HUANG FONG, 89 Umurnya, 70 Tahun Karirnya
Oleh Agus Dermawan T.
Huang Fong, 89 tahun, adalah pelukis aktif tertua di Indonesia sekarang. Tengah tahun 2025 ia genap 70 tahun melukis. Karyanya sangat khas. Hampir semuanya mengabadikan alam dan kebudayaan Bali. Ia pun menjadi ikon dalam dunia seni lukis modern Bali.
————
SEJAK tahun 2020, Huang Fong sering kali mengirim video yang unik. Isi video itu adalah adegan ia mencuci lukisannya dengan menggunakan shower. Air disemprotkan ke kanvasnya yang sudah berlukis-lukis. Kemudian kuas besar yang halus mengusap-ngusap permukaan kanvas. Debu-debu rontok. Lukisan pun menjadi jernih dan bersih.
Namun tujuan dari memvideokan adegan cuci kanvas itu bukan hanya sekedar pameran kebersihan. Lebih jauh ia ingin membuktikan, bahwa lukisannya, yang dicipta lewat medium cat air di atas kanvas, tidak luntur terkena guyuran dan siraman air. “Dari dulu ada anggapan bahwa lukisan cat air akan lebur apabila terkena air. Lukisan saya tidak,” katanya. Sebab setelah lukisan itu dianggap jadi, Huang Fong segera melapisi sekujur kanvasnya dengan cairan, yang berfungsi sebagai perekat dan pelindung. Hasilnya, semua warna yang ada di situ aman dan tak berubah dari waktu ke waktu.

Huang Fong, 89 tahun, salah satu pelukis aktif Indonesia yang paling tua pada saat sekarang. Ia sudah 70 tahun berkarya. (Sumber: Iliana Lie).
Lukisan-lukisan tersebut sengaja dicuci lantaran dipersiapkan untuk pameran tetap di galeri pribadinya. Sebuah pemajangan yang menurutnya sakral, lantaran selain untuk mencatat “kaleidoskop” sejarah penciptaan lukisannya, juga untuk menandai 70 tahun ia berkarya secara profesional. Sementara itu publik luas mengetahui bahwa Huang Fong senantiasa melukis yang indah-indah, yang surgawi, yang serba paradise atau paradiso mengenai Bali.
Berikut adalah petikan dari wawancara dengan Huang Fong, yang kiranya dapat membantu apresiasi kita kepada sosoknya, jejak perjalanan dan jajaran karyanya.
ADT (Agus Dermawan T): Sejumlah teman masa kecil Anda terkejut, ternyata pelukis Huang Fong adalah orang yang dulu mereka kenal dengan nama berbeda. Benarkah?
HF (Huang Fong): Mereka benar. Ketika saya dilahirkan pada 14 April 1936, saya diberi nama Oei Ping Liang. Sementara adik saya bernama Oei Ping Liong. Dalam lingkup keluarga besar, sebagai anak sulung dari sepuluh bersaudara, sebutan Liang dan Liong ini sering bikin masalah. Karena itu, ketika masuk ke dunia seni, saya berganti nama dengan Huang Fong. Maka ketika saya berjumpa dengan teman masa kecil, mereka sering kaget sambil bilang : Eee, jebule kowe, tho!
ADT: Mengapa tetap bernama Tionghoa. Kok tidak ganti nama Indonesia saja, sekalian?
HF: Waktu itu tahun 1964. Ketentuan orang Tionghoa untuk berganti nama Indonesia baru tiga tahun setelahnya, merujuk Instruksi Presiden nomer 14 tahun 1967. Lagi pula, tidak ada gunanya berganti nama Indonesia. Itu kan cuma kulitnya. Jiwa saya sudah sangat Indonesia.
ADT: Huang Fong, apa arti nama itu?
HF: Dalam bahasa Mandarin, Huang itu artinya kuning. Fong itu artinya angin. Jadi saya ini Si Angin Kuning. Kuning itu adalah warna yang diagungkan dalam falsafah Timur. Ingat nama sungai terbesar di Tiongkok, Huang Ho, Sungai Kuning. Di Bali warna kuning sangat dominan dalam berbagai upacara. Pada Galungan, misalnya. Sementara angin adalah udara yang tak henti bergerak, dan tak henti mengisi sela-sela kehidupan semua makluk. Angin itu ibarat pahlawan yang tak kelihatan. Jadi, Huang Fong adalah Angin yang Agung.
