Puisi-Puisi Ewith Bahar
PHURONG ANH
Siang:
Anh,
Kau adalah segugus cerita tentang sebentang kenang yang
kita susun sehari semalam di magelang
ketika menonton iringan trisuci waisak,
dari Mendut ke Borobudur melewati Pawon,
yang dipayungi cakrawala cerah
kita menggenapi keramaian berjalan tiga setengah kilo meter
dengan riang di bawah terik siang
secarik bandana bersulam nama membalut kepalamu
biksu dan biksuni berjubah jingga dari berbagai negeri
mengawal prosesi pembawa relik Buddha,
air berkah umbul jumprit dan api suci merapen
semua tertangkap lensa kamera yang kausandang
entah kau wartawan atau cuma wisatawan
namun kau dan aku….entah bagaimana, tak bertukar cakap
kita hanya saling melempar senyuman berkali-kali
sampai kemudian kusadari kau hilang di kerumunan.
Malam:
Borobudur keemasan, disepuh kilau ratusan lampion, gemerlapan
tambah sempurna ketika doa kecilku agar menemukan kau kembali
yang hilang tadi siang kesampaian
dekat tenda-tenda para biksu yang sedang merapal mantra,
ada tangan menggamit bahuku
kutangkap tanganmu, kita jalan bergandengan
di antara udara tengah malam yang harum setanggi
aku memotretmu
senyummu, mata sipitmu, gaun kuningmu
lebur dengan keindahan pemandangan latar tingkat ketiga Borobudur
arupadatu dan stupa besar keperakan
yang kontras dengan siluet cahaya merah lampu-lampu
kau nampak sakral
seperti lukisan sutera Nguyen Phan Chanh
Anh,
aku lupa bagaimana kita berpisah malam itu
tak ada sesiapa sebagai alibi bahwa aku bersamamu
sejak siang hingga upacara puja bakti usai
tapi di gallery selulerku ada gambarmu.
DI PUNTHUK SETUMBU
Semalam mataku gagal lelap
diganggu kegelisahan menunggu waktu
menghirup udara suci dini hari
di punthuk setumbu yang masih sembab
perbukitan ini seperti tubuh perempuan matang
yang telah paham cara menjaga dirinya hanya dengan diam,
menghanyutkan dan tajam
dari gardu pandang, ia menyiksaku dengan pukau
oleh indah yang terlampau
lansekap merapi dan merbabu
eksotis dalam suasana bisu
dilengkungi langit timur yang syahdu
nun….siluet sambhara budhara
laksanan secercah nirwana dalam warna mauve pucat
semburat sunrise itu
sungguh memang terlampau.
MUSIK YANG JAUH
Ada suara musik sayup
Entah petikan harpa atau gesekan biola
Terdengar bagai pengabar musim yang bertandang
Dibawa sayap-sayap angin ke ceruk kesadaran
Hantu paganinikah yang tergelincir
Sampai ke mulut jendela dan memainkan sihir?
seolah bunyi napas yang damai
Detak dalam nadiku menguatkan
kerinduan yang sentimental
Malam menganga, seperti ada yang ditunggu
Adakah yang lebih serius dari musik melankolis sayup
pada malam asing yang terasa jujur
karena tak ada apa-apa yang dikenali batinku
kecuali rupa hatimu.
TAK SANGGUP
Aku kerap memikirkan bagaimana sesungguhnya cara cinta datang. Tak pernah terdengar ketukan di pintu. Hanya sekonyong-konyong ada yang hilang dan sekaligus mengisi dada tapi tak punya nama. Tubuh membeku kendati musim dingin telah lama menjauh, dan sesuatu itu tetap tak punya nama. Dijajahnya kalbu tanpa mau tahu apakah kita keberatan atau setuju. Lalu kita menambahkan kosakata baru dalam riwayat hidup: sanggup! Ya tiba-tiba kita sanggup sakit, sanggup sedih, sanggup sulit, sanggup terjepit, sanggup bingung, sanggup jatuh. Tapi tak sanggup marah, tak sanggup jauh. Seperti dedaun yang gugur dari dahan, telah tanggal namun hanya rebah di kaki pohon kecintaan, tak sanggup meninggalkan.
