Kenangan Pemilu : APK sebagai Sampah Politik
Oleh Agus Dermawan T.
Baliho, poster dan spanduk kampanye pemilu 2024 sebagian besar jelek desainnya dan buruk sekali pemajangannya. Merusak pemandangan di desa sampai kota. Kenangan tidak elok dari pemilu.
—–
PADA SEKITAR 30 tahun lalu saya diundang oleh Penerbit Gramedia untuk memberikan pandangan mengenai desain sampul buku.
Oleh karena saya beberapa kali menjadi juri sampul buku dalam lingkup IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia), maka saya menggunakan kriteria penjurian itu untuk titik tolak pembahasan. Misalnya, sampul sebaiknya menyertakan ilustrasi untuk mendukung informasi pokok yang berkait dengan buku : seperti judul buku, konten buku, nama pengarang buku dan logo penerbit buku. Sementara ilustrasi dan segenap tipografi yang diterakan di sampul sebaiknya estetik, artistik, seindah-indahnya. Mengingat – apabila diibaratkan sebagai sosok manusia – sampul buku adalah pakaian yang membungkus tubuh. Pakaian yang indah adalah penghormatan atas tubuh.
Arswendo Atmowiloto yang duduk sebagai pembanding sempat mengingatkan. “Benar pakaian buku harus indah. Tapi ukuran keindahan pakaian bisa relatif. Yang dikriteriakan oleh selera orang kota, sungguh berbeda dengan ukuran orang di desa. Yang diindahkan orang Klungkung berbeda dengan kebagusan orang Bukittinggi.” Maka pakaian untuk siapa pun, harus mempunyai kesesuaian keindahan dengan wilayah, adat dan lingkungan.
Memori ihwal diskusi sampul buku itu mendadak muncul ketika saya melihat jajaran Alat Peraga Kampanye (APK) pemilihan umum (pemilu) yang ada di segenap sisi jalan Indonesia pada sepanjang Desember-Januari. APK itu berbentuk poster, spanduk, baliho atau billboard. Kita tahu, jajaran APK itu sedang mengkampanyekan sosok calon legislatif (caleg) untuk pemilihan anggota DPR dan DPRD di seantero negeri. Dan juga untuk menyosialisasikan presiden dan wakil presiden dalam pemilu nanti, 14 Februari.
APK tanpa estetika
Seperti sampul buku, APK adalah pakaian yang membalut sosok peserta kontestasi politik. APK adalah bungkus yang menawarkan imaji mengenai siapa politikus di balik bungkusan itu. Sehingga sesungguhnya, di balik presentasi APK tersembunyi sosok orang yang sedang memuliakan diri. Atau sosok yang ingin (dan seharusnya) dimuliakan oleh orang lain. Dengan begitu APK dituntut untuk tampil sebagai-baiknya. Yang dalam kriteria pakaian buku atau sampul buku : seindah-indahnya. Menyertai keindahan itu, APK juga dituntut untuk terpajang apik, sehingga eksistensi sosok yang ada di balik APK juga terposisi layak sebagai “makluk baik-baik”.
Namun apa yang kita lihat sepanjang bulan ini adalah kebalikan dari yang dikriteriakan itu. Tak bisa diingkari, dari penglihatan atas ribuan jenis APK yang terpasang (dengan jumlah yang ratusan ribu), sangatlah sedikit yang memenuhi kriteria sebagai “pakaian yang indah”. Sehingga sebagai pajangan kolosal di pinggiran jalan, APK itu hadir sebagai karya visual yang menjemukan. Dan lantaran membuat bosan, semuanya nyaris tidak menarik perhatian. Suatu hal yang menjadikan APK gagal sebagai reklame, sebagai alat promosi, propaganda, atau kampanye.
Faktor kegagalan itu adalah: umumnya jajaran APK itu punya pola yang serupa. Komposisi headline dan sub headlinenya mirip, dengan body copy atau teks informasi yang sama. Semua paduan unsur itu diberi ilustrasi wajib wajah para kontestan, yang posenya juga rata-rata sama. Bahkan dalam peletakan footer atau template, yang mencantumkan nama calon, nama partai dan logo partai, juga nyaris tak berbeda satu sama lain.
