Hikayat Perupa dalam Sinema # 4: Bom untuk Spies, Hibiscus untuk Mayeur

Oleh Agus Dermawan T.*

Walter Spies tidak hanya pelukis, namun juga seorang musikus, koreografer tari, penggambar botani. Riwayat Spies yang menyakitkan dilingkupi riuhnya Perang Dunia II. Berbeda dengan Le Mayur dan Ni Pollok yang dipenuhi bunga-bunga asmara.

————

WALTER Spies (1895-1942) adalah salah satu dari pelukis Hindia Belanda yang memiliki biografi luar biasa. Pria ini lahir di Moskow, Rusia 1895. Tahun 1918 ia pindah ke Dresden, Jerman, demi mengikuti ayahnya yang bekerja sebagai konsul Rusia di Jerman. Sebagai pemuda yang sehat dan kuat, Spies direkrut sebagai serdadu. Namun jiwanya lebih bertaut dengan budaya dan seni. Dari seni teater, musik sampai seni rupa.

Tapi Spies tak dapat mengandalkan hidupnya kepada seni. Ia pun bekerja sebagai kelasi kapal barang. Pada suatu kali kapal itu menuju Batavia. Sesampai di Batavia ia tak ingin balik ke Jerman. Ia pun mengembara di Hindia Belanda, dengan tujuan Bandung, yang dikenal sebagai Paris van Java. Di Bandung ia bekerja sebagai pemain piano untuk mengiringi pemutaran film bisu. Setelah itu ia ke Yogyakarta dan bekerja di sebuah kasino, juga sebagai pemusik.

Walter Spies membawa bunga, di Jerman. (Sumber: Dokumen)

Dari sini keluarga keraton Yogyakarta tahu potensi Spies. Sultan Hamengku Buwono VIII lantas meminta Spies untuk melatih dan memimpin orkestra di kalangan keraton. Di keraton Spies berperan dengan sangat baik.

Pada suatu kali Tjokorda Gde Raka Sukawati, Raja Ubud, Bali, berkunjung ke Yogyakarta. Di sini ia berkenalan dengan Spies, dan langsung terpesona. Ia lalu menawari Spies untuk berkunjung ke Bali. Spies terkesiap. “Ini dia, pucuk dicinta ulam tiba!” katanya. Spies memang sudah lama ingin ke Bali, sejak ia membaca buku Bali susunan Gregor Krause, yang menceritakan lelaki-lelaki Bali bertelanjang dada. Spies memang seorang pria yang senang dengan lelaki. Ia pun dengan antusias muhibah ke Bali tahun 1927.

Di Bali, dengan dibantu Tjokorda Gde Agung Sukawati (adik dari Tjokorda Gde Raka Sukawati), Spies mendirikan rumah sederhana di kawasan Iseh, Ubud. Banyak seniman dan ilmuwan yang pernah mampir dan tinggal di rumahnya. Dari komedian Charlie Chaplin, penulis buku Liebe und Tod auf Bali Vicky Baum sampai Miguel Covarrubias, peneliti Mexico yang menyusun Island of Bali. Di rumah ini lukisan-lukisan Spies  yang surealis romantik diciptakan.

Hidup “Tuan Tepis” (begitu orang Bali memanggil) berjalan penuh inisiatif. Di Bali ia bersama penari Wayan Limbak memperbaharui tarian kecak, yang hasil koreografinya kita saksikan sampai sekarang.

Lukisan Walter Spies tentang Bali yang eksotik. (Sumber: Agus Dermawan T).

Namanya begitu harum. Namun pada 1939 ia mendadak ditangkap dan dipenjara dalam operasi yang anti orang-orang homo. Ia berterus terang bahwa dirinya homo. Di penjara ia banyak menulis surat kepada saudaranya mengenai soal-soal ini, dengan cerita sangat manusiawi.

