Puisi-puisi Tengsoe Tjahjono

Cinta di Lampu Merah

Dua anak kecil, gitar kardus, kaleng penyok.
Lagu sumbang, suara pecah, angin melintas.
Lampu merah. Wajah-wajah menoleh, tidak melihat.
Tangan kecil terulur, koin jatuh, mata tak bertemu.

Di kaca mobil, bayangan raksasa melotot.
Tuan berdasi, ibu berselendang, jemari di layar.
Bibir tipis, senyum tipis, hidup tipis.
Klakson meledak, hujan asap, roda melaju.

Dua anak kecil, jalan lagi.
Belajar hidup, tidak belajar angka.
Buku di angin, pelajaran di debu.
Lagu baru, suara serak, hati batu.

Cinta. Ada?
Di lampu merah, cinta berkelip.
Sebentar. Lalu hijau.

2025

 

Cinta Induk Ayam

Sayap lebar, bulu rontok, mata nyalang.
Paruh mengais, cacing hilang, anak-anak lapar.
Di sudut kandang, hujan bocor, angin masuk.
Dingin menggigil, tubuh mengeram, dunia sempit.

Satu langkah, dua paruh, tiga ketakutan.
Bayang bayang besar, tangan kasar, tali di leher.
Induk mengepak, dada maju, paruh terbuka.
Bunyi kecil, suara pecah, langkah mundur.

Cinta. Ada?
Di bulu basah, di sayap lelah, di tatapan tajam.
Makan terakhir, napas pendek, nyawa kecil.
Besok masih pagi, besok masih hidup.

2025

 

Cinta Sungai

Air mengalir, sampah ikut, bau tajam.
Ikan pergi, plastik menari, ranting tersangkut.
Di pinggir jembatan, bocah jongkok, batu melompat.
Riak kecil, lingkar hilang, waktu tenggelam.

Langit hitam, hujan jatuh, lumpur naik.
Arus deras, akar patah, rumah roboh.
Tangan terulur, kayu hanyut, doa terendam.
Dada sesak, mata merah, mulut bisu.

Cinta. Ada?
Di nyanyi katak, di daun jatuh, di dengus gelombang.
Sungai berbisik, sungai menjerit, sungai lupa.
Besok tetap mengalir, besok tetap luka.

2025

 

Mata Ibu dan Cinta

Kelopak lelah, garis-garis halus, sinar redup.
Cahaya dapur, minyak panas, uap mengambang.
Tangan cekatan, sendok kayu, nasi mengepul.
Lelah di punggung, peluh di dahi, senyum di bibir.

Mata ibu, jendela tua, hujan deras.
Tatapan jauh, ingatan kusut, doa lirih.
Anak-anak pergi, rumah sunyi, kursi kosong.
Bayangan kecil, langkah kecil, suara kecil.

Cinta. Ada?
Di genggam jemari, di cekung pipi, di garis mata.
Tak minta kembali, tak minta dipahami.
Besok tetap bangun, besok tetap rindu.

2025

 

Cinta Pohonan

Akar mencengkeram, tanah retak, hujan jarang.
Batang retas, dahan merintih, daun gemetar.
Burung pergi, sarang kosong, angin dingin.
Langit terbakar, debu menari, bayang memanjang.

Gergaji datang, suara tajam, kulit terkoyak.
Tangan besi, roda besar, pohon tumbang.
Asap naik, tanah botak, sungai keruh.
Sisa akar, sisa bayang, sisa diam.

Cinta. Ada?
Di cincin usia, di bisik ranting, di ujung tunas.
Hutan bermimpi, bumi menangis, langit sunyi.
Besok tetap tumbuh, besok tetap hilang.

2025

 

Cinta Pematang

Tanah pecah, lumpur kering, retak-retak.
Jejak telanjang, kaki rapuh, mata tajam.
Padi merunduk, daun menguning, burung menepi.
Langit diam, angin berat, hujan jauh.

Lelaki bungkuk, tangan kasar, sabit tua.
Peluh asin, napas pendek, waktu berlalu.
Bunyi jangkrik, suara kodok, malam turun.
Sawah sunyi, bulan pias, doa pelan.

Cinta. Ada?
Di lumpur lengket, di ujung sabit, di garis tangan.
Pematang menunggu, padi bersaksi, musim berjanji.
Besok tetap hijau, besok tetap sendiri.

2025

***

* Tengsoe Tjahjono lahir di Jember 3 Oktober 1958. Penyair ini pernah mengajar di Hankuk University of Foreign Studies Korea (2014-2017). Sejak pensiun dari Universitas Negeri Surabaya (2023) ia mengajar di Universitas Brawijaya Malang. Pada tahun 2012 mendapat penghargaan sebagai Sastrawan Berprestasi dari Gubernur Jawa Timur. Buku puisinya Meditasi Kimchi memperoleh Anugerah Sutasoma 2017 dari Balai Bahasa Jawa Timur. Penggagas cerpen tiga paragraf (pentigraf). Atas dedikasinya berkarya 40 tahun di bidang sastra ia memperoleh penghargaan dari pemerintah Indonesia melalui Badan Bahasa pada tahun 2024. Karya antologi puisi terbaru: Dari Menjerat Sepatu Sampai Membuka dan Menutup Jendela (2021), Pelajaran Menggambar Bentuk (2023), 17-an di Kampung Halaman (2024), dan Jenggirat (2025).