Memahami Keajaiban “Nganyut Tuwuh” dan “Nganyut Apes”
Oleh Agus Dermawan T
Pada tahun 2005 silam saya menonton film “Janji Joni”, yang dibintangi oleh Nicolas Saputra. Sinema besutan sutradara Joko Anwar ini menceritakan seorang pengantar rol film seluloid ke setiap bioskop yang sedang memutar film. Cerita memang terjadi tahun 1980an, masa ketika bioskop belum menggunakan Digital Cinema Package dalam pemutaran film. Di tengah tugas itu Joni melihat gadis cantik (diperankan Mariana Renata), yang tak diketahui namanya. Untuk mengetahui nama dan sekaligus berkenalan lebih dekat, Joni dituntut untuk selalu mengantar rol film itu tepat pada waktunya. Tanpa ada satu hari pun yang luput.
Maka pada suatu kali ia kembali melakukan tugas. Rol film ada dalam tas gendongan. Menit-menit dicermati kembali, motor dikebut, agar semuanya tepat saat. Namun, tidak seperti biasanya, pada hari itu Joni mendadak menemui banyak kejadian. Dari keharusan menolong kakek buta, membantu persalinan isteri sopir taksi, sampai mengejar jambret. Tidak seperti biasanya, ada musibah yang muncul silih berganti dalam rentang tempo puluhan menit itu. Tasnya hilang, motornya dicuri! Tapi Joni terus berusaha menguasai keadaan dan menaklukkan hambatan dengan segala akal dan kecepatan.
(Kesialan yang beruntun dalam waktu berdekatan itu, dalam skala yang jauh lebih besar bisa kita hubungkan dengan kejadian di Indonesia dalam setahun terakhir ini. Simak : Peristiwa Stadion Kanjuruhan yang menewaskan 135 orang – Kasus pembunuhan Josua Hutabarat oleh Ferdy Sambo – Skandal korupsi Ismail Bolong yang melibatkan banyak petugas negara – Peristiwa meledaknya Depo Pertamina Plumpang yang memakan korban – Kasus Teddy Minahasa, perwira polisi yang nyolong barang bukti narkoba – Kasus penganiayaan keji oleh Mario Dandy, yang membuka skandal korupsi pegawai pajak Raffael Alun – Heboh transaksi janggal Rp 349 trilyun di Departemen Keuangan – Peristiwa penolakan atas kesebelasan Israel di Piala Dunia U-20 yang akan digelar di Indonesia, sehingga FIFA mencabut hak Indonesia itu menggelar itu – Meledaknya kilang Minyak Putri Tujuh Dumai pada 1 April 2023.)
Memahami “nganyut tuwuh”
Pada dulu sekali saya mendengar ujaran seorang tua yang bekerja sebagai guru. Lepas dari cerita film dan kasus sial Indonesia Raya di atas, sang guru berkata bahwa musibah beruntun yang datangnya tak terduga memang acapkali menyelip dalam kehidupan. Dalam pemahaman filsafat Jawa kejadian itu dibingkai dalam “nganyut tuwuh” (hanyut dalam kehidupan yang cepat tumbuh). Sedangkan dalam “nganyut tuwuh” itu ada yang dinamakan “nganyut apes” (kesialan yang datang berkali-kali dalam waktu berdekatan).
Ada orang yang memiliki sensibilitas untuk membaca fenomena itu. Namun banyak yang tidak menyadari. Dikatakan bahwa pasal “nganyut apes” ini konon sejak dari sononya memang ditetapkan sebagai setitik takdir. Dan itu dianggap sebagai bagian dari batu uji yang sudah melekat dalam jalan hidup. Lantaran tekstur batu itu (syahdan) sudah disuratkan di telapak tangan seseorang, yang pada saatnya akan diterjemahkan oleh kehidupan ke dalam kejadian.
Pada waktu yang lain saya mendengar khotbah tentang peristiwa yang kira-kira sama. Ia menyebut bahwa “nganyut apes” itu level keajaibannya sama seperti “deja vu” (yang oleh pakar bahasa L Wilardjo diindonesiakan menjadi kaperlat : kayaknya pernah lihat). Pengkhotbah memberi saran agar “nganyut apes” itu direspon dengan sikap yang sepenuhnya sabar (patientia vincit omnia). Lantaran hanya kesabaran yang mampu mengalahkan renteng cobaan yang datang dalam waktu berdempetan. Namun demikian kesabaran tak bisa bekerja sendiri. Tindakan terukur harus mengiringi. Tindakan waras sekaligus waspada (consilio et prudentia), harus menyertai. Tindakan itu akan menghindarkan seseorang dari gangguan jiwa annoyance – perasaan yang selalu gentar dan takut ketika menghadapi kejadian negatif.
