Puisi-puisi Tengsoe Tjahjono

Percakapan Pagar Bambu

Mengapa kau tegak di sini?
tanya angin kepada pagar bambu.

Aku ditanam sebagai pembelah laut,”
jawabnya lirih,
agar batas menjadi nyata,
agar gelombang tahu tempat untuk berhenti.

Tapi laut tak pernah punya batas,”
angin berdesir,
“ia adalah napas yang mengembara,
ia adalah rumah yang tak berpintu.

Pagar bambu merintih,
sendi-sendinya retak dalam gigil air asin.
Aku dulu sekadar bayangan di tepi sawah,
tempat burung bertengger, tempat serangga berbisik.
Kini aku tembok bagi perahu,
penjara bagi arus,
peta bagi para perompak laut.”

Gelombang menamparnya pelan.
Dan mereka yang memutar haluan?
Yang terbentur dan karam?”

Pagar bambu terdiam,
hanya gema serpihan garam yang berbicara.
Mereka memaki kayuku,
mengutuk akarku yang bukan mauku.
Aku sendiri tak tahu,
mengapa laut kini bersertifikat hak milik.”

Pada kejauhan, nelayan berdiri di ujung perahu,
menatap labirin tanpa pintu,
menakar laut yang makin sempit.

Dan angin kembali bertanya,
Jika kau tumbang,
apakah laut akan kembali?”

2025

 

 Kutukan Pagar Laut

Laut pernah bernapas lepas,
gelombang mengembara tanpa peta,
nelayan menabur doa di jaringnya,
dan ikan ditelikung jalan pulang.

Kini bambu berpinak di air,
bukan akar yang menancap,
tapi kuasa yang mencengkeram.

Jadilah pagar,
bisik tangan kuasa,
tandai mana yang bermilik,
mana yang harus lebur.”

Laut pun mengerang,
pasang surutnya terhalang tembok berhala,
ikan-ikan menghindar,
perahu-perahu hilang arah.

Nelayan mengutuk pagar,
pagar mengutuk nasib sendiri.
Aku dijadikan penjaga tanpa berhak,
di tanah yang tak ingin aku miliki.”

Angin mencoba merobohkan,
ombak pedang bermata tajam,
tapi bambu-bambu tetap menegak,
ditopang angka-angka di kertas.

Di ujung malam,
seorang nelayan berbisik kepada laut:
Jika kutukan ini tak terhapus,
kepada siapa lagi kami akan bersandar?”

2025

 

Neraca di Wilayah Lautan

Di antara ombak dan garis senja,
ada neraca yang condong ke darat,
bukan timbangan perahu dan ikan,
tapi angka-angka yang mengambang.

Pagar laut berdiri di tengah samudra,
neraca tanpa keadilan.
Di satu sisi: pemilik tanpa perahu,
di sisi lain: nelayan tanpa laut.

Siapa yang memberi garis tegas?
tanya gelombang yang kehilangan arah.
Siapa yang menimbang nilai lautan?
teriak nelayan yang terpasung jarak.

Di antara bambu dan akta tanah,
ikan-ikan tak lagi bebas berenang,
arus terbelah dalam peta kuasa,
dan laut menjadi ruang yang sekarat.

Angin mencatat protes sunyi,
pasir berbisik di antara gelombang:
Jika lautan punya harga,
berapa kau jual suara angin?”

2025

 

Hukum Lebur Dihantam Gelombang

Di meja kayu para pemegang kuasa,
tinta mengalir lebih deras dari arus,
garis-garis digambar di atas lautan,
seakan ombak tunduk pada paragraf.

“Ini milikku, itu batasku.
Kata-kata disematkan seperti jangkar,
tapi laut tak membaca pasal,
tak mengenal tanda tangan.

Pagar bambu tumbuh di air,
mencabik jalan nelayan,
menyusun tembok bagi gelombang,
seolah samudra bisa dikurung.

Namun, malam tetap pasang,
angin tetap tajam,
dan ombak tak kenal hukum buatan.

Di suatu fajar yang tak dicatat kertas,
bambu patah,
paku berkarat,
dan laut kembali menyapu jejak kerakusan.

2025

 

Perahuku Tersangkut Pagar Laut

Perahuku melaju di dada lautan,
membawa doa yang tertanam di jaring,
meniti jejak ikan dan arah angin,
tapi jalanku terhenti di batas yang tak kupahami.

Bambu-bambu tumbuh di air,
bukan dari akar, bukan dari tanah,
tapi dari tangan yang menanam batas,
membentang ketamakan di atas gelombang.

