Kumpulan Puisi Beni Satria
Patah
Di meja rumah sakit, kita meraba batas patah yang meminta untuk disambung,
X-ray menggantung di layar—tulang membelah di tengah cahaya,
gambar hitam-putih, seperti luka yang ditata rapi oleh dokter.
Ada yang patah, katamu, di sini, di jari ini, di tulang ini.
Ada yang patah, pikirku, di dada ini, di kalimat yang berulang-ulang.
Suster lewat, membawa catatan tanpa wajah,
sakitmu yang terukur 7 dari 10, tapi tak ada satu angka untuk
sakit yang lain, yang tak bisa diurut dari satu ke sepuluh.
Aku dengar gesekan gips itu seperti gumpalan perasaan yang mengeras,
membungkus tulang-tulang yang ingin aku luruskan sendiri.
Seketika tubuhmu jadi arsip, tersusun dari potongan kecil,
yang perlu dipasangkan seperti teka-teki yang tak pernah lengkap.
Tangan yang kubalut dengan kata maaf, sayap yang tak sempat terbang,
kau bilang, “Nanti juga sembuh,” seperti mimpi yang tak ingin berakhir.
Namun, di belakang matamu, aku tahu, ada yang tak bisa kembali utuh.
Di meja rumah sakit, kita duduk mengisi ruang di antara garis yang terputus,
menghitung sendi yang hilang—di tangan, di hati,
di mana-mana ada patah yang tidak bisa direkatkan kembali.
Bantul, 2024
Menjahit rahasia tubuh
Di bawah sorot lampu pendar,
lengan terlentang, membelah ingatan,
urat-uratnya seperti peta jalan pulang,
melengkung, menyusuri luka-luka silam,
pada otot yang mengeras menahan waktu.
Pisau bedah memotong kenangan:
di balik kulit tipis itu,
terselip jejak jemari,
bayangan tangan yang dulu menggenggam,
lalu hilang, tinggal gumpalan sunyi
di tepian meja logam dingin.
Dokter menjahit kembali alur masa,
meraba dalam-dalam jaringan halus,
menyusuri cerita yang terlupakan.
Setiap simpul dijahit ketat,
seperti merawat rahasia
yang tak boleh keluar dari ruang ini.
Di sudut ingatan yang luka,
tergores nama yang hampir hilang,
huruf-hurufnya tersembunyi
di sela-sela nadi—
apakah yang tercatat di sana,
rindu atau sebatas bayangan?
Lengan ini, kesepian di atas meja operasi,
memanggul kenangan yang remuk,
menahan memori yang pernah menggigil.
Ketika jarum masuk menembus kulit,
terasa sepi itu seperti jarak,
seperti sepasang tangan yang tak pernah lagi bertemu.
Dan di ruang sunyi, dokter hanya menatap,
menyelam ke dalam daging,
menghitung setiap gores,
mencari apa yang tertinggal
di ujung syaraf yang tak ingin melepaskan
—bekas cinta yang belum sempurna terlupakan.
Bantul, 2024
Arsip tubuh
Di koridor ini, lantai dingin mencatat langkah yang terhapus
tapak-tapak suara suster yang berjalan dengan bibir menutup
selimut putih menyelimuti dengus panjang mesin
tiap dengungnya memakan malam, menghitung denyut nadi.
Aku, seonggok tubuh tergolek seperti dokumen yang tak terbaca,
dicatat di atas meja register, nama, umur, riwayat sakit —
aku tercetak jadi angka-angka yang bergulir di layar monitor,
merapat di atas tubuh tanpa alamat.
Tidur seperti perundingan antara rasa sakit dan obat bius,
kadang terhanyut dalam detak jam dinding yang bertanya,
“Masihkah tubuh ini bernafas?”
Kaki kursi berderit, meja dorong menjelma pelayaran yang membawaku
ke ruang dengan angka samar, aroma alkohol dan catatan medis yang muram.
Lampu-lampu putih menggantung bagai mata tanpa wajah,
mengawasi setiap lemah di kulit, setiap lirih yang tertahan di langit-langit.
