Bung Karno, Kembalikan Lukisan Kami!
Oleh Agus Dermawan T.*
Koleksi lukisan Istana Presiden yang berasal dari Bung Karno dipersoalkan dalam diskusi publik. Konon ada yang merupakan pinjaman. Namun Istana Presiden berpegang kepada hukum kepemilikan yang legal-formal. Variasi dalam Juni kemarin, yang dinyatakan sebagai “Bulan Bung Karno”.
————–
PADA 26 Juni 2025 sore terjadi diskusi di Cemara 6 Galeri – Toeti Heraty Museum, Jalan HOS Tjokroaminoto, Jakarta. Diskusi publik itu mengambil tema “Di Balik Bingkai Istana – Jejak Sejarah dan Kepemilikan Koleksi Lukisan Istana.”
Diskusi ini diselenggarakan oleh Lingkar Budaya Indonesia pimpinan Adrianus LG Waworuntu. Pembicaranya adalah Prof. Dr. Soenarjati Djajanegara (92 tahun), Dr. Inda C Noerhadi, Dr. Mikke Susanto MA, dan Agus Dermawan T. Bertindak sebagai moderator Ir. Yuke Ardhiati, master arsitek dan penulis buku-buku ihwal bangunan rancangan Bung Karno.
Diskusi yang dihadiri amat banyak orang itu diawali dari keluhan Soenarjati Djajanegara yang mewakili keluarga Djoehri Djajanegara. Dan keluhan yang berujung “gugatan” itu bermula dari cerita demikian.
Pada tahun 1944 Bung Karno berkenalan dengan Djoehri Djajanegara, seorang kepala polisi, di Bogor. Perkenalan itu berkembang menjadi persahabatan. Dari persahabatan itu Bung Karno melihat bahwa Djoehri menggantung dua lukisan Romualdo Locatelli (Itali, 1905-1943) di rumahnya. Lukisan itu berjudul Memotong Padi dan Menggaru Sawah di Jawa. Tahun terus berjalan. Eh, pada suatu hari Bung Karno mendadak mengambil dua lukisan tersebut dari rumahnya.

Prof. Dr. Soenarjati Djajanegara sedang berbicara di dalam diskusi. (Sumber: Agus Dermawan T.)
Dalam buku Hidupku, Presiden Soekarno, Bagaimana Dua Karya Locatelli Kembali (Penerbit Mafy, 2021) Soenarjati menulis: “Pada suatu hari di tahun 1955, masuklah ke pekarangan kami sebuah pik ap berisi beberapa lelaki berseragam Cakrabirawa, tentara pengawal presiden. Ternyata para pendatang itu adalah petugas istana yang membawa pesan lisan, bahwa Presiden Soekarno meminjam dua lukisan Locatelli, dan akan dibawa ke Istana.” (halaman 65). Maka sejak itu dua lukisan tersebut tidak pernah kembali. Dan keluarga Djoehri mengetahui bahwa dua lukisan cat minyak itu terpajang di Istana Presiden.
Keluarga Djoehri, dengan diwakili Soenarjati (panggil: Yati), menuntut. Ia pun lantas menulis di koran Kompas edisi 8 Maret 2024 di kolom Surat Kepada Redaksi. Dalam surat berjudul Lukisan Dipinjam Istana ia meminta agar Istana Presiden mengembalikan dua lukisan yang termaksud kepada keluarga Djoehri. Tentu atas nama Soenarjati, karena Djoehri sudah wafat pada 1965.
Surat tersebut adalah kelanjutan dari surat tuntutan sebelumnya, yang pernah dikirim ke Presiden Joko Widodo pada 8 Februari dan 8 April 2021, kepada Kepala Sekretariat Presiden Heru Budi Hartono pada 20 April 2021, dan kepada Megawati Soekarnoputri pada 31 Agustus 2021. Surat Soenarjati itu disambut oleh Goentoer Soekarnoputra – juga lewat kolom Kepada Redaksi, edisi 25 Maret 2024 – dengan simpatik dan rasa percaya.
Dari penelurusan, pihak Istana Presiden juga percaya bahwa Soenarjati bertutur jujur. Apalagi ia dari keluarga terhormat dan seorang guru besar berintegritas. Namun semua yang ia adukan terhadang oleh pasal yang menegaskan bahwa urusan itu harus disertai dokumen pokok yang berupa: Surat Perjanjian Pinjam Meminjam. Hukum formal itu tertera dalam Pasal 1754 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Tanpa dokumen itu semua klaim tidak bisa diambil tindakan. Ahli waris keluarga Djoehri tidak memiliki surat itu.
Sementara di sisi lain, Istana Presiden memiliki dokumen legal-formal yang menguatkan. Yakni, dua lukisan karya Locatelli itu ada dalam buku Koleksi Presiden Sukarno susunan Dullah (1956) dan susunan Lee Man Fong (1964). Disebutkan di situ bahwa dua lukisan tersebut adalah Koleksi Dr. Ir Sukarno.
Berangkat dari hukum formal itu pihak Istana Presiden susah memperdalam gugatan Soenarjati. Sehingga keluarga Djoehri akhirnya mencari jalan lewat diskusi publik.

