SENI VISUAL SANG PRESIDEN: Melihat Seni Rupa Tentang Jokowi dalam 10 Tahun

Oleh Agus Dermawan T.*

Joko Widodo atau Jokowi telah turun dari tahta kepresidenan pada 20 Oktober 2024. Banyak yang dikenang dalam masa kepemimpinannya selama 10 tahun. Dan semua itu ditandai oleh karya-karya visual yang dicipta banyak seniman. Dari yang memuja sampai yang mencela.

——————————————–

“KEBIASAAN adalah pemimpin utama kehidupan seseorang. Itu sebabnya seseorang akan terus hidup apabila digambarkan sesuai dengan kebiasaannya,” kata Francis Bacon, penulis dan filsuf Inggris abad 17.

Maka ketika ditunjuk sebagai pembuat patung monumen Abraham Lincoln, Daniel Chester French segera menerapkan sebuah dalil : karya seni tentang sosok seseorang sebaiknya dimuati narasi kebiasaan orang yang dipatungkan. Dari situ Daniel lantas menemukan quote, yang dijumput dari perkataan Presiden Amerika Serikat ke-16 ini : I walk slowely. But I never walk backward”. Maknanya : ia biasa berjalan (bekerja) lambat, tapi dirinya tidak pernah ingin berjalan balik ke belakang. 

Pada 1922 muncullah patung Lincoln karya Daniel di Lincoln Memorial di National Mall, Washington DC. Patung yang diposisikan di serambi gedung ala Yunani bergaya Doria itu sosok Lincoln digambarkan duduk anggun di kursi (bukan berdiri, berjalan, apalagi berlari). Di dekat Lincoln tampak inskripsi pidatonya yang sangat terkenal, Gettysburg (1863), dan pidato pelantikannya sebagai presiden petahana. Mata Lincoln digambarkan menatap tajam ke depan nun jauh. Tak ada gelagat ingin melihat ke belakang.

Patung Abraham Lincoln di Washington. (Sumber: Agus Dermawan T)

Pada kurun kemudian ternyata tidak hanya “kebiasaan” saja yang dijadikan muatan. Lantaran para seniman akhirnya menerjemahkan sosok pemimpin sebagai manusia yang kompleks, karena di dalamnya menyimpan peristiwa, sejarah, budaya, aspirasi, interpretasi, dan harapan.

Syahdan Barack Obama mempertahankan jabatannya sebagai presiden Amerika Serikat, setelah ia mengalahkan Mitt Romney pada November 2012. Sebagai presiden berkulit hitam pertama, kemenangannya disambut spesial oleh rakyat Amerika dan bangsa-bangsa lain di dunia. Salah satu komponen bangsa yang ikut seru menyambut adalah para perupa. 

Di antaranya adalah Harwinder Singh Gill yang menggubah wajah Obama dengan medium 40 kilogram sayur-mayur. Kolasi sayur di lantai selebar dua meter itu terhampar di kota Amritsar, India Utara. Mengapa harus dari sayur-mayur? “Karena Obama itu menyehatkan, seperti tomat, wortel dan selada” kata Harwinder. Di Amerika Serikat perupa Andy Magee dari St. Louis, menggubah wajah Obama dalam ukuran raksasa dari kolasi ribuan uang koin. “Saya berharap Obama menjadikan ekonomi Amerika semakin cap jempol!” kata Andy. 

Sambutan perupa Indonesia tentu tak kalah gemuruh, mengingat Obama dan Indonesia memiliki hubungan emosional. Lalu Obama pun masuk dalam karya pelukis Kantor Pos di Pasar Baru Jakarta sampai perupa akademis di berbagai kota. 

“Hope”, karya desainer grafis jalanan Shepard Fairy untuk menyambut kehadiran Obama sebagai Presiden. (Sumber: Majalah Time).

Alhasil, Obama telah mengalahkan figur ikonik seni rupa Indonesia sebelumnya, seperti Che Guevara, Mahatma Gandhi, Albert Einstein, Marilyn Monroe, Suster Teresa dan Bung Karno. 

