Berani-beraninya “Bali Selection” Melawan Arus

Oleh Agus Dermawan T.*

Seperti melawan arus, 75 Gallery di Jalan Mampang Prapatan 75, Jakarta Selatan, memamerkan lukisan-lukisan tradisional Bali. Dari pameran ini sejarah seni lukis Bali terbentang.

——

Miguel Covarrubias, pengarang buku Island of Bali, menulis bahwa semua orang Bali adalah pencipta seni. Margaret Mead mengerucutkan: semua orang Bali bisa melukis dengan tradisionalitasnya yang menakjubkan. Rudolf Bonnet bilang, lukisan tradisional para seniman Bali adalah himpunan inspirasi yang tak tertandingkan. 

Letupan pendapat itu muncul dari moncernya seni lukis tradisional Bali di dunia internasional. Sejarah tahu, sebelum seni lukis Indonesia bangkit, beberapa pelukis Bali telah memenangi kompetisi seni lukis internasional di Paris, pada awal abad 20. 

Lukisan tradisional Bali memang sangat khas, unik dan bahkan tiada duanya. “Semua pelukis bisa meniru dan mengikuti lukisan modern yang tumbuh dari mana saja. Tapi tidak ada satu pun pelukis di dunia yang bisa meniru lukisan Bali, kecuali seniman Bali sendiri,” kata Ida Bagus Made Nadera (1915-1998), tokoh seni lukis Bali era Pita Maha.

Kekhasan dan kekuatan itu didorong oleh sejarah yang membentang lama.

Penari Bali cilik menyambut tamu Pameran Lukisan “Taksu: Bali Selection” di 75 Gallery, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. (Sumber: Agus Dermawan T.)

Sejak seribu tahun lalu

Di Bali, seni lukis mulai dikenal sekitar abad ke-11, ketika sejumlah prasasti yang dikeluarkan oleh Raja Anak Wungsu memberikan tanda-tanda adanya kelompok yang mempunyai keahlian melukis. Pada salah satu prasasti itu terdapat goresan bermotif wayang yang menggambarkan Batara Syiwa. Perkembangan seni lukis ini selanjutnya terlihat pada naskah-naskah kuno yang ditulis di daun lontar. Kitab lontar ini berisi cerita legenda ataupun wayang, dengan menggunakan ilustrasi yang selalu tampil indah. Seni lukis awal ini muncul di Desa Pejeng.

Pada kurun setelahnya seni lukis klasik berkembang hampir di seluruh wilayah Bali. Di wilayah Kamasan, kawasan Bali Aga di Karangasem serta Ubud, berkembang seni lukis wayang. Pada pertengahan abad ke-19 di Desa Kerambitan berkembang pesat seni lukis yang serupa.

Fungsi dari seni lukis pada waktu itu untuk hiasan pura, ritual agama, balai adat, serta untuk menghias tempat tinggal raja dan punggawa. Para pelukis menggambarkan para dewa, seperti Brahma, Wisnu dan Syiwa. Juga mengambil tema dari cuplikan epos Ramayana dan Mahabharata. 

Pada kiurun kemudian seni lukis Bali menapak pertumbuhan. Banyak faktor yang mempengaruhi pertumbuhan (dan perkembangan) ini. Mulai dari alam lingkungan, sejarah, adat istiadat, agama Hindu sampai pengaruh kebudayaan Timur lain dari luar Bali seperti Jawa, India dan Tiongkok. Bahkan dalam perkembangannya kemudian, seni lukis Bali juga tidak menutup diri terhadap pengaruh-pengaruh dari Barat. Pengaruh ini sudah ada sebelum pemerintah kolonial Belanda berkehendak menguasai penuh pulau Bali awal abad 20. 

Dengan terjadinya pergesekan budaya, seni lukis Bali semakin marak dengan beragam gaya. Pengaruh yang diserap dari luar itu kemudian dihayati, diolah dan direfleksikan sebagai jati diri.

Kamasan, paling awal

Seni lukis tradisional Bali yang dikenal paling klasik adalah yang tumbuh di Kamasan, desa di dekat Klungkung. Seni lukis ini ditengarai sudah ada sejak abad ke-15. 

Lukisan Kamasan di langit-langit bangunan suci di Klungkung, Bali. Warisan keterampilan seni era Majapahit. (Sumber: Agus Dermawan T.)

Seni lukis ini bertolak dari dunia wayang kulit. Figur yang dilukis berbentuk pipih dua dimensi. Temanya mengambil cerita dari epos Ramayana, Mahabharata, Malat-Panji (cerita abad ke-12 di Jawa yang dikenal akrab di Bali), palelintangan (kalender astrologi) dan palelindon (horoskop yang dapat meramalkan pengaruh gempa bumi dalam kehidupan). 