Para penampil dalam diskusi koleksi Istana Presiden di Cemara 6 Galeri – Toeti Heraty Museum, Jakarta. Dari kiri ke kanan: Dr. Mikke Susanto MA, Prof. Dr. Soenarjati Djajanegara, Ir. Yuke Ardhiati, Dr. Inda C Noerhadi, Agus Dermawan T. (Sumber: Iliana Lie)
Nilai ekonomi tinggi
Inda C. Noerhadi yang ahli sejarah seni dan soal hukum Hak Kekayaan Intelektual menyebut bahwa siapa pun yang kehilangan karya Locatelli, sah untuk bersedih. Karena Locatelli adalah pelukis reputatif pada zamannya, menjadi ikon dalam pameran di Bataviasche Kunstkring era Hindia Belanda, dan mempunyai biografi gemuruh yang pantas dikenang. “Dia mati secara misterius di Manila pada era fasisme Jepang mengobrak-abrik Asia Tenggara,” katanya.
Di sisi lain, Mikke Susanto, pengajar Institut Seni Indonesia menyebut bahwa lukisan Locatelli sangat berharga secara ekonomi. Apalagi dua lukisan itu sudah menjadi koleksi Presiden Sukarno sang patron seni rupa Indonesia utama, serta tercatat sebagai koleksi Istana Presiden. Atas dua lukisan itu semua bisa menafsir nominalnya. Dengan menghitung nilai artistik, ukuran, serta provenancenya, bisa puluhan milyar,” katanya. Mikke dan beberapa pakar seni pernah bertugas sebagai nominalisator (menafsir nilai ekonomi) sekitar 16.000 benda seni seluruh Istana Presiden, sejak 2011.
Di balik semua perkara, Inda dan Mikke mengingatkan, bisa saja di balik pergaulan akrab Bung Karno dan kepala polisi Djoehri Djajanegara muncul “tik-tok” atau deal-deal tertentu. Dan Soenarjati serta kakak-adiknya tidak tahu.
Pada akhir acara moderator Yuke Ardhiati menenangkan hati Soenarjati yang ulet, masih “perkasa” dan kuat ingatan itu.
“Seandainya dua lukisan itu tidak kembali ke pangkuan Ibunda Soenarjati, percayalah bahwa lukisan itu terpelihara baik dan terpajang anggun di Istana Presiden. Dan terus menunaikan tugas kesenian sebagai tanda-tanda zaman. Karena apa yang dilukis oleh Locatelli adalah keindahan Mooi Indie, era Indonesia agraris di masa lalu, yang sekarang justru dirindukan. Dan niat Bung Karno saat meminjam itu saya rasa didasari itikad baik, yaitu ingin memajang koleksi keluarga Djoehri sebagai bagian penting dari Museum Nasional Indonesia, yang kala itu ia gagas.”
Soenarjati menunduk. Tapi tampak ia ingin terus berjuang.

Lukisan Romualdo Locatelli, “Memotong Padi”, yang konon dipinjam Bung Karno. (Sumber: Agus Dermawan T.)

Lukisan Romualdo Locatelli, “Menggaru Sawah di Jawa”, yang konon dipinjam Bung Karno. (Sumber: Agus Dermawan T.)
Tidak sendirian
Ihwal cerita “kemalangan” seperti itu sesungguhnya Soenarjati dan keluarga Djoehri tidak sendirian.
Pada suatu kali Ni Pollok bercerita bahwa pada 1955 Bung Karno membeli lukisan dan meminjam satu lukisan suaminya, Le Mayeur (Belgia, 1880-1958), yang terpajang di studionya di Pantai Sanur, Bali. Waktu itu Bung Karno berkata: “Tuan Belgi, adalah kehormatan apabila lukisan-lukisan Anda bisa menghiasi Istana Bogor.” Le Mayeur manggut-manggut.
Yang mempesona, lukisan yang dibeli berangsur dibayar, sementara yang dipinjam tidak pernah dikembalikan. Atas hal itu Ni Pollok mengaku tak bisa berbuat apa-apa. Karena pinjam-meminjam hanya dibicarakan bisik-bisik antara Bung Karno dan Le Mayeur, dan tidak disertai Surat Perjanjian Pinjam Meminjam. Sehingga semuanya mengambang.
Meskipun peminjaman yang tak dikembalikan itu akhirnya melegakan masyarakat. Karena lukisan le Mayeur “milik” Bung Karno tersebut sampai sekarang terpajang rapi di Istana Kepresidenan. Sedangkan puluhan lukisan Le Mayeur yang menjadi milik keluarga Le Mayeur, dan kemudian dihimpun dalam Museum Le Mayeur, Sanur, kurang terpelihara. Bahkan sebagian rusak lantaran digerus angin laut.

