Menyajikan Peta, Mengonstruksi Wacana
Oleh Indro Suprobo & Ons Untoro
——————–
Sosialisme memiliki banyak sekali bentuk dan merupakan fenomena yang beragam. Meskipun demikian ia memiliki empat karakteristik fundamental. Pertama, sosialisme memiliki komitmen untuk menciptakan masyarakat yang egaliter. Kedua, sosialisme memiliki kepercayaan tentang kemungkinan dibangunnya sebuah sistem egalitarian alternatif yang didasar-kan pada nilai-nilai solidaritas dan kerjasama. Ketiga, sosialisme memiliki pandangan optimis tentang manusia dan kemampuan manusia untuk bekerjasama satu sama lain. Keempat, sosialisme berkeyakinan bahwa adalah mungkin untuk menciptakan perubahan-perubahan yang signifikan di dunia melalui perantara manusia yang sadar.
Michael Newman 1
——————–
Kutipan dari penggalan-penggalan paparan Michael Newman, Profesor Politik di Universitas Metropolitan London, dalam buku Sosialisme Abad 21, Jalan Alternatif atas Neoliberalisme, mencerminkan nilai-nilai fundamental yang diperjuangkan oleh Imam Yudotomo melalui kumpulan tulisan yang terangkum dalam buku Sosial Demokrasi ini. Jika Sosialisme Abad 21 karya Mihael Newman itu merupakan paparan ringkas tentang sejarah dan ragam perkembangan sosialisme dalam konteks global, Kumpulan Tulisan Sosial Demokrasi karya Imam Yudotomo ini merupakan paparan tentang sosialisme dalam konteks lokal Indonesia, meskipun dalam beberapa tulisan disinggung juga contoh-contoh ragam perkembangan sosialisme di beberapa negeri.
Konfirmasi dan Argumentasi
Jika dibaca secara cermat, seluruh tulisan yang terangkum dalam buku ini merupakan jejak-jejak konfirmasi diri tentang posisi sosialisme, terutama sosial-demokrasi yang menjadi pilihan jalan pemikiran dan gerakan Imam Yudotomo sepanjang hidupnya. Di dalamnya ia menyuguhkan argumentasi mengapa sosial demokrasi menjadi pilihannya dan ia perjuangkan sampai usia senja hidupnya.
Secara jelas ia menyatakan bahwa sebagai salah satu ragam dari sosialisme, pemikiran sosial-demokrat ia bedakan dari sosialisme-komunisme. Meskipun keduanya sama-sama berlandaskan pada sosialisme-ilmiah atau marxisme, perbedaan utamanya terletak pada strategi perjuangan yang dipilih untuk mencapai cita-cita masyarakat sosialis. Dalam pandangan Imam Yudotomo, sosial-demokrasi, seperti namanya, memilih strategi perjuangan demokrasi, tanpa kekerasan bersenjata, dan tidak bersepakat dengan sosialisme-komunisme yang memilih revolusi bersenjata dan menegakkan diktatorship proletariat. Konfirmasi posisi dan argumentasinya ini, menjadi landasan baginya untuk mengajukan analisis sekaligus kritik terhadap strategi kaum komunis di Indonesia yang pada akhirnya menuai banyak kegagalan. Pilihan strategi revolusi bersenjata yang diambil oleh kaum komunis Indonesia ini, dalam pandangannya juga berdampak terhadap peminggiran dan penghancuran seluruh pemikiran dan gerakan sosialisme di Indonesia sejak berdirinya Orde Baru. Meskipun sebenarnya berbeda pilihan strategi, seluruh kaum sosialis di Indonesia pada akhirnya harus ikut menanggung risiko dan dampak yang dahsyat dari tragedi 1965. Dalam konstruksi wacana Orde Baru, seluruh sosialisme adalah marxisme-leninisme atau komunisme yang membahayakan dan harus disingkirkan.