DALAM GENGGAMANMU
Kelokan tempat kita pertama kali berpapasan
Telah bermusim-musim kita tinggalkan
Untuk mengikuti penggal pengembaraan
Tualang ini begitu menakjubkan
Kita demikian khusyuk menenun kepercayaan
Dari petang ke petang
jalan-jalan yang dipenuhi pohon-pohon kata
adalah kanvas yang mengalasi sepatu-sepatu kita
menginjaki luruhan bunga-bunga
dengan tangan yang saling berlekatan
dan kita menyebutnya sebagai perayaan
untuk kemesraan yang semakin kesturi
di dalam genggamanmu
jemariku taat pada titah nasib
mengikutimu ke arah mana saja.
SEORANG LELAKI KURUS di LEIDEN
Di Leiden, seorang lelaki kurus menulis sihir menjelma menara, kanal, dan memori penuh nama pada jemarinya itu samudera berdebur dengan gemuruh yang terdengar sampai jauh betapa dalam kesunyian di ruang matanya kendati Baudelaire, Rilke dan Neruda kini telah menutup jarak yang menganga: equalitas, pengimpas sebuah sejarah
Muurgedichten…. dunia nisbi pada tembok abu-abu di situ Evawani** membaca “AKU” menciptakan dua sungai kecil tanpa perahu pada sepasang pipi yang beku lalu ada yang runtuh ke batu: puing halus melankoli rasa haru.
Catatan:
** Evawani (Evawani Alisa) adalah nama putri tunggal Chairil Anwar.
SISA CERITA PECENONGAN-JUANDA
Kini kau bukan cuma secarik kertas lusuh
sebab bata-bata kecil pembangun kontinen
yang dulu kau susun di Kolff dan Van Dorp
di sepanjang Pecenongan-Juanda
telah menegakkan prasasti historik:
sebuah tubuh puisi yang lurus menjulang
sekarang puing-puing Kolff telah hablur bereinkarnasi di Kota Tua
tapi tentang Zarathustra sampul hitam yang tertukar Injil itu
tetap abadi dalam manuskrip.
Catatan:
Toko buku Kolff dan Van Dorp di bilangan Pecenongan dan Juanda, adalah dua toko buku milik Belanda, yang sangat sering dikunjungi Chairil Anwar.
NYANYIAN KUMUDA
Pada kanvas pucat
segugus warna pekat lekat
menguras tube-tube cat
demi surasundari
Pada kejoranya
kutanam sebias cahaya magis
memendarkan charisma mistis
menggoda dada tatkala terpandang mata
meski telah kutikamkan kuat-kuat
impresi sura dari dinding relief itu, ke pusat kalbu
Ada yang tetap tak sanggup diungkap mata kuasku
impuls-impuls terasa mati
dalam tafsir kuas dan jemari
surasundari hanya wujud kefanaan
harmoni bagi kumuda bertangkai panjang:
sebuah tubuh tanpa ruh.
*Ewith Bahar lulus Fakultas Sastra Inggris Universitas Kristen Indonesia (UKI) pada tahun 1994. Mulai menulis sejak SMA sebagai penulis naskah acara radio, serta artikel musik di majalah, antara lain Vista dan Gadis. Ia kemudian menjadi presenter dan interviewer di TVRI Stasiun Pusat Jakarta. Ia juga pernah menjadi penyiar di radio Amigos dan presenter di TVRI, serta sempat bergabung pula di RCTI. Ia pernah menjabat sebagai PR Manager di hotel Ciputra dan hotel Gran Melia Jakarta.Buku-bukunya yang telah terbit adalah: Serenada Kalbu (2013), AN:Mars & Venus (2013), Cinta Tujuh Hari (2013), novel Dari Firenze ke Jakarta (2015), Kidung Kawidaren (2016), Kantata Untuk Pujangga (2017), Sonata Borobudur (2018) dan Chairil Anwar: Hidup 1000 Tahun Lagi (2020). Sonata Borobudur memperoleh penghargaan sebagai 5 Besar Buku Puisi Terbaik Indonesia tahun 2019 yang diselenggarakan oleh Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Puisi-puisi Ewith Bahar juga termuat pada lebih dari 50 buku antologi puisi bersama, sejak tahun 2014 hingga sekarang.
Inspire, very proud of you mbak Ewith Bahar❤️🇮🇩🎼🎸📝