Puisi-puisi Eddy Pranata PNP

 Nasib Buruk Mbah Tupon

Kisah pilu seorang lansia terjebak praktik mafia
Tulang belulang bagai rontok. Lemas. Tatapan
nanar kosong. Langit bagai terbelah dan runtuh.
Tanah seluas 1.665 meter persegi hendak disita
pihak Bank. Jaminan hutang 1,5 Milyar. Kok bisa?

Ini benar-benar negeri konoha.
Amburadul. Brengsek.

Ayo turun tangan para pembela keadilan
Juga Rasman dan Hotman. Jangan cuma
Ribut ngurus seonggok apem di bawah perut
DPR dan menteri Gusron jangan pura-pura buta-tuli.
Jangan pula sekadar cuap-cuap dalam televisi. Ayo…

Mbah Tupon tak pernah hutang. Tak bisa baca tulis.
Sehari-hari bertani dan mengurus ternak.
Petir siang bolong. Kampung geger. Lapor polisi. Doa
dan harap. Tanah kembali. Tangkap penjarakan mafia.
Kampung senyap jadi gerah. Tanah warisan hendak
disita. Sungguh nasib buruk. Edan. Manusia busuk
Otak dan hati menjelma setan.

Tapi yakinlah Tuhan tidak tidur. Mbah Tupon akan
melewati duka nestapa. Tangan Malaikat akan menyeret
manusia-manusia busuk. Ke jeruji besi. Penjara. Dan
rengkahan neraka.

Mbah Tupon– 68 tahun– jangan bersedih.
Jangan menangis. Nasib buruk akan berakhir.
Tanahmu akan kembali. Suara-suara kebenaran
menggema di kampung kecilmu. Senja coklat tembaga.

Cirebah, 28 April 2025

 

Nini Sebrot, Kartiniku

Aku tak malu. Sungguh:
Nini Sebrot kaulah Kartiniku
Setiap hari bermandi keringat
Sangit sengak

Malam memintal kabut
Subuh langkah pecah
Siang berkubang kenyataan
Hidup tidak mudah
Hidup teka-teki

Nini Sebrot tak peduli
Tak bergincu. Tak berkebaya
Tak berkain beludru. Tak sepatu
Bukan selebriti. Bukan aparatur
Bukan keturunan orang kaya
Bukan pemuja karir

Kekagumanku padamu
Apa adanya. Seperti keberadanmu
Yang apa adanya. Nini Sebrot
Natural. Tawamu lepas
Sungguh. Sungguh kuterpesona

Adalah buruh pabrik. Buruh tani
Buruh pasar. Buruh rumahtangga
Buruh kasar apa saja
Nini Sebrot. Tak mau berpura-
pura baik. Tak butuh puji-puja
Terus merangsek memelihara cahaya
yang mancar dari jiwa
bukan sekadar retorika
dan tampil gaya

Sungguh aku cinta
Nini Sebrot sangit sengak
selamanya tanpa syarat

Tak pernah tengok belakang
Luka. Dan masa lalu jingga
Lipat jadi nyala darah
Sepanjang Sejarah

Kemenangan datang dari tangan
yang mengepal. Dari langkah kokoh
seorang perempuan perkasa
Sukacita. Aku bangga

Nini Sebrot luka Puisiku.

Jaspinka, 22 April 2025

 

Rantang-rantang Kosong di Gaza

Di tanah pengungsian berdebu. Bau amis darah.
Ratusan orang berdesakan. Tatapan matanya
kosong liar. Tangan-tangan menjulur-julur
dengan rantang kosong. Berdentang-dentang.
Berebut makanan baru dimasak. Telah lemas
menahan perih lapar. Stok makanan menipis.
Jalur bantuan ditutup zionis.

: “Ya Allah, beri kami serantang Sumaghiyyeh
penyambung hidup. Lihatlah, semuanya kelaparan
di kamp-kamp pengungsian!” seru Najla Shawa,
suara parau diterpa deru debu beterbangan.

Gaza berada di ambang kehancuran, Roket dan rudal
berdesing. Membombardir nyaris setiap jengkal tanah.
Sejumlah manusia Gaza berlarian di atas puing-puing.
Berteriak histeris. Suami atau istri atau anak tewas. Air
mata kering. Lihatlah, di tangan seorang wanita,
setangkai mawar ungu berlumur sumpah. Tetes darah.