Syahdan Spies akhirnya dibebaskan. Namun baru beberapa bulan lepas dari penjara, Spies mendengar kabar bahwa tentara Jerman mengobrak-abrik negeri Belanda. Pemerintah Belanda di Indonesia marah kepada orang-orang Jerman. Maka orang-orang Jerman di seluruh Hindia Belanda, diciduk. Celakanya, Spies – orang Jerman yang sangat bersahabat dengan orang-orang Belanda – juga ikut digaruk. Ia pun meringkuk di dalam sel.

“Semula saya diringkus karena masalah biologis yang pelik. Sekarang saya dibui tersebab persoalan politik. Hidup ini memang sadis dan surealis,” gumam Spies sambil menatap karyanya yang sering mengangkat tema-tema tidak logis.

Menjelang tahun 1942 gelora Perang Dunia II menjadi-jadi. Agresi Jepang di Asia Tenggara semakin merajalela. Pulau Jawa juga jadi sasaran utama. Pemerintah Hindia Belanda (yang sedang lemah) tentulah gentar, dan lantas mengungsikan warganya keluar Jawa. Di antara ratusan orang Belanda yang dievakuasi itu terselip si Jerman Walter Spies. Mereka dinaikkan ke kapal barang Belanda yang bernama Van Imhoff.

Celaka, kapal itu pada 19 Januari 1942 ditembaki dan kemudian dibom oleh tentara angkatan udara Jepang di sekitar laut Makassar. Belasan tawanan selamat dari kapal yang tenggelam. Tapi Walter Spies tidak. Ia raib ditelan samudera. Sejumlah lukisan Spies, serta belasan gambar tetumbuhan dan serangga hasil penelitian ilmiahnya, lumat di dasar laut.

Tari kecak era sekarang, dengan koreografi yang diilhami kreasi Walter Spies. (Sumber: Agus Dermawan T.)

Menarik juga dikisahkan, Van Imhoff adalah nama gubernur jenderal Hindia Belanda yang membangun Palais Buitenzorg dan Puri Cipanas, yang akhirnya jadi Istana (Presiden) Bogor, dan Istana (Presiden) Cipanas. Oleh karena jadi istana presiden, maka Presiden Sukarno pernah tinggal di sana. Ketika tinggal di Istana Bogor dan Istana Cipanas, Sukarno “otomatis” mengingat nama Van Imhoff. Ketika mengenang Van Imhoff, Sukarno teringat pelukis Walter Spies, yang mati tenggelam saat berada di dalam kapal itu. Sukarno pun sangat menghendaki lukisan-lukisan Spies.

Alkisah pada sekitar tahun 1935 Spies mendapat order dari sejarawan W.F. Stutterheim. Spies diminta membuat banyak gambar poster mengenai kehidupan masa lampau masyarakat di wilayah Candi Borobudur. Spies menyanggupi order berat itu, karena ia sedang butuh uang untuk membangun tempat tinggalnya di Ubud. Namun baru tiga gambar diselesaikan, Spies menyerah. Akhirnya tiga gambar itu disimpan oleh penerbitnya, J.B.Wolters.

Pada tahun 1964 Sukarno mendengar tiga karya Spies itu sedang dipamerkan di Jerman. Sukarno lalu memerintahkan Lukman Hakim (duta besar Indonesia untuk  Republik Federasi Jerman) agar semua karya tersebut diakuisisi, bagaimanapun caranya. Kini, gambar-gambar poster itu – yang digarap sebagai lukisan – menjadi koleksi Istana Kepresidenan Republik Indonesia.