Jokowi ikon baru

Figur ikonik itu bertambah ketika Indonesia menemukan sosok baru bernama Joko Widodo, alias Jokowi, yang kemudian jadi Presiden Republik Indonesia 2014-2019 dan 2019-2024. 

Sosok Jokowi tentu saja masih jauh dibanding Bung Karno yang lebih 70 tahun dikibarkan sebagai figur piktogenik (menarik dipresentasi dalam perupaan). Namun inspirasi figur Jokowi nyata sudah menyalip sosok Soeharto dan Susilo Bambang Yudhoyono, yang dianggap kurang menawarkan dramatika dalam gesturnya. Dan mengalahkan B.J.Habibie serta Megawati Soekarnoputri, yang meski kaya gaya namun kurang menawarkan lapisan peristiwa. Jokowi hanya bisa disetarakan dengan sosok Abdurrachman Wahid alias Gusdur, yang sampai sekarang masih menstimulasi lahirnya seni rupa naratif dengan muatan kenegarawanan, humor dan filosofi.

Sejumlah seniman menduga, Jokowi menjadi inspiratif lantaran antara sosok dan perilakunya menyimpan tiga paradoks. Yang pertama: posturnya kurus, tapi tenaganya luar biasa. Otot kawat balung wesi, playune koyo jaran sembrani (Otot kawat, tulang besi, dan bisa melaju seperti kuda sembrani). Kedua: Jokowi rakyat sangat biasa, namun mampu jadi pemimpin Indonesia Raya. Ya, siapa menduga si pengusaha mebel berwajah desa itu punya visi ultra modern, berpandangan “jauh ke depan”, dengan beton-beton raksasa bertumpuan. Paradoks ketiga : gemerlap kebangsawanan yang ia terima dari rakyat dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk sikap hidup sangat sederhana. Sebuah ihwal yang dianggap ganjil di tengah masyarakat yang tak henti digoda keseronokan fiesta jabatan dan harta. 

Desainer Nasir Udin mencipta seni grafis digital “Jokowi Sang Striker”, dalam rangka kampanye pemilihan presiden. (Sumber: Dokumen)

“Jokowi Presiden Rakyat,” karya pelukis Hardi, yang diaplikasi di dinding cangkir kopi. (Sumber: Agus Dermawan T)

Jokowi menegaskan, pilihannya atas sikap sederhana itu ditolakkan dari kebiasaan hidup, yang bersumber dari petuah kuno leluhur Jawa : Lamun siro sekti, ojo mateni. Lamun siro banter, ojo ndhisiki. Lamun siro pinter, ojo minteri. Makna petuahnya : Meski saudara memiliki kekuatan lebih, jangan menjatuhkan orang lain. Meski saudara cepat kala berjalan, jangan selalu mendahului. Meski saudara terbilang paling pintar, pantang pamer kepintaran, apalagi sambil menganggap orang lain dungu. 

“Seni rupa adalah reka rasa-pikir manusia untuk menghadirkan sensasi-sensasi menyenangkan,” kata selarik rumus dasar. Sementara itu para seniman melihat bahwa berbagai paradoks yang ada dalam Jokowi merupakan hal mengejutkan yang ujungnya memunculkan sensasi kesukacitaan. Kegembiraan yang diterbitkan oleh paradoks kosmologi Jokowi tersebut lantas bertemu dengan rumus reka seni yang dianut seniman. Lalu muncullah seni rupa Jokowi, yang dihasilkan berpuluh-puluh perupa dalam ratusan karya.

Eko Supa menggambarkan Jokowi jadi Nabi Nuh dengan perahu yang membawa aneka suku bangsa Indonesia selamat dari bencana banjir besar. F. Sigit Santoso menjunjung Jokowi sebagai Pangeran Tanah Nusantara. Patung Wilma Syahnur menggambarkan Jokowi sedang menggembala domba-domba Indonesia yang masih sering jalan melenceng. Lukisan Kartika Affandi merekam keakraban Jokowi dengan rakyat Papua. 