Lalu, dari pengamatan di berbagai tempat, yang bolak-balik terbaca sebagai kalimat slogan juga sama. Seperti: “Amanah dan Peduli”, “Berjuang Bersama Rakyat”, “Bantu Rakyat“, “Kerja Nyata”. Atau kalimat yang sama sekali tiada bertenaga untuk sebuah poster : “Mohon Doa dan Dukungannya”. Di sisi teks itu muncul gambar paku besar yang mencoblos gambar nomor. Di sebelah paku menampang foto caleg yang tersenyum tulus dengan tangan terkepal, atau yang berwajah alim dan ramah dengan mengenakan kopiah. Bahkan ada yang memasang pasfoto semacam sisa dokumen paspor.
Para calon wakil rakyat tidak sadar bahwa sajian nyaris seragam seperti itu, dan ilustrasi foto figur yang cuma begitu-begitu, bisa menutup peluang untuk menjelaskan siapa dirinya. Mengaburkan apa keahliannya, apa aspirasinya, dan apa yang akan diperjuangkan untuk rakyatnya. Lantaran masyarakat tidak tahu apakah kontestan itu seorang pengacara, preman, pengusaha, bandir, dokter atau seniman. Meski tentu ada satu dua yang punya kecerdikan menyiasati. Semisal caleg mantan juara dunia badminton yang memasang foto dirinya sedang membawa raket.
Kurang termaafkan
Jajaran APK yang tersaji di mata kita memang hampir semuanya tidak digubah dengan desain yang kreatif. Dan nyata dikerjakan oleh percetakan yang punya patron klasik untuk pembuatan produk itu setiap lima tahun. Perwajahan menjemukan dari APK ini sebenarnya kurang termaafkan, mengingat betapa benda-benda itu dipaksakan hadir di hadapan pandangan siapa saja.
Kembali mengacu kepada dunia perbukuan, ada memang ungkapan klasik yang mengatakan: “Don’t judge a book by its cover” atau “Jangan menilai isi buku dari sampulnya”. Tapi ungkapan itu tidak bisa diterapkan kepada APK, yang pada hakikatnya ingin menghadirkan caleg sebagai sosok manusia cantik, gagah, tampan, berbobot, berintegritas. Tanpa “sampul” yang baik, atau tanpa APK yang baik, eksistensi caleg belum-belum sudah kelihatan buruk.
Padahal Walter Benjamin dalam buku The Works of Art in the Age of Mechanical Reproduction (1936) sudah amat lama mengingatkan: Era reproduksi mekanis telah mempengaruhi cara kita dalam memandang karya seni. Dalam era ini, karya seni tidak lagi disebut sakral. Bahkan dalam karya-karya – yang dari perspektif Marxis disebut mengusung makna sosial (dalam konteks ini: spanduk, poster, baliho) – nilai seni bisa-bisa disingkirkan. Seni bisa sirna setelah dimanipulasi untuk kepentingan sosial politik.
Yang lebih keterlaluan adalah display APK itu, yang di sebagian besar wilayah terlihat semrawut. Di desa-desa APK itu dipaku di pohon-pohon, dan ditempel di tiang listrik atau di dinding pagar rumah orang tanpa permisi. Di kota-kota, hampir semua tembok gardu jadi sasaran. Tanah-tanah yang sedikit kosong ditancapi tiang-tiang bambu. Di tiang ringkih itu APK dibentang, sehingga sedikit saja angin menubruk, lembar APK segera ambruk. Di tempat saya, di Kelapa Gading, Jakarta, setiap pohon di tepian kali menjadi tempat berhimpunnya APK. Setiap pohon bisa 5 sampai 7 macam APK terpaku.