Lukisan Le Mayeur yang konon dipinjam Bung Karno dan tidak dikembalikan. (Sumber: Agus Dermawan T.)
Ratna Sari Dewi, salah satu isteri Bung Karno, juga mengklaim bahwa karya Basoeki Abdullah, Puteri Bergaun Hitam dan Dalam Sinar Bulan adalah miliknya. Dikatakan juga bahwa obyek dua lukisan itu adalah dirinya. Ia menyebut bahwa lukisan-lukisan tersebut pemberian Bung Karno untuknya, dan lama tergantung di Wisma Yaso, kediamannya di Jakarta, pada 1960-an.
Alkisah pada pasca kekacauan politik 1965 Dewi diusir dari Wisma Yaso, dan sejak itu lukisan dinyatakan hilang. Pada 2015 ia menemukan lukisan Puteri Bergaun Hitam dalam pameran “Rayuan 100 – Seabad Basoeki Abdullah” yang digelar di Museum Nasional Jakarta. Lukisan Dalam Sinar Bulan pada pameran “Indonesia Semangat Dunia” di Galeri Nasional, Jakarta, 2018. Dewi ingin mengambilnya kembali. Namun niat Dewi terhalang hukum formal. Ia sadar bahwa dirinya tidak mempunyai Surat Laporan Kehilangan dari kepolisian.
Dalam KUHP Nomer 8, tahun 1981, Pasal 108 memang disebutkan bahwa setiap orang berkewajiban untuk melaporkan tindak pidana yang diketahui, termasuk pencurian. Dan laporan ini berkait dengan Pasal 362 KUHP. Yakni pasal yang mengatur tindak pidana pencurian dan ancaman hukumannya. Tanpa surat itu, urusan akan tertutup.
Kini kedua lukisan itu ada di ruang Istana Kepresidenan.
Mengembalikan lukisan
Tapi, apakah Bung Karno memang gemar memaksa beli dan suka tidak mengembalikan lukisan yang dipinjam? Sebagian mengatakan ya, sebagian mengatakan tidak.
Pada April 1965 Bung Karno berkunjung ke rumah dokter internis Nie Swan Tie, di Jalan Indramayu, Jakarta. Di situ ia melihat lukisan C.L. Dake Jr. “Apakah Dokter mau menjual lukisan ini?” tanya Bung Karno. “Saya tidak mau menjualnya,” kata Swan Tie.
Sang Presiden lantas berkeliling melihat koleksi yang lain. Di situ ia berjumpa dengan lukisan Lee Man Fong, Willem Gerard Hofker, Adolfs. “Ini pasti juga tidak dijual. Tapi bolehkah saya meminjam semua ini untuk Istana?” Mendengar kalimat itu Swan Tie tak bisa bicara apa-apa. Lukisan itu pun dibawa oleh sejumlah anggota Cakrabirawa.
Tapi ia lega. Karena seminggu kemudian lukisan-lukisan itu dikembalikan dan dipasang. Ketika mengembalikan, Bung Karno menyisipkan surat yang bunyinya : Saya tahu, saya harus segera mengembalikan lukisan ini. Sebab saya faham, setiap Dokter menatap dinding itu kosong, Dokter akan sedih.
Lukisan Sudjojono yang sangat terkenal, Kawan-kawan Revolusi, juga dibeli paksa oleh Bung Karno tahun 1947, meski tak kunjung di dibayar. Ketika Sudjojono menagih tahun 1950, lukisan itu hanya diimbali uang sedikit, dengan imbuhan baju-baju bekas dan sepotong fulpen. Tapi Sudjojono rela, kasihan kepada sang kepala negara, dan sekaligus bangga.

Bung Karno dan lukisan karya Sudjojono yang sangat dibanggakan, “Kawan-kawan Revolusi”. Dibayar sedikit uang, baju bekas dan fulpen. (Sumber: Henri Cartier Bresson)
Hal yang tak terlampau diketahui banyak orang: sesungguhnya tidak semua karya yang diklaim sebagai koleksi Bung Karno, dibeli dengan uang pribadi (atau atas bantuan sahabat) Bung Karno. Lantaran ternyata banyak dibeli dengan memakai uang Negara. Sebaliknya, sangat banyak koleksi Bung Karno yang dibeli dengan uang pribadi, lalu dipajang di Istana Presiden, serta merta dianggap milik Negara. Sementara Bung Karno berhak membagikan koleksi yang ada di hadapannya kepada keluarga atau sahabatnya. Selanjutnya, keluarga serta para sahabat bebas untuk memperlakukannya. Dipajang, dijual, dihadiahkan, atau disimpan di gudang.
Bagaimana memilah areal kepemilikan itu, sampai sekarang masih dicarikan cara. Karena kelengkapan dokumen kepemilikan itu tidak diketemukan di arsip Istana Presiden. Konon ketika pergantian kekuasaan tahun 1966 sampai 1968, dokumen itu teracak-acak. Dan para saksinya sudah beruntun wafat. Itu sebabnya para pengelola koleksi benda seni Istana Presiden – yang sejak era reformasi bekerja serius dan tertip – tak henti pusing tujuh keliling! ***
—–
*Agus Dermawan T. Kritikus seni. Narasumber Ahli Koleksi Benda Seni Istana Presiden.