IWAN SULISTYO: Profesionalisme “Pelukis Hari Minggu”

Oleh : Agus Dermawan T.*

Ia memosisikan diri sebagai pelukis “separuh waktu”. Namun ribuan lukisan menawan telah diciptakan dan 31 pameran tunggal ia selenggarakan. Pelukis yang mengaku-ngaku profesional pun keok.

JB IWAN SULISTYO, kelahiran Kudus, Jawa Tengah 1954, adalah pelukis penjelajah yang memandang jauh panorama alam dan kota, menyusuri kampung untuk menemukan taferil, menangkap aneka perdu dan bunga yang menyelip di ladang dusun dan desa.

Dalam penjelajahan itu Iwan (begitu panggilannya) selalu memosisikan diri sebagai seniman on the spot. Pada momentum tertentu ia merekam obyek yang ia datangi dengan pensil dan pena. Pada saat lain ia membawa kanvas ke medan pelukisan. Panorama, taferil dan rumpun perdu direkam dalam aneka warna. Pada ketika yang lain ia membuka gambar pensil dan pena yang ia bikin. Dengan membayangkan atmosfir, gambar-gambar hitam putih itu ia jelmakan ke dalam lukisan cat minyak.

Maka kita pun dipertemukan dengan lukisan Iwan yang berobyek sana-sini. Dari kampung-kampung di Nusantara, sampai sudut kota-kota besar di luar negeri. Pameran tunggalnya yang ke-31, “Journey”, di Sunrise Gallery – Hotel Fairmont, Jakarta, sampai 26 Oktober 2024, membuktikan itu. O ya, pagelaran ini untuk memperingati 40 dunia seni lukisnya.

JB Iwan Sulistyo sedang membuat sketsa di hutan Tiongkok. (Sumber: Agus Dermawan T)

Karya Iwan Sulistyo, “Klenteng Tua di Ujung Pecinan, Semarang.” (Sumber: Buku Fascinating Indonesia)

 

Karya Iwan Sulistyo, “Para Pekerja Perempuan di Pabrik Rokok”. (Sumber: Buku Fascinating Indonesia)

Di kanvas-kanvasnya kita menyaksikan segala macam cerita. Suasana terbitnya matahari dari balik Gunung Merapi yang sedang menjaga candi (Matahari di Borobudur). Pasar tradisional Bali yang digelar di keteduhan pohon banyan (Pasar Bali). Sawah menghijau dengan latar laut biru, berhias bukit-bukit fatamorgana (Ciletuh, Pelabuhan Ratu).  Pada kesempatan lain ia melukis tanaman parijotho yang dua jenis bunganya sedang mekar mempesona (Sepasang Kembang Parijotho). Tetumbuhan berkhasiat milik bumi Kudus, tanah kelahirannya. Di tengah kedekatannya dengan alam, Iwan tidak lupa merekam rembulan, dewi semesta yang selalu mengobsesi penglihatan mata dan hatinya sejak lama (Rembulan Malioboro). Lukisan yang mengingatkan catatan kepada keapikan lukisan purnamanya yang dulu, tentang rembulan di langit Candi Prambanan (Mengapung Purnama di Opera Ramayana, 2003).

Lukisan cat minyak Iwan Sulistyo “Mengapung Purnama di Opera Ramayana” (Sumber: Agus Dermawan T)

Keluar dari bumi pertiwi, Iwan mengembarakan kanvasnya ke Eropa. Lalu dilukiskan panorama Paris dari kejauhan (I Love Paris), kota Florence pagi hari yang dilihat dari pandangan mata burung (Selamat Pagi Florence), sampai kanal-kanal di Venezia lengkap dengan gondola (Gondola Venezia). Tak lupa gambaran dramatik bintang-bintang yang berpendaran ala “Starry Night” Vincent van Gogh di atas kota Barcelona, Spanyol (Starry Night di Langit Barcelona). Sejumlah lukisan pelancongan yang meneruskan keberhasilannya dalam menangkap pesona turistik, bagai dulu diperlihatkan dalam lukisan bukit es tempat bermain ski di Selandia Baru (Areal Ski di Gunung Ruapehu, 2006).

Namun, sedalam-dalam Iwan menelusukkan obyeknya, dan sejauh-jauh kanvasnya diajak mengembara ke sisi dunia, lukisannya tetap berada dalam gaya dan aliran yang lama: realis ekspresionistik, dengan mengacu kepada pemahaman post impresionis.

Iwan sangat menyadari atas pilihannya ini. “Saya mungkin bagian dari sejarah masa silam,” katanya. Tapi, di sebelah manakah aliran lukisan Iwan oleh sejarah ditempatkan? Catatan kecil di bawah ini bisa dibaca.

