Lennon dan Osbourne: Membongkar Kesamaan Tema Lirik Lagu Dua Nabi-Rocker
Oleh Eko Y.A. Fangohoy
Ozzy Osbourne akhirnya menyusul John Lennon menuju ke alam keabadian. Secara bergurau, kini ada karikatur atau kartun yang menggambarkan mereka berdua duduk bersama dengan Elvis Presley, Jim Morrison, Jimmy Hendrix, Freddy Mercury, dan yang lainnya, mengobrol dan bernyanyi bersama dalam suatu simponi surgawi. Gambaran seperti ini menarik dan cukup membuka rasa ingin tahu para penggemar musik rock abad ke-21 ini: apakah mereka semua memang sejajar dan memberikan kontribusi yang sama melalui karya-karya mereka terhadap seni musik? Apakah mereka memiliki predikat yang sama sebagai pembaharu musik atau bahkan mewartakan “suara kenabian” dalam genre musik paling populer pada abad ke-20 yang sudah lewat?
Dari segi popularitas, semua nama di atas popular dan memiliki karya bernilai seni tinggi dalam khazanah music rock abad ke-20. Namun, tidak semua masuk dalam predikat yang sama, terutama sebagai pembaharu atau pencetus genre atau subgenre baru. Apalagi, kalau mereka dikaitkan atau dilihat dari dimensi sosial-politis di mana mereka hidup.
Tulisan ini mencoba mempersempit tema ini dengan mengajukan pertanyaan: siapa di antara nama-nama di atas yang dengan musiknya memulai sesuatu yang baru dan juga menyuarakan keresahan zaman mereka hidup? Dengan beberapa variabel dan faktor, tulisan ini ingin mengajukan John Lennon dan Ozzy Osbourne (yang baru saja meninggal) sebagai dua musisi rock yang masuk ke dalam kategori tersebut. Keduanya muncul dan mulai populer dalam dua dasawarsa berbeda walaupun berkesinambungan.
Mungkin sifat “baru” dalam dunia musik bukanlah harga mati. “Kebaruan” dalam musik tidak berarti orang harus berangkat dari titik nol dan menciptakan sesuatu ex nihilio. Sebaliknya, seniman, termasuk seniman musik, secara kreatif melahirkan cara-cara baru, interpretasi baru, gaya baru, atau pemahaman baru atas realitas, berdasarkan apa yang sudah ada. Mereka melakukan eksperimen dan mencoba serta menarik yang sudah ada ke dimensi atau sisi yang berbeda dari yang sudah ada.
John Lennon melakukannya dalam dimensi rock n’’roll pada awal 1960-an, sementara Ozzy Osbourne melakukannya dalam spektrum hard rock pada tahun 1970-an. Keduanya membuat perbedaan dengan meneruskan atau mengolah yang sudah ada, serta menjadi juru bicara keresahan generasi zamannya.
John Lennon dan Revolusi 1960-an: Dari Musik ke Politik
“Revolusi” yang dimulai The Beatles pada tahun 1960-an sudah sering dibahas dan diangkat oleh banyak orang. Salah satu yang menjadi klasik adalah karya Ian MacDonald, Revolution in the Head: The Beatles’ Records and the Sixties. Buku tebal yang terbit pada tahun 1990-an ini menjadi salah satu pegangan resmi para Beatlemania untuk membongkar semua lagu yang direkam oleh band asal Liverpool ini sejak masih belum resmi mengeluarkan single resmi mereka sampai lagu “reuni” dalam album Anthology (1-3).
Salah satu yang dicatat oleh MacDonald adalah kemunculan ide kontra-budaya melalui album Revolver (1966) dengan lagu-lagu seperti Tomorrow Never Knows, penutup album tersebut:
The most extreme departure on the album, TOMORROW NEVER KNOWS was held back till last, resounding over the airwaves only days before Revolver, with its groundbreaking black-and-white psychedelic cover, finally appeared in the shops. The strategy served to establish that The Beatles had initiated a second pop revolution – one which, while galvanising their existing rivals and inspiring many new ones, left all of them far behind.