: “Bermuara di mana kepedihan ini?”

Roket dan rudal berdesing bombardir setiap jengkal
tanah. Kematian datang kapan saja. Tak terkira
Tak ada negara dan organisasi internasional berani
dan mampu mengirim burung Ababil ke Gaza.
Nyawa serupa layang-layang putus talinya!

Ou, ratusan orang berdesakan. Tangan-tangan menjulur
dengan rantang-rantang berdentang. Entah sampai
kapan, wajah pilu ngilu. Apakah Gaza tenggelam ke
lautan darah dan mesiu? Rintih. Runtuh. Di mana lagi
bisa sembunyi ketika kematian datang dari langit?
Nyaris tak ada ruang lagi untuk puisi. Setiap sudut rumah
kehilangan kenangan

: “Ya Allah, jangan beri kami mimpi buruk lagi!”

Rudal dan roket dentum desing.

Jaspinka, 22 April 2025

 

Selaut-laut Dosaku

selaut-laut dosaku– ampun, aku ingin selalu memegang
kunci surga: lailaha illallah…

angin semilir, usai sahur, sekerat rembulan tergantung cemas
di langit gelap, seribu harap bergeriap dalam sukma: fabiayi
alaa-i robikuma tukadziban: “luka itu, luka itu, berdarah kembali,
Kekasih, jangan ada tangis lagi!”

setelah imsak; izinkan aku perlahan menjelma nol
sesuatu tak punya nafsu, tak memelihara waktu tak berguna
: “aku ingin mulutku lebih harum dari minyak kesturi
aku ingin musnah di langit, menyatu dengan kasih-sayang-Mu!”
au, gema suara azan subuh; bumi bergetar-getar

subhanallah wabihamdih; tak ada rasa lapar haus, ini puasaku
untuk-Mu; dan zakat, sedekah, zikir, jiwaku menggapai cahaya-Mu
dan gema bedug berbuka; tiga butir kurma, air putih, melatih sabar
lihatlah orang-orang kurang beruntung menahan lapar entah sampai
kapan: “aku mau tidak hanya di ramadan candradimukaku, aku mau
fitrah sepanjang ruang dan waktu berkah!”

di tujuh hari terakhir ramadan aku ingin mengetuk pintu langit
doa dan tadarus; lailatulqodar bergetar-getar dari ribuan sayap
malaikat, sejuk-sunyi dalam jiwa
: “ya gusti, aku mau puisi penuh arti, sepanjang siang dan malam
meraih berkah ramadan dengan sukacita!”

gerimis: sungguh berat salah-dosa kupanggul hingga ke pintu musala;
subuh bergeming: “tuhanku, air-mata, pedih-perih luka kunikmati
sepenuh puisi!”

aku memburu rahmat-Mu: fitrah, menyium bau surga; au, perahu
kian merapuh diayun ombak-gelombang dalam pelayaran o, kesetiaan
kerlip mercusuar memancar cahaya— fitrah
: “amuk aku dengan ombak-gelombang-Mu sedahsyat-dahsyatnya
hingga menyium bau surga!”
sepanjang kasih sewangi-wangi puisi…

Jaspinka, Maret 2025

 

Aku Berlindung dari Segala Kutukan

sepanjang hari ini mendung; dan kuharap malam menciptakan sunyi
yang damai; tafakur– mencari hati putih di kedalaman diri
: “aku ingin menjadi cahaya yang memancar kebaikan ke semua
orang hingga ke lorong paling asing: cinta kasih yang tulus!”
au, bergeraklah ke jalan lurus; arohmanirohim…

pintu gerbang itu berderit; langkah tergesa ke musala; jalan kecil,
gerimis, dan separoh rembulan terayun di langit keruh, tarawih
di pekan akhir, hati debar: “rindu menderu-deru, alohuma soli’ala
muhammad; aku berserah bagai kertas putih pada wangi bayi-bayi,
fitri, tak ada duri dendam lagi!” –au, gerimis hilang, udara panas,
rindu kian menderu-deru

di teras musala angin semilir; malam kian menua, aku ingin doa
menggetarkan langit: “yang maha suci beri aku satu puisi paling suci
mengiris-mencincang dosa-salahku, sepanjang usia!”