“Jokowi dan Perahu Nabi Nuh”, karya pelukis Eko Supa. Lambang kepercayaan kepada Jokowi.

Lukisan F.Sigit Santoso, “Jokowi Sang Pangeran Tanah Nusantara”.

Lukisan Nyoman Gunarsa menggambarkan Jokowi sebagai dalang lelakon gonjang-ganjing Negara Kesatuan Republik Indonesia. Wartawan dan pelukis Yusuf Susilo Hartono menggubah Jokowi sebagai buraq, sesosok tunggangan yang bergerak secepat kilat kala membawa Nabi Muhammad dari Masjid al-Aqsa ke Mi’raj. Di belakang Jokowi tampak Megawati Soekarnoputri, sang mentor. Hardi melukis wajah Jokowi dengan latar biografis, sebagai orang kecil yang menjadi tokoh besar. Lukisan itu kemudian dicetak di dinding cangkir kopi. “Nyala semangat Jokowi akan kita hirup setiap hari. Ibaratnya kopi,” kata Hardi.

Patung sosok Jokowi yang dibangun Puncak Bukit Sunu, Timor Tengah, Nusa Tenggara Timur. (Sumber: Kompas).

“Monumen Speed Jokowi” karya Nyoman Nuanrta di Sirkuit Mandalika, Lombok. (Sumber: Kompas).

Di beberapa ruang bandar udara, divisi interior bandara membuat patung Jokowi naik sepeda, dengan boncengan yang bisa dinaiki siapa saja. Jokowi disimbolkan sebagai figur yang mengajak siapa saja untuk berjalan jauh dengan laju yang diatur keseimbangan. Haaa, seni rupa Jokowi tampak banyak muatannya! 

Dua tahun terakhir

Namun kultus visual di atas pupus dalam dua tahun sebelum Jokowi turun dari kekuasaannya. Sebagian artikel politik menceritakan bahwa Jokowi telah berbelok arah: dari yang semula merakyat dan demokratis, menjadi figur yang lebih mementingkan urusan keluarga dan pribadi. Dan tujuan dari semua itu, menurut sebagian artikel politik, adalah untuk menciptakan dinasti politik.

Sahibulhikayat berkisah, upaya tersebut dimulai ketika Jokowi ingin memperpanjang tahta kepresidenannya sebanyak satu periode. Begitu ditentang, (konon) ia minta perpanjangan setengah periode. Gagal di situ, Jokowi mencari jalan untuk membangun dinasti kekuasaan. Ia mengangkat menantu dan putranya sebagai penguasa. Semua upaya yang dilakukan dengan berbagai cara itu ternyata berhasil.

Menurut sebagian pengamat politik, pengangkatan menantu, putra (dan segenap kroninya), merupakan bentuk nyata dari pengkhianatan atas faham meritokrasi, yang selama itu ditaati Jokowi. Kita tahu, meritokrasi adalah bentuk sistem politik yang memberikan penghargaan lebih kepada mereka yang berprestasi dan berkemampuan sebagai pemimpin. Dengan itu akan lahir sistem kemasyarakatan yang adil. Banyak yang menganggap, putra-putra dinasti yang disodorkan Jokowi sangat dipaksakan, lantaran belum mumpuni.

Dari sini kultus visual atas Jokowi mulai terdegradasi. Apalagi ketika kita merujuk apa yang dikatakan Marshall McLuhan, bahwa seni sejatinya adalah antena sosial. Seni selalu berkonteks dengan kejadian dan situasi yang bergema di masyarakat. Dengan begitu karya-karya visual ihwal Jokowi, yang semula beraroma kultus, berubah menjadi sangat kritikal. Dari yang satire, metaforis, humoristis, sampai yang kasar. Dari yang sifatnya mengimbau, sampai yang muatannya mengumpat.