Revolusi pop yang dimaksud oleh MacDonald tadi menjadi ciri khas Beatles. Beatles merevolusi musik, begitu biasanya yang sering disebut orang. Setidaknya, ada lima hal yang bisa disebutkan dalam hal apa Beatles merevolusi musik: 1) teknologi rekaman musik, 2) penggunaan album secara konseptual, 3) sisi bisnis rekaman dan manajemen band, 4) lagu-lagu yang berbeda dengan era sebelumnya: lirik, musik, dan instrumen, dan 5) penggunaan video musik.
Kelima hal di atas adalah hal yang relative “belum berubah” pada masa sebelum Beatles. Teknik perekaman yang masih menggunakan teknologi sejak Perang Dunia Ke-2 masih dominan ketika Beatles muncul. Album-album yang merupakan lagu-lagu single terpisah, pola relasi musisi dan manajemen studio yang masih tradisional, ketiadaan “promo” dengan video klip (musik hanya muncul di televisi dalam program tertentu), serta lagu-lagu rock n’ roll zaman keemasan masih mendominasi. Semua ini berubah ketika Beatles muncul, dari album pertama mereka sampai album Rubble Soul, John Lennon dan ketiga temannya sepertinya mengubah semua tradisi dan asumsi dasawarsa sebelumnya dalam bermusik.
Sementara itu, Jessica Corry (2010), di dalam artikelnya, menuliskan bahwa kontra-budaya yang dimulai Beatles tidak selalu berkutat dalam soal musik, melainkan pada arti kebudayaan secara luas. Menurutnya, dimensi kontra-budaya Beatles bersendikan pada tiga hal: 1) semakin berkembangnya apresiasi dan kepekaan masyarakat terhadap musik rock. Corry mencontohkan hal pertama ini bagaimana dalam suatu demonstrasi mahasiswa Universitas Berkeley di Amerika Serikat menyanyikan suatu lagu protes dengan nada lagu Beatles “A Hard Day’s Night”. Lalu, 2) masyarakat yang semakin condong pada kebebasan individual. Corry menyebutkan bahwa sikap Beatles dan para personelnya yang merasa bebas untuk berkreasi di studio serta blak-blakan di depan wartawan adalah simbol paling kelihatan dari aspek nomor dua ini. Terakhir, 3) eksperimen dengan narkoba. Menurut Corry, ini adalah aspek kontra-budaya paling jelas dari the Beatles. Seperti katanya:
In previous decades, the drug of choice had been alcohol, which induced aggressive and intemperate conduct. However, as the counterculture began to question the hectic aggressiveness of society, marijuana and other psychedelic drugs offered an antidote by inducing more introspective and passive behavior. Thus, drug use helped to cement the notion of peace as a key element in the growing counterculture.
Narkoba menjadi unsur penting dalam kreativitas dan penciptaan sikap dan perilaku pasif-damai, sesuatu yang justru “menentang” budaya perang (dingin) yang dominan pasca-Perang Dunia Ke-2. Dengan demikian, Beatles memelopori Gerakan antiperang dan properdamaian pada dasawarsa 1960-an. Sikap agresif negara-negara Barat seperti Inggris dan Amerika Serikat di Vietnam dan terhadap Blok Timur pada waktu itu menjadi simbol yang perlu dilawan.