Pada zaman dahulu kehidupan seni lukis Kamasan bersifat komunal dan si seniman tidak pernah mencantumkan nama pada hasil karyanya. Tetapi sekarang, sesuai dengan perkembangan zaman, pelukis anonim sudah tidak ada lagi. I Mangku Mura dan I Nyoman Mandra tercatat sebagai penegak gaya Kamasan yang utama. 

Lukisan Kamasan dibuat di atas kain nusa (kain lokal) atau kain blacu. Permukaannya dilapisi air bubur tepung beras, kemudian digerus dengan sejenis kulit kerang agar padat dan rata. Warna yang dipakai disebut “warna Bali” dan dibuat secara tradisional. 

Ubud dan sekularisme  

Pada awal abad 20 di Ubud tumbuh seni lukis dengan gerak penciptaan yang mirip gaya Kamasan, dengan tema-tema wayang. Para tokohnya kala itu adalah I Made Geria, Ida Bagus Made Togog, Ida Bagus Kembeng, Tjokorda Oka Gambir, I Gusti Nyoman Lempad dan sedikit yang lain. 

Bentuk, tema dan gaya seni lukis Ubud berubah ketika Walter Spies (pelukis Jerman, 1895-1942) mulai menetap di Bali tahun 1927. Dan disusul Rudolf Bonnet (pelukis Belanda, 1895-1978) pada 1929. Kedua seniman itu datang dan membangun studio di Ubud atas bantuan Tjokorde Gde Agung Sukawati, seorang bangsawan Ubud yang sangat mencintai dunia seni. 

Lukisan I Ketut Kasta, dengan rinci ornamen yang menakjubkan. (Sumber: Agus Dermawan T.)

Bonnet dan Spies bergaul aktif dengan masyarakat di sekitarnya, khususnya dengan para pelukis setempat. Merekalah yang mendorong para pelukis tradisional Bali untuk mengambil tema-tema yang lebih luas. Mereka menjelaskan, apa yang dilihat dan dirasakan dalam kehidupan sehari-hari dapat dijadikan obyek lukisan. Dengan pembinaan ini lahirlah lukisan-lukisan yang bertema sekular: kehidupan sehari-hari di Bali. Tentu sambil tak meninggalkan tema-tema agamis dan filosofis yang sudah ada. 

Ajaran itu ditegaskan dalam perkumpulan Pita Maha, yang didirikan oleh mereka berdua, dengan dukungan Tjokorda Gde Agung Sukawati dan I Gusti Nyoman Lempad, tahun 1936. Pengaruh Spies dan Bonnet tampak pada pengolahan komposisi yang lebih dinamis, penggarapan perspektif, serta pengayaan warna. Pada masa ini para pelukis mulai mempergunakan bahan-bahan yang didatangkan dari negeri Belanda, seperti tempera, cat air, dan lain-lain. Teknik yang dipakai pada prinsipnya tetap mengikuti langkah-langkah seni lukis tradisional yang amat khas. Sejak itu seni lukis di Ubud menemukan ciri khasnya sebagai seni lukis gaya Ubud.

Perkembangan seni lukis gaya Ubud terus menapak maju. Seniman pendukungnya bukan hanya dari Ubud saja tetapi berkembang di daerah sekitar Ubud. Tampillah beberapa tokoh seperti Anak Agung Gde Sobrat, Ida Bagus Made Poleng, I Gusti Ketut Kobot, I Dewa Putu Bedil dan sebagainya. 

Dalam pameran ini mashab lukisan Ubud diwakili pelukis terrnama, yang biodatanya tertulis dalam berbagai buku. Simak nama Ida Bagus Rai, I Wayan Djumu, I Ketut Gelgel, I Wayan Sadia, I Gusti Putu Sana, I Dewa Nyoman Jati, I Ketut Kasta, I Wayan Lantur, I Made Suparta, I Made Bagi, I Made Astawa, sampai I Kadek Yuliantono. Pelukis terakhir ini dengan sangat detil menggambarkan figur-figur wayang yang melompat dari pigura. Satu metafora dari keinginan betapa “sang klasik” ingin keluar dari jerat masa lalu, untuk berbaur dengan generasi masa kini.

Lukisan I Kadek Yuliantono dengan figur wayang keluar dari pigura. (Sumber: Agus Dermawan T.)

Lukisan I Dewa Putu Mokoh, “Seekor Anjing Belang”. (Sumber: Agus Dermawan T.)

Perkembangan seni lukis di Ubud dari dekade ke dekade nampak marak. Dan setiap dusun di desa kecamatan itu muncul berbagai kecenderungan gaya lukisan, sehingga menciptakan aliran. 

