SOEHARTO Suka Keris, HABIBIE Suka yang Arabis
Oleh: Agus Dermawan T.*
ISTANA PRESIDEN: Dari Presiden ke Presiden – Bagian 2
Pada tulisan Bagian # 1 telah terceritakan sejarah Istana Negara dan Istana Merdeka, serta bagaimana istana-istana itu ketika dihuni oleh Presiden Sukarno. Pada bagian ini akan terkisah apa yang terjadi ketika istana “dikuasai” oleh Presiden Soeharto dan Presiden B.J.Habibie.
_________________________________________________________________________________________
Presiden Soeharto
(8 Juni 1921 – 27 Januari 2008) – Presiden Republik Indonesia kedua.
SOEHARTO, kelahiran dukuh Kemusuk, Argomulyo, Yogyakarta 1921 mengakui bahwa ia bukanlah apresiator seni rupa yang handal. Latar belakang dan minat hidupnya jelas menegaskan itu. Ia adalah anak ulu-ulu (juru air) lulusan SMP Muhammadiyah yang pada masa kanak gemar bermain plinteng (ketapel dengan peluru batu). Anak tunggal dari Kertoredjo dan Sukirah ini ketika belum berusia 40 hari dititipkan ayahnya kepada adiknya, Nyonya Prawirowihardjo. “Kesebatangkaraan” inilah yang memicu kehendak Soeharto untuk lebih cepat hidup mandiri. Ia pun memilih dunia tentara dengan masuk ke Sekolah Militer di Gombong 1940. Pada zaman Jepang ia jadi sukarelawan Pasukan Kepolisian atau Keibuko, dan kemudian pindah ke pasukan Peta (Pembela Tanah Air) sampai pangkat shodancho, atau komandan peleton.
Dari sini jagad militer terus melingkupi hidupnya, dan menjadi alter ego yang menuntun dirinya jadi jenderal. Dunia yang sibuk, kaku, keras dan bersifat patria potestas (kekuatan pemimpin pasukan) itu agaknya serta merta menjadikan kesenian relatif jauh dari benaknya. Hingga alhasil, dalam pandangan banyak orang Soeharto terlanjur memiliki jarak dengan dunia seni.
Namun demikian tidak berarti Soeharto tak ingin mengoleksi karya seni dengan kesungguhan dan perasaan mendalam. Dengan pemahaman yang jujur dan seadanya, dan tentu dengan serius, ia bersama Ibu Tien Soeharto, sang isteri, kadang membeli dan memesan karya seni, seperti lukisan, patung dan ukiran kayu kepada sejumlah seniman dan pengrajin. Ibu Tien Soeharto, yang pernah menjadi pengurus Keimin Bunka Sidhoso (Pusat Kebudayaan era penjajahan Jepang) di Solo – bahkan berkali-kali membuka pameran seni kerajinan dan lukisan. Dalam aktivitas ini Soeharto, sang suami, kadang mendampingi.
Maka Soeharto dan seni rupa adalah dua dunia kadang-kadang ketemu juga. Apalagi ketika menjadi Presiden Republik Indonesia selama 32 tahun, yang meniscayakan seni rupa hadir di hadapannya. Selama Soeharto memimpin negara, cukup banyak karya seni rupa yang dihibahkan kepadanya. Ada yang dipersembahkan kepadanya sebagai Presiden, sehingga karya-karya itu disimpan di Istana Kepresidenan. Dan karya persembahan ini dikumpulkan di Museum Puri Bhakti Renatama dan Sanggar Lukisan yang terletak di kompleks Istana Negara, Jakarta, pada tahun 1980 sampai menjelang tahun 2000. Namun tak sedikit yang diberikan untuk Soeharto pribadi. Koleksi kategori ini kemudian disimpan di museum pribadi dan keluarganya, Museum Purna Bhakti Pertiwi dan Graha Lukisan yang terletak di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta.
Benda-benda seni itu datang dari Indonesia dan berbagai penjuru dunia. Sebagian adalah fine art yang berupa lukisan atau patung. Sebagian lain adalah craft atau art craft. Di dalamnya tertoreh nama Richard Nixon, Roh Tae Woo, Pham Van Dong, Zenko Suzuki, Jaser Arafat, Fidel Castro, Francois Mitterrand, Fidel V. Ramos, Corazon Aquino, Paul Keating, Agha Khan dan sebagainya. Tak ketinggalan Sudono Salim, Probosutedjo, Faizal Abda’oe, bahkan anaknya sendiri Siti Hardiyanti Rukmana.