Membongkar Stigma, Edukasi sebagai Subversi
Semua tulisan tentang sosial-demokrasi yang terangkum dalam buku ini sejatinya merupakan penanda sekaligus sarana bagi upaya membongkar prasangka dan stigma yang dilakukan oleh penulis dalam perjalanan hidupnya. Sejak tragedi 1965, penguasa Orde Baru telah secara sempurna dengan berbagai cara menenun prasangka dan memproduksi stigma tentang sosialisme sebagai pikiran-pikiran yang berbahaya dan mengandung kekejaman yang merusak harkat dan kebebasan manusia. Dalam perspektif Critical Discourse Analysis, terutama yang dikembangkan oleh Teun A van Dijk, melalui berbagai macam cara, Orde Baru telah memproduksi discriminatory discourse tentang sosialisme dan orang-orang yang berhaluan sosialis. Discriminatory discourse itu telah melahirkan pengetahuan diskriminatif-manipulatif dan keyakinan stigmatis tentang sosialisme dan kaum sosialis, yang pada gilirannya melahirkan landasan bagi tindakan-tindakan kejam dan semena-mena terhadap kaum sosialis tanpa pandang bulu. Discriminatory discourse itu menyiratkan suatu keyakinan bahwa pengetahuan yang diproduksi oleh kekuasaan adalah satu-satunya kebenaran.
Uraian dan penjelasan yang disampaikan melalui tulisan-tulisan dalam buku ini merupakan langkah untuk membuka pikiran generasi muda, menawarkan cara baru untuk memahami, mengenali, dan mengidentifikasi sejarah dan perjalanan pemikiran serta beragam gerakan sosialisme di negeri sendiri, nilai-nilai utama yang diperjuangkan dan menjadi cita-citanya, serta beragam cara, perbedaan dan perdebatan tentang strategi dalam mewujudkannya. Uraian dan paparan yang tercantum dalam semua tulisan itu dilandasi oleh kesadaran bahwa bahasa itu tidak netral, bahwa bahasa, pengetahuan dan kekuasaan itu berkelit-kelindan. Bahasa yang digunakan dan pengetahuan yang diproduksi oleh Orde Baru adalah bahasa dan pengetahuan yang mengandung ideologi dan kepentingan kekuasaan.
Dalam konteks itu, seluruh pemikiran yang disampaikan melalui tulisan oleh Imam Yudoyono sebagai jalan edukasi konkret kepada generasi muda di berbagai forum, komunitas dan organisasi itu pada gilirannya merupakan sebuah langkah subversi. Upaya-upaya edukasi yang dijalankan oleh Imam Yudotomo adalah jalan subversi. Melalui edukasi ini, ia menjungkirbalikkan seluruh tatanan pengetahuan dan keyakinan yang dibangun oleh kekuasaan, dengan cara menyuguhkan prinsip-prinsip dasar, alasan-alasan fundamental, dan analisis-analisis utama yang terkandung dalam pemikiran sosialisme, terutama sosial-demokrasi. Pada gilirannya semua itu menjadi analisis, pengetahuan dan keyakinan kritis. Melalui cara itu dapat dipahami pula bahwa sebenarnya Imam Yudotomo tidak sekadar sedang menyajikan suatu pengetahuan yang netral, melainkan pengetahuan yang memiliki keberpihakan etis, yakni keberpihakan kepada semua kaum tertindas, yang dalam buku ini diidentifikasi terutama sebagai kaum buruh dan petani serta komunitas adat yang memiliki dan merawat tanah ulayat.

Sampul belakang buku.
Analisis Sosial Struktural
Kumpulan tulisan yang sejatinya merupakan jalan edukasi bagi generasi muda ini, sekaligus juga merupakan sebuah cara mengajak generasi muda untuk menjalankan analisis sosial struktural. Melalui tulisan-tulisan ini ia mengajak audiens dan para pembacanya untuk menganalisis realitas sosial yang telah dan sedang dihadapi secara kritis. Dalam analisis kritis itu ia menunjukkan kelompok mana saja yang diuntungkan dan kelompok mana yang buntung. Siapa yang menuai kenikmatan dan siapa yang menanggung penderitaan. Siapa saja yang disebut sebagai kelompok-kelompok dominan dan siapa saja yang merupakan kelompok yang terdominasi. Dalam analisis itu ia juga menyuguhkan prinsip-prinsip manakah yang dilanggar oleh sistem yang dijalankan dan bagaimana mengupayakan perubahan, berikut kesulitan dan tantangan yang menghadang.