Lukisan cat minyak Iwan Sulistyo, “Selamat Pagi Florence” (Sumber: Agus Dermawan T)

 

Lukisan cat minyak Iwan Sulistyo, “Starry Night di Langit Barcelona” (Sumber: Agus Dermawan T)

Lukisan cat minyak Iwan Sulistyo, “Areal Ski di Gunung Ruapehu” (Sumber: Buku Whisper of a Retless HeArt)

 

Berbondong ke muara

Seni lukis Indonesia modern pertama kali bangkit sejak kemunculan Raden Saleh Syarif Bustaman (1807 – 1880). Sebelum dan semasa Raden Saleh, seni lukis modern di Indonesia diilustrasi oleh pekerjaan para pelukis yang sebagiannya bergiat pada bidang topografi.

Setelah Raden Saleh wafat, seni lukis Indonesia tidak melahirkan pelukis yang menonjol, sampai menjelang 1925 muncul reputasi Abdullah Suriosubroto. Seniman bangsawan yang pernah belajar di Belanda ini melukis pemandangan alam dalam gaya realis‑naturalistik. Bersamaan dengan Abdullah aktif pula para ­pelukis Eropa dan Hindia Belanda. Dari lingkaran seni ini lahir pelukis yang karyanya memberikan aksentuasi dalam perkembangan seni lukis modern Indonesia. Seperti Isaac Israels, Walter Spies, Rudolf Bonnet, Emil Rizek, Romualdo Locateli.

Pada 1938 pelukis Sudjojono dan Agus Djaya bergerak lewat organisasi Persagi (Persatuan Ahli‑ahli Gambar Indonesia). Substansi dari upaya Persagi adalah untuk mencari posisi yang layak bagi seni lukis Indonesia, yang kala itu dihegemoni pelukis asing. Persagi kemudian bubar karena pemerintah fasisme Jepang menggantinya dengan organisasi kebudayaan Keimin Bunka Sidhoso, tahun 1943. Pada era ini nasionalitas jiwa-rasa menjadi konten seni rupa, dan basis realisme menjadi senjatanya.

Setelah Indonesia merdeka 17 Agustus 1945, muncul amat banyak perkumpulan seni atau sanggar. Lalu lahirlah aliran seni yang amat beragam, bahkan simpang-siur, sebagai hasil dari perkembangan aspirasi pelukis bumiputera yang baru menikmati kemerdekaan.

Beruntun dengan itu lahir perguruan formal yang mengajarkan seni rupa. Fakultas Teknik di Bandung yang kemudian berubah jadi ITB, Akademi Seni Rupa Indonesia di Yogyakarta, Akademi Seni Rupa Surabaya, Institut Kesenian Jakarta, dan puluhan lainnya. Perguruan seni ini membuka horison pemikiran aliran dan pemilihan aliran seni rupa.

Lukisan cat air Iwan Sulistyo, “Upacara di Pura, Bali” (Sumber: Agus Dermawan T)

Dalam masa 190 tahun itu seni lukis di Indonesia menghadiahkan beragam aliran yang datang silih berganti. Yang semuanya terlihat dorong mendorong, tundung-menundung, bersenggol-senggolan dan bahkan berbentur-benturan. Realisme dan naturalisme fotografis yang dibawa Raden Saleh dan Abdullah Suriosubroto ditundung oleh realisme ekpresionistik dan impresionistik yang mengutamakan lirisisme. Gaya lukisan representasional turistik Hindia Belanda ditimpa realisme kebangsaan Sudjojono. Mashab realisme kebangsaan ditimpali seni pseudo kubistik yang diberangkatkan oleh kelompok akademi Ries Mulder di Bandung.

Sementara itu sanggar-sanggar di berbagai wilayah juga menawarkan aliran, dari yang menengok faham liberal, yang mengakar seni tradisional, sampai yang mengumandangkan realisme sosial. Lahir pula aliran akademi yang mengarah kepada seni abstrak dan semi abstrak, dari yang banal ekspresif sampai yang tertip geometris. Yang lantas dipudarkan oleh berbagai aliran tak terduga, seperti pop art dan surealisme, dari yang menumpang jerapah Salvador Dali sampai yang mendekat-dekat seni nihilis Dada.

Pada tahun 2000 semua aliran yang bernaung di bawah kubah modernisme tersebut bertemu dan “bertumbur” dengan (apa yang disebut) kontemporerisme. Dua fraksi seni yang kelihatannya bertentangan, meski sesungguhnya keduanya sangat menyatu. Lantaran konsep seni kontemporer – yang salah satunya mengacu kepada post modernisme – pada intinya diberangkatkan dari hasrat untuk merespon modernisme. Maka kita tahu, kontemporerisme adalah muara (sementara) sejarah seni lukis Indonesia, yang merasa berada selangkah di depan modernisme. Sebelum kelak dipepet bahkan disikut oleh kecenderungan lain, sebagai buah dari evolusi seni.