Sekitar tahun 1980-an di dusun Pengosekan berkembang seni lukis dengan tema flora dan fauna. Tokoh penggeraknya adalah I Dewa Nyoman Batuan yang mendirikan sanggar seni lukis pada 1970. Sanggar ini diberi nama “Community of Artist Pengosekan”. Dalam pameran ini mashab Pengosekan diwakili I Dewa Mertayasa, I Dewa Artama. Pelukis Pengosekan lain yang “tidak biasa” adalah I Dewa Putu Mokoh, penerima Anugerah Bali Bangkit.

Perkembangan yang tak kalah menarik, para pelukis senior membuat studio dan mengajak sanak-saudara serta kerabatnya untuk belajar melukis. Karena senioritas melahirkan panutan, maka setiap studio melahirkan barisan pelukis yang menyandang gaya tertentu. Seperti studio I Ketut Nama, studio I Wayan Djudjul, studio I Nyoman Meja, studio I Nyoman Lesug, yang semuanya di Ubud. Di wilayah lain juga berlangsung kecenderungan yang mirip. Di Sanur ada studio I Ketut Regig tahun 1960-an. Di desa Kapal ada studio I Gusti Agung Wiranata yang mengembangkan surealitas cahaya Walter Spies. 

Dalam pameran ini mashab lukisan Sanur diwakili oleh I Ketut Rudin, serta I Ketut Regig, yang karyanya juga dikoleksi Presiden Sukarno dan Istana Presiden. Sementara gaya Kapal diwakili oleh I Gusti Agung Wiranata dan Ni Monalisa. O ya, di Buleleng ada studio I Nyoman Subratha dan I Wayan Sridana, yang mengolah lukisan kaca.

Batuan, lucu dan mencekam

Di desa Batuan berkembang seni lukis tradisional dengan gaya yang berbeda. Coraknya yang dekoratif ditata sedemikian rupa sehingga tampak sangat detil. Peranan garis begitu dominan sebagai pembatas bidang yang dilukis dengan telaten.

Tema-tema yang dilukis adalah cerita tantri, dongeng fabel, termasuk kehidupan sehari-hari di Bali. Ketekunan setiap seniman tampak nyata karena mereka bekerja di atas bidang yang berukuran tidak besar. Dalam mewujudkan karyanya mereka lebih menyukai medium cat air atau tempera di atas kertas. Gaya ini sudah dimulai sejak 1930-an. Tokohnya adalah I Nyoman Ngendon, I Ketut Reneh, Ida Bagus Togog, Ida Bagus Made Widja.

Meski hidup di Batuan, mereka bergabung dalam perkumpulan Pita Maha, dan mereka bergaul dengan pelukis-pelukis Ubud. Karya-karya mereka umumnya sangat ekspresif, menyimpan atmosfir mencekam dan tenget. Seni lukis Batuan awal lebih menekankan teknik hitam-putih, yang dalam bahasa Bali disebut sigar mangsi. Dalam pewarnaan umumnya digunakan warna hijau kelam dan merah tua kecoklatan dengan latar belakang gelap. Ratusan karya mereka sempat dikoleksi oleh Margaret Mead dan Gregory Bateson, peneliti dari Princeton University, New Jersey, Amerika Serikat. 

Lukisan hitam-putih I Ngurah Pandji, “Sugriwa Subali”. (Sumber: Agus Dermawan T).

Dalam perkembangan terakhir pelukis Batuan banyak mengambil tema “Bali Negeri Pariwisata” serta kejadian sosial yang penting dan berkesan. Pelukis yang sering mengambil tema seperti ini adalah I Made Budi. Juga I Wayan Bendi, I Made Tubuh, I Ketut Kicen, I Ketut Sadia, I Wayan Diana, Ida Bagus Setiawan, I Gusti Ngurah Panji, Ida Bagus Made Dupam, yang karyanya terpampang dalam pameran. 

Pada tahun 1942 Belanda menyerah kepada Jepang. Dengan begitu Pita Maha, yang diasuh oleh para pelukis Barat, tak aktif lagi. Spies wafat di Samudera Hindia bersama kapal Van Imhoff yang dibom Jepang. Bonnet pulang ke Belanda. Namun Bonnet kembali ke Bali, dan mendirikan perkumpulan Golongan Pelukis Ubud tahun 1956. Maka seni lukis Bali, terutama di Ubud, melangsungkan gerakan baru.

Young Artist, gaya nan ceria

Pelukis kelahiran Belanda, Arie Smit, mulai menetap di Bali sejak 1956. Dia membuat studio di Campuhan, Ubud. Tahun 1960 Arie Smit mengumpulkan sekitar 40 anak dusun Penestanan, Ubud, yang miskin dan tak bisa melanjutkan sekolah untuk diajari melukis. 

