Puisi-puisi Ngatawi Al-Zastrouw

KURUSETRA 1

 

Di medan laga Kerusetra

Jubah suci sang resi

Berkiabar bagai aurat wanita jelita

Melambai genit penuh pesona

Membakar birahi lelaki jalang,

 

Di palagan Kurusetra

Mahkota mulia sang Brahmana

Diobral di meja pesta

menyalakan nafsu gerombolan Srigala

Dengan mata nanar dan nafsu membuncah

Mereka mencabik jubah suci sang resi

 

Di balik tirai gelap berkabut asap

Di atas reruntuhan Nurani dan etika

Korawa berpesta berbagi dunia

Memungut keping-kepng derita

Disusun jadi istana

 

Di sudut sepi Kurusetra

Sang Kresna sampaikan pesan hikmah

Kepada resi Durna

Tentang kekuasaan dan harta yang membutakan

Tentang pembebasan diri dari penjara dunia

Tentang dharma seorang guru mulia

Tentang pintu-pintu kehancuran

 

Di palagan Kurusetra

Hikmah musnah terbakar amarah

Nurani hilang terkubur ambisi

Etika sirna tergilas angkara

Tapi kebenaran tetap menunggu

Di ujung sunyi sejarah

 

 

 

 

KURUSETRA 2

 

Di palagan Kurusetra

Kebenaran dan kebathilan

Menjadi tersamar

Seperti bayang-bayang dalam gelap

Semua terlihat pekat

 

Di Medan Kurusetra

Pecundang dan pengkhianat

Berbaur dengan topeng malaikat

lebur dalam intrik dan siasat

 

Di medan laga Kurusetra

Benar dan salah bisa bertukar

Yang salah harus menyerang demi ambisi

Yang benar harus bertahan demi keyakinan

Keduanya menyatu dalam darah dan air mata

 

Di Palagan Kurusetra

Anak panah fitnah berhamburan

Dari usur kebenaran dan kebathilan

Virus-virus kebencian bertebaran

Dari mulut brahmana dan ksatria

Saling menikamm saling membungkam

Demi kemenangan

 

 

 

KURUSETRA 3

 

Di sini tak ada pohon kasih sayang

Tak ada rasa kemanusiaan

Yang tumbuh hanya benih dendam dan keserakahan

Sesama saudara saling memangsa

Jangan mencoba menanam benih kebaikan

Apalagi mencari keteduhan di Kurusetra

Semua mati terbakar ambisi

 

 

Kurusetra

Adalah sungai darah dan air mata

Menggenang menjadi danau derita

Menenggelamkan  siapa saja yang memasukinya

 

 

 

PESTA API

 

Pesta itu berlangsung  senyap

Tanpa hiruk pikuk musik dan tepuk sorak pengunjung

Pesertanya sangat terbatas

Hanya mereka yang dapat makan api dan melahap bara

 

Di atas cawan ketamakan

Mereka membelah belah hutan belantara

Memotong gunung dan rimba

Membedah isi bumi dan samodra

Dengan pisau kertas berlapis kata

Pisau yang lebut dan berlipat

Tapi tajamnya tak terperi

 

Konon pisau ini hanya dipegang orang-orang suci

Berjubah kebenaran werwajah keadilan

Menjadi wakil Tuhan di bumi

Sekali tergores pisau ini

Maka putuslah urat-urat bumi

 

Sepotong demi sepotong

Hutan, gunung dan perut bumi dibagj bagi

Disimpan dalam laci keserakahan yang luas tak bertepi

 

Mereka berpesta dalam gelap sunyi

Menyantap bara api dengan lahap

Seperti makan daging panggang, hamburger dan makaroni

Mereka menjilat jilat perut bumi yang terburai

Seperti menjilat es krim gelato yang dingin nikmat

 

Semakin malam

Pesta gelap  makin menggila

Genderang nafsu dan terompet keserakahan menggelora

Dari balik jubah anggun peserta pesta

Keluar taring dan kuku-kuku tajam

Mencabik hidangan di meja.prasmanan

Seperti serigala berebut bangkai busuk

 

Di luar dinding pesta

Banjir bandang mengamuk

Meluluh lantakkan huma kaum papa

Merenggut nyawa rakyat tak berdosa

 

Tapi pesta belum selesai mereka terus memakan bara api

Sambil minum air mata

Dan memanggul sekarung duka

Untuk menyembunyikan wajah culas membara.

 

 

Ngatawi Al-Zastrouw adalah seniman dan budayawan yang bersama kelompok Ki Ageng Ganjur mengelaborasikan musik-musik etnik dan musik kontemporer serta mementaskannya di berbagai negara. Atas karya dan dedikasinya di bidang seni dan kebudayaan, ia telah menerima sejumlah penghargaan, di antaranya Piala Citra FFI pada tahun 2010 serta Penghargaan Santri Inspirasi di Bidang Seni dan Budaya dari Pustaka Kompas pada tahun 2016. Ia juga terlibat dalam dunia perfilman sebagai produser dan pemain film pendek “Kelas 5000-an”, serta saat ini menjabat sebagai Kepala Makara Art Center. Buku-buku terbarunya antara lain Oase Hikmah Para Masyayikh (2024) dan Menggali Api Pancasila (2024).