Bersamaan dengan waktu yang terus melahirkan peristiwa baru, saya sudah agak lupa dengan semua itu. “Janji Joni” tinggal bayangan, perkataan guru dan pengkhotbah hanya terngiang-ngiang. Namun semua itu mendadak mengetuk-ngetuk benak ketika saya akhirnya berjumpa dengan peristiwa “nganyut” yang ajaib itu.
Rentetan kejadian yang disaksikan oleh banyak teman itu ingin saya ceritakan. Demikian.
Dari koper sampai charger
Pada Februari 2023 silam, dalam rangka menghadiri Hari Pers Nasional (HPN) dan penyerahan Anugerah Budaya kepada 10 Bupati dan Walikota, saya pergi ke Medan. Sehari sebelum menghadiri acara puncak, saya (dan sejumlah tokoh pers serta panitia) diundang berwisata ke Serdang Bedagai, kabupaten yang letaknya 90 km dari Medan. Dalam perjalanan pulang dari Serdang Bedagai, di atas bus, pemandu mengumumkan bahwa besok sekeluar dari acara HPN, para tamu akan dibawa ke Parapat, Danau Toba. Tamasya! Oleh karena di Parapat akan menginap semalam, maka para tamu diharapkan sudah membawa koper kecil. Koper ini ditaruh di bus selama acara HPN berlangsung. Karena dengan bus itu perjalanan ke Parapat ditempuh.
Nganyut ke-1 : Pagi telah tiba. Saya (dan isteri), bersama penari Nungki Kusumastuti dan wartawan senior Ninok Leksono, siap berangkat ke HPN. Karena bus akan lanjut ke Parapat, sesuai dengan pesan pemandu, saya membawa koper kecil. Tapi naas, bus yang akan memboyong kami telah pergi semenit sebelum kami keluar dari hotel, sambil membawa rombongan lain. Kami terpaksa naik taksi ke Gedung Serba Guna, Jalan Willem Iskandar, tempat HPN dihelat. Taksi pun merayap-rayap di jalan raya yang bukan main macet. Sesampai di Gedung Serba Guna, saya tak menemukan bus yang tadi mendahului berangkat. Padahal saya hendak menitipkan koper di bus itu. Akhirnya koper saya bawa ke gedung perhelatan.
Nganyut ke-2 : Sesampai di Gedung Serba Guna saya menuju ke Pintu VIP 1. Namun karena saya membawa koper, saya tidak diijinkan masuk. (Mungkin dicurigai berisi bom). Saya lantas menghubungi teman-teman yang sudah di dalam gedung lewat gawai, dengan harapan barangkali bisa mendapat titipan barang. Eh, signal sudah di-jam (dibikin tidak terhubung), karena Presiden Joko Widodo akan masuk ruangan. Koper pun tak mendapat tempat titipan. Alhasil saya menunggu nasib di bawah pohon selama puluhan menit, di tengah pelataran luas yang dijaga polisi dan tentara.
Nganyut ke-3 : Sekitar 3 jam setelah upacara HPN, rombongan pun berangkat ke Parapat, Danau Toba, dengan menggunakan 3 bus besar. Sekitar 80 wartawan seluruh Indonesia turut serta. Di dalam bus itu pemandu mengumumkan agar sesampai di hotel kami langsung makan malam di ruang resepsi. Sementara semua koper akan diurus oleh pemandu, dan dikumpulkan di lobi hotel, untuk diambil masing-masing pemilik setelah acara makan selesai.
Makan malam usai, saya pun siap mengambil koper. Ternyata koper tidak ada. Di manakah beliau? Ternyata koper saya adalah satu-satunya yang lupa diturunkan oleh kenek bus. Sedangkan bus sudah parkir nun jauh di sana. Beberapa jam kemudian koper kecil itu muncul dengan wajah merana, bagai anak yatim piatu yang mengenang bapak-ibunya.
Nganyut ke-4 : Saya sudah mendapat kamar di hotel. Semua “perangkat hidup” sudah saya posisikan apik di kamar. Bahkan charger gawai sudah terpasang di stopkontak. Koordinator tamasya lantas melakukan pengecekan. Dari pengecekan itu saya dipindahkan ke kamar lain yang lebih cocok. Karena saya sedang tidak berada di kamar, “perangkat hidup” saya dibawa oleh koordinator ke kamar baru. Naas, charger gawai yang terpasang di stopkontak itu tidak ikut terbawa. Ketika charger itu akan diambil, kamar sudah digunakan orang lain, dan penghuni kamar sedang ngelayap entah ke mana. Baru esok paginya charger itu kembali. Padahal gawai sudah kelap-kelip setengah mati!