menjelang makan sahur, bukalah jendela, dan lihatlah sepotong
rembulan di atas pohon mahoni menjulang berdiam sunyi serupa
menahan kesendirian yang perih
: “andai engkau harus pergi, jangan putuskan komunikasi; pungutlah
kerlip kunang-kunang; luka tak akan menghapus cinta!”
tak ada kesiur angin, hanya serpihan embun melayang berjatuhan

walau aku musafir fakir; kumau tak sejengkal berjarak dengan-Mu
tak sedetak-detik terpisah dari-Mu, kumau langit biru; semilir angin,
dan mawar, mawar, mawar: “gugurlah seluruh salah dosaku, ampun,
ini tubuh sarat luka sembilu!”

setelah imsak; segera aku naik ke atas perahu, aku layari laut
ihdinasirotolmustaqim– dengan penuh sukacita
: “hidup matiku adalah puisi untuk-Mu yang mahakasih!”

dari setiap huruf ayat-ayat-Mu, aku berlindung dari segala kutukan
aku mau jiwa paling terbuka, hati bijaksana; puisi marwah cinta
: “au, jangan terjatuh di lubang serupa, sakit perih tiada penawar
menangislah atas nama mawar mekar, lalu gugur tanpa pamrih—
air mata leleh, ruang waktu catat sejarah!”

Jaspinka, Maret 2025

 

Aku Tanam Pohon Kebaikan

siang panas berdangkang; aku ingin bertemu denganmu, bercerita
seorang penyair papa nyaris tak punya apa-apa, selain kesetiaannya
pada hal-hal humanis mengelus kepala anak yatim, berbagi rezeki
kepada kaum miskin dan tidak suka bicara, tidak mau menyakiti orang
: “kalau kalian bersua dengannya beri ia senyum, dan satu puisi
kehidupan paling sederhana!”

udara cerah; baju kaos merah, membelah-belah sawah, au– jangan
lepas genggaman: “aku sering terpikir bagaimana musim panen
engkau tiada lagi entah ke mana, mungkin asal melangkah, tidak
mengikuti kata hati, ampun, ya tuhan, beri aku kekuatan, beri jalan
keluar agar bersatu selamanya!”
waktu luruh, tak ada pelukan puisi– hanya cium kening senyum tipis
lalu sunyi, dan setiap kepergian adalah debar rasa kehilangan

aku rela miskin harta, tapi tidak miskin hati– suara itu bergetar
dari atas kubah musala, bulan berkilau di atas daun pisang
: “sesedih apa pun hanya kepada puisi aku mengadu, tidak kepada
kekasih atau lain orang biar sendiri kutanggung seluruh pahit-getir!”
embun merenung, nikmati kilau bulan di atas daun pisang

dalam tadarus dan zikirku hanya ingin menyembuhkan luka
: “yang tak pernah mengering; luka sembilu; telah bertahun-tahun
mungkin hingga matiku– hingga liang paling nyeri, aku berserah!”

kau tahu? dalam setiap baris puisi, ada sembilu dan luka saling
berbagi; saling mengasihi, aku ingin membersihkan seluruh luka
dengan air mata puisi

aku tanam pohon kebaikan– sekecap harapan, tumbuh ketentraman
lapar hausku untuk-Mu, aku nikmati percik matahari bercucur
keringat mengalir kedamaian, tak mau aku kemunafikan, guruku
pohon kebaikan: “aku mau pohonku bercabang-cabang ke tanah-
tanah cahaya ke belukar imaji surealis kata-kata!”

Jaspinka, Maret 2025

 

Kenangan Jingga

hujan deras, jalan setapak, petir dan kilat silih-berganti
ia mencari keheningan dan kenikmatan pada deras hujan
pada cahaya berpendar yang berjatuhan dari langit

ia hanya ingin menyeret-nyeret kenangan; betapa kencang
desau angin bukit ke lembah ke abadian nyala cahaya
di dalam jiwa

ia serupa zombi dalam labirin mendebarkan, berjalan zig-zag
seraya terus mendesiskan nama-Mu: subhanallah

dan kesedihan itu– ombak membentur-bentur tebing karang
aku mau hati-jiwamu debur ombak mengalun tenang hingga
ke dalam palung terdalam puisi

ia dan semua luka adalah puisi, peluk-kecup apa lagi kaurindukan?
deru angin bukit merobek sejarah kecil; kesetiaan dirajah
pengkhianatan tak ada lagi senyum dan kerling mata, tak ada lagi kabar
: “telah jauh berperahu membelah-belah selat berpendayung cahaya
lihatlah, camar meliuk terluka hinggap di atas mercusuar, darah
tetes menjelma kenangan jingga!”