Pikiran Sosialisme Imam Yudotomo
Hampir 40 tahun lalu, Imam Yudotomo memberikan buku berjudul ‘Sosialisme Demokratis dalam 36 Tesis’ karya Thomas Meyer. Imam Yudotomo adalah seorang sosialis, dan dia selalu mengenalkan pemikiran sosialisme kepada anak-anak muda. Sebagai generasi yang lebih tua, Imam Yudotomo yang lahir 12 Mei 1941, selalu akrab kepada anak-anak muda, dan sering memanggilnya ‘bung’ kepada anak-anak muda yang bersahabat dengannya.
Dalam bersahabat dengan anak muda, Imam Yudotomo tidak membuat jarak, meskipun usianya terpaut 14 tahun dengannya, atau malah lebih. Bahkan ada anak muda yang (terus) bergaul dengannya sampai akhir hayatnya, usianya lebih muda dari usia anak Imam Yudotomo. Kehangatan dalam bergaul, membuat anak muda betah saat berbincang dengannya.
Darah sosialisme mengalir dalam tubuhnya. Dalam setiap perbincangan, pikiran sosialismenya sangat kuat. Ia, tidak keluar dari pemikiran itu. Sosialisme adalah nafas hidupnya, meski dia tahu kenyataan di Indonesia kapitalisme terus menguat.
Dalam buku Sosialisme Demokratis dalam 36 Tesis’ itu, tesis 23 adalah nilai-nilai fundamental sosial-demokratis yang meliputi kebebasan, keadilan dan solidaritas. Setiapkali berbicara mengenai tiga nilai itu, ia selalu bersemangat, seolah tidak kehabisan bahan pembicaraan, dan menunjukkan, bahwa sejak muda ia tidak jauh dari buku. Ia tahu, bahwa tiga nilai itu ada di dalam Pancasila, dan ini artinya, bagi Imam Yudotomo, sosial demokrasi memiliki tempat dalam peta politik di Indonesia. Apalagi PSI, Partai Sosialis Indonesia yang dipimpin oleh Sutan Sjahrir, sebelum dilarang oleh Soekarno, memiliki kursi di Parlemen, dan Imam Yudotomo ‘tinggal’ di rumah partai itu, sampai akhir hayatnya.
Perbincangan sosialisme seperti tidak pernah habis dalam pikirannya. Ia teguh di jalan pikirannya itu. Dalam setiap diskusi, ia selalu tidak lepas dari pikiran sosialisme itu. Secara langsung, ia tidak mengajak orang lain untuk mengikuti pemikirannya. Namun mengajak orang lain untuk berjuang di jalan demokrasi dan keadilan. Karena itu, ia selalu dekat pada anak-anak muda yang peduli terhadap demokrasi.
Imam Yudotomo sudah pergi 10 tahun yang lalu, tepatnya 27 November 2015. Rupanya, beberapa tahun sebelum meninggal, ia menuliskan pemikirannya, baik untuk bahan diskusi, atau untuk keperluan lain. Sejumlah tulisannya, mungkin tidak semuanya, diterbitkan menjadi buku ini dan diberi judul ‘Sosial-Demokrasi’. Meskipun merupakan tulisan lepas-lepas, masing-masing tulisan bersumbu pada dasar pemikiran yang diyakininya, yakni sosialisme.
Ia tahu bahwa demokrasi di Indonesia sulit untuk tumbuh. Namun ia tidak lelah menyerukan, baik melalui tulisan maupun perbincangan verbal. Sosialisme menjadikan hidup Imam Yudotomo bersemangat, dan akan terlihat menyala ketika ia berada di ruang diskusi atau dalam perbincangan. Ia selalu menjaga api semangat itu tidak padam.