Sedangkan benda-benda seni yang diakuisisi oleh Istana Kepresiden semasa era Soeharto tidaklah banyak. Bahkan sangat jauh jumlahnya apabila dibandingkan dengan semasa pemerintahan Sukarno. Dan umumnya yang dibeli bersifat dekoratif, karena berhubungan dengan aspek fungsionalnya, sebagai perhiasan. Meski tentu saja ada karya koleksi yang tidak semata berhubungan dengan dunia penghiasan ruang, seperti lukisan Affandi, maestro seni lukis Indonesia. Yang menangani akuisisi ini adalah lembaga di lingkup istana, Sanggar Lukisan Istana Presiden.
Soeharto bukan peminat seni rupa yang intens. Namun ia bisa memposisikan sosoknya sebagai penyimpan seni rupa yang baik bahkan sistematik. Ia memperlakukan karya-karya seni dalam pranata kelembagaan, dengan mendudukkan sejumlah pakar dan berderet pengurus dalam struktur lembaga. Dan yang memimpin penanganan semua itu adalah Kepala Rumah Tangga Presiden seperti Joop Ave atau Sampurno.
Namun demikian Soeharto (dan Ibu Tien Soeharto selaku first lady) tetap ingin menyampaikan sejumlah permintaan. Di antaranya yang paling diingat ialah: agar aneka lukisan dan patung yang bertema telanjang (nude) tidak dipajang di Istana. Itu sebabnya, selama hampir separuh pemerintahan Soeharto, puluhan lukisan dan patung telanjang itu oleh Sanggar Lukisan Istana Presiden disimpan dalam ruang tertutup di Istana Bogor. Pajangan ini kadang ini jadi pertunjukan khusus untuk tamu-tamu yang berkunjung ke Istana Bogor.
Ada dua hal yang menarik dari hubungan Soeharto dengan benda-benda seni di Istana. Pertama, Soeharto gemar memberikan cenderamata keris kepada tamu-tamu negara yang datang, atau kepala negara yang dikunjungi. Keris bagi Soeharto adalah art craft khas Indonesia yang dianggap sangat estetik, maskulin, dan memiliki sejarah khusus.
Kedua, saran Soeharto atas benda-benda seni khususnya di Istana Negara dan Istana Merdeka. Sarannya adalah: kalau bisa posisi benda-benda seni di situ – yang sudah diatur Bung Karno – tidak diubah-ubah. (Mungkin takut kualat!). Tentu di luar karya seni yang bertema nude tadi. Meski ada satu yang terpaksa dipindahkan, yakni lukisan karya Yoes Soepadyo bergambar Jenderal Sudirman.
Lukisan ini semasa kepemimpinannya dipajang di Ruang Jepara – bilik besar yang dipenuhi perabot kayu berukir-ukir – untuk bercakap-cakap dengan tamu-tamu negara. Pilihan Soeharto atas lukisan tersebut berangkat dari penghormatan yang sifatnya historikal. Jenderal Sudirman adalah komandannya pada era revolusi di Jawa Tengah. Soeharto memerintah pada 1967 – 1998.
Presiden BJ Habibie
(25 Juni 1936 – 11 September 2019) – Presiden Republik Indonesia ketiga.
Bacharuddin Jusuf Habibie menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia pada tahun 1998 sampai 1999, menggantikan Soeharto. Sebelumnya Habibie duduk sebagai Wakil Presiden, lewat pengangkatan yang dilaksanakan tahun 1997.
Ia dikenal oleh masyarakat Indonesia dan internasional sebagai seorang ahli teknik yang berhubungan dengan pesawat terbang. Lelaki kelahiran Pare-pare, Sulawesi Selatan, 25 Juni 1936 ini memang menyandang gelar Diploma Ingenieur jurusan konstruksi pesawat terbang Rheinish-Westfaelische Technische, Aachen, Jerman Barat, tahun 1960. Kemudian tahun 1965 ia mendapat gelar Doktor Ingenieur dari Rheinish-Wesfaellische Technische Hochschule, Aachen.
Reputasi Habibie dalam bidangnya terbilang luar biasa. Di bidang mekanika ia terkenal dengan julukan “Mr.Crack”, karena bisa menghitung crack propagation on random sampai ke atom-atomnya. Keahliaannya itu menyebabkan ia diposisikan dalam banyak jabatan sangat prestisius, yang menyebabkan ia menjadi orang begitu sibuk. Intensitas Habibie kepada ilmu itulah yang kemudian membuat masyarakat ragu, adakah Habibie juga sempat bersentuhan dengan seni.