ADT: Kapan Anda mulai memasuki dunia seni?
HF : Saya mencoba-coba pada tahun 1952. Ketika itu saya bermukim di Surabaya, dan berjumpa dengan Tan Kiaw Tik, seorang guru gambar. Ia menyarankan agar saya banyak menggambar. Sejak itu saya beli sekotak cat air dan kertas-kertas gambar kiloan, sisa sebuah percetakan. Puji-pujian dari guru Tik membuat saya bersemangat.
ADT: Apa yang Anda gambar kala itu?
HF: Biasanya alam lingkungan yang ditumbuhi rumpun perdu, sebagai bagian dari kenangan masa kecil saya yang hidup di desa, di daerah Genteng, Banyuwangi. Semasa kecil saya termasuk amat dekat dengan situasi pelosok desa. Yang terdekat dengan mata saya itulah yang saya lukiskan. Tentu termasuk gadis-gadis desa, yang sedikit banyak merangsang cinta monyet saya. Hahaha.
ADT: Apakah sejak itu Anda berhasrat menjadi pelukis?
HF: Belum! Belum punya waktu sepenuhnya. Karena sejak lulus SMA saya harus memenuhi kebutuhan hidup, cari makan. Saya lalu bekerja di toko sepeda, untuk kemudian di pabrik limun. Sore harinya saya nyambi kerja di studio foto. Nah, di studio foto ini saya mendapat pekerjaan yang ada hubungannya dengan seni rupa, yakni mewarnai foto-foto hitam putih dengan cat air. Waktu itu memang belum ada cetakan foto berwarna. Semuanya hitam-putih. Di sini saya banyak belajar mengenai bayangan, tekstur kulit manusia dan karakter benda-benda.
Kenangan hitam-putih ini terus menempel dalam persepsi, sehingga mempengaruhi warna-warna monokromatik lukisan saya dalam sebuah periode yang panjang. Dan menyebabkan saya cinta kepada cat air. Saya ingat, temuan itu terjadi pada tengah tahun 1955. Saya berpikir, ini mungkin lukisan masa depan saya. Pada kemudian hari saya menentukan, pada momentum itulah saya memulai jalan sebagai pelukis profesional.

Lukisan Huang Fong, “Penari Bali”. Gaya khas dengan teknik khas, dengan medium cat air di atas kanvas. (Sumber: Agus Dermawan T)
ADT: Namun Anda juga melukis dengan cat minyak, ‘kan?
HF: Betul. Itu sebetulnya variasi. Saya pernah belajar melukis cat minyak kepada Nurdin BS, seorang seniman asal Padang. Juga kepada Bargowo, dosen di Institut Keguruan Ilmu Pendidikan atau IKIP di Surabaya. Oya, saya sempat menjadi mahasiswa di IKIP itu. Namun hanya sepuluh hari saja. Setelah itu gak tahan.
ADT: Lho, kenapa tidak tahan?
HF: Semuanya harus bermula dari awal. Sementara saya merasa sudah menempuh separuh perjalanan.
ADT: Anda dikenal sebagai pelukis Jawa yang tinggal di Bali. Sejak kapan bermukim di Bali?
HF: Sejak tahun 1967. Sebelumnya tahun 1963 saya sempat keliling Bali, melihat-lihat, sambil membuat sketsa. Saya merasa cocok dengan Bali yang rukun, toleran serta kaya budaya. Di Bali saya memilih tinggal di Ubud, sebuah desa yang mulai banyak ditinggali para seniman luar negeri dan “seniman Jawa” yang sengaja bermigrasi ke Bali. Sebutan “seniman Jawa” ini bukan berarti semuanya orang Jawa, karena di dalamnya ada yang dari Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan sebagainya. Setelah itu saya pindah ke Denpasar, kawasan Renon, Sanur, sampai sekarang.
ADT: Pengalaman apa yang paling melekat dalam kehidupan kesenian Anda selama di Bali?
HF: Di Ubud saya banyak bertemu dengan seniman kelas satu. Di antaranya OH Supono, Anton Huang, Abdul Azis, Tedja Suminar, Ida Bagus Made Poleng. Juga Affandi dan Hendra Gunawan. Dengan Affandi dan Hendra hubungan saya sangat dekat. Saya banyak belajar dari mereka tentang sikap yang fokus. Mereka menegaskan : Kerjakan yang kamu senang, sampai tuntas. Cari yang kamu mau, sampai ketemu.