Tulisan-tulisan dalam buku ini, merupakan bentuk dari ‘api yang tidak padam’. Karena dia tahu, bahwa api tidak akan besar. Meski apinya kecil, ia membuat monumen dalam bentuk tulisan, sehingga api kecil itu, terus menyala. Ia juga tahu bahwa perbincangan mengenai sosialisme, yang terus diserukannya, hanya berhenti dalam perbincangan.
Menyajikan Peta, Mengonstruksi Wacana
Pada akhirnya, seluruh tulisan yang dipaparkan dan terangkum dalam buku ini merupakan jalan bagi Imam Yudotomo untuk menyajikan peta tentang jalur-jalur perjalanan sosialisme, terutama pemikiran sosial-demokrasi, dalam menanggapi realitas dan perkembangan masyarakat menghadapi kapitalisme, imperialisme, kolonialisme, dan yang paling mutakhir adalah neo-kolonialisme yang dahsyat. Melalui peta itu ia hendak menyatakan bahwa perjuangan sosialisme belum selesai dan cita-cita sosialisme yakni terbangunnya masyarakat yang egaliter, yang dilandasi oleh solidaritas dan kerjasama, yang menaruh hormat terhadap kesadaran manusia untuk menciptakan perubahan, belum tercapai. Ketidakadilan, ketimpangan, jurang kaya miskin, manipulasi, penindasan dan intimidasi, peminggiran dan akumulasi oleh segelintir orang serta pemiskinan struktural masih terus terjadi hingga saat ini.
Kita masih menghadapi pemiskinan dan ketidakadilan struktural yang dengan cara yang semakin canggih didukung oleh peran aparatus ideologis negara melalui konstruksi wacana dan pengetahuan dominan. Apa yang dilakukan oleh aparatus ideologis negara ini adalah menyediakan dominasi kelas penguasa dalam bentuk kata-kata atau bahasa, atau dalam bentuk pengetahuan yang secara bawah sadar diterima sebagai kebenaran dan keyakinan. Inilah yang oleh Gramsci disebut sebagai hegemoni, yakni sebuah proses membangun ketundukan sejak di dalam pikiran dan pengetahuan tanpa kekerasan. Secara jelas Gramsci menyatakan hegemoni sebagai rule by consent and by virtue of moral and intellectual authority. Pengetahuan yang dikonstruksi oleh apartus ideologis negara ini disebut sebagai pengetahuan hegemonik yang mengutungkan kelompok dominan dan membuntungkan sebagian besar masyarakat. Peta yang disajikan oleh Imam Yudotomo ini membantu generasi masa kini untuk sanggup melihat jejak-jejak ketidakadilan yang diciptakan oleh kapitalisme dan neo-liberalisme yang masih beroperasi sampai saat ini. Melalui peta yang disajikan ini, Imam Yudotomo berupaya meletakkan landasan yang memadai untuk mengonstruksi wacana alternatif, yakni wacana kritis yang mengambil jarak terhadap segala bentuk hegemoni yang telah bekerja di dalam ketaksadaran masyarakat.
Di tengah semakin maraknya akumulasi melalui perampasan (accumulation by dispossession) di negeri ini, pemikiran dan gerakan sosialisme semakin diperlukan dan penting. Perwujudan-perwujudan kontekstualnya menuntut untuk terus-menerus ditemukan dan dirumuskan melalui praktik-praktik eksploratif dan kreatif agar terbangunnya masyarakat yang egaliter, adil, solider dan penuh kerjasama semakin terwujud nyata. Semoga buku kumpulan tulisan Sosial-Demokrasi ini sedikit berkontribusi untuk menyediakan insight-insight yang dibutuhkan dalam upaya itu. ***
—
1 Michael Newman, Sosialisme Abad 21:Jalan Alternatif atas Neolibe-ralisme, Resist Book 2006, hlm.x-xiii
—
*Indro Suprobo, Penulis, Editor dan Penerjemah buku, tinggal di Yogyakarta.
*Ons Untoro, Penulis dan Penyair, Pendiri Komunitas Sastra Bulan Purnama.