Iwan tentu mengikuti deras-lambannya aliran sungai seni di atas. Ia mengikuti arusnya, meski dirinya tidak harus hanyut dan lantas dilabuhkan ke muara, sebagaimana sebagian besar pelukis Indonesia. Lantaran ia lebih ingin tetap berada di salah satu aliran yang berada jauh di belakang: realis ekspresionis atau post impresionis.

Kuno? Bisa juga. Meskipun sesungguhnya dalam seni tidak ada sebutan aliran kuno atau tidak kuno, atau baru. Namun seandainya itu ada, sebutan itu sama sekali bukan persoalan. Karena menurutnya, dalam seni lukis, juga dalam seni rupa, hanya mutu yang jadi pertimbangan. Memang, seni lukis yang berkualitas – meski “kuno” – adalah berkah estetik. Sedangkan seni rupa yang buruk – meski itu progresif sezaman – adalah sampah artistik. Iwan memang memperoleh keberkahan atas seni yang ber”kuno-ria” itu. Dengan seni lukisnya ia bisa punya tempat dalam sejarah. Dan tentu disertai jerih payah kerja kantorannya, ia bisa punya gerai bisnis serta rumah di Kudus, Bali, Selandia Baru, dan Jakarta.

Lukisan cat minyak Iwan Sulistyo, “Jalanan di Kampung, Bali” (Sumber: Agus Dermawan T)

 

Pelukis hari minggu

Iwan Sulistyo pernah saya catat sebagai tonggak pelukis “paruh waktu”. Karena sebagai insan kantoran, ia banyak menghasilkan lukisan yang mengesankan.

“Pelukis paruh waktu” atau “Sunday painter” atau “pelukis hari Minggu” adalah sebutan untuk para pelukis yang hanya sempat berkarya di sela-sela kesibukan pekerjaan profesionalnya. Seperti Iwan yang sepenuh harinya selama puluhan tahun pernah dikurung kesibukan sebagai Marketing Communication Manager di pabrik rokok Noroyono.

Disebut tonggak, lantaran produktivitas dan aktivitas seni Iwan ternyata jauh melebihi kebanyakan “pelukis penuh waktu”. Buktinya, sebagai pelukis kantoran, Iwan telah pameran tunggal sebanyak 31 kali. Jumlah ini jelas jauh lebih banyak dibanding sebagian besar “pelukis sepenuh-penuhnya waktu”, yang dalam 40 tahun mungkin hanya pameran tunggal 5 sampai 10 kali.

Iwan telah mengikuti lebih dari 80 pameran bersama di Indonesia dan berbagai negara. Karyanya bahkan pernah digelar bersama koleksi batik Ann Dunham, Ibunda Presiden Barack Obama, di Hotel Mandarin Oriental, Maryland Avenue, Washington DC, Amerika Serikat, pada medio Agustus 2009.

Tiga tahun lalu, 2021, Iwan pensiun dari pekerjaan kantornya. Ia pun jadi pelukis “penuh waktu”. Kita menduga, pada periode ini produktivitasnya akan jauh meningkat, lantaran jam-jam kantor tidak lagi mencegat. Namun dugaan itu tidak terlampau terbukti.

Iwan Sulistyo sedang melukis, dengan asisten yang menyiapkan cat-catnya. (Sumber: Agus Dermawan T)

 

Pameran JB Iwan Sulistyo, “Journey” di Sunrise Gallery, Hotel Fairmont, Jakarta. (Sumber: Agus Dermawan T)

 

“Produktivitas kerja saya tetap seperti yang lampau-lampau. Hanya jam kerjanya yang saya tebar di setiap saat. Jam-jam lowong yang ada sekarang saya gunakan untuk mengoreksi artistik lukisan, agar mencapai kualitas yang lebih bermutu,” katanya.

Ujung kalam, ada yang penting untuk diingat sebagai pelengkap kosmologi.

JB Iwan Sulistyo adalah sarjana S2 Managemen dari Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Gunung Sewu, dan mendapat gelar MBA dari Philippines School of Bussiness Administration. Ia pernah kuliah seni rupa di Sekolah Tinggi Seni Rupa Trisaksi, serta ikut kursus melukis di Institut Kesenian Jakarta. Ilmu kesenirupaan juga ia gali dari pergaulannya di aneka perkumpulan seni, yang kadang ia ketuai. Sebagai “pelukis hari Minggu”, ia telah menerbitkan 4 buku seni lukis edisi coffee table, yang membahagiakan ketebalan dan kualitasnya.

 

*Agus Dermawan T, Kritikus. Narasumber Ahli Koleksi Benda Seni Istana Presiden RI.