonyek bersama peserta lain dalam workshop Gumarang Sakti pada tahun 2019 (Dok. Pribadi)

Bagi saya, pertunjukan “The Sound After Solitude #2” secara terus-menerus menelusuri kualitas keawasan yang saya kenal dari pengalaman mempelajari gonyek, yang akhirnya tidak terbatas pada bentuk dan struktur asalnya. Penuh hentak namun tak kunjung memukul, karya ini terus mengawasi kepungan hampa. Meskipun pertunjukan Siska masih memproyeksikan kehadiran tubuhnya ke depan penonton, namun kadang kala saya melihat Siska menatap sisi utara tikar yang gelap, sesaat nyepi di antara 28 menit panjang pertunjukannya. Suasana sepi yang diawasi mengingatkan saya pada scene perjalanan di dalam pertunjukan wayang orang.

Kala

Pada pertunjukan wayang orang yang pernah saya saksikan, sering kali adegan perjalanan sang protagonis ditunjukkan setelah gara-gara/repat punakawan. Sang Arjuna masuk dari sisi kanan penonton menuju sisi kiri penonton, yang selalu dihalau buta cakil. Ialah sang kalamarica yang tak pernah mati, namun upayanya tak pernah padam untuk membunuh Arjuna. Pertarungan pun terjadi. Hampir tak ada rasa khawatir bahwa Arjuna akan kalah, seakan keteguhan hatinya menjadi kesaktian yang tidak mampu dikalahkan oleh cakil. Akhirnya upaya cakil untuk menusuk jantung Arjuna justru membuatnya terbunuh oleh kerisnya sendiri, kematiannya pun membawa dirinya silam dalam kegelapan panggung. Arjuna kembali berjalan, disusul para Punakawan di belakang.

Kala hadir sebagai penampakan atas waktu. Ia bertampang buruk, kejam, dan siap menelan siapa saja yang tidak bisa mengendalikannya. Pada epos-epos klasik seperti Ramayana dan Mahabharata, cakil tidak hadir sebagai tokoh layaknya Rahwana atau Kumbakarna. Ia mati, lalu muncul kembali di setiap perjalanan selanjutnya. Kala adalah taring yang menyeringai pada malam-malam hening, tajamnya dingin di tengah tapak-tapak sunyi. Kala mewakili pertarungan sebelum pertempuran, pergulatan di dalam diri, kegelisahan di tengah perjalanan. Kerisnya mematahkan semangat, memutar balikkan tujuan, memenggal keteguhan. Baik dari adegan perjalanan ini, begitupun dari semua kala yang melotot di atas gerbang dan sisi-sisi pintu, semua hadir sebagai tanda agar manusia terus awas dengan waktu yang siap menikam dan melahap kapan pun.

Meskipun “The Sound After Solitude #2” dikatakan sebagai tarian tunggal, nyatanya ia menari bersama sepi yang ikut berputar dan berguling bersama Siska di atas tikar. Pecah suara seng yang diinjak Siska menjauhkannya, namun seketika sepi kembali mendekat dan menggerayangi tubuhnya. Kala tak gentar membayangi Siska untuk terus-menerus mencoba merusak kendali dan konsentrasinya. 

Satu momen setelah gladiresik, Siska mengobrol dengan saya. Ia meragukan jika pertunjukan ini akan membosankan bagi penonton karena suasananya yang sepi, mendengarnya membuat saya justru merasa Siska masih bonyok terpukul waktu. “The Sound After Solitude #2” menggelar sasana untuk Siska bertarung dengan waktu. Pertunjukan ini menjadi satu wujud pukulan-pukulan pertama pada setiap pertarungan yang terjadi di dalam diri. Siska baiknya mempercayakan kemampuan penonton untuk menyaksikan kala yang hadir menari dan bergulat bersamanya. Menguasai diam dalam sepi adalah satu sikap melawan hantaman waktu yang mematikan.

Arjuna melawan Cakil (Foto oleh Riboet Gondrong)

Ulu Ambek yang Merantau

Saya menganggap “The Sound After Solitude #2” ditawarkan sebagai wujud “baru” Ulu Ambek yang mengendap di dalam tubuh dan pengalaman Siska. Ulu Ambek yang umumnya dilakukan oleh penari laki-laki, kini merantau ke tubuh perempuan, lalu tersimpan sebagai bekal untuk merantau ke luar kampung halamannya. Ulu Ambek menjadi bahasa yang feminin, diterjemahkan dengan kosa gerak perantauan. Koreografi terkesan seperti satu tali yang mengulur. Alur perjalannya perlahan menjauh dari pangkalnya, namun sekaligus menjadi jalan yang memanjang. Indahnya seperti melihat kelok sembilan dari kejauhan. Bangun-gerak tubuh di dalam koreografi ini melonggarkan diri dari kunci-kuncian dan kuda-kuda silek, menjadi sesuatu yang sehari-hari, yang terkadang juga disertai kerentanan. Sesekali kuda-kuda itu tetap muncul seperti satu kerinduan, lalu kembali pudar dan silam. 