ADT: Dari wejangan itu, apa yang berhasil Anda dapatkan?
HF: Oooo. Dari sikap ini akhirnya saya bisa mengembangkan teknik akuarel di atas kanvas, yang kemudian dikenal sebagai gaya khas lukisan saya. Itu teknik yang saya temukan cikal-bakalnya pada tengah 1955 dulu. Tak kurang dari empat tahun saya bereksperimen dengan teknik ini. Penemuan gaya ini menyandingkan teknik chinese painting yang mengutamakan transparansi, dengan teknik melukis gaya Renaissance sebagai anak dari western art, serta teknik melukis ala Bali yang kerap menggunakan penelak, atau runcing bambu yang dijadikan pena. Medium yang saya gunakan adalah cat air, tempera serta tinta di atas kanvas. Penyandingan teknik tersebut saya nyatakan solid sekitar tahun 1975.
ADT: Bisa Anda elaborasi kehebatan seni lukis Anda itu?
HF: Kehebatan? Tidak hebatlah. Cuma kata orang-orang, unik. Ngono jarene.

Lukisan Huang Fong. Wanita-wanita Bali di ladang yang berkabut. (Sumber: Agus Dermawan T)
ADT: Uniknya apa?
HF: Dalam kanvas saya sering terlihat hadirnya dominasi warna hitam putih, untuk kemudian berkembang dalam monokromatik. Ini berasal dari keterpikatan saya atas seni lukis sigar mangsi mashab Batuan-Bali yang didominasi hitam putih, sebagai pengembangan persepsi saya atas foto hitam-putih yang sudah saya ceritakan di atas. Unsur-unsur garis yang muncul saya berangkatkan dari keterpesonaan pada lukisan klasik di Klungkung. Kebebasan saya dalam memilih obyek diinspirasi perilaku para pelukis asing yang pernah datang ke Bali, seperti Nieuwenkamp, Rudolf Bonnet sampai Antonio Blanco. Sementara pembagian ruang dalam bidang lukisan diilhami oleh seni lukis Tiongkok tradisional, yang banyak saya pelajari sebelum menginjak Bali.
ADT: Nampaknya yang Anda lakukan hanyalah membuat garis panjang keluhuran seni rupa tradisi.
HF: Tidak keliru. Saya hanya menyediakan ruang perjumpaan bagi segala yang pernah saya pelajari dan saya hayati. Baik tradisi lama dari Bali, tradisi western art dari para pelukis Barat yang datang ke Bali, dan tradisi baru yang ditumbuhkan oleh semua eksponen seni yang berkiprah di Bali.
ADT: Namun saya melihat, upaya Anda mempertemukan yang Timur, seperti Tiongkok dan Bali, dengan yang Barat, tidak bisa diartikan sebagai pengasimilasian atau pengawinan sejati. Karena yang Timur tetap dibiarkan menjaga ketimurannya, dan yang Barat dikukuhkan kebaratannya. Pendapat Anda?
HF: Memang begitu. Saya ingat, prinsip ini pernah Pak Agus jelaskan lewat sebuah tulisan tentang saya. Di situ diingatkan ujaran Rudyard Kipling, pengarang The Jungle Book, penerima Hadiah Nobel 1907 dari Inggris : Timur adalah Timur, Barat adalah Barat. Keduanya tidak mungkin dipertemukan. Penjelasannya, meski Timur telah berusaha melebur dengan Barat, darah Barat tetaplah memperlihatkan warnanya. Dan meski gelora hati dan pikiran Barat merasuk ke benak Timur, selalu saja perasaan Timur tak surut memperlihatkan denyutnya.

Tandatangan dan stempel yang diterakan dalam lukisan-lukisan Huang Fong. (Sumber: Agus Dermawan T).
ADT: Oya, saya lupa kalau itu dari saya. Tapi, bisakah Anda berikan contoh tentang hal itu, dalam lukisan Anda?
HF: Sebuah contoh kecil, saya bisa dengan sengaja melukiskan manusia atau hewan dalam jumlah 13. Padahal 13 adalah “angka sial” dalam kepercayaan orang-orang Barat. Bahkan di Barat ada ungkapan serem dan horor, “Jum’at tanggal tigabelas”. Yang tidak baik untuk Barat, eh, ternyata baik bagi Timur. Tigabelas itu dalam bahasa Mandarin bunyinya se-san. Diraba dari bunyi, se itu juga berarti makan, sementara san ialah gunung. Bukankah hanya orang hebat yang bisa makan gunung? Jadi dalam kosmologi Cina, angka 13 itu besar dan baik.