Di rumah sakit ini, aku bukan aku, hanya serpih-serpih dari mesin yang bernyanyi,
napas dihitung, darah dicatat, rasa sakit dimaknai sebagai isyarat.
Apakah tubuhku bicara? Atau hanya deru mesin yang membungkam tiap tanya?
Bantul, 2024
Infus
Di koridor ini, lantai dingin mencatat langkah yang terhapus
tapak-tapak suara suster yang berjalan dengan bibir menutup
selimut putih menyelimuti dengus panjang mesin
tiap dengungnya memakan malam, menghitung denyut nadi.
Aku, seonggok tubuh tergolek seperti dokumen yang tak terbaca,
dicatat di atas meja register, nama, umur, riwayat sakit —
aku tercetak jadi angka-angka yang bergulir di layar monitor,
merapat di atas tubuh tanpa alamat.
Tidur seperti perundingan antara rasa sakit dan obat bius,
kadang terhanyut dalam detak jam dinding yang bertanya,
“Masihkah tubuh ini bernafas?”
Kaki kursi berderit, meja dorong menjelma pelayaran yang membawaku
ke ruang dengan angka samar, aroma alkohol dan catatan medis yang muram.
Lampu-lampu putih menggantung bagai mata tanpa wajah,
mengawasi setiap lemah di kulit, setiap lirih yang tertahan di langit-langit.
Di rumah sakit ini, aku bukan aku, hanya serpih-serpih dari mesin yang bernyanyi,
napas dihitung, darah dicatat, rasa sakit dimaknai sebagai isyarat.
Apakah tubuhku bicara? Atau hanya deru mesin yang membungkam tiap tanya?
Bantul, 2024
Ziarah ke Makam Joko Pinurbo
Aku ke makam Joko Pinurbo pagi itu,
membawa serenceng kata-kata,
juga sebakul doa yang kubeli di pinggir jalan.
Kubisikkan kepadanya:
“Mas Jokpin,
kutitip sajak-sajakku yang belum sempat lahir,
semoga mereka bahagia di alam sana,
mendapat pencerahan atau setidaknya,
secangkir kopi kecil di ruang sunyi.”
Dia diam saja,
makamnya hening, mungkin sedang merenung
atau sibuk menyelipkan metafora baru
di antara nisan dan rumput liar.
Aku pulang dengan perasaan agak tentram
sampai tiba-tiba ban motorku oleng di tikungan.
Ah, barangkali Jokpin bercanda,
sajak-sajak terselip di roda atau
sebaris larik yang tersangkut di spionku.
Kupikir, mungkin ini cara Jokpin berbisik:
“Hati-hati di jalan pulang, Nak.
Menulis puisi adalah perjalanan panjang.
Kadang berliku, kadang berakhir di UGD”
Bantul, 2024
Patah Tulang di Jalan Pulang
jalan retak di belakang ziarah.
separuh nisan, separuh aspal.
aku menatap nisan Joko Pinurbo,
ia tersenyum di bawah tanah,
dalam barisan tulang yang akhirnya tenang.
setelah doa, aspal menguliti langkah.
motor melaju, kota bergoyang
di spion yang tak sempat berpaling.
tubuhku melayang—bukan doa,
tapi gravitasi yang tiba-tiba
menyusun tubuhku jadi puisi patah.
ada dokter berseragam gips
menyusun tulang-tulangku yang tercerai.
“beruntung hanya tulang yang patah,” katanya,
sementara motor menjadi arkeologi baru
di ujung trotoar yang masih mengepulkan doa.
aku kini tidur di ranjang putih,
tulang yang remuk direkatkan waktu,
tubuhku tersusun dari sajak yang tak selesai.
Bantul, 2024
*Beni Satria, pria kelahiran Jakarta yang kini tinggal di Pamulang, Tangerang Selatan, adalah lulusan Teknik Mesin dari SMK Sasmita Jaya dan Universitas Pamulang. Selain aktif menulis, ia terlibat dalam berbagai komunitas literasi dan pecinta alam, serta menjadi penggagas sejumlah acara seperti Festival Literasi Tangerang Selatan dan Semaan Puisi di Kaffe Ada Kopi.