Bencana Sumatera dan “Cerita Si Bunga Angkasa”
Oleh Agus Dermawan T.*
Cerita sangat pendek gubahan 43 tahun lalu bertaut erat dengan bencana Sumatera yang terjadi pada November-Desember 2025. Kita lalu ingat sosok Pendekar Lingkungan Hidup: Emil Salim.
————–
BENCANA besar melanda Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat. Banjir dan longsor melumpuhkan sangat banyak wilayah. Lebih dari 1.000 orang tewas, ribuan lain hilang. Ribuan desa tenggelam. Puluhan ribu rumah terendam air bercampur lumpur.
Malapetaka yang datang bergelombang sejak penghujung November itu disebabkan oleh beberapa hal sekaligus. Yakni karena alam yang mendatangkan hujan tiada henti selama beberapa hari. Karena ulah manusia yang sejak lama tak henti menebangi hutan di ketinggian. Sehingga ketika hujan riuh mendera, air segera turun dan melongsorkan tanah ke mana-mana. Juga karena berhampar-hampar hutan dibabat untuk ditanami tumbuhan industri, dikeruk untuk eksplorasi pertambangan, dengan hasrat yang tidak perduli atas dampak yang datang pada kemudian hari.
Prof Dr Emil Salim (95 tahun) Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup Indonesia 1978-1993, bertutur kepada Garuda TV dalam program “Orang Penting”. Ia bersuara keras bahwa bencana yang melanda Sumatera adalah akibat pemimpin Indonesia pada beberapa dekade terakhir tidak menjalankan kebijakan pembangunan yang berkelanjutan. Ia mengatakan bahwa kebijakan lingkungan pasal penjagaan hutan, yang sudah digagas rapi sejak lebih 45 tahun silam, diputus dan tidak diteruskan. Hasilnya adalah kerusakan alam yang hebat dan bencana yang dahsyat.

Prof. Dr. Emil Salim, SE, MA, Ph.D. Pendekar Lingkungan Hidup Indonesia. (Sumber: Dokumen)
Emil Salim adalah menteri lingkungan hidup yang paling memegang janji mulia kepada alamnya. Semenjak ia menjabat, berbagai kebijakan ia lakukan. Dari menganalisis dampak lingkungan, ekonomi hijau, konservasi dan pengelolaan sumber daya alam, sampai pendidikan dan kesadaran lingkungan. Untuk yang terakhir ini Emil Salim menggagas berbagai program. Pameran lukisan anak-anak dan remaja bertema lingkungan hidup, festival poster pelestarian alam, dan sebagainya. Satu di antaranya yang sangat saya ingat adalah sayembara menulis cerita pendek untuk anak-anak bertema kehijauan bumi dan penjagaan alam Tanah Air.
Sayembara yang pertama kali diadakan di Indonesia itu dibuka pada awal April 1982, dan ditutup pada tengah Mei 1982. Tak jelas, apakah karena figur Emil Salim yang populer, atau karena isu lingkungan hidup sedang moncer, kompetisi itu diikuti oleh hampir 1.000 penulis, dengan melibatkan nama-nama sastrawan besar. Sehingga naskah yang masuk berjumlah ribuan judul.
Beruntung, dalam kompetisi itu karya saya “Cerita Si Bunga Angkasa” – yang panjangnya hanya sekitar 800 kata – menang sebagai juara ketiga. Atas kemenangan itu saya mendapat piagam dari Kementerian Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup Indonesia, serta tropi Kalpataru berlabel Prof. Dr. Daoed Joesoef – Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Yang menyerahkan piagam dan tropi adalah Ibu Negara Tien Soeharto lewat upacara di aula Gedung Radio Republik Indonesia, Jakarta, pada Hari Lingkungan Hidup Sedunia, 5 Juni 1982.

Tropi Kalpataru, berlatar naskah asli “Si Bunga Angkasa”. (Sumber: Agus Dermawan T.)