Ada APK mini berukuran 50 x 40 cm yang dipancang di ketinggian batang, yang tak memungkinkan orang melihat dan membacanya. Ada APK berukuran sedang, yang terposisi asal menggantung saja. Sehingga begitu angin berdesir, APK itu mencong atau terpelintir. Dan itu mendampingi APK raksasa dengan dipenuhi omon-omon : “Seluruh jemaat pasti coblos nomor saya. Generasi minyak dan anggur tidak akan dikalahkan. Kalau ada yang pasti dan dekat di hati, kenapa harus pilih yang lain…?!” APK ini seperti menegaskan bahwa volume sungguh lebih penting dibanding desain atau perupaaan. Sementara pada sisi sana beberapa tong penampungan sampah restoran, juga ditempeli APK. Sikap pemasangan APK yang asal-asalan mengindikasikan bahwa para caleg – secara sadar dan tak sadar – sedang beramai-ramai merendahkan dirinya.
Hal lain – seperti yang disinggung Arswendo Atmowiloto di awal tulisan ini – gaya visual APK caleg nyaris sama di berbagai daerah. Baliho dan poster yang ada di Medan, sama polanya dengan yang ada di Desa Gempol, Pasuruan. Yang terpasang di Grobogan, sama dengan yang terpajang di Ampenan. Padahal setiap warga daerah memiliki cita rasa visual yang berbeda-beda. Dan cita-rasa itu adalah ujung tombak dari penyampaian piranti komunikasi massa, seperti APK. Di sini lantas terlihat, ada patron yang dipolakan dari langit. Situasi APK seperti ini juga sangat saya rasakan ketika pada menjelang pemilu 2019 silam saya bertandang ke pelosok Kota Malang dan Kabupaten Banyuwangi.
Lalu siapa pun boleh menyimpulkan bahwa gerumbulan APK yang berkibar-kibar itu mengotori lingkungan. Dan siapa pun boleh beranggapan bahwa APK yang tidak tergubah dengan baik dan terpasang sembarangan, tak lebih adalah sampah politik yang mengganggu pemandangan.
Untuk perbandingan, mari kita baca apa yang ditulis oleh AD Pirous dalam buku Seni Pariwara Sebagai Alat Propaganda Perjuangan (2022) :
Di Swiss pembuatan pariwara (spanduk, poster, baliho, adt) telah menemukan bentuk yang paling tinggi dalam nilainya, dan punya kesatuan ukuran, sehingga tertib dalam pemajangan. Adapun di Amerika disebarkan papan-papan pancang (hoarding) pariwara di hampir 16.000 kota. Di Jerman dan Perancis pariwara ditempelkan pada dinding kios-kios dan tiang-tiang besar yang sudah ditentukan. Sehingga ada penetapan dalam ukuran. Ketertiban peletakan ini ujungnya menuntut pembuat pariwara untuk menggubah desain sebaiknya-baiknya.
Kita simak, yang ditulis Pirous itu adalah situasi pemajangan pariwara yang terjadi pada 70 tahun silam. Kita bayangkan, betapa ketertiban yang terjadi di sana, pada era sekarang.
Tentu saja ada APK yang tergarap estetik dan gaya, dengan pemajangan yang elegan serta pada tempatnya. Juga APK yang berani nyeleneh strategi presentasinya, dengan tampilan yang membelalakkan mata. Seperti APK yang menghadirkan foto caleg terjungkir dan terbalik, untuk mendukung tagline yang berbunyi : “Siap Jungkir Balik Demi Rakyat”, di Riau. APK yang memakai headline “Pelakor” sebagai singkatan dari Pengganti Legislator Kotor, di Sulawesi Tengah. Atau APK yang memasang foto bintang film India Shah Rukh Khan, dengan pampangan nama caleg di bawahnya, di Kalimantan Barat.
Di Jakarta Utara ada APK dengan teks “Janji Bantai Koruptor! Kalau Menang…” Di sebelah nama dan nomor caleg, terdapat gambar pestol Glock Meyer 22 yang siap meletup. Pasti ada yang tahu, pestol jenis ini paling banyak digunakan oleh para penegak hukum di seluruh dunia.
Namun sayangnya, yang bagus begini hanya 0,01% saja jumlahnya. *
——
Agus Dermawan T. Kritikus. Narasumber Ahli Koleksi Benda Seni Istana Kepresidenan.