Poffertjes, Beijing Kaoya, Nasi Kotak MBZ dan Wine

Pameran Seni Rupa Berbagai Era – 4

Oleh Agus Dermawan T.

Ini riwayat kuliner pembukaan pameran seni rupa. Ada yang menawarkan bitterballen dan wine, ada pula yang menyajikan “sate bakar on the spot”. Kuliner itu pancingan agar tamu datang, kata sejumlah penyelenggara.

—————-

MARI MENITI hikayat acara pembukaan pameran yang dilakukan oleh berbagai institusi, sejak awal abad 20 sampai kini. Karena itu kita mulai dari Bataviasche Kunstkring di Heutzboulevard Straat (sekarang Jalan Teuku Umar. Baca Pameran Seni Rupa Berbagai Era – 1). Juga Galeri Kolff di kawasan de Groote Rivier (sekarang Jalan Kali Besar, Kota Tua), Jakarta.   

Menarik diketahui, Galeri Kolff  atau Kolff Kunsthall adalah institusi seni milik toko buku dan percetakan G Kolff & Co, yang didirikan oleh Norman dan Johannes Cornelis Kolff. Sebagai toko buku pertama di Indonesia, dan sponsor utama penerbitan surat kabar ternama Java Bode (Utusan Jawa) pada tengah abad 19, meneer Kolff diminta oleh pemerintah Belanda untuk ikut berpartisipasi dalam kebudayaan. Lantaran Kolff banyak berkenalan dengan pelukis yang jadi staf grafis di percetakannya, maka seni lukis menjadi pilihan partisipasinya. 

**

Gedung toko buku Kolff yang juga dijadikan tempat pameran, dan dinamakan Kolff Kunsthall, di Batavia, tahun 1930-an. (Sumber: Agus Dermawan T).

**

Lalu, bagaimana suasana pembukaan pameran yang diadakan oleh beberapa lembaga ternama tersebut, kala itu? Omar Basalmah (1912-1998) pelukis asal Bandung yang bermukim di Bogor, menceritakan bahwa dia pernah diajak oleh sahabatnya, pelukis FA Kieviets, menghadiri beberapa pembukaan pameran di Bataviasche Kunstkring. “Kieviets berani mengajak saya, karena saya bisa berbicara bahasa Belanda dengan baik,” kisah Omar. 

Di situ Omar melihat bahwa yang datang ke acara menjelang senja itu hampir seratus persen orang Indo Belanda. Sebelum pameran dibuka, para tamu berkumpul di halaman gedung model art nouveau di ujung jalan itu. Di sudut halaman tampak beberapa pemain musik melantunkan lagu-lagu klasik dengan biola dan cellonya. Sejumlah pelayan berbaju putih rajin menghampiri hadirin seraya menawarkan penganan yang berjajar di nampan perak : potongan kecil spekkoek, ontbijtkoek, poffertjes sampai bitterballen, serta es fosco dan cocktail di dalam gelas kecil.

Tidak ada acara yang menyolok di situ, kecuali sambutan pendek direktur lembaga, dan pengenalan pelukis pemamer, yang ketika di taman sudah melakukan lobi-lobi dengan calon pembeli. Di dalam ruang pameran ada satu sudut yang menyiapkan meja bundar. Di dekatnya tampak troli yang menenggerkan beberapa botol wine lengkap dengan slokinya. “Kievets mengatakan, di meja itu transaksi berlangsung,” kata Omar.

Tak ada pesta berlebihan. Meskipun ada juga pembukaan yang berpesta makan, seperti pada pameran Het Vrouwelijk Palet yang menyajikan karya pelukis perempuan Froke Hans, Frida Holleman, Carla Kemper dan empat pelukis lainnya, 1941. Di situ dihidangkan menu makan malam dengan rosbief (daging sapi panggang) dan sebagainya. “Mungkin karena yang berpameran sekumpulan perempuan,” kisah Omar. Di dinding gedung tertulis pengumuman kecil untuk penonton hari-hari biasa : Entree niet-leden 25 cent. Yang bukan anggota, bayar 25 sen.

Pembukaan pameran di Galeri Kolff sama saja. Hanya bedanya, pembukaan dilakukan di dalam ruangan. Banyak yang berkisah bahwa opening di Kolff kadang ramai sekali, karena pembukaannya sengaja ditepatkan dengan kemunculan turis asing, yang kedatangannya diinfokan oleh VTV (Vereniging Toerisverker), perhimpunan wisata yang dibentuk swasta dan pemerintah. VTV memang mempromosikan wisata dengan imbuhan budaya Hindia Belanda dalam bentuk iklan berbahasa Prancis, Jerman dan Inggris ke seluruh daratan Eropa. Promosi yang dirancang JW Teilers ini konon cukup berhasil. Soal suguhan dikenang biasa saja. Dan acara sering tanpa ilustrasi musik.