Di mana jalan pulang?
tanyaku pada karang bisu,
Di mana keluasan yang dulu?
teriakku pada angin yang tertahan.

Perahuku tersangkut di pagar laut,
tak bisa maju, tak bisa kembali.
Layar berkibar tanpa arah,
dayung hanya menggurat luka di permukaan.

Laut terdiam,
seperti telah kehilangan hak sendiri.
Dan aku—
nelayan tanpa lautan,
perahu tanpa tujuan.

2025

 

Istriku Menangis Sepanjang Malam dan Siang

Istriku menangis di antara jaring kosong,
matanya mencari ikan yang tak kembali,
menyulam air mata di kain penghabisan,
menghitung hari dengan perut sunyi.

Kapan laut mengembalikan rezeki?
tanyanya pada angin yang kehilangan arah,
tapi angin hanya membawa bau kayu basah,
dari pagar laut yang tumbuh seperti duri.

Aku ingin menukar perahuku dengan jawaban,
tapi laut bukan lagi tempat bertanya.
Peta tak lagi digambar oleh arus,
oleh tangan yang tak pernah memegang dayung.

Siang menangis bersama istriku,
matahari membakar kosongnya dapur,
dan malam ikut meratap di kelam,
di ranjang yang hanya berisi kecemasan.

Besok kau melaut ke mana?
tanyanya lirih di antara tangis,
dan aku hanya diam,
sebab laut bukan lagi milik nelayan.

2025

 

Monolog Jala

Aku terkulai di sudut perahu,
bau asin menempel di tubuhku,
tapi ikan tak lagi menjerat diri,
tak lagi datang pada pelukanku.

Di mana arus yang menjanjikan?
aku bertanya pada air yang resah,
tapi laut kini berliku-liku,
terjerat bambu yang tumbuh di ombak.

Aku pernah menjadi perantara rezeki,
menyulam keberuntungan di tangan nelayan,
tapi kini, aku hanya jaring kosong,
mengapung tanpa harapan di air yang terpenjara.

Jika laut adalah ibu,
mengapa anak-anak tak lagi dipeluk?
Jika angin adalah sahabat,
mengapa ia tak bisa menerbangkanku ke tempat awal?

Aku ingin dilempar kembali ke samudra,
ingin meregang di tarian gelombang,
tapi apa gunanya jala tanpa laut,
tanpa ikan, tanpa lorong ke halaman dan ranjang?

2025

 

Siapa yang Menutup Laut, Akan Ditelan Laut

Mereka mengira laut bisa dikunci,
diikat dengan pasal-pasal rahasia,
diukur dengan penggaris kekuasaan,
diwarnai biru di atas kertas yang tak paham ombak.

Mereka lupa: laut tidak membaca dokumen.

Ia menghafal langkah-langkah serakah,
mencatat jejak sepatu di atas dermaga,
menghitung napas nelayan yang dirampas,
menghimpun dendam di palung terdalam.

Siapa yang menutup laut,
tidak akan mendengar doa ikan-ikan,
tidak akan mencium garam di angin utara,
tidak akan mengenal bahasa karang yang remuk.

Ia hanya akan mendengar riuh sunyi
di balik bilik berkaca gelap,
di mana gelombang menanti,
rahasia yang tak bisa dibeli.

Laut menelan dalam diam,
bukan dengan gemuruh tiba-tiba,
dengan ombak kecil yang terus menggerus,
kutukan yang tak bisa dihentikan.

Mereka pikir pagar akan bertahan,
mereka lupa: laut tidak punya pintu,
tapi punya cara untuk masuk ke rumah siapa saja.

2025

 

* Tengsoe Tjahjono lahir di Jember 3 Oktober 1958. Penyair ini pernah mengajar di Hankuk University of Foreign Studies Korea (2014-2017). Sejak pensiun dari Universitas Negeri Surabaya (2023) ia mengajar di Universitas Brawijaya Malang. Pada tahun 2012 mendapat penghargaan sebagai Sastrawan Berprestasi dari Gubernur Jawa Timur. Buku puisinya Meditasi Kimchi memperoleh Anugerah Sutasoma 2017 dari Balai Bahasa Jawa Timur. Penggagas cerpen tiga paragraf (pentigraf). Atas dedikasinya berkarya 40 tahun di bidang sastra ia memperoleh penghargaan dari pemerintah Indonesia melalui Badan Bahasa pada tahun 2024. Karya antologi puisi terbaru: Dari Menjerat Sepatu Sampai Membuka dan Menutup Jendela (2021), Pelajaran Menggambar Bentuk (2023), 17-an di Kampung Halaman (2024), dan Jenggirat (2025).