Dramatika hidup Spies pada ujung abad 20 terimbangi dengan harga lukisannya yang membelalakkan mata. Karya Spies yang berukuran tak lebih dari satu meter terbilang belasan milyar rupiah harganya! Gelora pelelangan lukisan Spies adalah materi adegan yang bisa menggetarkan banyak orang. *

Buku acuan pilihan :

Walter Spies di Indonesia (DR. A.A.M.Djelantik, DR. Henrich Seemann, Goethe Institut, Jakarta,1995) ; Walter Spies – a Life in Art (John Stowell, Afterhours Books, Jakarta 2012).  Sumber: Agus Dermawan T, Dunia Koleksi – Hulu Hilir Kepemilikan Kaya Seni, Penyunting M.Kholid Arif Rozaq dan Sudjud Dartanto, Penerbit Ombak, 2019. *

 

Roman Le Mayeur dan Ni Pollok

Untuk memulai roman ini, cerita diberangkatkan dari rumah Ni Nyoman Pollok di Desa Kelandis. Di situ Pollok hidup dalam kesederhanaan, bahkan nyaris berada di garis kemiskinan. Rumahnya berdinding bambu dengan atap alang-alang. Sedangkan lantai rumahnya masih berupa tanah.

Tidak seperti para teman sebayanya yang lebih senang bermain di pekarangan dan ladang, Pollok lebih memilih bertandang ke tempat-tempat latihan tari. Di “sanggar” yang difasilitasi banjar itu ia sering duduk di pojokan, menyaksikan orang-orang berlatih. Ia terpikat, sehingga setiap kali musik berbunyi, tubuhnya ikut bergerak. Melihat minat Pollok, pelatih tari mengajaknya bergabung.

Tentu banyak tarian yang bisa dibawakan oleh Pollok. Namun ia paling tertarik kepada legong keraton. Mengapa? “Karena tarian legong itu dicipta oleh kalangan keraton abad ke-19. Dan menceritakan Putri Rangkesari dari Kerajaan Kediri yang diculik Prabu Lasem. Saya membayangkan sebagai Putri Rangkesari itu. Dan saya kemudian dibawa dan dimuliakan di istana atau keraton Prabu Lasem,” kata Pollok.

Pollok akhirnya jadi penari cukup handal. Pada suatu kali, tahun 1932, ia menari dalam satu festival. Di situ ada seorang penonton dari Belgia, Le Mayeur de Merpres namanya. Mayeur terpikat kepada Pollok, yang kala itu berusia 15 tahun. “Saya akan melukis gadis itu,” kata Mayeur. Lalu dicarilah Pollok ke rumahnya. Pollok bersedia menjadi model lukisan Mayeur, asal ditemani oleh rekannya yang juga penari, Ni Ketut Reneng.

Pose demi pose yang ditata-gaya oleh Mayeur dilakoni. Lukisan demi lukisan diciptakan. Sebagai honorarium, mereka masing-masing dibayar satu gulden dalam sehari.

Tresna metu duaning sai kecunduk, kata orang Bali. Cinta tumbuh karena seringnya bertemu, witing tresno jalaran soko kulino, kata orang Jawa. Itu pula yang mendatangi hati Mayeur. Tak terduga, pada suatu kali lelaki lewat baya ini mengajak Pollok, yang sudah dipanggil sebagai Hibiscus (bunga sepatu) untuk menikah. Tentu saja Pollok terkejut bukan main atas “tembakan” itu.

“Saya 18 tahun, dia 55 tahun. Nénten ngranjing ring pemineh…..Ini urusan tidak masuk akal,” kata Pollok. Meski sesungguhnya hati kecil Pollok tidak menolak dan berbinar-ria. Lantaran Mayeur diam-diam dipeluk sebagai lelaki, kakak, dan ayah yang sangat baik hati. Bahkan Mayeur dianggap sebagai guru, karena telah mengajarinya baca-tulis dan memahami ilmu-pengetahuan.

“Bagaimana? Mau kawin dengan saya?” tanya Mayeur lagi.
“Saya tidak mau,” kata Pollok dengan tersipu malu (tapi mau).

Mayeur tetap kuat tekat. Ia berkata, apabila sudah menikah, apabila karirnya sebagai pelukis berhasil, perjalanan keliling benua akan dilakukan bersama. Mayeur lalu menunjukkan lukisan-lukisannya yang menggambar keindahan Venesia, Afrika Utara sampai India. Mayeur juga membuka sedikit biografinya bahwa dirinya adalah keturunan bangsawan Eropa. Ni Pollok pun segera berpikir: Behhh, jangan-jangan Tuan Belgia ini yang ia khayalkan sebagai Raja Lasem. Dan jangan-jangan pula dirinya adalah Putri Rangkesari dalam lakon tari legong keraton!