Bencana Sumatera mengajak saya membaca lagi cerita yang memenangkan kompetisi itu. Ternyata, heh, cerita kecil yang saya dongengkan kepada anak-anak pada 43 tahun lalu tersebut sangat bertaut dengan malapetaka besar di Sumatera yang terjadi pada November-Desember 2025.
Karena itu, saya ingin mempublikasikan kembali “Cerita Si Bunga Angkasa” dalam kesempatan ini. Sebagai peluhuran atas Bapak Emil Salim, tokoh lingkungan hidup yang berjuang tiada henti. Sebagai doa, agar Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat segera pulih kembali, dan musibah tidak pernah terulang lagi.
***
Cerita Si Bunga Angkasa
Aku layang-layang.
Aku dibuat beberapa tahun yang lalu oleh pemilikku, Dudun. Aku masih ingat ketika ia memberi nama kepadaku, yang manis kedengarannya: Bunga Angkasa. Dengan pemberian nama itu berarti aku segera dinaikkannya ke udara. Dan wow, aku bakal melihat bumi dari ketinggian. Melihat pulau-pulau Nusantara. Melihat laut berdebur. Melihat taman-taman kota yang penuh kembang aneka warna. Melihat hutan-hutan lebat yang hijau membentang dari barat ke timur, dari selatan ke utara. Alangkah indahnya!
Tetapi aku kecewa. Ternyata selama berbulan-bulan aku disimpan saja oleh Dudun. Aku tak begitu mengerti kenapa aku yang ia buat dengan penuh semangat itu tak segera dinaikkan ke angkasa. Namun suatu kali aku pernah mendengar alasannya, ketika Dudun ditanya oleh ibunya.

Layang-layang Bunga Angkasa. (Sumber: Agus Dermawan T).
“Dinaikkan ke mana, Bu? Bukankah di sini tidak ada tempat lapang lagi untuk menaikkan layang-layang? Dan bukankah jika aku menaikkannya di kota yang sudah amat dipadati bangunan-bangunan tinggi, akan berbahaya? Ya, layang-layang dan benangnya bisa menyangkut kawat-kawat listrik, kawat telpon dan kawat apa saja. Dan lagi, bisa membahayakan aku sendiri yang terpaksa bermain-main di keluasan jalan raya,” jawab Dudun.
Jawaban yang sangat melegakan hatiku. Memang, sebaiknya aku tak usah dinaikkan saja jika memang tak ada tempat untuk itu. Aku tak mau merepotkan Dudun. Karena itu aku tak menyesal meskipun aku harus mendekam beberapa bulan di bawah ranjang Dudun. Apalagi kamar Dudun bersih, hingga aku merasa betah saja di sana.
Suatu hari aku mendengar percakapan ayah Dudun, ibu Dudun dan Dudun. Mereka rupanya berunding untuk pindah rumah, ke desa yang jauh.
“Sudah waktunya kita harus tidak lagi memadati kota, jika di desa banyak tempat yang bisa dihuni dengan tenteram dan bahagia. Beruntung ayah di desa nanti ditugaskan bekerja di kantor kehutanan,” begitu ayah Dudun berkata.
Begitulah. Hari yang ditetapkan untuk berangkat pun disongsong. Segenap isi rumah Dudun diangkut dengan truk. Begitu juga aku. Dengan amat berhati-hati aku diangkat dan ditaruh di tempat khusus.
Dalam perjalanan aku tak bisa melihat apa-apa, karena aku memang ditidurkan di sebuah kotak, sehingga diriku hangat dan sangat terlindung. Dari dalam kotak aku merasakan betapa jauh perjalanan yang ditempuh. Namun diriku tidak merasa lelah dan kecewa. Justru sebaliknya, ada kebanggaan dalam benakku: ternyata betapa luas Tanah Airku. Betapa panjang jalan-jalan yang ada di negeriku!
Sampai akhirnya kurasakan truk berjalan semakin perlahan, sampai akhirnya berhenti.
“Kita telah sampai!” teriak ayah Dudun.
“Ya, kita sudah sampai!” Dudun menimpali.