Nganyut ke-5 : Di Pulau Samosir yang terletak di tengah Danau Toba, banyak pedagang cenderamata. Di antaranya adalah ulos dan songket. Saya membeli 4 pasang songket, yang terdiri dari kain busana dan selendangnya. Sesampai di hotel di Medan, yang ada dalam bungkusan hanya ada 4 kain dan 1 selendang. Ternyata 3 selendang lupa dimasukkan kantung pembelian oleh penjualnya.
Nganyut ke-6 : Dalam perjalanan dari Danau Toba ke Medan, bus singgah di beberapa tempat yang ada rest area. Di Tebing Tinggi rombongan mampir untuk ngopi di deretan warung dekat masjid. Dalam acara rehat itu saya ke toilet. Sekeluar dari toilet saya menyadari tas tidak ada di tangan. Padahal dalam tas itu tertaruh barang-barang dan dokumen penting. Dengan panik saya mencarinya di warung. Tidak ada! Sejumlah pemilik warung pun ikut heboh mencari tas. Akhirnya tas itu ketemu. Tas masih ada di gantungan, di dalam toilet! Jantung yang tadinya berdebur bagai samudera sertamerta menjadi tenang bagai hamparan air Danau Toba.
Nganyut ke-7 : Pada tanggal 11 Februari saya bertolak ke Jakarta. Dalam perjalanan bergegas dari Medan ke Bandara Kuala Namu, taksi yang saya tumpangi mendadak terhenti lama di pintu tol masuk. Masalahnya : ada mobil yang pengemudinya kehabisan pulsa untuk bayar tol. Taksi saya berkehendak mundur, tapi tak bisa, karena di belakang telah ada mobil-mobil lain. Kemudian mobil itu berhasil masuk tol setelah rumit mengurus pulsa. Namun sesampai di tol keluar, giliran sopir taksi saya yang kurang pulsanya. Sopir akhirnya turun dan tergopoh-gopoh mengisi pulsa dalam tempo yang tidak sebentar!
Nganyut ke-8 : Sesampai di Bandara Kuala Namu muncul kabar dari Nungki Kusumastuti, bahwa saya memperoleh suvenir yang dikemas dalam goody bag. Tas itu dititipkan di bagian concierge hotel tempat saya menginap, untuk diserahkan ketika saya check out. Ternyata goody bag itu lupa diberikan kepada saya. Padahal goody bag orang-orang lain tersampaikan dengan gembira. Alhasil saya hanya membayangkan secara muluk-muluk isi goody bag itu : kain tenun uis gara lengkap dengan hiasan khas Batak Karo, topi tanjak Melayu, replika tongkat Tunggal Panaluan, tiga paket kopi Sidakalang, tujuh kemas penganan lemang, racikan bumbu mi gomak, buku-buku tentang Medan, sampai durian monthong!
Pengalaman spiritual
Ketika terbang ke Jakarta pramugari memberikan penganan dalam dos kecil kepada penumpangnya. Dos kue yang saya pegang mendadak mrucut dan kue-kuenya bertumpahan ke lantai pesawat. Kepada pramugari saya memohon lagi sekotak kue. Maklum lapar, Bro. Dan pamugari menjawab spontan dan tegas : sudah habis! Seorang wartawan senior di sebelah saya lirih tertawa. Saya tak tahu, apakah peristiwa sangat kecil ini bisa dimasukkan ke “nganyut” kesembilan. Tapi apabila diruntutkan, kue tumpah itu tampak erat hubungan dengan kenaasan sebelumnya.
Begitulah kenaasan beruntun yang tiba-tiba saya alami. Sebagian besar dari kejadian itu tidak merugikan secara material, mungkin kecil-kecil, tapi selalu mengejutkan dan menghenyakkan mental. Kok bisa? Dari renteng kejadian itu saya diajak berpikir lagi ihwal mitos “nganyut tuwuh” dan “nganyut apes”. Dengan takdir di suratan garis tangan yang sudah diterjemahkan dalam kenyataan. Serenteng realitas “pahit” yang iseng-iseng diturunkan semesta untuk menguji kehidupan seseorang. Tapi saya senang menerimanya, karena setelah dihayati, itu adalah pengalaman spiritual yang mempesona.
Pujangga Inggris John Masefield (1878-1967) menulis bahwa : hanya “orang yang tidak biasa” yang bersedia memahami berbagai kenaasan. Lantaran semua itu diyakini akan menjadikan seseorang terlatih dalam derita. Sedangkan ujung dari seutas derita adalah seratus sukacita.
Saya juga ingin mencoba jadi “orang tidak biasa”. Semoga bisa.**
Agus Dermawan T.
*Penulis Buku-buku Budaya dan Seni. Juri Anugerah Kebudayaan Bupati dan Walikota Indonesia versi PWI Pusat 2020, 2021, 2022, 2023. Narasumber Ahli Koleksi Benda Seni Istana Presiden.