**

Penganan bitterballen yang biasa disajikan dalam pembukaan pameran di Bataviasche Kunstkring dan Kolff Kunsthall di Batavia, Hotel De Boer di Medan, Savoy Hotel di Bandung, tahun 1940-an. (Sumber: Agus Dermawan T).

Pemain piano klasik sedang beraksi dalam satu perhelatan.

**

Basoeki Abdullah yang pada 1939 pameran di situ, dan tidak puas. Maka ketika ia berpameran tunggal di Societeit Concordia dan Savoy Hotel di Bandung, Hotel De Boer di Medan serta Hotel Du Pavillion di Semarang, ia selalu nanggap pemain piano untuk mengisi pembukaan. Apabila pihak hotel tidak menyediakan anggarannya, ia membayar sendiri pianis itu. “Saya selalu mau pianis yang selevel Henk Mak van Dijk,” katanya. Henk adalah pianis paling handal yang sangat disukai Basoeki. Apa yang dihidangkan sebagai makanan pembukaan adalah snack dan minuman dingin khas hotel yang bersangkutan.

Fung zou di Yin Hua, lawar di Pandy’s Gallery

Pada tahun1950-an tempat pameran favorit adalah Hotel Des Indes. Hotel yang beroperasi sejak 1856 di Weltevreden Straat (kini Jalan Gajah Mada) itu oleh Presiden Sukarno dianggap “gedung penting”. Karena di situ ditandatangani Perjanjian Roem Royen pada 7 Mei 1949. Maka ketika Belanda betul-betul pergi dari Indonesia, Hotel Des Indes ingin dijadikan bagian dari revolusi. “Saya mau, pameran seni banyak dilakukan di Des Indes,” kata Sukarno, bagai dituturkan Dullah, Pelukis Istana Presiden Sukarno 1950-1960.

Banyak pameran seni lukis berskala besar dilakukan di sini. Di antaranya adalah yang diselenggarakan oleh Lembaga Persahabatan Indonesia-Tiongkok, pada Juni 1957. Seperti ditulis oleh Pembantu Seni Lukis Kita (Oei Sian Yok) di majalah Star Weekly, pameran itu menghidangkan 200 lukisan karya banyak seniman, dari Lee Man Fong,Wen Peor, Lin Nan Lung sampai Tjeng Tjiam Hwie. Tapi tidak ada acara pembukaan yang istimewa. Tak ada suguhan penganan yang menggoda ingatan, kecuali cara penyuguhannya yang mingle dan tertib: pramusaji menawari penganan kepada para tamu yang menyebar, satu persatu.

**

Para pramusaji di Hotel Des Indes berbaris membawa penganan untuk disajikan kepada para tamu dalam acara seperti pembukaan pameran. (Sumber: Agus Dermawan T).

**

Gedung Sin Ming Hui di Jalan Gajah Mada, Jakarta, yang kelak bernama Candranaya, juga acap menggelar pameran. Walau di dalam Sin Ming Hui seni rupa hanyalah satu seksi saja, yang ditangani oleh Tjan Tjoe Hok (Harry Tjan Silalahi, yang kemudian jadi pengamat politik) dan Ouwyong Peng Koen (PK Oyong, pendiri Kompas, penggagas Bentara Budaya).

Yang digelar di sini adalah seni lukis beraroma Tionghoa. Seperti lukisan dari perkumpulan Yin Hua pimpinan Lee Man Fong. Menurut Benny Setiawan (1937-2020) acara pembukaan di gedung ini acap diilustrasi pertunjukan guzheng (kecapi cina) yang diiringi er-hu (instrumen gesek berdawai dua). Lagu-lagu yang dimainkan sekitar klasik mandarin. Menu apa yang dihidangkan? Biasanya komponen dari dim sum, seperti bapao, lunpia mini (spring roll) sampai siomay. “You tahu nggak, kalau acaranya spesial, beijing kaoya dan fung zau juga ada,” kata Benny. Beijing kaoya adalah bebek peking, dan fung zau adalah tim ceker ayam.

**

Penganan beijing kaoya atau bebek peking yang kadang disajikan dalam pembukaan pameran yang spesial di Sin Ming Hui, Jakarta. (Sumber: Agus Dermawan T).