ADT: Mohon contoh satu lagi.
HF: Misalnya, ketika saya melukis ikan mas atau ikan karper, pemahaman seni lukis Barat akan melihat bahwa itu adalah lukisan tentang ikan. Selesai. Namun kosmologi Cina meyakini itu ada hubungannya dengan kalimat “nien nien yu yi”, yang artinya “setiap tahun ada rejeki yang berlebih”. Hubungan kata dan visual dari ungkapan itu adalah demikian. Kata “yi” berarti “ikan”, namun juga berarti “berlebih atau berlimpahan”. Kesamaan bunyi kata namun berbeda arti itulah yang melahirkan ungkapan.
Sekali lagi, filosofi yang berangkat dari uthak-athik gathuk dan bermula dari pemaknaan bunyi angka-angka semacam itu adalah bagian dari permainan pikiran Timur, yang barangkali susah difahami oleh pikiran Barat. Tapi pertentangan pemahaman ini merupakan tantangan bagi saya untuk terus mempertemukan yang berbeda, dalam lukisan yang sangat Timur, dengan unsur-unsur sedikit Barat.
ADT: Ada yang mengatakan sebagian besar lukisan Anda lebih cenderung mengutarakan keindahan. Padahal menurut penulis Inggris John Rushkin: hal-hal yang cuma indah, biasanya kurang berguna, seperti burung merak, bunga bakung, atau gambar yang sekadar cantik. Menurut Anda?

Lukisan Huang Fong yang menggambarkan kesedihan Ida Bagus Made Poleng, saat sejumlah lukisannya dicuri orang. (Sumber: Agus Dermawan T).
HF: Tapi ada yang menyakini, saya lupa namanya, bahwa cuma keindahan yang bisa menyelamatkan dunia. (Maksudnya Fyodor Dostoyevski, novelis Rusia, adt). Seniman klasik Wang Wei dan Su Tung Po juga berujar seperti itu. Saya lebih ingin menyelamatkan dunia ketimbang sekadar mengurus guna-guna. Tentang kebergunaan. Hahaha.
ADT: Anda seperti memilih hidup-mati di Bali. Menurut pandangan Anda, apa yang menyebabkan Bali begitu menarik bagi banyak seniman?
HF: Saya pikir karena para seniman bisa bekerja di sini, menjual karyanya di sini, bermigrasi dan bertahan hidup di sini. Ini sebagai konsekuensi logis dari realitas flamboyan Bali di mata seniman, yang terangkat oleh tiga hal.
Pertama, aspek atmosfir kebudayaan Bali yang selalu menstimulasi seniman untuk menangkap inspirasi. Kedua, aspek budaya Bali yang kaya sehingga menjadi negeri kunjungan turis mancanegara. ‘Kan diakui bahwa turisme adalah titik tolak ekonomisasi karya seni. Ketiga, aspek iklim kesenian Bali yang menumbuhkan semangat kompetisi, dan menyarankan seniman untuk produktif.
Mengurai aspek turisme, diketahui bahwa turis asing sangat banyak membelanjakan uangnya untuk membeli kerajinan patung dan lukisan tradisional Bali di galeri dan art shop sebagai suvenir. Di sini galeri dan art shop segera memetik keuntungan. Dari laba penjualan benda seni suvenir itu pemilik toko membeli lukisan-lukisan modern dari para “pelukis luar Bali”. Lukisan-lukisan itu sebagian diperjualbelikan kembali, dan sebagian disimpan sebagai koleksi. Di lingkaran ini para pelukis pendatang seperti saya bisa hidup.
ADT: Galeri pribadi ini, atau Huang Fong Studio ini, untuk memperingati puluhan tahun Anda berkarya. Sementara Anda sendiri pada 2025 berusia 89 tahun. Apakah pameran ini menandai bahwa Anda tidak ingin lagi pameran di tempat-tempat umum?