Di kota Bangil, Jawa Timur muncul mural yang berjudul “Dipaksa Sehat di Negara Yang Sakit”. Mural tersebut bergambar Jokowi sedang memerintah rakyat yang digambarkan seperti hewan. Di Tangerang muncul mural bergambar Jokowi yang matanya ditutup banner bertulis “404: Not Found”. Makna dari kalimat di banner itu adalah, “Jokowi error”. Karena “404 Not Found” adalah kode status HTTP (Hyper Text Transfer Protocol) yang menunjukkan bahwa server tidak dapat menemukan halaman atau sumber daya yang diminta pengguna.

Mural di terowongan Tol Kunciran, Tangerang, “Jokowi – 404: Not Found” (Sumber: Dokumen).

Pelukis Hudi Alfa dan kawan-kawannya melukis ihwal Jokowi yang tidak memenuhi janji. Di antaranya adalah janji menjadi gubernur Jakarta sampai tuntas, namun ditinggalkan di tengah jalan demi mengejar kedudukan jadi presiden.

Pelukis Kendra Paramita beberapa kali menggambarkan kontroversi politik Jokowi untuk sampul majalah Tempo. Yang paling provokatif adalah gambaran Jokowi sebagai alien. Sementara yang paling heboh adalah presentasi seni rupa Butet Kartaredjasa – budayawan yang semula sangat mempercayai Jokowi, dan kemudian amat kecewa. Ia mengangkat kekecewaannya itu dalam pameran di Jakarta, “Melik Nggendong Lali” (artinya: keinginan untuk memiliki berlebih, sehingga melupakan etika). Di situ Butet membikin patung “Raja Jawa” yang berhidung panjang seperti Pinokio. Kita tahu, penulis Itali Carlo Collodi, pengarang Le Avventure di Pinocchio, mengisahkan bahwa setiap Pinokio berbohong, hidungnya menjadi lebih panjang. 

Patung “Melik Nggendong Lali” karya Butet Kartaredjasa. Tentang “Raja Jawa” yang berhidung Pinokio sedang berbohong. (Sumber: Agus Dermawan T).

Gambar karya Kendra Paramita yang menggambarkan Jokowi sebagai alien. (Sumber: Agus Dermawan T).

Sementara film kartun ternama Amerika The Simpsons pada 1995 sudah menggambarkan masa depan Indonesia yang akan bernasib ganjil di pemerintahan Jokowi. Film garapan Matt Groening itu mengisahkan bahwa Pulau Kalimantan sebagai Singapura. Indikasi dari perpindahan tangan Kalimantan ke tangan Singapura itu adalah digagasnya pembangunan Ibu Kota Nusantara di Kalimantan Timur. Dalam rangka itu, pada Juli tahun 2023 Jokowi mengajak Singapura berinvestasi sebesar-besarnya di situ. Bukanlah apabila investasi besar-besaran terjadi, Kalimantan akan seolah jadi milik Singapura? Itu sebabnya pada tahun 2015 muncul kartun The Simpsons yang menggambarkan Jokowi (dan JK). Di situ disuratkan bahwa Jokowi adalah bagian dari kehebohan keluarga Simpson.

Cuplikan film kartun The Simpsons yang menceritakan Kalimantan menjadi Singapura. (Sumber: Film The Simpsons)

Lukisan keramik Butet Kartaredjasa tentang Jokowi, “Aku Rapopo”. (Sumber: Agus Dermawan T).

Namun atas semua karya visual kritis tersebut Jokowi kelihatan tenang-tenang saja, dan bahkan tidak perduli. Ia bersikap seperti yang tertera dalam lukisan Butet Kartaredjasa tahun 2015 (kala Butet masih mendukung Jokowi). Dalam lukisan itu Jokowi berkata, kritiklah saya, “Aku Rapopo”. 

Namun atas ketidak perdulian Jokowi, para seniman juga santai-santai saja. “Nggak apa-apa. Yang penting, karya visual kami semua sudah menandai zaman, bahwa di puncak pimpinan Indonesia Raya pernah ada orang seperti beliaunya….”

Namanya juga politik. Namanya juga seni rupa tentang politik. ***

—-

*Agus Dermawan T. Pengamat Kebudayaan dan Kesenian.