ia telah menjelma ular berkepala dua; menjulur-julur lidah, mendesis
: “kusembur bisa; kulilit, dan kumangsa siapa pun terjebak dalam
labirin dusta, cinta dan harta nyaris tak berguna, hanya dendam…”
ia pun menjelma biawak; bergerilya dari satu kota ke lain kota
mengusung kebohongan-kebohongan dengan begitu sempurna
walau sejatinya, ia tetap ular berkepala dua : lidah menjulur-julur
seraya terus menyemburkan bias

Jaspinka, Maret 2025

 

Tak Ada yang Harus Kaucemaskan

tak ada yang harus kaucemaskan, hanya waktu yang akan
membuktikan; sejauh apa perjalanan ke ujung senja, tanpa
puisi dan pelangi? hanya serpihan rindu, aku mau engkau
bukan seorang yang berteriak-teriak di padang pasir

angin bukit menderu ke lembah; gemuruh— puisi surealis
bergemeretak; tidak mudah menyatukan dua jiwa-hati, ke
deras alir serayu: “beri aku gemuruh angin bukit sepanjang
waktu! aku mau cinta paling luka…”

sepanjang perjalanan adalah debar: gerimis februari, meremuk
rindu; tamasya sederhana– ke puncak bukit, membelah kota,
berdendang di atas perahu, angin berdesau, alir serayu serupa
bisik masa lampau, dan kereta api melintas di jembatan setiap
lima belas menit, peluk hangat jangan lepaskan! gerimis
mempercepat siang; seafood: cumi-cumi saos padang, udang
asam manis, cah kangkung lalu jus jambu dan kentang goreng
: “kita berperahu menyisir alir serayu dengan sukacita!”

jangkar telah dinaikkan di atas perahu; deras serayu
: “tuhan, beri aku kekuatan– tabah menjalani ayunan perahu,
hingga ke batas cakrawala!”

Jaspinka, Februari 2025

 

Lorong Labirin

setelah bertahun-tahun engkau berjalan di lorong labirin perih
dan sunyi; keputusan engkau ambil juga akhirnya dengan hati-
jiwa yang kuat berdiri di atas kaki sendiri, seterjal apa pun perjalanan
: “hanya kepada orang terkasih aku serahkan hati-jiwaku,” bisikmu,
sorot matamu berlinang-berbinar, “aku berserah pada seorang penyair,
hanya seorang panyair!” napasmu berat, bisikmu lagi, “biar aku mati
dengan baris sajak-sajak sepahit segetir apa pun!”

engkau pun keluar dari lorong labirin dengan kepala tegak
: “selain penyairku, menyingkirlah kalian semua, apalagi sang manusia
berakal bulus, musang berbulu landak, tikus busuk, anjing korep,
buaya buntung!” teriakmu dengan suara bergetar

matahari naik ke atas kepala, angin kencang merontokkan dedaunan
menguning dari kejauhan engkau persis sisyphus menaikkan batu
ambisi ke atas kepopuleran semu, o, samasekali tidak memikirkan
kualitas karyamu, miris! : “untuk apa engkau menulis puisi? kalau
hanya sekadar merintang-rintang hari? kalau hanya untuk haha hihi
dan selfi-selfi…” engkau kulihat hanya sisyphus yang bercumbu
dengan katak di bawah tempurung…

Jaspinka, Februari 2025

 

—-

*Eddy Pranata PNP— adalah founder of Jaspinka (Jaringan Sastra Pinggir Kali) Cirebah, Banyumas Barat. Puisinya disiarkan di Majalah Sastra Horison, koran Jawa Pos, Kompas, Tempo, Media Indonesia, Indopos, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Pikiran Raykat, Medan Pos, Riau Pos, Tanjungpinang Pos,  Haluan, Singgalang, Minggu Pagi, Asyik.asyik.com., dll. Puisi-puisinya juga terhimpun ke dalam puluhan antologi bersama.  

Buku kumpulan puisi tunggalnya: Improvisasi Sunyi (1997), Sajak-sajak Perih Berhamburan di Udara (2012), Bila Jasadku Kaumasukkan ke Liang Kubur (2015), Ombak Menjilat Runcing Karang (2016), Abadi dalam Puisi (2017), Jejak Matahari Ombak Cahaya (2019), Tembilang (2021).