Namun masyarakat Indonesia tahu bahwa Habibie tidak lepas begitu saja dari dunia kesenian dan kebudayaan. Pada masa ia menjabat sebagai Menteri Riset dan Teknologi, bahkan ketika ia duduk sebagai Wakil Presiden (1997-1998), hasratnya melihat pameran seni rupa, seni lukis terutama, cukup membahagiakan kalangan seniman. Tak jarang ia diminta untuk membuka pameran seni. Dan bila berkesempatan, ia melakukannya dengan penuh kegembiraan. Bahkan Habibie pernah diminta oleh Dewan Kesenian Jakarta untuk menyampaikan Pidato Kebudayaan di Taman Ismail Marzuki. Dalam pidato itu ia berkata bahwa kesenian adalah cairan yang mampu melunakkan kekerasan dunia teknologi. Pada satu bagian seni dianggap memiliki fungsi yang hampir sama dengan agama. Keduanya penting untuk memberikan pencerahan bagi orang yang setiap hari melulu bekerja dengan otak rasional.
Masyarakat Indonesia memang tak bisa begitu saja melepas sosok Habibie dengan seni. Karena dalam sejumlah waktu sisa yang bisa dipungut dari kesibukannya yang bukan main, Habibie menyalurkan hobinya dalam fotografi. Ribuan foto telah dihasilkan. Sekitar 200 dari hasil karyanya pernah dipamerkan di Jakarta, dan diformat dalam buku berjudul Rhapsody – Light, Speed, Time and Space. Karya-karya yang dipamerkan, menurut Habibie dalam kesempatan itu, merupakan pencapaian “fotografi seni”. Dan pameran tersebut, yang disertai pelelangan karya-karyanya, memang dipakai oleh Habibie sebagai ajang pembuktian bahwa dirinya dekat dengan kesenian dan kebudayaan.
Itu sebabnya Habibie juga cukup memiliki visi ketika dirinya memasuki Istana sebagai Presiden Republik Indonesia. Walaupun visi itu, yang bisa dielaborasi dalam kebijakan pengaturan interior dan eksterior Istana Kepresidenan yang beraroma Eropa, belum sempat berkembang lantaran jabatannya yang singkat, hanya satu tahun lima bulan. Dan karena kesibukannya yang luar biasa pada masa pemerintahannya, banyak kebijakan keindahan Istana diserahkan kepada Kepala Rumah Tangga Kepresidenan.
Tapi Habibie tetap tak henti menunjukkan semangat budayanya pada setiap kesempatan. Sehingga ketika pada suatu waktu di kalangan Istana muncul gagasan menerbitkan buku mengenai koleksi benda-benda seni Istana Presiden era Sukarno dan Soeharto, Habibie mendukung secara penuh. Dukungan itu ditunjukkan lewat kata sambutan tertulis, setelah ia melihat blue print buku.
Tidak banyak yang ditinggalkan Habibie sebagai “kenangan seni” di lingkup Istana Presiden. Tapi ada beberapa ihwal yang harus dibilang mengesankan. Misalnya, Habibie memindahkan sepasang lukisan karya Basoeki Abdullah, Gatotkaca dan Pergiwa-Pergiwati serta Joko Tarub, dari ruang resepsi Istana Merdeka. Dua lukisan besar yang memaktubkan gambar wanita-wanita cantik sensual itu berukuran besar, dan merupakan warisan dari Presiden Sukarno. Lukisan-lukisan tersebut akhirnya didisplay di Istana Bogor. Dan dinding kosong ruang resepsi Istana Merdeka itu kemudian diisi dengan cermin besar.
Habibie juga mengadakan pemugaran bagian belakang Istana Merdeka. Bagian-bagian yang dinding berkaca di situ dibongkar, karena dianggap menciptakan sekat. Maka ruangan pun serta merta berubah menjadi serambi. Dan di dinding serambi itu dipahat tujuh panil relief kaligrafi Arab yang terbuat dari gibsum.
Hubungan seni kaligrafi dengan Habibie memang erat dari waktu ke waktu. Aneka cenderamata yang dihadiahkan kepada tamu negara yang datang ke Indonesia, atau ketika Habibie bertandang ke negara lain, biasanya mengandung seni kaligrafi Arab. Kecenderungan pilihan seni ini tentulah berkonteks dengan latar hidup Habibie yang sangat Islamik. Presiden yang pernah menjadi petinggi Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) ini disebut “Lambang Progresivitas Islam” oleh Christian Science Monitor, sebuah majalah yang terbit di Amerika Serikat.
***
*Agus Dermawan T. Narasumber Ahli Koleksi Benda Seni Istana Presidsen RI, sejak tahun 2000.