**

Lain di Jakarta (Batavia), Bandung, Semarang, Medan, lain lagi di Bali. Pada tengah tahun 1950-an di kawasan Sanur berdiri Pandy’s Gallery. Galeri besar pertama di Bali ini milik James Pandy, pencinta seni yang sebelumnya bekerja sebagai pemandu turis dari biro travel Thomas Cook. Karena masih berhubungan baik dengan biro perjalanan itu. Pandy sering membuat acara pembukaan pameran berbarengan dengan kedatangan para pelancong internasional yang dibawa oleh Thomas Cook. Sehingga acaranya sering jadi meriah dan besar.

Srihadi Soedarsono, yang menjadi asisten Pandy tahun 1954 sampai 1957, mengisahkan. “Di antara sejumlah bangunan besar Galeri Pandy, ada halaman luas untuk menyambut tamu dan untuk pesta di acara pembukaan pameran. Penari Bali dengan iringan musik bambu selalu ada. Apabila spesial sekali, jajaran penari pendet dengan penabuh lengkap juga didatangkan. Acara pembukaan di sini menarik. Apalagi makanannya: dari nasi campur bali dengan lawar, plecing kangkung, sampai makanan Eropa. Pandy juga selalu mengingatkan kepada panitia agar sate lilit dan sate kakul harus ada. Rujak bulung dan tum ayam juga. Lalu kepada semua tamu ia berkata: “Dear guests, don’t forget to taste balinese brem... 

**

Poster pariwisata yang mengundang turis mancanegara datang ke Bali, dan mampir ke Galeri Pandy di Sanur. (Sumber: Agus Dermawan T)

**

“Ya kita harus ingat, Pandy itu Manado. Hij ziet graag dat mensen goed eten en eet veel eten! Dia suka lihat orang makan enak dan makan banyak,” kata Arie Smit, asisten Pandy.

Kelepon dan grontol dari Bentara Budaya

Tahun terus berjalan, sampai akhirnya masyarakat seni rupa Indonesia merayap ke tahun 1970-an. Pada dekade ini upacara pembukaan pameran di antero Indonesia, kecuali di Bali, tampak semakin sederhana, dan dianggap kurang penting. Mungkin karena seni rupa (khususnya lukisan) tidak gampang terjual. Penganan penyambutnya adalah camilan berupa kue-kue kecil saja. Bahkan ada yang menyediakan kacang rebus. Mustika, pengurus inti Taman Ismail Marzuki mengatakan bahwa, dalam bujet pameran tidak pernah ada anggaran untuk acara pembukaan dan konsumsinya.  

Menjelang akhir 1980-an boom lukisan terjadi. Dari sini mendadak bermunculan panitia seni dan galeri yang bermotif komersial. Dengan semangat bersaing, mereka membuat acara pembukaan pameran jadi acara yang “prestisius”. Tradisi cocktail masih diteruskan. Apalagi jika perhelatan itu diselenggarakan di hotel berbintang. Meski bentuk acara pembukaan tetap klasik-klasik saja.

Bicara soal cocktail, biasanya yang disuguhkan adalah snack Eropa, seperti potongan kecil brownies, kroket mini dan sebagainya. Pada tengah tahun 1980-an Bentara Budaya Jakarta merevisi tradisi Barat itu dengan menyuguhkan jajanan pasar seperti nagasari, klepon, onde-onde, kue lapis, bahkan grontol (butiran jagung rebus dengan parutan kelapa). Tradisi Indonesianisasi penganan ini di kemudian hari diikuti oleh banyak galeri di Tanah Air. 

**

Sajian makanan tradisional seperti nasi liwet, nasi ayam semarang, sate ponoprogo, once-onde, nagasari, acap disajikan dan ditradisikan oleh Bentara Budaya Jakarta dan Bentara Budaya Yogyakarta. (Sumber: Agus Dermawan T)

**

Pada tahun 1990-an boom lukisan semakin meletup-letup. Untuk menarik minat banyak pengunjung, menu pembukaan pameran dikibarkan jadi acara utama. Maka tradisi snack, minuman ringan serta cocktail ditingkatkan dengan makan malam atau makan siang. Dan acara itu tertulis jelas dalam undangan. Mengapa demikian? Paulo Hasan Roganiu, seniman Perancis yang mengelola Paulo Gallery – Kebayoran Inn, di Jalan Senayan, Jakarta, mengatakan alasannya. 

“Semula saya buka pameran dengan suguhan penganan kecil, tapi yang datang sedikit. Pada pameran berikutnya saya mengumumkan bahwa pameran dibuka dengan makan malam. Yang datang ya ampun, banyak!” 