HF: Behhh! Jangan dikira lantaran saya agak tua lalu pameran ini dianggap tanda akhir. Sebelum saya pajang di galeri pribadi ini, saya berkehendak memamerkan 80 lukisan saya pada 2016, untuk menandai usia 80. Saya mendaftar di GNI (Galeri Nasional Indonesia), Jakarta. Tapi saya mendapat kabar bahwa untuk Galeri A, yang bisa memajang 80 lukisan, sudah penuh diantre pelukis sampai 2 tahun ke depan. Saya mencari galeri lain di Jakarta. Tapi semua galeri penuh jadwalnya, dan kurang kapasitas ruangnya. Akhirnya saya kendor. Tahun 2020 mendaftar lagi ke GNI. Dicarikan minggu-minggu yang kosong. Namun belum pula terjadwal, bencana Covid-19 datang. Semua pameran tertunda. Saya kehilangan peluang dan momentum. Padahal usia merambat terus….Hahaha.
ADT: Tahun depan Anda 90 tahun. Anda masih ingin pameran?
HF: Saya akan memamerkan 90 lukisan! Saya akan menggelar sejarah perjalanan karya saya, dari awal sampai akhir. Dari karya pinsil, pena, charcoal, cat air, cat minyak, cat akrilik sampai penemuan teknik cat air di atas kanvas. Saya juga akan mendemontrasikan cara membuat lukisan cat air di kanvas kepada pengunjung. Semua akan bisa melihat, dan semua boleh meniru. Saya juga akan menunjukkan bahwa lukisan cat air di kanvas karya saya itu memiliki daya awet. Akan saya tunjukkan di situ bagaimana mencuci lukisan saya yang sudah kumal karena salah simpan, untuk menjadi mulus kembali. Lalu semua boleh meniru.
ADT: Wah, sebenarnya Anda banyak merancang acara, ya? Tua-tua keladi, makin tua makin menjadi-jadi. Sayang belum kesampaian.
HF: Itu cara orang tua mengamalkan ilmu. Tentu sambil pamer-pamer prestasi.
ADT: Soal praktik bikin lukisan khas Anda, dan praktik membersihkan atau mencuci lukisan karya Anda, apa perlu dengan demo langsung? Banyak yang menyarankan dengan medium video saja. Anda demo, ahli videografi merekam. Kemudian video itu diputar di ruang pameran. ‘Kan bagus.‘Kan praktis?
HF: Itu tentu tidak keliru. Itu cocok, karena itu memang cara zaman sekarang, era digital ya. Tapi sebagai “manusia lama” saya masih lebih sreg kalau ketemu orang. Apalagi ketemu teman-teman lama. Lebih hangat. ‘Kan pelukis, walaupun sudah tua, bukan hantu?
ADT: Betul juga. Tapi akhirnya jalan keluarnya ketemu juga ya, pameran dilakukan di Huang Fong Studio, Jalan Teuku Umar Barat 168, Denpasar. Apa benar studio ini mengoleksi sekitar 400 lukisan Anda yang dicipta sejak dahulu kala?

Huang Fong di Huang Fong Studio, Jalan Teuku Umar Barat 168, Denpasar. Di sini ratusan koleksi probadi Huang Fong dipajang secara permanen. (Sumber: Iliana Lie)
HF : Mungkin segitu jumlahnya. Saya bersyukur tentu bisa nyimpen. Bahkan di galeri pribadi ini saya bisa mengganti-ganti lukisan secara temporer. Dari jumlah itu banyak yang saya golongkan sebagai karya terbaik untuk lukisan saya.
ADT : Wah, menyenangkan. Sebagai penutup, saya ingin berkomentar. Kalau komentar ini kurang pas, Anda boleh menyanggah. Begini : Karya-karya Anda yang elok-elok, cantik-cantik, manis-manis, saya sebut sebagai “Mooi Indie Baru”, atau manifestasi dari upaya merevitalisasi spirit Mooi Indie. Oleh karena itu karya-karya Anda bisa dikatakan sebagai oase sejuk di tengah iklim gelisah masyarakat Indonesia yang bertubi-tubi terkena musibah sosial dan politik. Karya-karya Anda ibarat sebuah counter reaction terhadap situasi negeri yang porak poranda.
HF : Waduh, bagaimana ya. Mungkin begitu, tetapi mungkin juga tidak sepenuhnya begitu. Saya juga membuat lukisan dokumentasi sosial yang ceritanya kesedihan. Contohnya, lukisan tentang Ida Bagus Made Poleng yang hampir nangis karena lukisan-lukisannya dicolong orang. *
*Agus Dermawan T. Kritikus, penulis buku-buku kebudayaan. Penulis buku Lukisan Surgawi – Huang Fong, 1993 dan 1999.