Ulu Ambek diterangkan Siska sebagai modalnya dalam merantau ke berbagai wilayah, menjadi petuah yang membekali dirinya untuk beralih dari satu kebudayaan ke kebudayaan yang lain. Saya sendiri melihat dari sisi lain, Siska memberi kesempatan bagi Ulu Ambek untuk merantau. Ulu Ambek menyesuaikan dirinya dengan karakteristik tubuh perempuan, yang tak begitu familiar untuknya. Perpindahannya ke wilayah lain juga memjadi proses bagi praktik Ulu Ambek untuk berkembang. Keputusan Siska untuk bekerja dengan Ulu Ambek sebagai titik tolak penciptaan “The Sound After Solitude #2” memperluas cakrawala pandang terhadap Ulu Ambek. Kini Ulu ambek dapat dilihat melampaui bentuknya, sebagai sikap kebijaksanaan yang leluasa menghadapi berbagai macam interaksi antar manusia.

Sikap Dalam Berinteraksi

Salah seorang penonton memaparkan bahwa silek pada hakikatnya menjadi cara masyarakat Minangkabau untuk berfilsafat. Silek yang terjadi di gala-gala merupakan pantulan dari pelakunya dalam bersikap di kesehariannya. Silek diungkapkannya sebagai sumber pengetahuan atas nilai-nilai yang dibutuhkan untuk hidup dan berinteraksi dengan manusia dan alam. Pendapat dari salah satu penonton tersebut menyadarkan saya atas jarak yang kini terbentang di antara nilai tradisi dengan keadaan hari ini. 

Cara berinteraksi antar sesama kini menjadi kering dan hambar. Tubuh terdidik menjadi mesin yang seperlunya. Hubungan antar manusia menjadi garing dan berdasar pada fungsi dan nilai guna. Hilang kebiasaan untuk menanyakan kondisi perasaan orang lain dan memperhatikan hal-hal yang manusiawi. Saya sendiri mengalami dunia yang tidak lagi bicara dengan orang-orang yang duduk di samping. Lingkungan saya mencetak mental yang tak acuh dengan kabar, tersesat pada belantara apati, tidak mampu menemukan cara untuk merasakan kehadiran manusia di dalam hidupnya. 

Lontaran sapa hanya terjadi ketika ada kebutuhan, terjadi sampai tugasnya terpenuhi, lalu menghilang jika keperluannya sudah selesai. Persis seperti kapur barus. Angkot yang berdesakan hanya diisi sepuluh (kadang dipaksakan sebelas) karung beras dengan sepasang mata yang bisu dan tuli. Ruang yang semakin sempit dan terhimpit memaksa kita untuk membuat dinding – meskipun setipis lirikan, untuk menjaga ruang privasi. Kita pun semakin bungkam mematung antara satu sama lain. 

Renungan saya tentang rasa awas terhadap musuh dalam diri berhilir pada kesadaran bahwa saya kerap dikeroyok ego saya sendiri. Kesadaran bersikap menjadi penting untuk membenahi krisis etika yang terjadi di dalam hubungan diri saya dengan sesama manusia, mengobati rasa sungkan untuk menjalin hubungan yang lebih menyeluruh. Saya merasa kemerosotan kualitas interaksi antar manusia di sekeliling saya terjadi karena tubuh tidak mampu menyiapkan diri untuk bersikap. Hidup tidak dihamparkan sebagai taman yang rindang, agar hijaunya dapat dibagikan kepada semua. “The Sound After Solitude #2” menjadi renungan bahwa upaya menumbuhkan kasih kepada hidup merupakan pertarungan abadi di dalam diri.

Razan Wirjosandjojo adalah seorang seniman yang saat ini tinggal di Solo, Indonesia. Ia menyelesaikan studinya di Jurusan Tari Institut Seni Indonesia Surakarta. Razan mulai aktif menari pada tahun 2010 dengan mempelajari berbagai disiplin ilmu dari berbagai ruang dan komunitas di Jakarta hingga tahun 2017. Setelah pindah ke Solo, ia belajar bersama Melati Suryodarmo sejak tahun 2018 hingga sekarang. Sejak 2020, Razan mulai menciptakan karyanya sendiri dan memperluas sudut pandangnya dalam melihat tubuh sebagai wahana dan mengembangkannya dalam wujud seni pertunjukan, seni performans, film, dan puisi. Saat ini Razan merupakan murid dan staf paruh waktu di Studio Plesungan.