Puisi-Puisi Sholikin
Tamu
ada yang masuk tanpa mengetuk
pintu dengan lengking, bermata
sipit, berkulit jambu susu
merunyamkan isi kepala
berkeliling entah
jernih akalnya mengerat tanah
saban hari, seperti
kediamannya sendiri
aku sekelumit pengetahuan
pikiran cetek mengangguk saja
ini sabda penguasa
memplaster jalannya
dari jendela masalalu
ibuku pernah bilang
bahwa burung walet adalah isyarat
kekayaan, yang diendapkan para petuah
bagi pemilik naungan,
hartanya membubung tinggi
banyak yang ingin mengantongi
maka bersenanglah menyambutnya
sebab ia masuk, pandai pulang sendiri
tanpa harus teriak sana sini
Kuala Dua, 2021
MAYPOLE
saat musim panas tiba
waktu tak lagi menyerap air mata
orang-orang menghiasi diri
dengan bunga-bunga yang tunduk di atas kepala
bagai bidadari surga
tiang yang hampir menyodok tekak langit
berbaju dedaunan, telah mengeratkan cinta,
doa-doa dilemparkan pun nyanyian
barangkali dapat menepis kesengsaraan
sebuah tarian bagai cincin, memecah tawa
di hadapan tiang petaka
teriakan siapa kendur, niscahaya dia gugur
sedang aku sedepa lagi kan menjadi ratu
sebab tiap berkeliling, suaraku mekar
dengan cinta yang penuh
cahaya lampu mulai berbaring
kami masih hanyut dalam alunan ritual
yang begitu syahdu menyalakan mimpi-mimpi
barangkali esok dapat kami genggami
2021
Di Museum Gladah Wangi
kususuri jalan Sultan Fatah
angin begitu genit
menggamit tubuhku, bagai
berdiam di hadapan tungku
di samping kediaman senja: alun-alun Simpang Enam
ada yang menarik mataku: sebuah
bangunan tua
bersahabat dengan kantor Pariwisata
pilar-pilarnya
disanggah sejarah, dindingnya membagi
paras pepohonan
langkahku terhenti, hati dililit keraguan
sebab lambang
budaya tiada terhiasi, namun sebuah isyarat, barangkali
sebagai alamat, menyapaku, tubuhnya
gendut dianjung
batang-batang belian, gema suaranya tanda
persaudaraan: beduk
kugiring penasaran di lorong yang disergap sepi,
tiba di muka pintu, seseorang menjatuhkan senyum,
sembari mengekalkan kenangan di atas bingkai kehidupan
tak henti aku menjelajahi benda-benda berharga
yang menerawang ke waktu purba, dari kotak kaca,
berdiam serpihan Piring Aryo Penangsang,
memancarkan kepedihan
sedang di hadapan jendela, luka-luka dicuci bersih
melalui mulut batu
di museum Glagah wangi kejenuhanku
terusir
ingatan bagai rumah, mengungsikan
kenangan
yang asyik berbincang setiap
malam
Kuala Dua, 2021
Taman-taman Surga
di taman-taman surga
kersang hati ditetesi embun
jatuh dari bibirmu yang basah
berlumur dzikir
kita saling memangku waktu
dari dunia yang menggerutu
menyusun retak jiwa
dengan merangkul ayat-ayatNya
dari puncak arsy
senantiasa Ia gemakan nama-nama
yang berhimpun mencicip buah ilmu
dan membasuh ingatan berderbu
di kedalaman lautan
ikan-ikan tunduk sembari menggelembungkan
litani-litani
ribuan cahaya mengepakkan litani
ke langit
hingga menaungi dada kami
dan takdir pun dengan mudah
menuju ke sungai-sungai yang bening
bagai betis bidadari
Kuala Dua, 2021
Dzun Nun
selalu saja kau kalah dalam undian nasib
saat ombak lalu-lalang, dan kau bagai pepohanan
yang ditempa angin
sebab di lumbung kapal
derita membuncit, mesti ada yang menguranginya
gamang beruntun datang
saat kau dijaga amuk gelombang
namun ia tiba sebagai titah-Nya
mengasuhmu di garbanya, tanpa lukisan air mata
: Ikan Paus
waktu kerap melintaskan rindu
saat kesepian meraja di tubuhmu
hari yang entah menjangkau bulan
hanya dzikir ikan riuh di palung terdalam
subhanaka inni kuntu minadzdzalimin
melekat di bibirmu yang dingin
ikan memeta jalan
seakan menuju masa depan
atas izin Allah kau dilempar dari perutnya
direngkuh gigil daratan
lalu berkelana di ayat-ayat-Nya
Kuala Dua, 2021
Anatomi Hati
di selasela waktu
ingin aku membedah seluruh tubuhmu
bukan karena dendam dan kejam
barangkali jejak langkah enggan meriwayatkan penyesalan
di beranda rumah-Nya
katakata kuyup di batinmu
dingin seperti curahan alkohol yang bercampur doadoa
ayatayat gegas mengoyak dada
membongkar ingatan
menyimpan kental air mata
sementara wajah tak melukiskan resah,
semakin menebalkan tawa
dari waktumu berlumur debu
sesekali mendaki ketaatan
sesekali tenggelam ke lautan cinta-Nya
tapi sukar melintasi kebahagiaan
dalam ruang penasaran
ingin sekali aku membedahnya kembali
barangkali kutemukan
hatimu tak berdetak lagi
Kuala Dua, 2021
Penangkal Doa yang Diinjak
diempat arah mata angin
setansetan meninting kekayaan
terlebih di kedalaman sunyi
di mana cahaya belum terasa lasak
hutanhutan yang bersanding memberi
kecupan segar bagi perindu
kini menjadi rentetan peristiwa air mata
begitu sulit kutafsir
kau yang dikurung kemewahan
masih membuat tanganku
memihak pada sajaksajak merintih;
menggoreskan kezahiranmu
penawar yang digauli doadoa
kugantungkan disetiap reranting waktu
tak cukup menolak hati
kekuatanmu bagai tebal saku
menjarah, membuka jalan bagi luka
kembali aku menatap kekosongan
dari balik jendela
tempat kedua burungburung menarik mataku
kini sebagai persinggahan derita
Kuala Dua, 2021
*Sholikin, lahir 23 Juni Kubu Raya, Kalimantan Barat. Puisi-puisinya pernah dimuat di pelbagai media daring dan cetak seperti: Radar Cirebon, Pontianak Post, PuisiPedia, Ma’arif NU Jateng, bicaranews, metafor.id dll. Antologi Bersama. “Para Penuai Makna” (Dapur Sastra Jakarta) “Khatulistiwa” (DNP11). “Bung Hatta” ( U.Islam Labuhanbatu) “Kopi” (Seni Sastra Budaya Sumba). Sekarang aktif di Kelas Puisi Bekasi (KPB) dan Kelas Menulis Daring (KMD). bisa disapa Instagram @likin666 dan FB Likin At Tamimi.