Kisah makan malam itu semakin bulan semakin menjadi. Pada pameran-pameran selanjutnya, Paulo Gallery bahkan menyuguhkan “sate bakar on the spot”. Bahkan di luar ruangan pameran ada kambing guling yang tak henti dikeroyok tamu. 

Tradisi ini lantas juga diikuti oleh banyak galeri, bahkan dengan mengundang perusahaan cathering. Sebuah perusahaan kopi malah pernah membangun replika kafe di satu sisi ruang pameran di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta. Semua boleh nyeruput kopi di situ, bercangkir-cangkir, gratis! 

Namun sejauh mengenang kuliner pembukaan pameran, yang paling mengesankan adalah sajian Galeri Hadiprana, yang dulu berkedudukan di Jalan Paletehan, Kebayoran Baru, dan terakhir di Jalan Kemang Raya, Jakarta. 

Arsitek dan ahli interior Hendra Hadiprana menganggap bahwa kuliner dan cara penyajiannya adalah bagian dari budaya, seperti halnya seni rupa. Karena itu, dalam setiap pembukaan pameran, Henk, begitu panggilannya, selalu menghadirkan kuliner dengan aksesori artistik, dengan dekorasi mempesona khas Indonesia. Patung-patung kecil dari Bali dan Jawa, aneka art work, origami janur dengan aksen kuntum hibiscus, ikut hadir di atas meja suguhan dan meja makan. 

“Sebagian tamu Om Henk adalah ekspariat dan diplomat. Penghadiran seni saji kuliner gaya Indonesia di tengah pameran lukisan, ia anggap tepat. Semacam promosi kebudayaan,” kata Johanda, pengurus Galeri Hadiprana. Kulinernya selalu yummy : kombinasi Indonesia, Eropa dan peranakan Tionghoa.

**

Sajian minuman dan makanan dalam acara pembukaan pameran di Neo Gallery, Jakarta, 2024. (Sumber: Agus Dermawan T)

Sajian makanan dalam pembukaan pameran di Neo Gallery, Jakarta, 2024.(Sumber: Agus Dermawan T)

Konsumsi untuk para tamu pembukaan pameran di Galeri Semarang di Semarang, seperti pesta pernikahan. (Sumber: Agus Dermawan T)

**

Kini pameran dengan makan besar sudah biasa. Di Galeri Canna, yang berubah menjadi Cann’s Gallery, selalu menyuguhkan makan malam khas dari perusahaan katering tertentu, dengan selera yang menggoyang lidah. Dalam setiap acara, menu yang disuguhkan selalu berbeda, sehingga “mengejutkan”. 

Pada suatu kali Prasodjo Winarko memamerkan koleksinya di Graha Union Sampoerna, Jakarta. Usai acara pembukaan, “gelar kuliner” dimulai. Segala macam makanan dan minuman ada. Termasuk wine. Namun yang diandalkan adalah nasi kotak yang luar biasa nikmatnya, sehingga sejumlah teman dengan serius menjuluki “Nasi Kotak MBZ”. Semua tahu, MBZ adalah singkatan dari Mohammed bin Zayed, Presiden Uni Emirat Arab.

**

Simbol sajian makanan untuk pembukaan pameran di acara pagelaran koleksi Prasojo Winarko, di Jakarta, tahun 2024. (Sumber: Agus Dermawan T)

Di Tumurun Private Museum, Solo, lebih heboh lagi. Seusai upacara pembukaan, tamu diajak mengincip penganan dan menikmati “makanan Nusantara” dengan berbagai pilihan. Para tamu pun asyik bersantap di meja-meja bundar yang berhamparan. Sementara tak jauh dari situ musik band memainkan lagu berbagai zaman. Dari Rock Around The Clock Bill Haley & Hits Comets, Grace Rod Stewart, Home Michael Buble sampai Gelas Retak Revina Alvira. Di depan panggung band, ada areal tempat berdansa. Lalu menggeliatlah para tamu dalam joged twist, salsa, waltz, chick to chick sampai dangdutan. 

**

Setelah puas menonton pameran, dan setelah usai menikmati penganan dan makanan, para tamu dipersilakan beryanyi dan berdansa dengan iringan musik. (Sumber: Agus Dermawan T)

Aha, jadi teringat Bataviasche Kunsktkring! Hanya bedanya, tamu di Tumurun yang bercelana pendek atau bersarung, tidak dilarang. ***

*Agus Dermawan T. Pengamat Seni. Narasumber Ahli Koleksi Benda Seni Istana Presiden.