Gaya lukisan yang ditampilkan kelompok Young Artist sederhana, tetapi menunjukkan spontanitas yang sangat kuat. Tema yang diungkapkan di atas kanvas mereka pungut dari kehidupan sehari-hari lewat bentuk-bentuk yang naif. Garis-garisnya tebal dan tegas. Warna-warnanya sederhana, sangat bebas, mencolok dan terang, secerah matahari tropis. Young Artist menjadi aliran besar sampai memasuki abad 21. Dalam pameran ini gaya Young Artist diwakili oleh tokohnya, I Ketut Soki. Sementara turunan dari gaya Young Artist diwakili lukisan I Wayan Mardiana. 

Lukisan I Ketut Soki, tokoh seni lukis Young Artist, Penestanan, asuhan Arie Smit. (Sumber: Agus Dermawan T.)                     

Keliki yang mini                  

Tahun 1970-an di Dusun Keliki, desa Payangan, Ubud, muncul lukisan-lukisan mini. Karya-karya berukuran 10 sampai 20 cm. itu digubah dengan cat air di atas kertas. Pelopor seni lukis ini adalah I Ketut Sana dan I Made Astawa. 

Sana dan Astawa mengajarkan seninya kepada penduduk Dusun Keliki. Menjelang tahun 1980 Keliki sudah menjadi desa seni lukis mini. Dan lukisan mini pun jadi aliran besar, dengan diikuti puluhan pelukis potensial. Ketelatenan seni lukis Keliki adalah bagian yang paling ajaib dalam seni lukis Bali. Kreasi sejumlah pelukis Keliki sangat diapresiasi masyarakat Eropa. 

Dalam pameran ini gaya Keliki diwakili oleh karya I Wayan Nengah, Perayaan Bagi Sang Hyang. Di sini Nengah menggambarkan ratusan figur dalam bentuk “realis deformatif”. Ratusan figur itu bergerak dalam kertas ukuran 48 x 32 cm. Ini masterpiece Keliki yang belum pernah terlampaui rekornya sampai sekarang. Itu sebabnya lukisan fantastik ini dihargai 270 juta rupiah, karena memang benda seni langka.

Gaya Singaraja dan Tanah Lot              

Yang disebut gaya Singaraja adalah lukisan tradisional Bali yang menggunakan kaca sebagai medium latarnya. Diduga, tradisi melukis dengan medium ini dibawa oleh para pendatang dari Pantai Utara seperti Gresik (Jawa Timur) dan Cirebon (Jawa Barat), disusul dari Solo, sejak akhir abad 19. Seni lukis kaca di Bali berkembang di wilayah Naga Sepaha, Singaraja. Tema yang diangkat biasanya dunia wayang.

Sedangkan gaya Tanah Lot tumbuh dari pengaruh turisme. Kita tahu Tanah Lot, Kabupaten Tabanan, adalah tempat wisata yang banyak dikunjungi turis. Di sini beragam barang seni dijual sebagai suvenir, di antaranya adalah lukisan batik yang dikerjakan para seniman Jawa. Sejumlah pelukis Bali terpikat dengan fenomena warna dan bentuk yang ada dalam lukisan batik itu. Mereka lalu mengembangkannya dalam lukisan akrilik atau cat minyak. 

Gaya Singaraja dan Tanah Lot tidak ditampilkan dalam pameran ini.

Berkibarnya Pita Prada 

Pada tahun 2006 di Bali diadakan pameran besar seni lukis yang dibingkai dengan “Biennale Seni Lukis Tradisional Bali”. Pagelaran ini untuk menandai, dan untuk mengumumkan kepada khalayak ramai, bahwa sejak tahun 1980-an muncul “generasi baru” seni lukis Bali tradisional. Generasi itu tumbuh semakin besar dalam setiap dekade, sampai memasuki dekade kedua tahun 2000. 

Generasi baru ini oleh Dr. Jean Couteau, Prof. Dr.Wayan Kun Adnyana dan Agus Dermawan T. dijuluki generasi Pita Prada, yang artinya Kreativitas Emas. Pita Prada adalah penunjuk era pertumbuhan, setelah tahun 1936 muncul Pita Maha, 1956 muncul Golongan Pelukis Ubud. 

Dalam pameran “Taksu: Bali Selection” yang berlangsung sampai 8 Maret 2025 ini para pelukis berbagai aliran dari generasi Pita Maha, Golongan Pelukis Ubud dan Pita Prada berkumpul jadi satu. Karya-karya pilihan semua angkatan ini memiliki taksu (bahasa Bali), yang artinya: pancaran kekuatan, kharisma, atau aura. 

Di tengah seni rupa Indonesia yang ngontemporer, pameran ini termasuk istimewa.***

 

*Agus Dermawan T. Pengamat seni. Penyusun buku “Bali Bravo – Leksikon Pelukis Tradisional Bali 200 Tahun”.