Sumber gambar: https://www.johnlennon.com/
Hal terakhir di atas itu memunculkan apa yang disebut sebagai gerakan antikemapanan di seluruh dunia, terutama di negara-negara Barat. Kelompok dan partai-partai kiri, terutama partai sosialis, mengambil banyak keuntungan dari gerakan ini. Di Jerman, SPD mulai berkuasa pada tahun 1969 dan berhasil mendudukkan wakilnya sebagai Kanselir, Willy Brandt. Di Amerika Serikat, pada pemilu 1964, seseorang dari Partai Demokrat duduk di Gedung Putih sebagai presiden: L.B. Johnson. Dengan menerukan program usang New Deal yang diusung oleh F.D. Roosevelt, ia tetap menarik simpati kaum buruh dan kelas bawah di Amerika Serikat. Harold Wilson dari Partai Buruh menjabat sebagai Perdana Mentri Inggris pada tahun 1964. Di Amerika Serikat, kemunculan kelompok tadi lebih mencolok dengan hadirnya figur-figur seperti Martin Luther King.
Kenneth L. Campbell (2022) menyoroti hal mencolok pada tahun 1960-an ini justru kelak akan mendapat perlawanan hebat beberapa dasawarsa selanjutnya, terutama pada tahun 2000-an, ketika gerakan “konservatisisme” bergejolak di seluruh dunia. Ia menduga, naiknya para pemimpin otoriter dan tren kultur konservatif ini adalah semacam “perlawanan balik” atas apa yang sudah dimulai Beatles pada tahun 1960-an. Ia menulis:
Much of the rise of these conservative trends and acceptance of authoritarian leaders represents a backlash to the changes in the values and ideals that occurred in the 1960s, inspired by a revolutionary change in youth consciousness in which the Beatles played a very large part.
Ada satu hal lain dari John Lennon yang mungkin menjadi ciri khasnya dibandingkan dengan ketiga temannya dalam Beatles. John Lennon barangkali adalah rocker pertama yang menyeberangi batas antara musisi dan sastrawan atau seniman dalam arti luas. Bukunya In His Own Write (1964) mendeklarasikan dirinya sebagai sastrawan-rocker pertama. Beberapa pengamat menilai karya sastra dalam buku pertamanya ini bergenre sastra non-sense (Non-Sense Literary). Sastra non-sense yang berkembang sudah sejak abad ke-19 ini terlihat dalam buku tersebut dan juga banyak lagu-lagu Lennon baik dalam Beatles maupun solo (Janelle Barowski, 2023).

Sumber gambar: https://www.johnlennon.com/
Osbourne dan Black Sabbath: John Lennon versi Heavy Metal
Seperti yang pernah saya tuliskan dalam artikel di media ini sebelumnya (“Ozzy Osbourne: Akhir Hidpu si Penghisap Darah Kelelawar”), Black Sabbath merepresentasikan suatu genre music yang lebih keras dan gelap dibandingkan para pengusung music hard rock pada era awal 1970-an. Dengan sound lebih “heavy”, riff-riff Black Sabbath menubuatkan kelahiran era baru, era “heavy metal”. Dengan beberapa band pengusung yang kemudian akan melanjutkan sound ini, terutama Judas Priest dan Iron Maiden, secara musikalitas, Black Sabbath seolah membuat ramifikasi baru dalam genre rock, secara khusus hard rock.
Namun, jika dalam hal musikalitas dan instrumentasi musik dalam jagad musik rock, mereka dianggap relatif menciptakan subgenre baru, bagaimana dalam lirisisme? Berdasarkan kamus Cambridge Dictionary, “lyricism”didefinisikan sebagai “the beautiful expression of personal thoughts and feelings in writing or music”. Sementara itu, Merriam-Webster mengartikannya sebagai “an intense personal quality expressive of feeling or emotion in an art (such as poetry or music)”.
Dari definisi ini, berarti dimensi musikalitas/instrumentasi merupakan aspek yang bisa dipisahkan dari dimensi “lirik lagu” yang menjadi ungkapan verbal/lisan dari musik. Musik dan instrumen dapat memperkuat dampak emosional dari liriknya. Misalnya, lagu sedih mungkin menampilkan melodi yang lambat dan melankolis serta instrumentasi yang lembut, sementara lagu yang energik dapat menggunakan ritme yang ceria dan instrumentasi yang kuat. Namun, karena kadang musik atau instrumen tidak selalu sejalan dengan liriknya—terkadang, sebuah lagu mungkin menggunakan instrumentasi atau tekstur musik yang tidak terduga untuk menantang ekspektasi pendengar berdasarkan liriknya—maka lirik memiliki otoritas tersendiri untuk mendefinisikan makna/arti atau tujuan dari suatu lagu.