Kami memang sudah sampai di rumah baru Dudun di desa, dengan pohon-pohon yang tumbuh di sekelilingnya. Rumah itu tidak besar. Bahkan sederhana. Tapi terlihat bersih dan teduh. Benar memang apa yang dikatakan ayah Dudun bahwa rumah di desa lebih nyaman. Alam lingkungannya masih rindang.
Sudah beberapa minggu kami pindah ke rumah yang membahagiakan itu. Dudun mendadak ingat lagi kepadaku. Diam-diam diambilnya aku dari tenpat penyimpanan.
“Baru kali ini aku bisa menaikkanmu, Bunga Angkasa!” Ia berkata dengan kegirangan hatinya.
Di sebuah lapangan luas aku dinaikkan. Benang ditarik dan diulur. Aku disendat-sendat, sampai akhirnya sampailah aku di angkasa amat luas tak terhingga, yang terasa sangat ajaib di mata. Aku begitu terperangah. Aku merasa berada di bentang alam yang amat luar biasa. Inilah ciptaan Tuhan yang agung…. Aku berbisik kepada diriku sendiri. Langit biru muda. Awan bagai kapas melayang-layang dan beringsut pelan menghampiri diriku. Betapa!
Tak habis habisnya aku menatap sekeliling yang maha luas. Aku lihat ke bawah, eh, Dudun yang kurus sekecil batang korek api. Ia memegangi taliku dengan penuh kebanggaan. Lalu aku tatap lagi sekeliling bumiku. Dan, aku bukan main terkejut!
Nun di bawah sana, jauh di bawah sana tampak dataran-dataran tanah coklat dan merah yang gundul. Bukit-bukit dan lereng gunung yang indah bentuknya, dan pasti semula segar sekali hijaunya, telah tidak lagi berpohon. Bahkan rumput dan semak pun tidak terlihat sepetak jua. Sedangkan yang tampak hanyalah batang, dahan dan reranting pohon tumbang yang sudah berhamparan di tanah kering.

Hutan yang digunduli untuk kepentingan industri. (Sumber: Dokumen)
Hamparan hutan yang kubayangkan semata hijau subur dan rimbun, ternyata telah ditebangi di sana sini, dalam keluasan tiada terperi.
Di sini aku baru sadar, itu sebabnya sedari tadi aku tak banyak menemui burung-burung. Hanya satu dua saja yang aku lihat. Mereka menatapku dengan mata yang sayu. Agaknya mereka sedang berpindah ke lain tempat. Sementara di bawah sana kulihat seekor anak harimau Sumatera yang berlalu lalang kebingungan dengan tubuh kuyu. Sejumlah siamang dan tapir mati di sela-sela tumpukan kering kayu.
Pelan-pelan aku merasa sangat sedih dan terharu. Hatiku tergerus. Dan oooooo, aku menangis. Air mataku terhambur keluar dan terburai-burai bagai gerimis. Seperti gerimis!
Mendadak benangku ditarik Dudun dengan cepatnya. Aku diturunkan dari keluasan angkasa dengan segera. Setelah benang dan diriku dikemas, aku dibawa pulang ke rumahnya.
Sesampai rumah Dudun ditanya ibunya, mengapa Dudun cepat-cepat menurunkan layang-layangnya. Dudun menjawab.
“Girimis, Bu. Sayang jika Bunga Angkasa rusak terkena air hujan!”
Dalam kesedihanku, aku tak bisa mengatakan apa-apa kepada mereka. Aku tak bisa menutur bahwa yang jadi gerimis itu sebetulnya adalah air mataku. Tapi aku berjanji, nanti sebelum tidur aku akan becerita kepada Dudun apa yang aku lihat soal hutan-hutan tadi dari angkasa. Apabila aku tak mampu berkata-kata, aku akan menyisipkan apa yang kulihat ke dalam mimpinya. ***
Jakarta, 29 April 1982.
—–
*Agus Dermawan T. Kritikus seni rupa. Penulis puisi dan cerita pendek.