Setelah dari hari ke hari merenung, akhirnya si “hibiscus desa Kelandis” ini mengatakan: “Okelah, Tuan!”  Namun hukum adat di Bali menghambat itu. Berbagai siasat cinta lantas mereka lakukan bersama, sampai akhirnya mereka menikah pada 1935.

Adrien Jean Le Mayeur de Merpres, kelahiran Ixelles-Elsene, Belgia tahun 1880, memang bangsawan, lantaran ia adalah keturunan Edouard Spencer Duke of Marlborough. Pada usia 22 ia menikah dengan Amelia J.Robbins. Rumah tangganya hancur dan ia patah hati luar biasa. Mayeur pun bertekat jadi pelukis pengembara. “Saya ingin meninggalkan Belgia,” katanya. Tahun 1932 ia memulai perjalanan ke negeri-negeri jauh, sampai akhirnya berlabuh di Singaraja, dan tinggal di Desa Kelandis.

Le Mayeur dan Ni Pollok. (Foto: Dokumen)

Pasca pameran yang diselenggarakan di Singapura sukses, Mayeur lantas membangun rumah dan studio di kawasan Pantai Sanur. Para tamu asing lalu memanggil Pollok dengan “Madame Le Mayeur”. Namun Mayeur menyuruh para tamunya untuk selalu memanggil “Ni Pollok”. “Dia tetap milik dirinya sendiri,” tukas Mayeur.

Setelah menikah, Pollok menjadi model tunggal Mayeur. Dan lucunya, masih diberi honorarium, meski kali ini Pollok dibayar dua gulden, karena sudah tidak bersama Ni Ketut Reneng. Pekerjaan ini semula menyenangkan dan membanggakan, namun akhirnya dirasa sangat melelahkan.

“Saya harus berpose statis seperti sedang menari dalam beberapa jam. Saya sering terjatuh ketika selesai berpose. Lemas, dan kaki diserang kram. Tapi Tuan Belgi selalu sabar menolong,” kata Pollok.

Pollok menuruti kemauan Mayeur itu dengan sepenuh hati, karena dalam pikirannya, toh pada saatnya urusan permodelan akan terhenti, ketika dirinya hamil. Ternyata Mayeur tidak ingin Pollok hamil.

“Kalau kamu hamil, kalau kamu beranak, tubuhmu rusak,“ kata Mayeur.

Tercerita bahwa pada suatu kali Mayeur menyembunyikan kutang Pollok, untuk kemudian diganti dengan BH mahal yang dibeli dari toko. “Kutang yang jelek bisa mengganggu payudaramu yang indah,” kata Mayeur serius.

Tapi Pollok tetap menginginkan keturunan. Itu sebabnya ia berkongkalikong dengan sahabat Mayeur untuk mendatangi ginekolog. Tak berhasil. Pollok lalu menyusup ke desa lain untuk mencari paraji, atau balian manak, atau bidan yang punya ilmu “membuat anak”. Eh, upaya ini diketahui Mayeur. Tak diduga, Mayeur tidak marah.

Ni Pollok dan Presiden Sukarno di Museum Le Mayeur, Pantai Sanur, Bali. (Sumber: Agus Dermawan T.)

Tahun 1950-an Presiden Sukarno berkunjung ke studio Mayeur di Sanur. Kunjungan kehormatan ini tidak disambut antusias oleh Le Mayeur. Masalahnya, Mayeur mendengar bahwa Sukarno “ada hati” dengan Ni Pollok. Dan penghibahan hati itu ditengarai dilakukan dengan berbagai taktik. Di antaranya dengan menitipkan Dullah (pelukis Istana Presiden Sukarno), untuk belajar beberapa lama di studio Le Mayeur. Konon, penitipan itu adalah cara Sukarno untuk menyelidiki isi hati Ni Pollok. Meskipun Dullah menyangkal itu. “Bagi Bapak, Ni Pollok kurang jegeg,” kata Dullah. Jegeg artinya cantik.