Sumber gambar: Chris Walter/WireImage (diambil dari Financial Times)
Lirik lagu Black Sabbath sering digambarkan bernuansa gelap dan suram, mengeksplorasi berbagai tema beragam, mulai dari perang, narkoba, dan berbagai kondisi manusiawi, dengan bingkai narasi yang bersifat tragis dan kesia-siaan. Lagu mereka sering memadukan gambaran destruksi, penderitaan, dan kegelapan, walaupun kadang menyiratkan harapan dan perubahan positif.
Tema-tema tersebut rupanya menempatkan Black Sabbath “selangkah di depan” dibandingkan Led Zeppelin dan Deep Purple. Dengan nama band yang berbau seram dan bernuansa okultis, penggemar musik rock 1970-an lebih mudah mengasosiasikan Black Sabbath dengan kegelapan dan Satanism.
Walaupun band-band hard rock pada era 1970-an tidak sama sekali absen dari tema-tema ini, namun tema-tema berikut ini lebih mudah dikaitkan dengan Black Sabbath. Tema-tema yang dimaksud adalah mengenai kegelapan dan kejahatan dengan beberapa subtemanya seperti: perang-perdamaian dan kehancuran, kemudiannarkoba atau obat-obatan, kegelisahan eksistensial, okultisme dan supranatural, kehidupan yang tragis seperti penderitaan, dampak emosional, harapan, serta arus bawah kesadaran/spiritual.
Tema-tema ini tetap dibawa Ozzy Osbourne dalam karier bermusiknya setelah keluar dari Black Sabbath, dengan membentuk Blizzard of Ford, dibantu oleh gitaris Randy Rhoads). Disejajarkan dengan John Lennon, Osbourne menjadi semacam “nabi baru” dari jalur heavy metal. Ia menjadi figur yang sangat berbeda dengan pentolan dari Led Zeppelin (entah itu Jimmy Page atau Robert Plants) atau Deep Purple (entah itu Ian Gillan atau Ritchie Blackmore).
Berbeda dengan Lennon, Osbourne tidak dikenal sebagai seorang penulis karya sastra. Ini yang membuatnya sedikit berbeda di samping berbagai kesamaan yang nanti akan dibahas. Lirik lagu Osbourne baik dalam Sabbath maupun karier solonya tidak bisa digolongkan sebagai sastra non-sense. Sebaliknya, liriknya sering bersifat to-the-point, gamblang dan jelas, walaupun kadang absurd dan simbolis. Permainan kata dan makna yang menjadi kekhasan Lennon tidak terlalu tampak pada Osbourne. Lagu-lagunya yang nanti dianggap bertema sama dengan lagu-lagu Lennon dari aspek ini cukup multiinterpretatif sehingga bisa tergolong dalam tema-tema lain.

Sumber gambar: Paul Natkin/Getty Image
Matriks Kesamaan Tema dalam Lirik Lagu Lennon dan Osbourne
Tulisan ini murni menganalisis secara terbatas kesamaan ide atau gagasan beberapa lirik lagu antara John Lennon (atau John Lennon dalam the Beatles) dan Ozzy Osbourne (atau Ozzy Osbourne dalam Black Sabbath dan Blizzard of Ford). Kesamaan atau perbedaan dalam genre, struktur, atau musikalitas sengaja dikesampingkan (sepintas, keduanya pasti berbeda karena genre dan zaman mereka memang berbeda).
