Tirakat, Perspektif Meditasi Jawa
Oleh A. Djoyo Mulyono
Meditasi dikenal pada masyarakat Jawa dengan menahan hawa napsu dari rasa lapar dan syahwat yang menggayuti pikiran dan badan wadag, sehingga dengan begitu manusia akan terlena dan terus-menerus mengikutinya tiada henti. Dengan menahan rasa haus dan lapar serta hawa napsu dalam masyarakat Jawa disebut dengan “Tapa” atau “Tirakat” yang memiliki makna mengasingkan diri dengan mengatur hawa dan keinginan sang hidup yang menipu untuk tercapainya sebuah tujuan-tujuan yang dimaksud.
Tujuan dari Tirakat dalam prespektif Masyarakat Jawa selain meditasi diri bagaimana mengatur hawa napsu dalam badan wadag, tapi juga kerap kali menjadikannya sebagai sarana berdo’a. Dalam pandangan Masyarakat Jawa, Tapa atau Tirakat memiliki makna lain yaitu Berdo’a, berdo’a dengan disertai menahan lapar dan haus telah dipercaya oleh masyarakat Jawa memiliki daya karomah yang lebih dari hanya sekadar berdo’a (bermunajat).
Bagi masyarakat Jawa, Tirakat yang bermaksud dengan melangsungkan laku prihatin dalam kesulitan –masalah- ketika meminta sesuatu kepada Tuhannya akan lebih mudah dan pasti dikabul lantaran do’a yang dipanjatkan disertai pula dengan penyiksaan badan yang sedemikian rupa untuk membuktikan kesungguhan hati dalam meminta. Dengan demikian riwayatnya, tokoh-tokoh spiritual dalam sejarah kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara banyak yang memiliki karomah linuih. Pada masa silam, banyak tokoh-tokoh Nusantara sampai tokoh Agama yang memiliki legenda biografi mengenai riwayat karomah-karomah yang menghiasi ilmunya selama masa penyebaran agama maupun masa perjuangan negara.
Meditasi dalam prespektif Masyarakat Jawa, adalah bagaimana langsungkan permintaannya kepada Tuhan dengan menahan diri dari haus dan lapar serta hawa napsu yang kaitannya dalam hal ini disebut dengan tirakat atau laku prihatin dalam berdo’a bermunajat kepada Tuhannya untuk meminta sesuatu yang ingin dikabulkan. Dan yang membuat unik mengenai meditasi yang dilakukan masyarakat Jawa ini adalah bentuk dari do’anya, do’a yang panjatkan masyaralat Jawa saat bertapa ini adalah do’a yang ditulis, dibacakan, serta diucapkan dengan bahasanya sendiri sesuai dengan keinginannya. Oleh karena itu kelak do’a ini dikenal dengan mantra atau ajian yang biasa dijadikan piandel atau pegangan yang dapat diandalkan.
Dalam mantra atau ajian yang digunakan masyarakat Jawa dalam berdo’a ini, pada penciptaannya telah banyak dibanjiri nilai-nilai budaya dan makna yang berarti, maka tak heran pada setiap bait kalimat yang ditulis dan dipanjatkan sangat ber-analogi dengan apa yang sedang menjadi keinginannya dalam berdo’a. Pada studi yang sedang dituliskan, penulis menyimpulkan bahwa dalam proses penciptaan mantra ada tiga tahapan di mana ketiga tahapan ini sangat bersifat mendesak pada seseorang ketika dalam keadaan ketiban masalah. Berikut diantaranya, dalam proses pertama yaitu “Adanya Masalah”, masyarakat Jawa di saat tertimpa masalah selalu mengamati dengan pembelajaran sehingga dengan begitu ketika masalah yang sama menimpanya kembali diharpakan dapat melewatinya dengan mudah. Yang kedua adalah “Pembuatan Mantra”, masalah yang telah diamati sedemikian rupa kemudian dituliskan bentuk solusinya sebagai naskah atau bacaan do’a yang kelak menjadikan piandel yang ampuh. Dan tahapan terakhir setelah mengamati masalah dan menuliskan mantranya yaitu “Laku Tapa” atau bersamadi dengan terus membacakan bait-bait mantra tersebut sebagai permintaan yang diringi dengan laku prihatin atau menahan diri dari rasa haus dan lapar serta hawa napsu yang menggoyahkan keyakinan semua orang. Dengan begitu, Masyarakat Jawa meyakini dengan tindakannya itu dapat menggoyahkan Kedewatan atau tempat para Dewa yang dalam hal ini sebenarnya bermakna do’a yang dapat didengar oleh Tuhannya langsung.
Meskipun demikian, bagaimana tindakan ini seringkali mendapatkan pandangan negatif karena tidak sedikit yang meminta dengan bacaan do’a yang sama namun tidak berhasil dalam menahan hawa napsunya, atau batal dalam bersamadi. Dalam hal ini kaitanya karena bagaimana tujuan seseorang menggunakan bacaan do’anya, jika tidak memiliki keyakinan yang mendalam, niscaya seseorang telah dianggap mempermainkan bacaan do’a yang seharusnya dilakukan dengan tulus itu tidak dengan baik. Karena bagaimanapun juga, do’a atau mantra yang dituliskan oleh kebanyakan luluhur di tanah Jawa ini sangat memiliki nilai filosofis yang tinggi dan menghubungkan dua keyakian antara Keyakinan terhadap Diri Sendiri serta Keyakinan terhadap Tuhannya. Keyakinan pada diri sendiri yang meyakini bahwa apa yang telah dimintanya sangat tulus dan benar-benar dengan tujuan yang baik, sedangkan Keyakinan kepada Tuhannya yang meyakini bahwa Tuhannya selalu mengabulkan semua do’a yang dipajatkan dari semua hambanya.
Seseorang yang sering melakukan tirakat semacam ini biasanya banyak memiliki mantra-mantra yang dapat digunakan untuk berdo’a atau membantu orang lain pada setiap menyelesaikan persemadiannya atau bertapanya. Selain menjadikan seseorang banyak memiliki bancaan do’a dalam proses ngelmuya, masyarakat Jawa juga meyakini orang tersebut akan lebih mudah menjalani masalah hidup lantaran hidupnya telah banyak tenang dengan latihan semadi (meditasi Jawa), dan dapat pula meningkatkan keimanan kepada Tuhannya.
Surabaya, 2022
Tulisan ini merupakan Sari dari calon buku baru yang sedang ditulisnya dengan judul “ELMU Prespektif Ilmu Masyarakat Jawa”
*A. Djoyo Mulyono – Lahir di Cirebon, 1999. Tulisan opini, esai dan cerpennya telah termuat di beberapa website dan media portal berita, Kumpulan Cerpen berjudul SIRNA (Interlude, 2022) adalah buku pertamanya. Dan sekarang, Ia sedang menyelesaikan magister di Universitas Negeri Surabaya.