Karena itu, ketika Sukarno berkunjung ke studionya, Mayeur tidak ramah. Mayeur menyambut sang presiden dengan pakain seperti baru melukis: bercelana pendek, berbaju seadanya, dengan kaki yang tidak beralas.

Mayeur semakin cemburu ketika di situ Sukarno berbisik lirih berkata kepada Pollok, “Ibunda saya orang Bali. Karena itu Pollok dan Sukarno adalah Bali.” Maknanya: Sukarno dan Pollok cocok. Mayeur semakin berpikir bahwa Sukarno sudah mendekati Ni Pollok dengan bunga-bunga asmara.

Dalam perbincangan itu Sukarno ingin membeli tiga lukisan. Namun oleh Mayeur hanya diijinkan membeli satu. “Saya pikir, satu lukisan sudah cukup untuk Yang Mulia,” kata Mayeur. Sehingga, apa boleh buat, yang dua memang tidak dibeli, tapi dipinjam. (Konon, ini dia, dua lukisan yang dipinjam itu tidak pernah dikembalikan).

Sukarno kembali ke Jakarta. Mayeur merasa aman. Namun sesungguhnya pelukis mantan binaragawan itu pun diam-diam merana. Beberapa penyakit menyapanya. Kanker telinga yang diidapnya semakin parah, sehingga harus dirawat di Belgia, sampai meninggal pada 1958.

Lukisan Le Mayeur tentang tiga figur perempuan di taman, yang semuanya diperankan Ni Pollok. (Sumber: Agus Dermawan T.)

Studio Le Mayeur yang akhirnya dijadikan museum, di Pantai Sanur, Bali. (Sumber: Agus Dermawan T).

Syahdan Pollok kesepian. Pada 1960 ia menikah lagi dengan Federico Alliney, seorang dokter dari Itali. Namun perkawinan ini kandas dalam waktu singkat, karena urusan imigrasi. Pollok mengatakan bahwa ada “orang besar” di negeri ini yang tak ingin dirinya berbahagia, sehingga suaminya dideportasi. Pollok pun berpisah, dan tidak pernah berjumpa lagi. Dalam secarik surat Federico menulis: “Pollok, engkau ditakdirkan sebagai hibiscus yang tersebar di kanvas Le Mayeur. Bukan di kanvas hati orang lain…”

Rumah dan studio Le Mayeur di Pantai Sanur akhirnya berdiri sebagai museum. Pada 1960 sampai 1990-an bahkan jadi ikon pariwisata Pantai Sanur. Di dalam museum itu berjajaran lukisan Mayeur yang menggambarkan Ni Pollok. Dalam satu kanvas, bisa ada sembilan Ni Pollok. “Cinta saya kepada Pollok sembilan kali lebih besar dari cinta orang lain,” kata Mayeur. * (Bersambung)

Buku acuan pilihan :

Ni Pollok – Model dari Desa Klandis (Yati Maryati Wiharja, Jakarta, 1976) ; Adrien Le Mayeur de Merpres, Painter – Traveller (Jop Ubbens, Cathinka Huizing, Pictures Publishers, The Netherlands, 1996). Percakapan dengan Ni Pollok, 1973 dan 1979. Sumber: Agus Dermawan T, Dunia Koleksi – Hulu Hilir Kepemilikan Kaya Seni, Penyunting M.Kholid Arif Rozaq dan Sudjud Dartanto, Penerbit Ombak, 2019. *

——

*Agus Dermawan T. Kritikus. Penulis buku-buku budaya dan seni. Narasumber ahli Koleksi Benda Seni Istana-istana Presiden Republik Indonesia.