Pertama-tama, memang tidak bisa dipaksakan untuk menyamaratakan makna atau isi lirik lagu mereka. Mungkin kesamaan itu pada umumnya lebih bersifat pada hal umum, yang jika dianalisis secara lebih mendalam tidak selalu identik atau serupa. Kita terpaksa harus memilih beberapa tema yang kita anggap penting dan memang cukup mencolok dari beberapa lagu yang dianggap beririsan antara Osbourne dan Lennon (atau antara Black Sabbath dan Beatles) pada umumnya
Tema-tema itu adalah sebagai berikut.
- Narkoba: Bukan kebetulan kalau tema ini dipilih. Musik rock hampir selalu diidentikkan dengan narkotika dan obat-obatan terlarang. Baik John Lennon maupun Ozzy Osbourne justru menjadi beberapa musisi rock yang boleh dibilang populer dalam hal penggunaan “barang haram” ini. Juga, tema ini bukan hanya muncul dalam beberapa lagu mereka, tetapi juga malah muncul dalam kehidupan nyata mereka. Ada beberapa lagu yang dikaitkan dengan tema ini, baik dari Osbourne maupun Lennon.
- Perdamaian/Antiperang/Lingkungan Hidup/Kritik Sosial/Distopian: Tema ini mungkin juga dianggap identik dengan genre rock pada umumnya, dan itu adalah berkat Beatles (baca: John Lennon). Sebelum Beatles, genre rock hampir secara eksklusif dikaitkan dengan tema kehidupan remaja atau cinta monyet. Dalam Beatles, John Lennon-lah yang paling dominan menulis lirik tema ini. Nanti bisa dilihat—walaupun dengan sedikit contoh—bahwa semua lagu the Beatles yang bertema ini adalah buah tangan Lennon.
- Seksualitas: Tema ini, anehnya, bukanlah sesuatu yang menjadi ciri khas music rock. Seksualitas telah hadir dalam musik dan lirik secara umum sejak lama, namun tingkat dan jenis representasi seksual dalam musik populer, terutama dalam lirik dan video musik, menjadi semakin menonjol dan terkadang menjadi konten dengan kadar seksual yang tinggi seiring waktu. Meskipun tidak ada titik awal yang pasti kapan “sejak kapan” seksualitas mulai muncul dalam lagu, sejarah musik menunjukkan bahwa ekspresi-ekspresi yang berkaitan dengan seksualitas sudah ada dalam berbagai bentuk seni pertunjukan dan lagu selama berabad-abad, bahkan sebelum era musik populer modern. Salah satu yang bisa diamati adalah bahwa tema ini muncul sering secara halus, tidak terbuka, dalam banyak lirik lagu.
- Religiositas/Antireligiositas: Tema ini merupakan tema sensitif—di samping tema seksualitas di atas—karena religiositas adalah “bangunan” lama dalam berbagai masyarakat, termasuk masyarakat Barat tempat Beatles dan Black Sabbath lahir. Sama seperti dua tema pertama, tema ini—dalam bentuk anti-nya—muncul mulai Beatles (atau John Lennon). Musik rock tidak atau jarang diidentikkan sebagai genre anti-agama, minimal secara terbuka, pada dasawarsa sebelum 1960-an. Seperti nanti akan terlihat, tema ini muncul secara tipikal dalam karya Lennon, bukan Beatles (kecuali pernyataan John Lennon pada tahun 1966 yang terkenal sebagai anggota the Beatles: “Beatles more popular than Jesus.)” Hal menarik lain adalah justru anggota Beatles yang lain, George Harrison, justru menulis beberapa tema ini dengan sikap yang dianggap berkebalikan dengan sikap Lennon: pro-religiositas.
- Absurdisme/Psikedelik/Surealisme/Non-sense: Tema ini menjadi ciri khas Beatles dan memang mulai muncul dalam lagu-lagu mereka dibandingkan dengan musisi rock atau musisi pada umumnya, baik pada era 1960-an maupun pada era sebelumnya.
Berikut ini adalah matriks kesamaan tema-tema di atas dengan beberap contoh lagu yang dianggap mewakili tema tersebut, baik dari John Lennon (atau Beatles) dan Ozzy Osbourne (atau Black Sabbath).

Sumber gambar: https://www.johnlennon.com/
Ulasan Beberapa Lirik Lagu
Penutup
Jika pada awal tulisan ini disebutkan beberapa nama musisi rock, itu berarti para musisi ini, bersama John Lennon dan Ozzy Osbourne, berbeda hanya dalam beberapa segi yang ingin ditonjolkan dalam tulisan ini. Dari segi “enak-tidak enak”, mereka terbukti memiliki penggemar yang tidak kalah fanatik. Baik dari segi penjualan dan penghargaan, karya-karya mereka mendapat tempat terhormat.
Ini berarti kita harus kembali untuk menjawab pertanyaan pada awal tulisan, atau merumuskan pertanyaan secara baru: mengapa “harus” John Lennon dan Ozzy Osbourne? Jawabannya adalah karena mereka berbeda, yaitu berbeda dalam kebaruan pada aspek tertentu dalam musik mereka serta konsistensi tema-tema mereka yang menyuarakan kegelisahan zaman mereka. Dalam dua hal tersebut, mereka adalah pembaru dan juga “pewarta” zaman. Mereka menarik lebih jauh musik yang sudah ada serta melalui musik tersebut menjadi juru bicara keresahan, kegelisahan, bahkan “kegilaan” generasi dan zaman mereka. Itulah mereka, para nabi-rocker abad ke-20.***
—–
Daftar Bacaan
Aston, Phil (2024), “Led Zeppelin, Deep Purple, Black Sabbath – Ranked By You”, Now Spinning Magazine.
Baker, C.J. (2025), “13 Black Sabbath & Ozzy Osborne Protest Songs”, The Ongoing History of Protest Music (https://www.ongoinghistoryofprotestsongs.com/2025/07/22/13-black-sabbath-ozzy-osborne-protest-songs/)
Banerjee, Samrat (2024), “John Lennon’s ‘God’: A Declaration of Self-Belief and the Quest for Authenticity”, Medium.Com (https://medium.com/@vrtzkf/john-lennons-god-a-declaration-of-self-belief-and-the-quest-for-authenticity-71a5f55d68ca)
Barowski, Janelle (2023), “Literary Nonsense: Definition, Characteristics & Examples”, study.com.
Campbell, Kenneth L. (2022), The Beatles and the 1960s: Reception, Revolution, and Social Change, Bloomsbury Publishing Plc.
Conway, Kevin (2016), “Understanding Substance Use and Addiction Through the Lyrics of Black Sabbath: A Content Analysis”, dalam jurnal Substance Use & Misuse (Agustus 2016).
Corry, Jessica (2010), “The Beatles and The Counterculture” dalam TCNJ Journal of Student Scholarship, Volume XII April.
Division 46 of the American Psychological Association (2018), Report of the Division 46 Task Force on the Sexualization of Popular Music, American Psychological Association.
Irwin, William (2012), Black Sabbath and Philosophy: Mastering Reality, Wiley-Blackwell/John Wiley & Sons.
MacDonald (1994), Revolution in the Head. Chicago Review Press.
Shearing, Kelly (2025), “The Darkest Songs by Black Sabbath: Unveiling the Occult Truth Behind the Myths”, rock929rocks (https://rock929rocks.com/2025/06/26/the-darkest-songs-by-black-sabbath-unveiling-the-occult-truth-behind-the-myths/)
———-
*Penulis adalah chief editor buku populer-humaniora di sebuah penerbit. Cerpennya berjudul “Omongan” terpilih sebagai salah satu cerpen terbaik dalam Lomba Cerpen Nasional Bertemakan Bebas oleh Rumahkayu Publishing. Terbit dalam buku “Tarian Hujan: Kenangan yang Terus Bersemi” (Rumahkayu Publishing, 2015).